49Sepanjang kuliah hari ini aku sulit berkosentrasi. Selain karena masih mengantuk, ucapan Papa kembali terngiang-ngiang di telinga. Aku tahu Papa sangat mengkhawatirkan anaknya yang manis ini, terutama karena beliau hafal dengan sifatku yang terkadang nekat. Sore seusai kuliah, aku memacu motor menuju kediaman Mas Fa. Bukan untuk berlatih seperti biasa, tetapi untuk menumpang tidur sebentar, sebelum nantinya kami akan berangkat ke kafe. Sesampainya di tempat tujuan, aku mengucapkan salam, kemudian langsung masuk dan merebahkan diri di kasur lipat. Namun, Mbak Yeni yang hari ini tidak bekerja, mengulurkan piring beraroma harum dan membuatku kembali bangkit. "Tadi loyo, disodorin kue langsung semangat," seloroh Mas Fa yang masih sibuk di depan laptop. "Martabak kan kesukaanku, jadi nggak boleh ditolak," kilahku di sela-sela mengunyah. "Kamu tuh, martabak kesukaan, donat favorit, gorengan kegemaran, cake kedemenan. Semuanya diborong." Aku mengulaskan senyuman lebar. Perkataan Mas
50Tepat pukul 05.30 WIB, aku dan teman-teman sudah tiba di depan gedung perusahaan Om Yoga. Pria paruh baya tersebut tengah mengobrol dengan orang-orang dewasa lainnya saat aku menghampiri dan menyalami beliau dengan takzim. Baru selanjutnya menyalami Mama Anita dan Pak Indra beserta orang-orang lainnya. Setelahnya aku berpindah mendekati Aleea yang tengah mengobrol bersama Nin dan Maia di dekat mobil sang papa, sementara beberapa perempuan muda lainnya turut berdiri berjejer di sekitar tempat itu. "Mau sarapan sekarang?" tanya Aleea, sesaat setelah aku berada di sampingnya. "Nanti aja, tadi udah diganjel biskuit," tolakku. "Ehm, kamu nanti pakai bus juga?" tanyaku."Iya, semua orang pakai bus biar baliknya ke sini lagi." "Satu bus sama aku?" "Kayaknya nggak." Aku mendengkus pelan, tetapi kemudian mengerutkan dahi ketika melihat Aleea cengengesan. "Kamu ngerjain aku?" "Nggaklah." "Serius?" "Hu um. Emangnya kamu mau duduk deketan sama Papa?" Aku meringis. Hal itulah yang pal
51Seusai makan siang, kami mengikuti acara yang termasuk dalam paket wisata. Kendatipun aku dan teman-teman band merupakan orang luar perusahaan, tetapi kami juga mendapatkan perlakuan yang sama seperti karyawan lainnya. Berbagai acara kami ikuti dengan semangat. Kapan lagi bisa menikmati acara jalan-jalan gratis? Hal inilah yang kukerjakan dengan antusias. Demikian pula dengan teman-teman. Selain rekan-rekan band, aku juga mengajak teman-teman baru untuk membentuk kelompok kecil. Gelak tawa mewarnai acara tersebut hingga matahari nyaris tenggelam yang menandakan waktu berwisata sudah usai. Kami berduyun-duyun menuju resor. Kemudian segera mandi, berganti pakaian dan menunaikan salat Magrib. Setelahnya kami menuju restoran untuk menikmati makan malam, sebelum akhirnya berpindah ke tempat pertunjukan yang dilakukan di luar ruangan. Angin laut berembus kuat. Deburan ombak sekali-sekali terdengar mengiringi kegiatanku dan teman-teman yang tengah berlatih selama beberapa menit, kemudi
52Keempat pria tersebut serentak cengengesan, demikian pula dengan yang lainnya. Tak berselang lama kami diminta untuk berangkat menuju dermaga dengan membawa barang masing-masing. Aku memanggul ransel dan membawa tas berat Aleea di tangan kanan serta tas travelnya Mbak Yeni di tangan kiri. Kelompok kami jalan beriringan menuju dermaga. Sempat berhenti sebentar agar ketua kelompok bisa mengecek anggotanya. Saat kami bergeser sedikit demi sedikit menunggu antrean menaiki kapal, Aleea tergelincir dan nyaris terjatuh. Aku spontan melepaskan tas di tangan kanan dan bergerak cepat menangkapnya hingga tidak terjungkal. "Hati-hati," lirihku. "Papannya licin," sahut Aleea sembari merapikan ikatan rambut. "Sini tasnya, Ken. Kamu tuntun aja Aleea," ujar Jerry sembari mengambil tas yang kuulurkan."Ayo," ajakku sambil memegangi bahu Aleea. "Kakiku sakit." Aleea menunjuk ke pergelangan kaki kanan. Aku berjongkok dan memegangi kakinya dengan hati-hati. "Keseleo kali, ya? Merah nih." ungkapk
53"Sepertinya kamu kurang serius untuk menjadi artis, Kenzo," ucap Om Yoga. "Waktu sudah berjalan tiga bulan, tapi kamu belum ikut kontes ataupun coba mengirimkan demo suara ke produser," sambungnya sambil menatapku yang spontan menelan ludah. "Ehm, iya, Om. Aku mau fokus ke kuliah dulu, dua bulan lagi ujian semester," jelasku, sengaja mengungkapkan kejujuran daripada disalahkan. "Berarti kurangi main." "Siap." "Pas ujian nanti jangan ketemu Lea dulu. Biar kalian sama-sama konsentrasi." Aku mengangguk mengiakan, pasrah pada takdir yang membawa jalan hidupku berliku seperti ini. Percuma saja memprotes, karena akhirnya tetap saja harus mengalah. Lebih baik menurut, mungkin dengan begitu Om Yoga bisa lebih lunak padaku. "Satu lagi, pelajari musik lawas yang top pada masanya. Penikmat kafe live music itu justru lebih royal yang tua-tua dibandingkan seumuran kamu. Bisa merebut simpati mereka jadi fansmu itu bakal lebih bagus." "Maksudnya rock, Om?" "Nggak harus, karena tone suaram
54Sesampainya di restoran yang belum pernah kudatangi sebelumnya, seorang pria tua menyambut kedatangan Om Yoga dengan pelukan hangat. Mereka saling menepuk dan berangkulan dengan wajah semringah, menandakan pertemuan menyenangkan dengan kawan lama. "Ken, kenalin, ini Mas Erwin, papanya Benigno," ungkap Om Yoga. "Malam, Om, perkenalkan, aku Kenzo," ucapku sembari menjabat pria tua berkemeja merah tersebut. "Halo, Kenzo. Nama yang cukup unik," sahutnya. "Boleh saya tahu nama panjangnya apa?" tanyanya seusai berjabatan tangan denganku. "Kenzo Darka." "Darka? Nah, ini beneran unik." Om Erwin menepuk bahu kananku sekali, kemudian berkata, "Kemaren waktu Yoga telepon mau ke sini dan memperkenalkanmu, saya langsung cari info ke Ben, dan dia kasih unjuk video saat kamu perform di resepsi itu," terangnya. Aku yang tidak tahu harus menjawab apa akhirnya hanya mengangguk pura-pura paham padahal sebenarnya bingung. Ketika kedua teman masa lalu itu mengajak kami berpindah ke meja paling de
55Suasana kelas Sabtu pagi ini ricuh, karena Bu Ardila muncul dengan rambut dipotong pendek dan menggunakan lensa kontak biru. Setelan blazer dan celana panjang hitam garis-garis membalut tubuh langsingnya yang tidak pendek tetapi juga tidak terlalu tinggi. Riasan wajah alami, tetapi lipstik merah kian menyempurnakan penampilan perempuan yang kuketahui berusia dua puluh tujuh tahun tersebut. Statusnya yang masih sendiri membuat Bu Ardila menjadi bahan perbincangan di kampus. Bahkan ada yang menjodohkannya dengan Pak Ricky, dosen berkacamata yang gantengnya selevel denganku. Namun, sepertinya Bu Ardila mengabaikan berbagai omongan dan tetap santai di mana pun dia berada. Bu Ardila juga termasuk dosen yang ramah. Bagiku, berbincang dengan beliau seolah-olah tengah mengobrol dengan kakak yang tidak pernah kumiliki. Cara Bu Ardila memberikan nasihat itu tidak menghakimi ataupun mendikte. Beliau akan bicara dengan santai dan yang diajak berbincang tidak akan menyadari tengah dikhotbahi.
56Sore harinya, aku tiba di kafe tepat pukul 5. Bang Ali dan Mas Steven telah lebih dulu tiba serta tengah mengecek perpaduan alat musik agar seusai magrib nanti bisa langsung siap dimainkan. "Ken, ada yang nanyain kamu," tutur Linda yang baru saja memasuki ruangan. "Siapa?" tanyaku. "Cowok, rambutnya gondrong." "Mas Ben?" "Nggak tahu, orangnya ada di tempat parkir, di mobil hitam besar." Aku meletakkan gitar ke kursi dan bergegas keluar. Seorang pria melambaikan tangan dari dalam mobil yang sesuai dengan penjelasan Linda. Aku segera menghampiri dan membuka pintu mobil serta masuk. "Masuk, yuk, Mas," ajakku sambil menyalami Mas Benigno. "Saya ada janji sama orang di kafe yang ujung. Kamu, kapan perform lagi di sini?" tanyanya. "Besok sama Rabu." "Ya, udah, besok saya mampir." Mas Benigno mengambil ponsel, kemudian berkata, "Saya kirim file, kamu pelajari lagunya. Jumat jam lima sore saya tunggu di club." Beberapa detik kemudian masuklah pesan dari pria berkemeja hitam ters