Sudah nyaris 1 jam aku bersembunyi di dalam kamar. Apa yang barusan terjadi membuatku terkejut. Seorang anak menyebutku 'mom' dengan senyum yang merekah lebar. Itu semakin memperkuat ucapan Chris yang ku kira sebatas kebohongan belaka. Tentang aku yang merupakan istrinya, juga tentang kami yang sudah memiliki seorang anak lelaki bernama Alex --ya dia adalah anak itu.
Pintu kamar pun diketuk. Lantas cepat-cepat aku menghapus air mataku. "Sebentar, Harry. Aku akan kelu... ar." Suaraku menipis begitu tersadar sosok yang masuk bukanlah Harry, melainkan Chris. Mengapa Harry bisa membiarkan dia kemari? "A-apa yang kau lakukan? Pergi!"
"Berikan aku kesempatan bicara." Chris berjalan mendekat, namun aku langsung melemparinya dengan berbagai barang disekitarku. Aku enggan mendengar satu kata pun dari mulutnya. Aku belum siap, atau lebih tepatnya tak akan pernah siap dengan segala resikonya, termasuk resiko berpisah dengan Harry. Apa yang kelak terjadi dengan rencana pernikahan yang baru kami bayangkan semalam tadi? Kami masih mempunyai banyak mimpi indah bersama.
"Harry, tolong aku!"
"Kumohon, Anna. Dengarkan penjelasan---"
"Aku bukan Anna! Berapa kali aku harus tekankan hal itu?! Aku bukan Anna! I'M NOT YOUR FUCKING WIFE!"
Chris tiba-tiba menangkap pergelangan tanganku saat aku lepas kendali. Sebisa mungkin aku melawan, tapi itu justru membuatnya membawaku ke pelukannya. Dan di detik itu alam bawah sadarku mengenal perasaan yang familiar. Aroma tubuhnya. Parfum. After shave. Serta kehangatan telapak tangannya yang berakhir menepuk halus punggungku. Tidak, ini pasti ilusi.
"Aku Brittany... aku adalah Brittany." Lirihku dengan pandangan yang menerawang. "Anna yang kau cari bukanlah aku, bukan..."
Chris menarik diri seiring menyentuh ke dua sisi wajahku. Bola mata itu meredup, dan yang menjadikanku tertampar ialah bahwa lagi-lagi sepasang matanya terlalu familiar. Benarkah ia sempat menjadi kebahagiaan terbesarku?
"Kau mungkin tidak mengingat bahwa dirimu adalah Anna Hawkins. Anna periang yang senang menggangguku setiap kali aku tertidur, Anna cantik yang selalu menungguku setiap kali aku pulang larut, dan Anna memesona yang enggan melepaskan tanganku setiap kali kita menyusuri pinggir pantai. Tapi satu hal yang tak bisa kau elak, Alex tetaplah anakmu, dia tetap anak kita." Jemarinya menyusuri pipiku. Selepasnya aku gagal berpikir jernih, satu-satunya hal yang ku rasa hanyalah satu; hatiku sangat hancur. "Aku tidak memaksamu untuk kembali menjadi Annaku. Tidak. Namun demi Alex bisakah kau... mencobanya? Kembalilah menjadi ibu baginya. Hanya itu permintaanku."
Tubuhku ambruk. Bahkan aku nyaris terjatuh kalau-kalau Chris tidak sigap menahan. Untuk menyudahi pembicaraan kami yang semakin lama semakin membuat nafasku tercekat, aku berusaha mengumpulkan seluruh tenaga yang tersisa agar lepas dari sentuhannya. Akan tetapi suara kecil nan lucu menggagalkan niatanku.
"Mom..." Kepala Alex menyembul dari balik pintu. Matanya menyiratkan keraguan. Mungkin karena aku sempat menepisnya ketika ia pertama kali memelukku, dan sekarang aku merasa bersalah. Entah cerita Chris benar adanya atau tidak, di akhir aku memutuskan merentangkan kedua tanganku yang bergetar, menyambut Alex supaya berkenan mendekat dan mau memelukku lagi.
"Mom, I miss you." Ucapnya sambil mencium hidungku berkali-kali. Aku mematung, disusul air mataku yang tahu-tahu meleleh deras. "Apa mom pergi karena aku tidak membereskan mainanku sendiri? Apa mom marah karena itu?"
Bibirku kelu mendengar Alex terus berbicara. Ini situasi yang luar biasa membingungkan bagiku. Alex melingkarkan jemari mungilnya di leherku dan sebagai balasan aku hanya mampu mendekapnya lebih erat, masih tanpa menjawab. Sementara itu di depanku Chris sedang menyeka tangisannya. Ya, aku bisa menyaksikannya dengan jelas sekalipun ia berusaha menutupinya.
"Chris." Bibirku spontan berseru. Mata miliknya membulat, nampak tak percaya atas apa yang baru saja ia dengar karena aku memanggil namanya.
"Ya, Ann--- maksudku Brittany?"
"Kau bisa memberikanku waktu? Aku perlu... kau tahu, berpikir."
Chris mengangguk, dan kali ini senyumnya tersungging. "Take your time. Aku akan selalu menunggumu."
-----
Selepas Chris pergi --dengan Alex yang tertidur dalam gendongannya, aku dan Harry saling bungkam satu sama lain. Kami semacam tak tahu harus bagaimana menghadapi keadaan ini. Terlebih sedari tadi ia melamun, hingga tidak menyentuh piring makan malamnya sama sekali. Bangkit dari kursiku, aku pun menarik kursi di sisinya. Dengan segenap keberanian, aku meraih jemarinya, membuat milikku tenggelam di tangan besarnya. Bisakah setelah ini aku tetap memegangnya?
Harry menoleh, kemudian tersenyum tipis. Singkat sekali. Mungkin sekitar tiga detik, sampai dirinya memilih menghindari tatapanku.
"Kau ingin ku buatkan makanan yang lain? Spaghetti? Sup jagung?" Tanyaku, menyelipkan nada merayu di sana. Sup jagung selalu menjadi kesukaan seorang Harry Edward.
Ia agak tergelak seraya menggeleng enggan. "Tidak perlu. Aku menyukai semua masakanmu."
"Kalau begitu kenapa kau tidak memakannya?"
"Karena ini bisa jadi makan malam terakhirku denganmu. Aku sedang mengulurnya."
Aku menggigit bibir bawahku, menahan diri agar tidak ada tangisan lagi. Memang cepat atau lambat kami perlu membahas kelanjutan dari hubungan ini. Tapi jujur saja aku tidak siap, tidak malam ini. Aku ingin menikmati santapan kami dengan tenang, bersenda gurau, bertingkah selayaknya pasangan dimabuk asmara, sayangnya kenyataannya tidak lagi memungkinkan.
"Alex mirip denganmu, watak kalian serupa." Lanjut Harry, tetap dengan pandangan lurus. "Ketika aku memberikannya coklat panas, ia langsung membuka kulkas dan mencari di mana aku menaruh persediaan es krim."
Entah respon bagaimana yang harus aku tunjukkan sekarang, jadi aku bungkam sementara Harry tertawa kecil. Lama-kelamaan tawa itu tergantikan oleh keheningan, sebelum akhirnya ia mencium punggung tanganku lama. Dan disitulah aku sadar, bahwa kami tidak dapat berpura-pura untuk baik-baik saja. Semakin kami berdusta pada diri sendiri, itu justru semakin menyakiti kami.
"Di hari aku menemukanmu kecelakaan, aku membawamu kemari bersama Lia. Dan aku tidak menyesali keputusanku sedikit pun." Harry berpaling. Kini kami saling memandang, walau rasanya ada sesuatu yang hilang di sana. "Sejak saat itu aku tidak bisa melepaskan pandanganku darimu, bahkan sampai detik ini. Kau sangat cantik. Aku beruntung sempat dicintai oleh wanita sebaik dirimu... Anna."
"M-mengapa kau memanggilku Anna?" Lirihku. Kedua telapak tangan Harry ku bawa ke wajahku. Aku membiarkan ia menyentuh setiap inchi kulitku, berharap ia mengenaliku lagi sebagai Brittany. "Aku Brittany. Kau yang memberi nama itu untukku, aku menyukainya. Aku Brittanymu."
"Kita akhiri ini, Anna."
"Apa maksudmu?!" Dalam sekejap emosi menguasaiku. Pernyataanku barusan seakan hanyalah angin lalu baginya. "Mengapa kau semudah ini menyerah pada kita? Apa aku sama sekali tidak berarti bagimu hingga kau begitu mudah melepaskanku?"
"Lalu kau mau hidup bersamaku di saat kau tahu memiliki mereka?! Suamimu dan anakmu?!" Harry berteriak, meneriakiku dengan keputusasaannya. Dirinya bangkit, berjalan menuju sepoian angin malam dari jendela yang sengaja dibiarkan terbuka.
"Chris menginginkanku untuk kembali menjadi ibu dari Alex, bukan sebagai istrinya. Kita masih memiliki kesempatan."
Kali ini aku benar-benar memohon. Membayangkan aku akan hidup tanpanya, perasaanku terpukul dalam. Lantas ku hampiri Harry, dan berjinjit agar bisa menggapai bibirnya. Kami berciuman agresif, seperti melepaskan penat dan seluruh masalah yang menjerat. Bibir itu tak lama hilang, tergantikan matanya yang sedang memandangiku.
"Kau pria baik, Harry. Kau satu-satunya yang melindungiku. Ketika aku mencari masa lalu, tanpa sadar aku sudah menggenggam masa depanku bersamamu. Aku tidak bisa jatuh cinta tanpamu."
"Aku sudah berbohong." Balasnya tiba-tiba dengan kalut.
"M-maksudmu?"
Saat aku hendak bertanya lebih jauh, Harry terlebih dahulu pergi ke luar rumah. Entah ke mana tujuannya, yang jelas mobil miliknya melaju kencang, meninggalkanku yang kembali kacau.
Aku mengeratkan selimut ketika mendengar suara mesin mobil dari halaman rumah. Saat aku yakin itu Harry, aku pun memejamkan mata dengan posisi tidur miring. Ini sudah pukul 3 pagi, dan aku tidak percaya dia baru kembali setelah kami sempat beradu mulut. Kekesalanku bertambah manakala dia tidak mengangkat telponku maupun membalas pesanku. Dia tahu betul cara membuatku gelisah setengah mati."Britt?" Harry memanggil bersamaan dengan sentuhannya di pundakku. "Aku tahu kau belum tidur. Maafkan aku sudah meninggalkanmu seperti tadi."Aku tak bergeming barang satu inchi pun. Bisa ku rasakan sisi ranjang terisi begitu Harry memeluk tubuhku dari belakang. Tangan kanan itu melingkar di pinggangku, sementara wajahnya dia tenggelamkan pada rambutku sebelum merambah pada bagian pundak. Kemudian aku tersadar helaan nafasnya berbau alkohol, terkesan
Alex baru saja dijemput oleh bus sekolah. Dia berusia 5 tahun dan duduk di kelas taman kanak-kanak. Sebelumnya Alex terus berbicara agar aku tidak menghilang lagi. Bahkan dia tetap menatapku sambil melambaikan tangan dari bagian belakang bus. Aku terhibur akan kelakuan menggemaskannya, walau di satu sisi kejadian yang terjadi sejauh ini masih terasa seperti mimpi. Dan hati kecilku dengan sangat egoisnya sedikit berharap dapat mengakhiri mimpi panjang ini, untuk kembali pada Harry. Oh, aku pasti gila! Apa yang baru saja aku pikirkan?Beralih pada Chris, dia pagi-pagi sekali sudah ke bandara mengantarkan Celine dan Gerald (kedua orangtuanya, atau haruskah ku sebut ibu-ayah mertuaku?) Mereka sungguh hangat sekaligus mengerti kondisiku. Sayangnya setelah satu minggu berkunjung, mereka harus kembali ke Manthattan. Di satu minggu ini pun aku mulai tahu banyak hal. Namun dari semuanya, yang pali
"Apa saja."Aku berucap tak berselera. Harry melirik karena sikapku mungkin membuatnya kesal. Dia menyebutkan dua full english breakfast dan orange juice sebagai menu sarapan paksanya bagiku."Aku ingin putus." Lanjutku, tanpa basa-basi."Makan dulu agar kau punya energi lebih untuk memutuskanku."Aku mengerucutkan bibir. Apa-apaan ini? Harry pun mengeluarkan ponselnya, memainkannya. Dia terus begitu, asik dengan gadgetnya, seolah aku tak ada di hadapannya. Lalu untuk apa dia repot-repot meyeretku kemari? Dan juga tau darimana dia rumahku?Setelah pesananku datang, Harry menaruh ponselnya di meja. Matanya kali ini tertuju padaku. Atas tatapan tajam itu, akhirnya aku berinisiatif mera
Setelah makan bersama Harry, aku tidak benar-benar pulang ke rumah. Aku sengaja mendatangi sekolah Alex sebagai pengalih rasa sedihku. Ku ambil cermin dari dalam tas, memastikan aku tak terlihat sembab usai menangis. Pun aku segera turun dari taksi.Ini masih pukul 10 pagi, Alex dan teman-temannya masih berada di dalam kelas. Ku perhatikan lamat-lamat situasi sekitar, berharap ada yang bisa ku ingat. Dari yang Chris bilang, aku kecelakaan dalam perjalanan menjemput Alex pulang sekolah. Pasti aku sering melakukan rutinitas ini. Namun kenapa aku tetap sulit mendapatkan kenangan itu?"Anna?" Sapa seorang wanita. Dia berusia sekitar 30 tahun, dan tersenyum hangat. Apa Alex berteman dengan anak dari ibu ini? "Kau kemana saja? Sudah lama aku tidak melihatmu.""Ah, hallo? Kau mengenalku?" Bal
"Sudah berapa kali aku katakan, jangan mengangkat ponselku sembarangan!"Chris yang baru keluar dari kamar mandi, merebut ponselnya. Helena hanya memajukan bibirnya kesal. Dia memilih bersembunyi dibalik selimut karena tubuh telanjangnya begitu kedinginan. Baru saja mereka bermesraan guna melepaskan penat, kini Chris sudah kembali emosi."Kenapa kau memarahi begitu? Lagipula tadi hanya salah sambung."Di ceklah sebentar kontak yang masuk, benar nomor asing. Setelahnya, Chris melepaskan handuk sebatas pinggang guna berpakaian. Ini sudah hampir makan malam. Chris tidak mau istrinya curiga, sekalipun dirinya ragu kalau Anna mengkhawatirkannya. Baru selesai memakai celana kerja dan akan meraih kemejanya, tangan Helena terlebih dahulu melingkar di pinggang Chris. Secara tidak langsung Helena i
"Sistem kekebalan dan pencernaan Alex belum sempurna. Sehingga kacang memang berbahaya bagi tubuhnya." Jelas seorang dokter IGD pada Brittany dan Harry. Brittany terus menggenggam tangan Alex yang terbebas dari tali infus, sementara Harry diam mendengar penuturan barusan. "Beruntung Alex cepat dibawa kemari, kalau tidak, bisa terjadi syok anafilaksis yang dapat membahayakan nyawanya."Hati Brittany betulan sakit. Ibu macam apa sebenarnya dia ini? Kenapa hal sekrusial ini bisa dia lupakan juga?"Alex akan kami pindahkan ke kamar rawat inap. Dia perlu perawatan setidaknya selama satu hari.""Baik, dokter. Tolong lakukan yang terbaik." Jawab Harry.Dua orang perawat mendorong ranjang Alex. Mereka melewati lorong rumah sakit, lalu berbelo
Harry menyelimuti Brittany yang tertidur lelap di samping Alex. Perempuan itu menolak berbaring di sofa, jadilah dia duduk di kursi dan menenggelamakan wajah pada bantalan lengan. Katanya biar tahu kalau Alex tiba-tiba siuman."Kau yakin?" Bisik Harry selagi menutup pintu kamar inap Alex. Ada seseorang yang menghubungi Alex, yaitu Lucas, teman semasa kuliah yang kini bekerja sebagai detektif di kepolisian. "Kenapa bisa sampai tidak ada cctv? Bukankah setiap tempat seharusnya sudah terpasang?""Tempat yang kau sebutkan hanya ruko kosong, Harry. Cctv jalan pun sudah lama tidak berfungsi." Balas Lucas di sebrang sana."Apa yang kau dan atasanmu lakukan dengan uang pajak?!" Harry berteriak frustasi."Besok pagi aku akan mencari tahu lagi. Ku
"Bernafaslah."Suara berat dan serak terdengar seperti doa. Tangannya terasa melingkar sempurna di pergelanganku. Dia berbisik hal yang sama berulang kali. Dan entah kenapa semuanya seperti mampu menyingirkan kegelisahanku."Bitch, wake up."Pun mataku terbuka lebar mendengar pemilik suara yang sama mengatakan kalimat yang 180 derajat berkebalikan. Kasar sekali. Seorang pria berjas lengkap nan tinggi tahu-tahu tengah berkacak pinggang. Tatapannya dingin dan angkuh, seakan ia berniat menghilangkanku dari hadapannya secara kejam.Oh, tunggu. Di mana aku?Ya, dari adanya ranjang empuk yang menjadi tempatku kini berbaring aku tahu ruangan ini adalah kamar. Kamar megah dengan desain klasik. Ta
Harry menyelimuti Brittany yang tertidur lelap di samping Alex. Perempuan itu menolak berbaring di sofa, jadilah dia duduk di kursi dan menenggelamakan wajah pada bantalan lengan. Katanya biar tahu kalau Alex tiba-tiba siuman."Kau yakin?" Bisik Harry selagi menutup pintu kamar inap Alex. Ada seseorang yang menghubungi Alex, yaitu Lucas, teman semasa kuliah yang kini bekerja sebagai detektif di kepolisian. "Kenapa bisa sampai tidak ada cctv? Bukankah setiap tempat seharusnya sudah terpasang?""Tempat yang kau sebutkan hanya ruko kosong, Harry. Cctv jalan pun sudah lama tidak berfungsi." Balas Lucas di sebrang sana."Apa yang kau dan atasanmu lakukan dengan uang pajak?!" Harry berteriak frustasi."Besok pagi aku akan mencari tahu lagi. Ku
"Sistem kekebalan dan pencernaan Alex belum sempurna. Sehingga kacang memang berbahaya bagi tubuhnya." Jelas seorang dokter IGD pada Brittany dan Harry. Brittany terus menggenggam tangan Alex yang terbebas dari tali infus, sementara Harry diam mendengar penuturan barusan. "Beruntung Alex cepat dibawa kemari, kalau tidak, bisa terjadi syok anafilaksis yang dapat membahayakan nyawanya."Hati Brittany betulan sakit. Ibu macam apa sebenarnya dia ini? Kenapa hal sekrusial ini bisa dia lupakan juga?"Alex akan kami pindahkan ke kamar rawat inap. Dia perlu perawatan setidaknya selama satu hari.""Baik, dokter. Tolong lakukan yang terbaik." Jawab Harry.Dua orang perawat mendorong ranjang Alex. Mereka melewati lorong rumah sakit, lalu berbelo
"Sudah berapa kali aku katakan, jangan mengangkat ponselku sembarangan!"Chris yang baru keluar dari kamar mandi, merebut ponselnya. Helena hanya memajukan bibirnya kesal. Dia memilih bersembunyi dibalik selimut karena tubuh telanjangnya begitu kedinginan. Baru saja mereka bermesraan guna melepaskan penat, kini Chris sudah kembali emosi."Kenapa kau memarahi begitu? Lagipula tadi hanya salah sambung."Di ceklah sebentar kontak yang masuk, benar nomor asing. Setelahnya, Chris melepaskan handuk sebatas pinggang guna berpakaian. Ini sudah hampir makan malam. Chris tidak mau istrinya curiga, sekalipun dirinya ragu kalau Anna mengkhawatirkannya. Baru selesai memakai celana kerja dan akan meraih kemejanya, tangan Helena terlebih dahulu melingkar di pinggang Chris. Secara tidak langsung Helena i
Setelah makan bersama Harry, aku tidak benar-benar pulang ke rumah. Aku sengaja mendatangi sekolah Alex sebagai pengalih rasa sedihku. Ku ambil cermin dari dalam tas, memastikan aku tak terlihat sembab usai menangis. Pun aku segera turun dari taksi.Ini masih pukul 10 pagi, Alex dan teman-temannya masih berada di dalam kelas. Ku perhatikan lamat-lamat situasi sekitar, berharap ada yang bisa ku ingat. Dari yang Chris bilang, aku kecelakaan dalam perjalanan menjemput Alex pulang sekolah. Pasti aku sering melakukan rutinitas ini. Namun kenapa aku tetap sulit mendapatkan kenangan itu?"Anna?" Sapa seorang wanita. Dia berusia sekitar 30 tahun, dan tersenyum hangat. Apa Alex berteman dengan anak dari ibu ini? "Kau kemana saja? Sudah lama aku tidak melihatmu.""Ah, hallo? Kau mengenalku?" Bal
"Apa saja."Aku berucap tak berselera. Harry melirik karena sikapku mungkin membuatnya kesal. Dia menyebutkan dua full english breakfast dan orange juice sebagai menu sarapan paksanya bagiku."Aku ingin putus." Lanjutku, tanpa basa-basi."Makan dulu agar kau punya energi lebih untuk memutuskanku."Aku mengerucutkan bibir. Apa-apaan ini? Harry pun mengeluarkan ponselnya, memainkannya. Dia terus begitu, asik dengan gadgetnya, seolah aku tak ada di hadapannya. Lalu untuk apa dia repot-repot meyeretku kemari? Dan juga tau darimana dia rumahku?Setelah pesananku datang, Harry menaruh ponselnya di meja. Matanya kali ini tertuju padaku. Atas tatapan tajam itu, akhirnya aku berinisiatif mera
Alex baru saja dijemput oleh bus sekolah. Dia berusia 5 tahun dan duduk di kelas taman kanak-kanak. Sebelumnya Alex terus berbicara agar aku tidak menghilang lagi. Bahkan dia tetap menatapku sambil melambaikan tangan dari bagian belakang bus. Aku terhibur akan kelakuan menggemaskannya, walau di satu sisi kejadian yang terjadi sejauh ini masih terasa seperti mimpi. Dan hati kecilku dengan sangat egoisnya sedikit berharap dapat mengakhiri mimpi panjang ini, untuk kembali pada Harry. Oh, aku pasti gila! Apa yang baru saja aku pikirkan?Beralih pada Chris, dia pagi-pagi sekali sudah ke bandara mengantarkan Celine dan Gerald (kedua orangtuanya, atau haruskah ku sebut ibu-ayah mertuaku?) Mereka sungguh hangat sekaligus mengerti kondisiku. Sayangnya setelah satu minggu berkunjung, mereka harus kembali ke Manthattan. Di satu minggu ini pun aku mulai tahu banyak hal. Namun dari semuanya, yang pali
Aku mengeratkan selimut ketika mendengar suara mesin mobil dari halaman rumah. Saat aku yakin itu Harry, aku pun memejamkan mata dengan posisi tidur miring. Ini sudah pukul 3 pagi, dan aku tidak percaya dia baru kembali setelah kami sempat beradu mulut. Kekesalanku bertambah manakala dia tidak mengangkat telponku maupun membalas pesanku. Dia tahu betul cara membuatku gelisah setengah mati."Britt?" Harry memanggil bersamaan dengan sentuhannya di pundakku. "Aku tahu kau belum tidur. Maafkan aku sudah meninggalkanmu seperti tadi."Aku tak bergeming barang satu inchi pun. Bisa ku rasakan sisi ranjang terisi begitu Harry memeluk tubuhku dari belakang. Tangan kanan itu melingkar di pinggangku, sementara wajahnya dia tenggelamkan pada rambutku sebelum merambah pada bagian pundak. Kemudian aku tersadar helaan nafasnya berbau alkohol, terkesan
Sudah nyaris 1 jam aku bersembunyi di dalam kamar. Apa yang barusan terjadi membuatku terkejut. Seorang anak menyebutku 'mom' dengan senyum yang merekah lebar. Itu semakin memperkuat ucapan Chris yang ku kira sebatas kebohongan belaka. Tentang aku yang merupakan istrinya, juga tentang kami yang sudah memiliki seorang anak lelaki bernama Alex --ya dia adalah anak itu.Pintu kamar pun diketuk. Lantas cepat-cepat aku menghapus air mataku. "Sebentar, Harry. Aku akan kelu... ar." Suaraku menipis begitu tersadar sosok yang masuk bukanlah Harry, melainkan Chris. Mengapa Harry bisa membiarkan dia kemari? "A-apa yang kau lakukan? Pergi!""Berikan aku kesempatan bicara." Chris berjalan mendekat, namun aku langsung melemparinya dengan berbagai barang disekitarku. Aku enggan mendengar satu kata pun dari mulutnya. Aku belum siap, atau lebih tepatnya
Aku membersihkan luka Harry dengan hati-hati. Sementara pria itu hanya diam membisu semenjak perseteruan dirinya dengan Chris berakhir beberapa waktu lalu. Walau aku tidak tahu mana kenyataan yang benar, maksudku antara pembelaan Harry maupun Chris yang jauh berkebalikan, bagaimanapun juga hatiku condong pada Harry. Aku memercayai dia melebihi orang-orang di sekitarku. Aku yakin dia selalu berkata jujur."Ini sudah malam. Beristirahat--"Tiba-tiba Harry meraih pergelangan tanganku usai aku selesai mengobatinya dan hendak beranjak dari kamarnya. Hijau Harry menatapku datar, tak ada emosi apapun yang mampu ku baca. "Apa... kau akan pergi? Kau tidak memercayaiku?"Pun aku tersenyum tipis sambil menyentuh wajahnya. "Kau kekasihku, tentu aku percaya. Sekarang tidurlah."