Alex baru saja dijemput oleh bus sekolah. Dia berusia 5 tahun dan duduk di kelas taman kanak-kanak. Sebelumnya Alex terus berbicara agar aku tidak menghilang lagi. Bahkan dia tetap menatapku sambil melambaikan tangan dari bagian belakang bus. Aku terhibur akan kelakuan menggemaskannya, walau di satu sisi kejadian yang terjadi sejauh ini masih terasa seperti mimpi. Dan hati kecilku dengan sangat egoisnya sedikit berharap dapat mengakhiri mimpi panjang ini, untuk kembali pada Harry. Oh, aku pasti gila! Apa yang baru saja aku pikirkan?
Beralih pada Chris, dia pagi-pagi sekali sudah ke bandara mengantarkan Celine dan Gerald (kedua orangtuanya, atau haruskah ku sebut ibu-ayah mertuaku?) Mereka sungguh hangat sekaligus mengerti kondisiku. Sayangnya setelah satu minggu berkunjung, mereka harus kembali ke Manthattan. Di satu minggu ini pun aku mulai tahu banyak hal. Namun dari semuanya, yang pali
"Apa saja."Aku berucap tak berselera. Harry melirik karena sikapku mungkin membuatnya kesal. Dia menyebutkan dua full english breakfast dan orange juice sebagai menu sarapan paksanya bagiku."Aku ingin putus." Lanjutku, tanpa basa-basi."Makan dulu agar kau punya energi lebih untuk memutuskanku."Aku mengerucutkan bibir. Apa-apaan ini? Harry pun mengeluarkan ponselnya, memainkannya. Dia terus begitu, asik dengan gadgetnya, seolah aku tak ada di hadapannya. Lalu untuk apa dia repot-repot meyeretku kemari? Dan juga tau darimana dia rumahku?Setelah pesananku datang, Harry menaruh ponselnya di meja. Matanya kali ini tertuju padaku. Atas tatapan tajam itu, akhirnya aku berinisiatif mera
Setelah makan bersama Harry, aku tidak benar-benar pulang ke rumah. Aku sengaja mendatangi sekolah Alex sebagai pengalih rasa sedihku. Ku ambil cermin dari dalam tas, memastikan aku tak terlihat sembab usai menangis. Pun aku segera turun dari taksi.Ini masih pukul 10 pagi, Alex dan teman-temannya masih berada di dalam kelas. Ku perhatikan lamat-lamat situasi sekitar, berharap ada yang bisa ku ingat. Dari yang Chris bilang, aku kecelakaan dalam perjalanan menjemput Alex pulang sekolah. Pasti aku sering melakukan rutinitas ini. Namun kenapa aku tetap sulit mendapatkan kenangan itu?"Anna?" Sapa seorang wanita. Dia berusia sekitar 30 tahun, dan tersenyum hangat. Apa Alex berteman dengan anak dari ibu ini? "Kau kemana saja? Sudah lama aku tidak melihatmu.""Ah, hallo? Kau mengenalku?" Bal
"Sudah berapa kali aku katakan, jangan mengangkat ponselku sembarangan!"Chris yang baru keluar dari kamar mandi, merebut ponselnya. Helena hanya memajukan bibirnya kesal. Dia memilih bersembunyi dibalik selimut karena tubuh telanjangnya begitu kedinginan. Baru saja mereka bermesraan guna melepaskan penat, kini Chris sudah kembali emosi."Kenapa kau memarahi begitu? Lagipula tadi hanya salah sambung."Di ceklah sebentar kontak yang masuk, benar nomor asing. Setelahnya, Chris melepaskan handuk sebatas pinggang guna berpakaian. Ini sudah hampir makan malam. Chris tidak mau istrinya curiga, sekalipun dirinya ragu kalau Anna mengkhawatirkannya. Baru selesai memakai celana kerja dan akan meraih kemejanya, tangan Helena terlebih dahulu melingkar di pinggang Chris. Secara tidak langsung Helena i
"Sistem kekebalan dan pencernaan Alex belum sempurna. Sehingga kacang memang berbahaya bagi tubuhnya." Jelas seorang dokter IGD pada Brittany dan Harry. Brittany terus menggenggam tangan Alex yang terbebas dari tali infus, sementara Harry diam mendengar penuturan barusan. "Beruntung Alex cepat dibawa kemari, kalau tidak, bisa terjadi syok anafilaksis yang dapat membahayakan nyawanya."Hati Brittany betulan sakit. Ibu macam apa sebenarnya dia ini? Kenapa hal sekrusial ini bisa dia lupakan juga?"Alex akan kami pindahkan ke kamar rawat inap. Dia perlu perawatan setidaknya selama satu hari.""Baik, dokter. Tolong lakukan yang terbaik." Jawab Harry.Dua orang perawat mendorong ranjang Alex. Mereka melewati lorong rumah sakit, lalu berbelo
Harry menyelimuti Brittany yang tertidur lelap di samping Alex. Perempuan itu menolak berbaring di sofa, jadilah dia duduk di kursi dan menenggelamakan wajah pada bantalan lengan. Katanya biar tahu kalau Alex tiba-tiba siuman."Kau yakin?" Bisik Harry selagi menutup pintu kamar inap Alex. Ada seseorang yang menghubungi Alex, yaitu Lucas, teman semasa kuliah yang kini bekerja sebagai detektif di kepolisian. "Kenapa bisa sampai tidak ada cctv? Bukankah setiap tempat seharusnya sudah terpasang?""Tempat yang kau sebutkan hanya ruko kosong, Harry. Cctv jalan pun sudah lama tidak berfungsi." Balas Lucas di sebrang sana."Apa yang kau dan atasanmu lakukan dengan uang pajak?!" Harry berteriak frustasi."Besok pagi aku akan mencari tahu lagi. Ku
"Bernafaslah."Suara berat dan serak terdengar seperti doa. Tangannya terasa melingkar sempurna di pergelanganku. Dia berbisik hal yang sama berulang kali. Dan entah kenapa semuanya seperti mampu menyingirkan kegelisahanku."Bitch, wake up."Pun mataku terbuka lebar mendengar pemilik suara yang sama mengatakan kalimat yang 180 derajat berkebalikan. Kasar sekali. Seorang pria berjas lengkap nan tinggi tahu-tahu tengah berkacak pinggang. Tatapannya dingin dan angkuh, seakan ia berniat menghilangkanku dari hadapannya secara kejam.Oh, tunggu. Di mana aku?Ya, dari adanya ranjang empuk yang menjadi tempatku kini berbaring aku tahu ruangan ini adalah kamar. Kamar megah dengan desain klasik. Ta
Tidak berselang lama setelah makan malam selesai, suami dan anak Lia yang bernama Ben datang menjemput. Ben berusia sekitar 5 tahun dan begitu menggemaskan. Harry beberapa kali masih 'menyodorkanku', berharap Lia mau mengubah keputusannya tentang aku yang harus tinggal di sini, di rumah Harry. Namun Lia langsung memukul pria itu tepat di keningnya, terlihat jengkel.Jujur saja aku jadi semakin tidak enak karena kehadiranku menyusahkan mereka, tapi aku sungguh tidak mempunyai pilihan lain."Weee, rasakan! Paman lagi-lagi dimarahi Ibu." Ben menjulurkan lidahnya.Harry tanpa berucap mengejar anak lelaki itu. Langkah kecil Ben hanya berhasil memutari setengah pekarangan rumah, sebelum pamannya yang tempramental menangkap tubuh mungil Ben. Ben menjerit geli saat Harry menggelitiki perutnya ter
Menatap pantulan diriku di cermin, aku merasa berbeda hari ini. Seharian kemarin aku hanya mengenakan kaus kumal milik Harry, sementara kini dress putih tanpa lengan sudah melekat pas di tubuhku. Setelah semalam Harry berucap hal tidak senonoh, aku langsung meninju perut pria itu. Alhasil Harry mengaduh kesakitan. Padahal aku tahu tinjuanku tidaklah seberapa.Menunggu Harry keluar dari kamarnya, aku pun memutuskan untuk menyiram tanaman di pekarangan depan. Aku melakukan ini bukan karena perintah pria tersebut, bukan. Bisa ku pastikan 'dulu' aku adalah typical orang yang tidak bisa diam, maksudku aku gerah berlama-lama tanpa melakukan apapun.Aku menoleh ketika unlock mobil milik Harry berbunyi. Setumpuk berkas menggunung di kedua tangannya dan itu membuatnya kewalahan. Aku berpura-pura tidak melihat, dan masih terus terkekeh kareba dia kesusahan sendiri membuka pintu mobil. Rasakan. Ini balasan atas kejahilannya padaku semalam."Brittany
Harry menyelimuti Brittany yang tertidur lelap di samping Alex. Perempuan itu menolak berbaring di sofa, jadilah dia duduk di kursi dan menenggelamakan wajah pada bantalan lengan. Katanya biar tahu kalau Alex tiba-tiba siuman."Kau yakin?" Bisik Harry selagi menutup pintu kamar inap Alex. Ada seseorang yang menghubungi Alex, yaitu Lucas, teman semasa kuliah yang kini bekerja sebagai detektif di kepolisian. "Kenapa bisa sampai tidak ada cctv? Bukankah setiap tempat seharusnya sudah terpasang?""Tempat yang kau sebutkan hanya ruko kosong, Harry. Cctv jalan pun sudah lama tidak berfungsi." Balas Lucas di sebrang sana."Apa yang kau dan atasanmu lakukan dengan uang pajak?!" Harry berteriak frustasi."Besok pagi aku akan mencari tahu lagi. Ku
"Sistem kekebalan dan pencernaan Alex belum sempurna. Sehingga kacang memang berbahaya bagi tubuhnya." Jelas seorang dokter IGD pada Brittany dan Harry. Brittany terus menggenggam tangan Alex yang terbebas dari tali infus, sementara Harry diam mendengar penuturan barusan. "Beruntung Alex cepat dibawa kemari, kalau tidak, bisa terjadi syok anafilaksis yang dapat membahayakan nyawanya."Hati Brittany betulan sakit. Ibu macam apa sebenarnya dia ini? Kenapa hal sekrusial ini bisa dia lupakan juga?"Alex akan kami pindahkan ke kamar rawat inap. Dia perlu perawatan setidaknya selama satu hari.""Baik, dokter. Tolong lakukan yang terbaik." Jawab Harry.Dua orang perawat mendorong ranjang Alex. Mereka melewati lorong rumah sakit, lalu berbelo
"Sudah berapa kali aku katakan, jangan mengangkat ponselku sembarangan!"Chris yang baru keluar dari kamar mandi, merebut ponselnya. Helena hanya memajukan bibirnya kesal. Dia memilih bersembunyi dibalik selimut karena tubuh telanjangnya begitu kedinginan. Baru saja mereka bermesraan guna melepaskan penat, kini Chris sudah kembali emosi."Kenapa kau memarahi begitu? Lagipula tadi hanya salah sambung."Di ceklah sebentar kontak yang masuk, benar nomor asing. Setelahnya, Chris melepaskan handuk sebatas pinggang guna berpakaian. Ini sudah hampir makan malam. Chris tidak mau istrinya curiga, sekalipun dirinya ragu kalau Anna mengkhawatirkannya. Baru selesai memakai celana kerja dan akan meraih kemejanya, tangan Helena terlebih dahulu melingkar di pinggang Chris. Secara tidak langsung Helena i
Setelah makan bersama Harry, aku tidak benar-benar pulang ke rumah. Aku sengaja mendatangi sekolah Alex sebagai pengalih rasa sedihku. Ku ambil cermin dari dalam tas, memastikan aku tak terlihat sembab usai menangis. Pun aku segera turun dari taksi.Ini masih pukul 10 pagi, Alex dan teman-temannya masih berada di dalam kelas. Ku perhatikan lamat-lamat situasi sekitar, berharap ada yang bisa ku ingat. Dari yang Chris bilang, aku kecelakaan dalam perjalanan menjemput Alex pulang sekolah. Pasti aku sering melakukan rutinitas ini. Namun kenapa aku tetap sulit mendapatkan kenangan itu?"Anna?" Sapa seorang wanita. Dia berusia sekitar 30 tahun, dan tersenyum hangat. Apa Alex berteman dengan anak dari ibu ini? "Kau kemana saja? Sudah lama aku tidak melihatmu.""Ah, hallo? Kau mengenalku?" Bal
"Apa saja."Aku berucap tak berselera. Harry melirik karena sikapku mungkin membuatnya kesal. Dia menyebutkan dua full english breakfast dan orange juice sebagai menu sarapan paksanya bagiku."Aku ingin putus." Lanjutku, tanpa basa-basi."Makan dulu agar kau punya energi lebih untuk memutuskanku."Aku mengerucutkan bibir. Apa-apaan ini? Harry pun mengeluarkan ponselnya, memainkannya. Dia terus begitu, asik dengan gadgetnya, seolah aku tak ada di hadapannya. Lalu untuk apa dia repot-repot meyeretku kemari? Dan juga tau darimana dia rumahku?Setelah pesananku datang, Harry menaruh ponselnya di meja. Matanya kali ini tertuju padaku. Atas tatapan tajam itu, akhirnya aku berinisiatif mera
Alex baru saja dijemput oleh bus sekolah. Dia berusia 5 tahun dan duduk di kelas taman kanak-kanak. Sebelumnya Alex terus berbicara agar aku tidak menghilang lagi. Bahkan dia tetap menatapku sambil melambaikan tangan dari bagian belakang bus. Aku terhibur akan kelakuan menggemaskannya, walau di satu sisi kejadian yang terjadi sejauh ini masih terasa seperti mimpi. Dan hati kecilku dengan sangat egoisnya sedikit berharap dapat mengakhiri mimpi panjang ini, untuk kembali pada Harry. Oh, aku pasti gila! Apa yang baru saja aku pikirkan?Beralih pada Chris, dia pagi-pagi sekali sudah ke bandara mengantarkan Celine dan Gerald (kedua orangtuanya, atau haruskah ku sebut ibu-ayah mertuaku?) Mereka sungguh hangat sekaligus mengerti kondisiku. Sayangnya setelah satu minggu berkunjung, mereka harus kembali ke Manthattan. Di satu minggu ini pun aku mulai tahu banyak hal. Namun dari semuanya, yang pali
Aku mengeratkan selimut ketika mendengar suara mesin mobil dari halaman rumah. Saat aku yakin itu Harry, aku pun memejamkan mata dengan posisi tidur miring. Ini sudah pukul 3 pagi, dan aku tidak percaya dia baru kembali setelah kami sempat beradu mulut. Kekesalanku bertambah manakala dia tidak mengangkat telponku maupun membalas pesanku. Dia tahu betul cara membuatku gelisah setengah mati."Britt?" Harry memanggil bersamaan dengan sentuhannya di pundakku. "Aku tahu kau belum tidur. Maafkan aku sudah meninggalkanmu seperti tadi."Aku tak bergeming barang satu inchi pun. Bisa ku rasakan sisi ranjang terisi begitu Harry memeluk tubuhku dari belakang. Tangan kanan itu melingkar di pinggangku, sementara wajahnya dia tenggelamkan pada rambutku sebelum merambah pada bagian pundak. Kemudian aku tersadar helaan nafasnya berbau alkohol, terkesan
Sudah nyaris 1 jam aku bersembunyi di dalam kamar. Apa yang barusan terjadi membuatku terkejut. Seorang anak menyebutku 'mom' dengan senyum yang merekah lebar. Itu semakin memperkuat ucapan Chris yang ku kira sebatas kebohongan belaka. Tentang aku yang merupakan istrinya, juga tentang kami yang sudah memiliki seorang anak lelaki bernama Alex --ya dia adalah anak itu.Pintu kamar pun diketuk. Lantas cepat-cepat aku menghapus air mataku. "Sebentar, Harry. Aku akan kelu... ar." Suaraku menipis begitu tersadar sosok yang masuk bukanlah Harry, melainkan Chris. Mengapa Harry bisa membiarkan dia kemari? "A-apa yang kau lakukan? Pergi!""Berikan aku kesempatan bicara." Chris berjalan mendekat, namun aku langsung melemparinya dengan berbagai barang disekitarku. Aku enggan mendengar satu kata pun dari mulutnya. Aku belum siap, atau lebih tepatnya
Aku membersihkan luka Harry dengan hati-hati. Sementara pria itu hanya diam membisu semenjak perseteruan dirinya dengan Chris berakhir beberapa waktu lalu. Walau aku tidak tahu mana kenyataan yang benar, maksudku antara pembelaan Harry maupun Chris yang jauh berkebalikan, bagaimanapun juga hatiku condong pada Harry. Aku memercayai dia melebihi orang-orang di sekitarku. Aku yakin dia selalu berkata jujur."Ini sudah malam. Beristirahat--"Tiba-tiba Harry meraih pergelangan tanganku usai aku selesai mengobatinya dan hendak beranjak dari kamarnya. Hijau Harry menatapku datar, tak ada emosi apapun yang mampu ku baca. "Apa... kau akan pergi? Kau tidak memercayaiku?"Pun aku tersenyum tipis sambil menyentuh wajahnya. "Kau kekasihku, tentu aku percaya. Sekarang tidurlah."