Sebuah suara keyboard terdengar, begitu cepat.
Dddrrr... Ddrrr... Ddrrrr...
Suara getaran terdengar dari arah ponsel, tapi ia hanya menengok sekilas dan kembali melanjutkan aktifitasnya.
“Ahhh... selesai juga,” kata gadis itu. “Syukurlah, akhirnya bab kali ini selesai juga, rasanya kurang greget. Tapi sudah jam segini. Sebaiknya aku revisinya besok,” katanya sambil merengangkan tubuhnya.
“Hhhhmm... Hanya pesan dari Editor,” katanya memeriksa pesan yang masuk kemudian menyimpan kembali ponselnya di atas meja.
Ia sangat kesal setelah pertemuan beberapa waktu lalu dengan Editornya. Hal itu membuatnya tidak mengangkat panggilan telpon itu.
Ia focus dengan apa yang saat ini diketik olehnya. Tangannya bekerja di keyboard laptop. Otaknya tidak focus pada pekerjaan, hal itu membuatnya mengikuti hatinya, menulis apa yang dia pikirkan.
Suasana malam tampak begitu mencekamkan. Hawa dingin serasa menusuk sampai ke sumsum tulang. Jalanan begitu sepi hanya terlihat beberapa mobil yang berlaulalang, karena waktu telah menunjukan pukul 11.32pm. Toko-toko telah tutup, hanya beberapa toserba 24 jam saja yang masih belum menghentikan aktifitasnya. Beberapa orang berlaulangan masih terlihat.
Aktifitas pada malam hari begitu sunyi, biasanya ramai. Namun, beberapa waktu lalu dikabarkan telah terjadi pembunuhan di daerah itu membuat mereka tampak takut untuk keluar pada malam hari.
Drap... Drap... Drap...
Suara derapan langkah kaki, terdengar beriringan dengan suara high heels yang saling bersahut-sahutan.
Klotak... Klotak... Klotak...
Suara langkah kaki terdengar beriringan.
Seorang wanita tengah berjalan pulang menuju sebuah gang kecil, diikuti oleh langkah kaki seseorang yang memakai hodie.
Wanita itu merasakan jika dia tengah diikuti oleh seseorang hingga membuatnya mempercepat langkah kakinya. Namun, orang yang dibelakangnya pun mempercepat langkah kaki mengikuti langkah kaki wanita di depannya.
Grep!
Tiba-tiba sebuah tangan meraih lengannya.
Aaaakkkhhh... Pekik wanita itu.
“Maaf, ini ....” Wanita itu terdiam ketika orang itu menyodorkan sebuah dompet. “Aku ingin mengembalikannya padamu, tapi sepertinya aku malah membuatmu terkejut,”
Dengan lengahnya wanita itu menerima kembali dompetnya dan memeriksa isi dalam dompet tersebut!
Matanya terbelalak, ketika melihat isi dompetnya kemudian berlari dengan terbirit-birit karena ketakutan.
Wanita itu melewati gang pintas menuju rumahnya. Dan...
“Lari dariku Nona ....” kata seorang pria sambil tersenyum menakutkan.
Wanita itu berteriak.
“SStttt ....”
“T-olong... j-angan bunuh aku. Jangan bunuh aku!” kata wanita itu memohon.
“Hhhmmm... Baiklah, aku berbaik hati,” kata pria itu membuat wanita itu tersenyum.
“Tapi, aku akan tetap membunuhmu,” kata pria itu lagi sambil tersenyum. “Kau punya permintaan? Atau kau memiliki dendam? Sebelum itu aku akan mengabulkan satu permohonanmu, sebutkan siapa yang ingin kau bunuh, aku akan membunuhnya setelah dirimu,” kata pria itu sambil tertawa.
Wanita itu bergetar karena ketakutan.
“Cepat!” teriak pria itu membuat wanita yang dihadapannya semakin ketakutan.
Sorot mata pria itu tampak tenang, datar, seakan tidak memiliki rasa simpati sama sekali. Seakan dia dilahirkan tanpa perasaan. Tatapan matanya begitu kosong, bagi yang melihatnya akan tertipu sekaligus dengan sorot mata tersebut. Wanita yang tengah ketakutan itu, menyebutkan siapa yang hendak di bunuhnya.
Jleb... Jleb... Jleb...
Ketika wanita itu mengatakan sebuah nama dan alamat, dia menusuk wanita itu seakan tengah membunuh seekor hewan peliharaan.
Currrsss... Cruuussss....
Suara darah terdengar.
Darah terciprat mengenai wajah dan pakaian pria itu. Senyuman terlukis di bibir gadis itu seakan dia menikmati apa yang dia lakukan. Kemudian mayat wanita itu diberikan tanda, seakan dia menandai pembunuhan yang dilakukannya.
Pria itu meninggalkan tubuh wanita yang dibunuhnya begitu saja.
"Aaaa... Bau darah segar... Rasanya begitu manis dan membuatku tak sabar melihat siapa target selanjutnya," katanya lagi sambil membersihkan darah yang berada di wajahnya di sebuah toilet umum.
Waktu menunjukan dini hari, suara serine terdengar membuat bulu kuduk siapa saja yang mendengarnya akan merinding. Pastinya! Suara serine tersebut membangunkan orang-orang yang penasaran!
Kurang dari 15menit sebelum suara serine terdengar, di kantor polisi terlihat beberapa detektif tengah sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Sebuah deringan telfon membuyarkan kesibukan mereka! Ya, karena mereka tahu, waktu telah menunjukan jam jatuhnya korban baru.
“Hei, kalian begitu lambat,” sebuah suara dari seberang telfon terdengar. “Hihih...” suara cekikikan terdengar. “Eeeemmm ... Rasanya itu segar ...”
Tut! Suara telfon terputus.
Seorang pria mengunakan hodie sedang berjalan sambil bersiul, matanya tertuju pada sebuah kerumunan. Pria itu berjalan kembali di tempat pembunuhannya, sambil melihat begitu banyak orang berkerumun melihat apa yang tengah terjadi. Dia tersenyum melihatnya, seakan karyanya tengah di lihat begitu banyak orang.
Mayat wanita tergeletak begitu mengenaskan dengan begitu banyak luka tusukan dan juga sayatan di tubuhnya. Sebuah Mp3 terputar memutar sebuah suara yang terjadi di TKP membuat para petugas dan detektif begitu kesal.
“Jangan bunuh aku. Jangan bunuh aku...”
“Dia lagi... Dia lagi...” kata seorang detektif sambil menendang tembok.
Pembunuhannya pun, berlanjut dengan tanda tangan pembunuhannya “Animus” begitulah pembunuhan tersebut di namakan dengan nama Pembunuhan berantai Animus.
Seminggupun berlalu, sejak kejadian pembunuhan itu. Para petugas yang menangani kasus pembunuhan Animus semakin frustasi belum menemukan titik terang tentang pelaku pembunuhan berantai ini. Mereka hanya menemukan tanda tangan pelaku di tubuh korban, bahkan tak ada jejak sidik jaripun.
Tak ada pembunuhan yang terjadi. Sebulan, dua bulan, bahkan waktu berlalu selama enam bulan.
Hingga, sebuah kasus mendadak terjadi lagi!
ANIMUS!
Begitulah, huruf yang tertulis dalam mayat seorang pria.
Pertanyaan pun begitu banyak yang terjadi di kalangan masyarakat, bahkan media yang mempertanyakan kasus ini! Kasus berbeda, tanda tangan pembunuh yang sama!
“Apakah ini adalah ulah dari pembunuh yang sama? Ataukah ini adalah peniru?” tanya seorang wartawan.
“Jika ini adalah pembunuh yang sama, mengapa dia tidak membunuh selama setengah tahun ini?”
“....”
“....”
“....”
Begitu banyak pertanyaan yang terlontar oleh para wartawan kepada petugas yang menangani kasus.
Ada apa? Mengapa?
Bagaimana? Siapa?
Hingga kepolisian pun mendapatkan pandangan miring, karena belum juga mendapatkan pelaku pembunuhan!
Semua pertanyaan belum terjawab. Hanya bisa terjawab, jika pelakunya tertangkap.
Jleb!
Satu korban laki-laki.
Jleb!
Satu korban perempuan
Dari kurun waktu sebulan kini dua kasus pembunuhan terjadi, dengan tanda tangan yang sama “Animus”
Seorang gadis tengah memainkan jemari tangannya yang lihai di atas sebuah keyboard laptop!
Jam dinding menunjukan pukul 10.59pm, waktu berlalu dengan sangat cepat.Suara cekikikan terdengar, diiringin erangan kesakitan seorang gadis. Suara cekikikan tersebut begitu suram, penuh dengan kesedihan.
Begitulah, suara yang terdengar dari rekaman Mp3 korban yang telah dibunuh.
Jleb! Jleb! Jleb!
Suara tusukan. Suara erangan. Suara tawa.
Lagi-lagi terdengar, melalui sebuah rekaman.
Drap! Drap! Drap!
“.......” kata pria itu dengan suara melemah hingga tidak terdengar sama sekali, ketika masuk di dalam kantor kepolisian.
Seorang laki-laki, pakaiannya tampak begitu lusuh dan kotor, umurnya di taksir sekitar 27th, jalannya begitu compang-camping. Wajahnya penuh dengan luka-luka, pakaiannya pun penuh dengan darah serta luka tusukan.
Para petugas langsung menodongkan senjata kepadanya.
Dari arah kejauhan, terlihat seorang pria memakai hodie, memasuki kantor polisi.
Pria yang pertama masuk ketika melihat wajah yang baru datang langsung terjatuh ke lantai dan begitu ketakutan.Todongan senjata kini terarah pria yang memakai hodie tersebut. Dia mendekat, semakin dekat. Seketika senyuman terukir di bibirnya.
JLEB!
Tusukan kini mendarat di organ tubuh pria yang tengah ketakutan.
JLEB! JLEB!
DOR! DOR! DOR!
Suara tusukan di tubuh, beriringan dengan suara tembakan, hingga menewaskan pria yang telah memakai hodie.
Tak... Tik... Tak... Tik.. Tak.. Tik...
.
Bersambung …
“Hei Psiko,” sebuah suara memanggil.Vinara melihat kearah kiri-kanannya, serta belakangnya.“Kau memanggilku?” tanya Vinara.“Emang siapa lagi yang ku panggil jika bukan kau,” kata gadis yang di memanggil Vinara.“Kau cari ribut denganku?” tanya Vinara sambil memasang wajah sinisnya. “Apa kau tidak ingat, jika aku bisa membuatmu masuk rumah sakit? Apa kau mau seperti dulu?” tanya Vinara. “Coba saja, jika kau ingin kembali ke rumah sakit dengan patah tulang lagi,” kata Vinara sambil berbisik di telinga gadis itu.Gadis itu hanya terdiam ketika Vinara mengucapkan hal yang membuatnya begitu merinding.Tidak ada yang tahu pasti, apa yang sebenarnya terjadi pada saat masuk kuliah yang membuat beberapa mahasiswa baru di keluarkan dari kampus.Sekilas memori Vinara tergambar.“Ayolah ...” kata seseorang sambil meraih lengan Vinara memasuki sebuah ruma
Angin sepoi-sepoi menerpa rambut Vinara. Suara gesekan dari batang bambu menghadirkan irama yang indah di tambah dengan kicauan burung-burung. Nuansa alam membuat Vinara terbaui. Matanya menatap jauh ke arah hutan buatan di perpustakaan itu.“Kumohon berhentilah ...” kata seorang wanita yang tengah berjongkok.Namun, kedua pria yang tengah bertengkar itu makin memuncak.Batss!Sebuah sayatan di lengan seorang pria yang entah darimana datang. Salah satu pria itu, membawa pisau, dan berniat untuk membunuh.Ada rasa lega, ada rasa ketakutan. Semua terlihat di raut wajah para pengunjung kafe.“Tidak apa-apa,” kata Pria itu.Darah mulai bercucuran di lantai.Vinara, hanya melihat semuanya dari kejauhan. Dia tidak berniat untuk melihat semuanya dari dekat.Beberapa polisi datang mengamankan ketiga orang tersebut. Sampai keadaan mulai tenang, barulah polisi-polisi tersebut pergi.Beberapa menit ya
Di luar hujan deras! Vinara masih menatap laptopnya dengan sejuta pertanyaan apa yang harus di tulisnya! Beberapa kali dia mengetik, beberapa kali itupun dia menghapus ketikannya!Dia tidak tahu, apa yang harus di tulisnya untuk mengawali naskah terbarunya! Rasanya hambar, ketika dia menulis naskah romantis!“Aku butuh banyak waktu untuk menulis naskah ini,” kata Vinara saat bertemu dengan Editor beberapa waktu lalu!“Oke. 3 bulan bagaimana?”“Enam bulan. Aku butuh 6 bulan,” kata Vinara.“Oke. Setuju,” kata Editornya.Suasana kampus begitu ramai seperti biasanya!“Vinara,” panggil Laura sambil membawa jajanan.“La.... Em. Jika genre romantis di satuin dengan Thiller atau crime. Bagusnya tokoh-tokohPemain berprofesi sebagai apa?”“Emang buat apa sih, nanya kayak gitu. Aneh deh!”“Orang nanya, jawab dong! Jangan balik bertanya
Ddrrr... Ddrr... Ddrr...Suara Ponsel bergetar di balik saku jaketnya.“Kau tidak lupa hari ini bukan?” sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya.Suasana kampus tampak begitu ramai, seorang anak gadis tengah di pandangi oleh beberapa anak laki-laki di kampus. Ya! Itu bukan kali pertama gadis itu mendapat tatapan dari para pria. Sepertinya dia tengah asik memainkan ponselnya, sesekali dia menyerup minuman yang telah dipesannya sedari tadi.“Aku harus mencari tambahan uang lagi untuk kebutuhan dua tahun di sana. Apa aku kerja paruh waktu saja sambil menulis naskah baru?” gumannya dalam hati.Sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya lagi. Membuatnya begitu terburu-buru pergi.Sebuah kafe bernuansa modern di padukan dengan desain klasik kuno masuk ke dalam sebuah kafe. Suasana tidak begitu ramai, namun terdapat beberapa pengunjung.“Oh, Vin. Sini ....” sebuah sapaan untuk gadis itu dari seorang wanita umurnya
Di luar hujan deras! Vinara masih menatap laptopnya dengan sejuta pertanyaan apa yang harus di tulisnya! Beberapa kali dia mengetik, beberapa kali itupun dia menghapus ketikannya!Dia tidak tahu, apa yang harus di tulisnya untuk mengawali naskah terbarunya! Rasanya hambar, ketika dia menulis naskah romantis!“Aku butuh banyak waktu untuk menulis naskah ini,” kata Vinara saat bertemu dengan Editor beberapa waktu lalu!“Oke. 3 bulan bagaimana?”“Enam bulan. Aku butuh 6 bulan,” kata Vinara.“Oke. Setuju,” kata Editornya.Suasana kampus begitu ramai seperti biasanya!“Vinara,” panggil Laura sambil membawa jajanan.“La.... Em. Jika genre romantis di satuin dengan Thiller atau crime. Bagusnya tokoh-tokohPemain berprofesi sebagai apa?”“Emang buat apa sih, nanya kayak gitu. Aneh deh!”“Orang nanya, jawab dong! Jangan balik bertanya
Angin sepoi-sepoi menerpa rambut Vinara. Suara gesekan dari batang bambu menghadirkan irama yang indah di tambah dengan kicauan burung-burung. Nuansa alam membuat Vinara terbaui. Matanya menatap jauh ke arah hutan buatan di perpustakaan itu.“Kumohon berhentilah ...” kata seorang wanita yang tengah berjongkok.Namun, kedua pria yang tengah bertengkar itu makin memuncak.Batss!Sebuah sayatan di lengan seorang pria yang entah darimana datang. Salah satu pria itu, membawa pisau, dan berniat untuk membunuh.Ada rasa lega, ada rasa ketakutan. Semua terlihat di raut wajah para pengunjung kafe.“Tidak apa-apa,” kata Pria itu.Darah mulai bercucuran di lantai.Vinara, hanya melihat semuanya dari kejauhan. Dia tidak berniat untuk melihat semuanya dari dekat.Beberapa polisi datang mengamankan ketiga orang tersebut. Sampai keadaan mulai tenang, barulah polisi-polisi tersebut pergi.Beberapa menit ya
“Hei Psiko,” sebuah suara memanggil.Vinara melihat kearah kiri-kanannya, serta belakangnya.“Kau memanggilku?” tanya Vinara.“Emang siapa lagi yang ku panggil jika bukan kau,” kata gadis yang di memanggil Vinara.“Kau cari ribut denganku?” tanya Vinara sambil memasang wajah sinisnya. “Apa kau tidak ingat, jika aku bisa membuatmu masuk rumah sakit? Apa kau mau seperti dulu?” tanya Vinara. “Coba saja, jika kau ingin kembali ke rumah sakit dengan patah tulang lagi,” kata Vinara sambil berbisik di telinga gadis itu.Gadis itu hanya terdiam ketika Vinara mengucapkan hal yang membuatnya begitu merinding.Tidak ada yang tahu pasti, apa yang sebenarnya terjadi pada saat masuk kuliah yang membuat beberapa mahasiswa baru di keluarkan dari kampus.Sekilas memori Vinara tergambar.“Ayolah ...” kata seseorang sambil meraih lengan Vinara memasuki sebuah ruma
Sebuah suara keyboard terdengar, begitu cepat.Dddrrr... Ddrrr... Ddrrrr...Suara getaran terdengar dari arah ponsel, tapi ia hanya menengok sekilas dan kembali melanjutkan aktifitasnya.“Ahhh... selesai juga,” kata gadis itu. “Syukurlah, akhirnya bab kali ini selesai juga, rasanya kurang greget. Tapi sudah jam segini. Sebaiknya aku revisinya besok,” katanya sambil merengangkan tubuhnya.“Hhhhmm... Hanya pesan dari Editor,” katanya memeriksa pesan yang masuk kemudian menyimpan kembali ponselnya di atas meja.Ia sangat kesal setelah pertemuan beberapa waktu lalu dengan Editornya. Hal itu membuatnya tidak mengangkat panggilan telpon itu.Ia focus dengan apa yang saat ini diketik olehnya. Tangannya bekerja di keyboard laptop. Otaknya tidak focus pada pekerjaan, hal itu membuatnya mengikuti hatinya, menulis apa yang dia pikirkan.Suasana malam tampak begitu mencekamkan. Hawa dingin serasa menusuk sampai
Ddrrr... Ddrr... Ddrr...Suara Ponsel bergetar di balik saku jaketnya.“Kau tidak lupa hari ini bukan?” sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya.Suasana kampus tampak begitu ramai, seorang anak gadis tengah di pandangi oleh beberapa anak laki-laki di kampus. Ya! Itu bukan kali pertama gadis itu mendapat tatapan dari para pria. Sepertinya dia tengah asik memainkan ponselnya, sesekali dia menyerup minuman yang telah dipesannya sedari tadi.“Aku harus mencari tambahan uang lagi untuk kebutuhan dua tahun di sana. Apa aku kerja paruh waktu saja sambil menulis naskah baru?” gumannya dalam hati.Sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya lagi. Membuatnya begitu terburu-buru pergi.Sebuah kafe bernuansa modern di padukan dengan desain klasik kuno masuk ke dalam sebuah kafe. Suasana tidak begitu ramai, namun terdapat beberapa pengunjung.“Oh, Vin. Sini ....” sebuah sapaan untuk gadis itu dari seorang wanita umurnya