Ddrrr... Ddrr... Ddrr...
Suara Ponsel bergetar di balik saku jaketnya.
“Kau tidak lupa hari ini bukan?” sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya.
Suasana kampus tampak begitu ramai, seorang anak gadis tengah di pandangi oleh beberapa anak laki-laki di kampus. Ya! Itu bukan kali pertama gadis itu mendapat tatapan dari para pria. Sepertinya dia tengah asik memainkan ponselnya, sesekali dia menyerup minuman yang telah dipesannya sedari tadi.
“Aku harus mencari tambahan uang lagi untuk kebutuhan dua tahun di sana. Apa aku kerja paruh waktu saja sambil menulis naskah baru?” gumannya dalam hati.
Sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya lagi. Membuatnya begitu terburu-buru pergi.
Sebuah kafe bernuansa modern di padukan dengan desain klasik kuno masuk ke dalam sebuah kafe. Suasana tidak begitu ramai, namun terdapat beberapa pengunjung.
“Oh, Vin. Sini ....” sebuah sapaan untuk gadis itu dari seorang wanita umurnya sekitar 35thn.
“Oh editor,” sapa Vinara sambil duduk di bangku depan wanita yang dipanggil editor itu.
“Apa yang sedang kau kerjakan?” tanya wanita itu.
“Naskah baru, hampir selesai. Mungkin aku, akan mengirimkannya minggu ini, kemudian akan melanjutkan naskah baru lagi,” jawab Vinara.
“Baiklah. Aku ingin kau menandatangani kontrak untuk naskah barumu,” kata wanita itu.
Tanpa membaca kontrak, Vinara langsung saja menandatangani kontrak.
“Editor Lee, apa kau memiliki kenalan yang lagi membutuhkan tenaga kerja? Jika ada, aku ingin bekerja paruh waktu tanpa menghambatku dalam menulis naskah baru,” tanya Vinara.
“Kenapa? Bukankah gaji menjadi penulis selama ini cukup untukmu?" tanya Editor Lee.
“Uangnya belum cukup untuk biaya hidupku jika aku kuliah di Luar Negeri selama dua tahun nanti, lagi pula gaji selama ini untuk membiayai adik dan ibuku,” kata Vinara dengan nada melemah.
“Baiklah, aku akan membantumu mencari pekerjaan,” kata editor Lee sambil mencek kontrak yang telah ditandatangani oleh Vinara. “Vinara, kami ingin kau membuat sebuah perubahan dalam naskahmu kali ini,” kata Editor Lee.
“Pastinya,” kata Vinara dengan nada meremehkan.
“Kami ingin kau menambahkan unsur romantis dalam naskahmu kali ini," kata Editor Lee membuat Vinara terbelalak kaget.
“Tidak, aku tidak bisa mencampurkan unsur romantis pada novelku,” kata Vinara menantang. “Aku ini penulis thriller, apa yang akan mereka katakan jika aku menulis novel romantis. Pokoknya, aku tidak akan menulis novel romantis,” kata Vinara dengan nada sedikit tinggi.
Karena kesal, Vinara beranjak pergi namun langkahnya terhenti karena sebuah kalimat dari Editor.
“Kau tidak bisa melanggar kontrak,” kata Editor sambil menunjuk sebuah perjanjian yang tidak bisa di tolak oleh Vinara.
Dengan kesal, Vinara mengikuti apa yang dikatakan oleh Editor Lee.
“Jangan terlalu kesal seperti itu, kita akan mencetak rekor baru jika kau menulis novel dengan genre berbeda dari sebelumnya. Pasti akan laris di pasaran dan akan dilirik oleh produser-produser besar. Ini akan, menambah uang kuliahmu nanti,” kata Editor Lee.
“Baiklah, sampai jumpa nanti. Aku akan memikirkan bagaimana caranya agar aku mendapatkan ide untuk menulis naskah baru,” kata Vinara sambil beranjak pergi meninggalkan Editor Lee.
“Aaa. Vinara. Kau tidak perlu khawatir soal pekerjaan. Kau akan mendapatkan pekerjaan jika kau di tempat kuliahmu nanti,” kata Editor Lee sambil tersenyum.
Vinara mengacak rambutnya, karena begitu kesal hingga semua orang menatap ke arahnya.
**
Meja berwarna coklat keemasan terlihat disebuah ruang kamar. Beberapa buku terlihat dan sebuah laptop di atas meja itu. Dari arah luar, Vinara membawa secangkir kopi dan diapun melanjutkan ketikannya. Tidak lupa kacamata bulat kesayangannya terpasang di wajahnya. Dia menjadi gadis culun ketika dia menulis naskah, dengan kepribadian yang tidak bisa dijelaskan.
Tak... Tik... Tak...
Delete ... Delete ... Delete ...
Sebuah suara keyboard terdengar, namun lagi dan lagi dia menghapus apa yang dia ketik.
Tak... Tik... Tak...
Delete ... Delete ... Delete ...
Serasa lagi frustasi karena kehabisan ide untuk naskahnya.
“Aaaiiisss... Editor sialan. Aku tidak tahu, harus membuat adegan seperti apa. Aaakkhh ....” kata Vinara sambil mengacak-acak rambutnya.
Suaranya terdengar sampai ke luar membuat seseorang naik dan membuka pintu kamarnya.
“Vin ada apa? Kenapa berteriak seperti itu?” tanya seorang wanita sambil membuka pintu kamar Vinara.
“Tidak kenapa-kenapa, aku hanya lagi pusing memikirkan sesuatu,” kata Vinara sambil tersenyum.
“Sebaiknya sarapan dulu, hari ini ada kuliah bukan? Hari ini dosen Killer itu yang masuk, jadi kita harus tiba di kelas sebelum dia. Bisa-bisa kita dapat nilai rendah dan bisa mengulang semester depan!” kata gadis yang tinggal se rumah dengan Vinara.
“Aku bisa sedikit santai, karena ini semester akhirku,” kata Vinara membuat temannya mengerucutkan bibirnya.
“Ah, dia pria tua. Tapi masih saja dia dosen Killer di usianya seperti itu,” kata gadis itu. “Aaaa... menyebalkan. Tapi, mata kuliahnya—wajib,” kata teman Vinara sambil mengembungkan pipinya.
“Sudahlah. Nggak perlu menghibah, dosa tahu,” kata Vinara sambil tertawa kecil. “Lebih baik menenangkan pikiran, sambil mencari ide,” kata Vinara membatin.
“Daripada dia, hal yang membuatku frustasi adalah hal romantis,” kata Vinara membatin. “Lebih mengerihkan daripada pembunuhan yang kulakukan di dalam naskah,” tambah Nalya lagi.
Sebuah taman di tepi sungai dekat kampus yang begitu jarang di kunjungi oleh para mahasiswa ataupun masyarakat karena terdapat hewan legendaris penunggu taman itu. Bagi Vinara hewan legendaris itu adalah sahabatnya, karena setiap saat dia memberi makan hewan-hewan tersebut.
"Makan yang banyak, dan pergilah jalan-jalan. Aku ingin sendiri," kata Vinara berbicara pada hewan yang tengah diberinya makan tersebut.
Dengan wajah lemas dia memikirkan ide untuk naskah novel barunya.
Waktu berlalu, tidak terasa dia berada di taman itu selama dua jam memikirkan ide naskah terbarunya.
“Aaaaa ....” suara teriakan terdengar.
Dari kejauhan terdengar seorang anak tengah berlarian, sedang di depannya terlihat seorang pria tengah berjalan. Sama seperti Vinara, pria itu menoleh ke arah belakang—mencari asal suara yang dia dengar.
Mengikuti suara teriakan, dan anak yang tengah berlarian dia pun ikut berlarian. Hewan-hewan berwarna putih dengan lantangnya mengejar mereka—itu adalah hewan legendaris penunggu taman ini—Angsa Putih, kedua orang tersebut berlarian.
Anak yang tengah di kejar Angsa bersembunyi dibalik tubuh pria itu. Membuat pria itu yang semakin di kejar oleh angsa, Vinara tertawa terbahak-bahak ketika melihat pria itu memilih menceburkan dirinya ke dalam sungai karena tidak menemukan jalan lain untuk kabur.
Kedua orang tua anak yang di kejarnya terdiam ketika melihat pria itu menceburkan dirinya ke dalam sungai, sedang Vinara tertawa melihat kejadian itu.
Mereka lebih heran, ketika aku menyuruh angsa-angsa tersebut pergi.
“Apa kau pemilik hewan itu?” tanyanya.
“Tidak, mereka hewan liar di sekitar sini. Aku hanya sering memberi mereka makanan,” Vinara sambil menahan tawa. “Sebaiknya kau keluar saja dari situ, di dalam sungai ada buaya,” kata Vinara berbohong membuat pria itu terbirit- birit keluar dari sungai sedang Vinara pergi meninggalkan Pria itu.
Sebuah handuk dan pakaian terlihat di bangku taman itu. Sepertinya Vinara memberikan pakaian itu untuk pria yang di kejar angsa tersebut.
Bersambung …
Sebuah suara keyboard terdengar, begitu cepat.Dddrrr... Ddrrr... Ddrrrr...Suara getaran terdengar dari arah ponsel, tapi ia hanya menengok sekilas dan kembali melanjutkan aktifitasnya.“Ahhh... selesai juga,” kata gadis itu. “Syukurlah, akhirnya bab kali ini selesai juga, rasanya kurang greget. Tapi sudah jam segini. Sebaiknya aku revisinya besok,” katanya sambil merengangkan tubuhnya.“Hhhhmm... Hanya pesan dari Editor,” katanya memeriksa pesan yang masuk kemudian menyimpan kembali ponselnya di atas meja.Ia sangat kesal setelah pertemuan beberapa waktu lalu dengan Editornya. Hal itu membuatnya tidak mengangkat panggilan telpon itu.Ia focus dengan apa yang saat ini diketik olehnya. Tangannya bekerja di keyboard laptop. Otaknya tidak focus pada pekerjaan, hal itu membuatnya mengikuti hatinya, menulis apa yang dia pikirkan.Suasana malam tampak begitu mencekamkan. Hawa dingin serasa menusuk sampai
“Hei Psiko,” sebuah suara memanggil.Vinara melihat kearah kiri-kanannya, serta belakangnya.“Kau memanggilku?” tanya Vinara.“Emang siapa lagi yang ku panggil jika bukan kau,” kata gadis yang di memanggil Vinara.“Kau cari ribut denganku?” tanya Vinara sambil memasang wajah sinisnya. “Apa kau tidak ingat, jika aku bisa membuatmu masuk rumah sakit? Apa kau mau seperti dulu?” tanya Vinara. “Coba saja, jika kau ingin kembali ke rumah sakit dengan patah tulang lagi,” kata Vinara sambil berbisik di telinga gadis itu.Gadis itu hanya terdiam ketika Vinara mengucapkan hal yang membuatnya begitu merinding.Tidak ada yang tahu pasti, apa yang sebenarnya terjadi pada saat masuk kuliah yang membuat beberapa mahasiswa baru di keluarkan dari kampus.Sekilas memori Vinara tergambar.“Ayolah ...” kata seseorang sambil meraih lengan Vinara memasuki sebuah ruma
Angin sepoi-sepoi menerpa rambut Vinara. Suara gesekan dari batang bambu menghadirkan irama yang indah di tambah dengan kicauan burung-burung. Nuansa alam membuat Vinara terbaui. Matanya menatap jauh ke arah hutan buatan di perpustakaan itu.“Kumohon berhentilah ...” kata seorang wanita yang tengah berjongkok.Namun, kedua pria yang tengah bertengkar itu makin memuncak.Batss!Sebuah sayatan di lengan seorang pria yang entah darimana datang. Salah satu pria itu, membawa pisau, dan berniat untuk membunuh.Ada rasa lega, ada rasa ketakutan. Semua terlihat di raut wajah para pengunjung kafe.“Tidak apa-apa,” kata Pria itu.Darah mulai bercucuran di lantai.Vinara, hanya melihat semuanya dari kejauhan. Dia tidak berniat untuk melihat semuanya dari dekat.Beberapa polisi datang mengamankan ketiga orang tersebut. Sampai keadaan mulai tenang, barulah polisi-polisi tersebut pergi.Beberapa menit ya
Di luar hujan deras! Vinara masih menatap laptopnya dengan sejuta pertanyaan apa yang harus di tulisnya! Beberapa kali dia mengetik, beberapa kali itupun dia menghapus ketikannya!Dia tidak tahu, apa yang harus di tulisnya untuk mengawali naskah terbarunya! Rasanya hambar, ketika dia menulis naskah romantis!“Aku butuh banyak waktu untuk menulis naskah ini,” kata Vinara saat bertemu dengan Editor beberapa waktu lalu!“Oke. 3 bulan bagaimana?”“Enam bulan. Aku butuh 6 bulan,” kata Vinara.“Oke. Setuju,” kata Editornya.Suasana kampus begitu ramai seperti biasanya!“Vinara,” panggil Laura sambil membawa jajanan.“La.... Em. Jika genre romantis di satuin dengan Thiller atau crime. Bagusnya tokoh-tokohPemain berprofesi sebagai apa?”“Emang buat apa sih, nanya kayak gitu. Aneh deh!”“Orang nanya, jawab dong! Jangan balik bertanya
Di luar hujan deras! Vinara masih menatap laptopnya dengan sejuta pertanyaan apa yang harus di tulisnya! Beberapa kali dia mengetik, beberapa kali itupun dia menghapus ketikannya!Dia tidak tahu, apa yang harus di tulisnya untuk mengawali naskah terbarunya! Rasanya hambar, ketika dia menulis naskah romantis!“Aku butuh banyak waktu untuk menulis naskah ini,” kata Vinara saat bertemu dengan Editor beberapa waktu lalu!“Oke. 3 bulan bagaimana?”“Enam bulan. Aku butuh 6 bulan,” kata Vinara.“Oke. Setuju,” kata Editornya.Suasana kampus begitu ramai seperti biasanya!“Vinara,” panggil Laura sambil membawa jajanan.“La.... Em. Jika genre romantis di satuin dengan Thiller atau crime. Bagusnya tokoh-tokohPemain berprofesi sebagai apa?”“Emang buat apa sih, nanya kayak gitu. Aneh deh!”“Orang nanya, jawab dong! Jangan balik bertanya
Angin sepoi-sepoi menerpa rambut Vinara. Suara gesekan dari batang bambu menghadirkan irama yang indah di tambah dengan kicauan burung-burung. Nuansa alam membuat Vinara terbaui. Matanya menatap jauh ke arah hutan buatan di perpustakaan itu.“Kumohon berhentilah ...” kata seorang wanita yang tengah berjongkok.Namun, kedua pria yang tengah bertengkar itu makin memuncak.Batss!Sebuah sayatan di lengan seorang pria yang entah darimana datang. Salah satu pria itu, membawa pisau, dan berniat untuk membunuh.Ada rasa lega, ada rasa ketakutan. Semua terlihat di raut wajah para pengunjung kafe.“Tidak apa-apa,” kata Pria itu.Darah mulai bercucuran di lantai.Vinara, hanya melihat semuanya dari kejauhan. Dia tidak berniat untuk melihat semuanya dari dekat.Beberapa polisi datang mengamankan ketiga orang tersebut. Sampai keadaan mulai tenang, barulah polisi-polisi tersebut pergi.Beberapa menit ya
“Hei Psiko,” sebuah suara memanggil.Vinara melihat kearah kiri-kanannya, serta belakangnya.“Kau memanggilku?” tanya Vinara.“Emang siapa lagi yang ku panggil jika bukan kau,” kata gadis yang di memanggil Vinara.“Kau cari ribut denganku?” tanya Vinara sambil memasang wajah sinisnya. “Apa kau tidak ingat, jika aku bisa membuatmu masuk rumah sakit? Apa kau mau seperti dulu?” tanya Vinara. “Coba saja, jika kau ingin kembali ke rumah sakit dengan patah tulang lagi,” kata Vinara sambil berbisik di telinga gadis itu.Gadis itu hanya terdiam ketika Vinara mengucapkan hal yang membuatnya begitu merinding.Tidak ada yang tahu pasti, apa yang sebenarnya terjadi pada saat masuk kuliah yang membuat beberapa mahasiswa baru di keluarkan dari kampus.Sekilas memori Vinara tergambar.“Ayolah ...” kata seseorang sambil meraih lengan Vinara memasuki sebuah ruma
Sebuah suara keyboard terdengar, begitu cepat.Dddrrr... Ddrrr... Ddrrrr...Suara getaran terdengar dari arah ponsel, tapi ia hanya menengok sekilas dan kembali melanjutkan aktifitasnya.“Ahhh... selesai juga,” kata gadis itu. “Syukurlah, akhirnya bab kali ini selesai juga, rasanya kurang greget. Tapi sudah jam segini. Sebaiknya aku revisinya besok,” katanya sambil merengangkan tubuhnya.“Hhhhmm... Hanya pesan dari Editor,” katanya memeriksa pesan yang masuk kemudian menyimpan kembali ponselnya di atas meja.Ia sangat kesal setelah pertemuan beberapa waktu lalu dengan Editornya. Hal itu membuatnya tidak mengangkat panggilan telpon itu.Ia focus dengan apa yang saat ini diketik olehnya. Tangannya bekerja di keyboard laptop. Otaknya tidak focus pada pekerjaan, hal itu membuatnya mengikuti hatinya, menulis apa yang dia pikirkan.Suasana malam tampak begitu mencekamkan. Hawa dingin serasa menusuk sampai
Ddrrr... Ddrr... Ddrr...Suara Ponsel bergetar di balik saku jaketnya.“Kau tidak lupa hari ini bukan?” sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya.Suasana kampus tampak begitu ramai, seorang anak gadis tengah di pandangi oleh beberapa anak laki-laki di kampus. Ya! Itu bukan kali pertama gadis itu mendapat tatapan dari para pria. Sepertinya dia tengah asik memainkan ponselnya, sesekali dia menyerup minuman yang telah dipesannya sedari tadi.“Aku harus mencari tambahan uang lagi untuk kebutuhan dua tahun di sana. Apa aku kerja paruh waktu saja sambil menulis naskah baru?” gumannya dalam hati.Sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya lagi. Membuatnya begitu terburu-buru pergi.Sebuah kafe bernuansa modern di padukan dengan desain klasik kuno masuk ke dalam sebuah kafe. Suasana tidak begitu ramai, namun terdapat beberapa pengunjung.“Oh, Vin. Sini ....” sebuah sapaan untuk gadis itu dari seorang wanita umurnya