Aku memang seorang amnesia. Namun bolehkan aku menggumamkan syukur akan hal tersebut? Aku tahu, tidak semestinya aku membenarkan pemikiran semacam itu. Tapi setidaknya, di dunia baruku ini aku bisa mengetahui satu hal, yaitu; Harry adalah ciuman pertamaku. Dan ku pastikan agar otak payahku untuk selalu mengingat hal tersebut.
"Britt? Apa kau sudah siap?" Seketika aku panik mendengar ketukan pintu kamar. Itu suara Harry. Dadaku bergemuruh lantaran yang kembali terbayang ialah bagaimana bibir lembut miliknya terbentuk sempurna. Sudah dua minggu kami resmi berpacaran, dan aku masih malu-malu. "Kau tidak melupakan dinner kita, kan?"
Oh Tuhan. Aku benar-benar lupa ajakan makan malamnya. "A-aku tadi tertidur. Tidak masalah menunggu sekitar sepuluh menit?"
"Tidak usah terburu-buru, sayang."
Secepat kilat aku meraih dress hitam tanpa lengan, dengan pita kecil menjutai di bagian pinggang. Kado pemberian Harry yang amat manis. Keluar dari kamar, aku otomatis meremas clutchku mendapati Harry diam mematung. Ia memerhatikanku seksama dengan jemarinya yang terpaku disekitaran kerah jasnya. Berkali-kali aku sudah melihatnya mengenakan berbagai setelan jas, tetapi entah mengapa malam ini ia nampak lebih tampan. Terlebih bibirnya yang..--
Astaga, lama-lama aku bisa gila! Mengapa bayangan ciuman kami masih terus membekas?
"A-apa sebaiknya aku memakai jeans dan kaus saja?" Tanyaku memecah keheningan. "I know this is too much." Gerutuku gelisah. Belum sempat aku berbalik hendak memasuki kamar, Harry terlebih dahulu menahan pergelangan tanganku.
"Tidak. Kau...sempurna." Ucapannya tegas namun hangat di saat bersamaan. Nafasku tertahan selama beberapa detik karena pujiannya. "Akan lama lagi jika kau harus berganti pakaian."
Harry lantas berjalan, meninggalkanku yang masih mematung. Pun aku memutuskan menyusulnya, kemudian...
Buk!
Kepalaku berbenturan dengan punggungnya ketika ia berhenti secara mendadak. Aku meringis, gendang telingaku juga turut berdengung lantaran aku tak pernah tahu apabila tubuhnya memiliki bentukan otot.
"Mengapa kau tiba-tiba berhenti?" Keluhku. Harry mendadak menarik jemariku, mengganti dengan miliknya. Sehingga kini ialah yang mengusap pelipisku.
"Apa masih sakit?" Kini ia juga turut meniup bagian yang ku rasa nyeri. Aku menggigit bibirku, menjauhkan jarak di antara kami. Situasi bisa semakin kacau apabila aku masih mengaduh. Harry tiba-tiba terkekeh selagi menunjuk dasinya yang terlilit menyedihkan. "Tadi aku baru teringat sesuatu. Bisa kau tolong memakaikan dasiku? Anggap saja sebagai bayaran karena aku akan mentraktirmu makan malam."
"Kau sudah menabrakku, seharusnya kita impas." Ujarku tak mau kalah. Namun aku tidak bersungguh-sungguh, karena aku meraih dasi berwarna hitamnya dan aku betulkan. "Begini, tarik yang lebih panjang, kemudian lilitkan lagi. Harry? Mengapa kau memejamkan mata?"
"Sedang menikmati."
"Menikmati apa?"
"Kau. Aku suka situasi ini." Dia membuka mata lalu mengecup bibirku singkat. "Setiap hari kau harus memakaikanku dasi. Jika dilanggar, kau akan aku hukum."
---
Kami memasuki sebuah restoran fancy bergaya Eropa klasik. Aku mengadahkan kepalaku, terkesima oleh arisetektur bangunan ini. Lampu kristal menggantung indah, ditambah lukisan dibagain atap membuatku kian terkagum-kagum. Menarik ujung jas Harry, aku mengikutinya seperti anak kecil yang takut tersesat.
"Reservasi atas nama Harry Edward."
Selepas Harry berujar demikian, ia langsung membungkus telapak tanganku dalam genggamannya. Ia menggeleng mantap saat aku mengusulkan agar ia membawaku ke McD saja. Sebab kebanyakan dari pengunjung yang datang kemari rata-rata berusia 30-50an.
"Harga makanan di sini mahal sekali." Aku menutup buku menu, berbisik sepelan mungkin. Harry menarik kursinya, dan duduk mendekatiku. Lantas ia berbisik, meniru tingkahku habis-habisan.
"Itulah mengapa aku bekerja keras sebagai pengacara, agar hasilnya bisa kita nikmati bersama."
Kita? Ya, kita.
Yang terjadi selanjutnya, Harry membaca buku menu dengan serius. Dahinya mengerut, bibirnya juga turut dimajukan. Ketara sekali jika ia baru mendatangi restoran ini untuk pertama kalinya.
Tunggu, jadi ia tidak pernah membawa Ashley kemari?
"Brittany?" Lamunanku seketika buyar. Harry memiringkan kepalanya, menunggu reaksiku. "Kau mau memesan apa?"
"Samakan saja denganmu."
"Baiklah. Dua tenderloin steak tingkat well done, dan satu botol wine."
Si waiter menyebutkan ulang pesanan kami, sebelum Harry keluar guna mengangkat ponselnya. Aku menggumamkan terima kasih begitu minuman di gelasku dituang air mineral oleh waiter yang berbeda.
"Nyonya Anna? Apa anda sudah berganti pasangan?"
Aku melirik wanita blonde itu sekilas, tersenyum kaku. "Maaf, nama saya Brittany."
Butuh beberapa detik baginya untuk mencerna kalimat tegasku. Ia pun langsung terburu-buru membungkuk dengan raut wajah menyesal. "Saya sepertinya sudah salah orang. Maafkan kelancangan saya. Silahkan nikmati waktu anda lagi. Permisi."
"Test, test. Goodnight everyone."
Rasa penasaran yang sempat menyelimutiku, teralihkan oleh suara familiar dari arah mini stage. Bola mataku nyaris saja meloncat. Bagaimana tidak, Harry tahu-tahu bediri di sana dengan memegangi standing mic. Senyum merekahnya tersungging selagi matanya terkunci menatapku.
"Well Hi, I'm Harry Edward, and... I don't even know what I'm doing here."
Para pengunjung tertawa, berlainan denganku. Aku menutupi wajahku, merasa konyol mendapati Harry dalam keadaan demikian. Maksudku, aku terbiasa melihat mimik seriusnya di meja pengadilan dengan berbagai berkas perkara yang mengelilinginya. Tapi sekarang ia justru nekat mengambil sebuah gitar, kemudian memetik senar itu. Bagaimana bisa ia terampil dalam berbagai hal?
"Apa sudah terlambat apabila aku ingin kembali duduk di sampingnya dan menyantap steak kami dengan tenang?" Pengunjung kembali terpingkal-pingkal. Harry pun menunjukku diikuti serberkas sorot lampu. "Don't hide your beautiful smile. Smile for me."
Menjadi pusat perhatian dari banyak pasang mata membuatku canggung. Akhirnya aku menunjukkan senyum terbaikku, dan Harry membalasnya dengan sumringah. Alunan instrumen mulai mengiringi suara indahnya. Lirik lagu dari yang Harry nyanyikan berhasil menghipnotis kami semua.
I found a woman, stronger than anyone I know
She shares my dreams, I hope that someday I'll share her homeI found a love, to carry more than just my secretsTo carry love, to carry children of our ownBaby, I'm dancing in the dark, with you between my arms
Barefoot on the grass, listening to our favorite songWhen I saw you in that dress, looking so beautifulI don't deserve this, darling, you look perfect tonightI have faith in what I see
Now I know I have met an angel in personAnd she looks perfect, I don't deserve thisYou look perfect tonightRiuh tepuk tangan menutup penampilan Harry. Air mataku mengalir entah karena alasan apa, kemudian ku seka dengan tergesa-gesa. Harry luar biasa mengagumkan.
"That song is for the girl who stole my heart, since the first time I laid my eyes on her. She's beautiful and sweet. She's the best thing that ever happened to me. I love you, Brittany. I really do."
Harry turun dari stage, menjadikanku salah tingkah dibuatnya. Tegap langkahnya datang mendekat. Senyum tak sedetikpun lepas dari wajah tampannya. Aku refleks menutup bibirku mengetahui ia tiba-tiba berlutut di hadapanku. Yang membuatku lebih terperangah ialah ia turut memberikanku sebuah cincin.
"Brittany, will you marry me?"
Nafasku tertahan, aliran darahku membeku selama sepersekian detik. Teringat bagaimana buruknya hari pertamaku saat mengenalnya. Berbagai momen pun terjalin setelahnya, hingga hari ini datang dengan begitu manisnya. Tepat ketika aku hendak memberikan jawaban, mendadk bayang hitam hadir di pikiranku. Ribuan jarum menari seperti mempermainkan ingatanku, sangat menyakitkan.
Sosok pria asing tanpa kuminta hadir menggantikan posisi Harry. Pria asing itu melamarku, persis yang dilakukan oleh Harry saat ini. Garis wajahnya menyiratkan kesedihan. Kesedihan yang mendalam. Iris coklatnya terpancar sendu seakan-seakan pris tersebut takut kehilanganku?
"Anna, will you marry me?"
--
NOTE:Ayo tebak. Kira-kira cowok itu siapa??
Waktu sesaat terhenti. Riuh suara instrumen musik dan godaan dari para pengunjung hilang. Suasana disekitarku senyap, seiring pikiranku yang berhasil mengenyahkan bayang pria misterius itu.Harry yang masih dalam posisi berlutut, kembali menanyakan hal yang sama mengenai kesediaanku menjadi satu-satunya wanita di hidupnya. Gugup terlihat jelas dari gesture wajah dan tubuhnya. Ia sesekali melirikku sebelum menjatuhkan pandangannya ke lantai. Dan hal itu terus berulang beberapa kali. Dengan perasaan yang kacau, aku memutuskan menutup kotak berisikan cincin berhiaskan permata tersebut."M-maaf, Harry. Aku tidak bisa."Air mataku pun jatuh. Persis perempuan bodoh yang hanya mementingkan diri sendiri, aku berlari meninggalkan Harry. Meninggalkannya yang diam terpaku di kerumunan banya
Aku membersihkan luka Harry dengan hati-hati. Sementara pria itu hanya diam membisu semenjak perseteruan dirinya dengan Chris berakhir beberapa waktu lalu. Walau aku tidak tahu mana kenyataan yang benar, maksudku antara pembelaan Harry maupun Chris yang jauh berkebalikan, bagaimanapun juga hatiku condong pada Harry. Aku memercayai dia melebihi orang-orang di sekitarku. Aku yakin dia selalu berkata jujur."Ini sudah malam. Beristirahat--"Tiba-tiba Harry meraih pergelangan tanganku usai aku selesai mengobatinya dan hendak beranjak dari kamarnya. Hijau Harry menatapku datar, tak ada emosi apapun yang mampu ku baca. "Apa... kau akan pergi? Kau tidak memercayaiku?"Pun aku tersenyum tipis sambil menyentuh wajahnya. "Kau kekasihku, tentu aku percaya. Sekarang tidurlah."
Sudah nyaris 1 jam aku bersembunyi di dalam kamar. Apa yang barusan terjadi membuatku terkejut. Seorang anak menyebutku 'mom' dengan senyum yang merekah lebar. Itu semakin memperkuat ucapan Chris yang ku kira sebatas kebohongan belaka. Tentang aku yang merupakan istrinya, juga tentang kami yang sudah memiliki seorang anak lelaki bernama Alex --ya dia adalah anak itu.Pintu kamar pun diketuk. Lantas cepat-cepat aku menghapus air mataku. "Sebentar, Harry. Aku akan kelu... ar." Suaraku menipis begitu tersadar sosok yang masuk bukanlah Harry, melainkan Chris. Mengapa Harry bisa membiarkan dia kemari? "A-apa yang kau lakukan? Pergi!""Berikan aku kesempatan bicara." Chris berjalan mendekat, namun aku langsung melemparinya dengan berbagai barang disekitarku. Aku enggan mendengar satu kata pun dari mulutnya. Aku belum siap, atau lebih tepatnya
Aku mengeratkan selimut ketika mendengar suara mesin mobil dari halaman rumah. Saat aku yakin itu Harry, aku pun memejamkan mata dengan posisi tidur miring. Ini sudah pukul 3 pagi, dan aku tidak percaya dia baru kembali setelah kami sempat beradu mulut. Kekesalanku bertambah manakala dia tidak mengangkat telponku maupun membalas pesanku. Dia tahu betul cara membuatku gelisah setengah mati."Britt?" Harry memanggil bersamaan dengan sentuhannya di pundakku. "Aku tahu kau belum tidur. Maafkan aku sudah meninggalkanmu seperti tadi."Aku tak bergeming barang satu inchi pun. Bisa ku rasakan sisi ranjang terisi begitu Harry memeluk tubuhku dari belakang. Tangan kanan itu melingkar di pinggangku, sementara wajahnya dia tenggelamkan pada rambutku sebelum merambah pada bagian pundak. Kemudian aku tersadar helaan nafasnya berbau alkohol, terkesan
Alex baru saja dijemput oleh bus sekolah. Dia berusia 5 tahun dan duduk di kelas taman kanak-kanak. Sebelumnya Alex terus berbicara agar aku tidak menghilang lagi. Bahkan dia tetap menatapku sambil melambaikan tangan dari bagian belakang bus. Aku terhibur akan kelakuan menggemaskannya, walau di satu sisi kejadian yang terjadi sejauh ini masih terasa seperti mimpi. Dan hati kecilku dengan sangat egoisnya sedikit berharap dapat mengakhiri mimpi panjang ini, untuk kembali pada Harry. Oh, aku pasti gila! Apa yang baru saja aku pikirkan?Beralih pada Chris, dia pagi-pagi sekali sudah ke bandara mengantarkan Celine dan Gerald (kedua orangtuanya, atau haruskah ku sebut ibu-ayah mertuaku?) Mereka sungguh hangat sekaligus mengerti kondisiku. Sayangnya setelah satu minggu berkunjung, mereka harus kembali ke Manthattan. Di satu minggu ini pun aku mulai tahu banyak hal. Namun dari semuanya, yang pali
"Apa saja."Aku berucap tak berselera. Harry melirik karena sikapku mungkin membuatnya kesal. Dia menyebutkan dua full english breakfast dan orange juice sebagai menu sarapan paksanya bagiku."Aku ingin putus." Lanjutku, tanpa basa-basi."Makan dulu agar kau punya energi lebih untuk memutuskanku."Aku mengerucutkan bibir. Apa-apaan ini? Harry pun mengeluarkan ponselnya, memainkannya. Dia terus begitu, asik dengan gadgetnya, seolah aku tak ada di hadapannya. Lalu untuk apa dia repot-repot meyeretku kemari? Dan juga tau darimana dia rumahku?Setelah pesananku datang, Harry menaruh ponselnya di meja. Matanya kali ini tertuju padaku. Atas tatapan tajam itu, akhirnya aku berinisiatif mera
Setelah makan bersama Harry, aku tidak benar-benar pulang ke rumah. Aku sengaja mendatangi sekolah Alex sebagai pengalih rasa sedihku. Ku ambil cermin dari dalam tas, memastikan aku tak terlihat sembab usai menangis. Pun aku segera turun dari taksi.Ini masih pukul 10 pagi, Alex dan teman-temannya masih berada di dalam kelas. Ku perhatikan lamat-lamat situasi sekitar, berharap ada yang bisa ku ingat. Dari yang Chris bilang, aku kecelakaan dalam perjalanan menjemput Alex pulang sekolah. Pasti aku sering melakukan rutinitas ini. Namun kenapa aku tetap sulit mendapatkan kenangan itu?"Anna?" Sapa seorang wanita. Dia berusia sekitar 30 tahun, dan tersenyum hangat. Apa Alex berteman dengan anak dari ibu ini? "Kau kemana saja? Sudah lama aku tidak melihatmu.""Ah, hallo? Kau mengenalku?" Bal
"Sudah berapa kali aku katakan, jangan mengangkat ponselku sembarangan!"Chris yang baru keluar dari kamar mandi, merebut ponselnya. Helena hanya memajukan bibirnya kesal. Dia memilih bersembunyi dibalik selimut karena tubuh telanjangnya begitu kedinginan. Baru saja mereka bermesraan guna melepaskan penat, kini Chris sudah kembali emosi."Kenapa kau memarahi begitu? Lagipula tadi hanya salah sambung."Di ceklah sebentar kontak yang masuk, benar nomor asing. Setelahnya, Chris melepaskan handuk sebatas pinggang guna berpakaian. Ini sudah hampir makan malam. Chris tidak mau istrinya curiga, sekalipun dirinya ragu kalau Anna mengkhawatirkannya. Baru selesai memakai celana kerja dan akan meraih kemejanya, tangan Helena terlebih dahulu melingkar di pinggang Chris. Secara tidak langsung Helena i
Harry menyelimuti Brittany yang tertidur lelap di samping Alex. Perempuan itu menolak berbaring di sofa, jadilah dia duduk di kursi dan menenggelamakan wajah pada bantalan lengan. Katanya biar tahu kalau Alex tiba-tiba siuman."Kau yakin?" Bisik Harry selagi menutup pintu kamar inap Alex. Ada seseorang yang menghubungi Alex, yaitu Lucas, teman semasa kuliah yang kini bekerja sebagai detektif di kepolisian. "Kenapa bisa sampai tidak ada cctv? Bukankah setiap tempat seharusnya sudah terpasang?""Tempat yang kau sebutkan hanya ruko kosong, Harry. Cctv jalan pun sudah lama tidak berfungsi." Balas Lucas di sebrang sana."Apa yang kau dan atasanmu lakukan dengan uang pajak?!" Harry berteriak frustasi."Besok pagi aku akan mencari tahu lagi. Ku
"Sistem kekebalan dan pencernaan Alex belum sempurna. Sehingga kacang memang berbahaya bagi tubuhnya." Jelas seorang dokter IGD pada Brittany dan Harry. Brittany terus menggenggam tangan Alex yang terbebas dari tali infus, sementara Harry diam mendengar penuturan barusan. "Beruntung Alex cepat dibawa kemari, kalau tidak, bisa terjadi syok anafilaksis yang dapat membahayakan nyawanya."Hati Brittany betulan sakit. Ibu macam apa sebenarnya dia ini? Kenapa hal sekrusial ini bisa dia lupakan juga?"Alex akan kami pindahkan ke kamar rawat inap. Dia perlu perawatan setidaknya selama satu hari.""Baik, dokter. Tolong lakukan yang terbaik." Jawab Harry.Dua orang perawat mendorong ranjang Alex. Mereka melewati lorong rumah sakit, lalu berbelo
"Sudah berapa kali aku katakan, jangan mengangkat ponselku sembarangan!"Chris yang baru keluar dari kamar mandi, merebut ponselnya. Helena hanya memajukan bibirnya kesal. Dia memilih bersembunyi dibalik selimut karena tubuh telanjangnya begitu kedinginan. Baru saja mereka bermesraan guna melepaskan penat, kini Chris sudah kembali emosi."Kenapa kau memarahi begitu? Lagipula tadi hanya salah sambung."Di ceklah sebentar kontak yang masuk, benar nomor asing. Setelahnya, Chris melepaskan handuk sebatas pinggang guna berpakaian. Ini sudah hampir makan malam. Chris tidak mau istrinya curiga, sekalipun dirinya ragu kalau Anna mengkhawatirkannya. Baru selesai memakai celana kerja dan akan meraih kemejanya, tangan Helena terlebih dahulu melingkar di pinggang Chris. Secara tidak langsung Helena i
Setelah makan bersama Harry, aku tidak benar-benar pulang ke rumah. Aku sengaja mendatangi sekolah Alex sebagai pengalih rasa sedihku. Ku ambil cermin dari dalam tas, memastikan aku tak terlihat sembab usai menangis. Pun aku segera turun dari taksi.Ini masih pukul 10 pagi, Alex dan teman-temannya masih berada di dalam kelas. Ku perhatikan lamat-lamat situasi sekitar, berharap ada yang bisa ku ingat. Dari yang Chris bilang, aku kecelakaan dalam perjalanan menjemput Alex pulang sekolah. Pasti aku sering melakukan rutinitas ini. Namun kenapa aku tetap sulit mendapatkan kenangan itu?"Anna?" Sapa seorang wanita. Dia berusia sekitar 30 tahun, dan tersenyum hangat. Apa Alex berteman dengan anak dari ibu ini? "Kau kemana saja? Sudah lama aku tidak melihatmu.""Ah, hallo? Kau mengenalku?" Bal
"Apa saja."Aku berucap tak berselera. Harry melirik karena sikapku mungkin membuatnya kesal. Dia menyebutkan dua full english breakfast dan orange juice sebagai menu sarapan paksanya bagiku."Aku ingin putus." Lanjutku, tanpa basa-basi."Makan dulu agar kau punya energi lebih untuk memutuskanku."Aku mengerucutkan bibir. Apa-apaan ini? Harry pun mengeluarkan ponselnya, memainkannya. Dia terus begitu, asik dengan gadgetnya, seolah aku tak ada di hadapannya. Lalu untuk apa dia repot-repot meyeretku kemari? Dan juga tau darimana dia rumahku?Setelah pesananku datang, Harry menaruh ponselnya di meja. Matanya kali ini tertuju padaku. Atas tatapan tajam itu, akhirnya aku berinisiatif mera
Alex baru saja dijemput oleh bus sekolah. Dia berusia 5 tahun dan duduk di kelas taman kanak-kanak. Sebelumnya Alex terus berbicara agar aku tidak menghilang lagi. Bahkan dia tetap menatapku sambil melambaikan tangan dari bagian belakang bus. Aku terhibur akan kelakuan menggemaskannya, walau di satu sisi kejadian yang terjadi sejauh ini masih terasa seperti mimpi. Dan hati kecilku dengan sangat egoisnya sedikit berharap dapat mengakhiri mimpi panjang ini, untuk kembali pada Harry. Oh, aku pasti gila! Apa yang baru saja aku pikirkan?Beralih pada Chris, dia pagi-pagi sekali sudah ke bandara mengantarkan Celine dan Gerald (kedua orangtuanya, atau haruskah ku sebut ibu-ayah mertuaku?) Mereka sungguh hangat sekaligus mengerti kondisiku. Sayangnya setelah satu minggu berkunjung, mereka harus kembali ke Manthattan. Di satu minggu ini pun aku mulai tahu banyak hal. Namun dari semuanya, yang pali
Aku mengeratkan selimut ketika mendengar suara mesin mobil dari halaman rumah. Saat aku yakin itu Harry, aku pun memejamkan mata dengan posisi tidur miring. Ini sudah pukul 3 pagi, dan aku tidak percaya dia baru kembali setelah kami sempat beradu mulut. Kekesalanku bertambah manakala dia tidak mengangkat telponku maupun membalas pesanku. Dia tahu betul cara membuatku gelisah setengah mati."Britt?" Harry memanggil bersamaan dengan sentuhannya di pundakku. "Aku tahu kau belum tidur. Maafkan aku sudah meninggalkanmu seperti tadi."Aku tak bergeming barang satu inchi pun. Bisa ku rasakan sisi ranjang terisi begitu Harry memeluk tubuhku dari belakang. Tangan kanan itu melingkar di pinggangku, sementara wajahnya dia tenggelamkan pada rambutku sebelum merambah pada bagian pundak. Kemudian aku tersadar helaan nafasnya berbau alkohol, terkesan
Sudah nyaris 1 jam aku bersembunyi di dalam kamar. Apa yang barusan terjadi membuatku terkejut. Seorang anak menyebutku 'mom' dengan senyum yang merekah lebar. Itu semakin memperkuat ucapan Chris yang ku kira sebatas kebohongan belaka. Tentang aku yang merupakan istrinya, juga tentang kami yang sudah memiliki seorang anak lelaki bernama Alex --ya dia adalah anak itu.Pintu kamar pun diketuk. Lantas cepat-cepat aku menghapus air mataku. "Sebentar, Harry. Aku akan kelu... ar." Suaraku menipis begitu tersadar sosok yang masuk bukanlah Harry, melainkan Chris. Mengapa Harry bisa membiarkan dia kemari? "A-apa yang kau lakukan? Pergi!""Berikan aku kesempatan bicara." Chris berjalan mendekat, namun aku langsung melemparinya dengan berbagai barang disekitarku. Aku enggan mendengar satu kata pun dari mulutnya. Aku belum siap, atau lebih tepatnya
Aku membersihkan luka Harry dengan hati-hati. Sementara pria itu hanya diam membisu semenjak perseteruan dirinya dengan Chris berakhir beberapa waktu lalu. Walau aku tidak tahu mana kenyataan yang benar, maksudku antara pembelaan Harry maupun Chris yang jauh berkebalikan, bagaimanapun juga hatiku condong pada Harry. Aku memercayai dia melebihi orang-orang di sekitarku. Aku yakin dia selalu berkata jujur."Ini sudah malam. Beristirahat--"Tiba-tiba Harry meraih pergelangan tanganku usai aku selesai mengobatinya dan hendak beranjak dari kamarnya. Hijau Harry menatapku datar, tak ada emosi apapun yang mampu ku baca. "Apa... kau akan pergi? Kau tidak memercayaiku?"Pun aku tersenyum tipis sambil menyentuh wajahnya. "Kau kekasihku, tentu aku percaya. Sekarang tidurlah."