Waktu sesaat terhenti. Riuh suara instrumen musik dan godaan dari para pengunjung hilang. Suasana disekitarku senyap, seiring pikiranku yang berhasil mengenyahkan bayang pria misterius itu.
Harry yang masih dalam posisi berlutut, kembali menanyakan hal yang sama mengenai kesediaanku menjadi satu-satunya wanita di hidupnya. Gugup terlihat jelas dari gesture wajah dan tubuhnya. Ia sesekali melirikku sebelum menjatuhkan pandangannya ke lantai. Dan hal itu terus berulang beberapa kali. Dengan perasaan yang kacau, aku memutuskan menutup kotak berisikan cincin berhiaskan permata tersebut.
"M-maaf, Harry. Aku tidak bisa."
Air mataku pun jatuh. Persis perempuan bodoh yang hanya mementingkan diri sendiri, aku berlari meninggalkan Harry. Meninggalkannya yang diam terpaku di kerumunan banyak pengunjung. Ku yakin ia masih perlu mencerna kalimat penolakanku.
"Brittany! Kau mau pergi kemana?"
Aku menenteng heelsku agar kecepatan lariku tidak dapat disusul oleh Harry. Teriakannya yang menyerukan namaku, langsung hilang sesaat sebuah taksi membawaku pergi ke suatu tempat. Aku butuh waktu untuk meyendiri. Terlebih setelah aku mengecewakannya, akan sulit bagiku walau hanya sekedar melihat wajahnya lagi.
"Anda sudah tiba, Nona."
Merogoh lembaran poundsterling dari dalam clutchku, aku segera turun dari taksi. Aku menatap nanar hamparan taman indah di hadapanku, yaitu Hyde Park. Bahkan aku tak tahu-menahu mengapa aku bisa menyebutkan Hyde Park sebagai tujuanku. Seperti suatu spontanitas.
Semilir angin malam menyapa kulitku sesaat aku baru terduduk disebuah kursi. Tiba-tiba mata ini terkunci pada pohon maple yang lebat daunnya memayungi dua sejoli. Si gadis menyandarkan kepalanya di pangkuan si pria. Keduanya mendengarkan lagu dari satu handsfree yang sama. Mereka tertawa bahagia, lepas.
Jantungku berpacu keras tanpa sebab. Aku memejamkan mata sebagai usaha menghilangkan nyeri di dada. Entah mengapa, melihat pemandangan tadi begitu menyakitkan. Seolah-olah aku pernah mengalami hal demikian di kehidupan terdahuluku. Aku menggeram tertahan, merasakan potongan ingatanku semakin nyata dan nyata.
Pria beriris coklat itu.
Sebutan Anna yang membuatku damai.
Dan, tawa bayi---
"Anna, akhirnya aku menemukanmu..."
-----
Flashback
Anna menghembuskan nafasnya dalam-dalam. Ia menikmati sapuan angin musim gugur Hyde Park, yang berpadu dengan sentuhan hangat di halus rambutnya. Anna menggerakan kepalanya kesana kemari di pangkuan seseorang, mencari posisi paling nyaman.
"Perlahan, sayang." Suara seorang pria mengalun. Penuh kharismatik serta perhatian. Anna akhirnya memutuskan meluruskan kaki jenjangnya. Kain yang digunakan sebagai alas tak mampu melindungi tumitnya, hingga basah rerumputan mau tidak mau terasa.
"Kau setiap hari semakin cerewet saja." Anna memajukan bibirnya, menggerutu, membuat pria tampan itu tertawa. Tawa yang sudah tidak asing lagi bagi seorang Anna selama tiga tahun terakhir ini.
"Semua demi kebaikan kau, dan---" Tangan pria bermata coklat tersebut mengelus perut wanitanya. "Anak kita tentunya."
Anna tersenyum, mengikuti gerak jemari si pria yang setia berada disekitaran perutnya. "He is the little us."
"Yeah, the mini version of William and Hawkins."
Mereka pun berciuman mesra. Pagutannya meyakinkan siapapun bahwa keduanya memang ditakdirkan untuk hidup bersama.
----
Brittany's POV
"Anna, akhirnya aku menemukanmu..."
Suatu suara mengejutkanku. Ketika aku membuka mata, ku dapati diriku dalam kondisi sembab. Pria itu hadir lagi, pria yang sama dengan sosok yang sempat menggantikan posisi Harry beberapa waktu lalu. Tapi kali ini bukan ilusi, ia nyata. Ia berdiri di sana, berjarak tiga meter dariku dengan senyum tipis dari bibirnya yang bergetar.
"Kau berada di mana selama ini?" Aku terkesiap saat ia memelukku. Bodohnya aku tak mampu meronta. Pelukannya terlalu hangat untuk batasan orang asing. "Aku mencarimu kesemua tempat, termasuk mendatangi taman ini setiap hari. Tetapi kau tidak pernah muncul... tidak sekalipun." Suaranya yang tercekat menandakan ia benar-benar diliputi kesedihan. "Anna, aku sangat merindukanmu, terlebih Al---"
"Maaf, saya rasa anda salah orang." Potongku begitu aku sadar bahwa situasi ini sangat keliru. "S-saya bukan Anna, dan saya tidak mengenal anda. Permisi."
Orang yang ku tikam dengan kalimatku terdiam. Tak berselang lama ia tertawa, selagi terus berbicara bahwa aku sedang bercanda. "Mari kita pulang. Semua orang menantikan kabar baik mengenai dirimu, sayang."
Sayang? Bicara apa pria tersebut?
"Annabeth Hawkins!"
Langkahku terhenti tepat di gerbang utama Hyde Park. Walau sejujurnya aku ingin segera pergi dari sini, tapi kedua kakiku tak bisa diajak berkompromi. Sahutannya berhasil meruntuhkan niatanku.
Annabeth Hawkins... Mengapa nama itu seperti memiliki arti tersendiri bagiku?
Aku termangu, membiarkan pundakku disentuh olehnya. Bahkan ketika aku berusaha menghindari tatapannya, lagi-lagi ia menahan daguku, membuatku menyadari bahwa aku pernah melihat iris coklat miliknya di suatu tempat.
"Kau sungguh tidak mengenaliku?" Terselip nada kesedihan dipenggalan katanya. Ku jatuhkan biruku ke objek lain, dan di saat yang bersamaan ia terisak. "Sejak kapan? Di mana kau tinggal selama ini? Dan siapa yang bertanggungjawab atas hilangnya ingatanmu? Katakan, Anna."
Aku memberontak dari cengkramannya yang memegang pergelangan tanganku sedari tadi. Otakku tak mampu lagi mendengar cecaran pertanyaannya. "B-biarkan saya pergi."
"Kau lihat ini?" Ia memperlihatkan cincin yang melingkar di jari manisnya. "Kau pastinya bisa mengetahui hubungan yang terjalin diantara kita. Aku Chris William, suamimu. Ku mohon ingatlah aku..."
Suami? Demi Tuhan, kebohongan apalagi ini?!
"Tolong, lepas---"
Buk!
Harry tahu-tahu datang, dan langsung melayangkan tinjuannya ke arah pria yang bernama Chris tersebut. Menyaksikan kebrutalan Harry sekaligus Chris yang penuh kerapuhan, rasanya terlalu mengejutkan bagiku. Mendapati Harry bertindak semakin di luar kendali, aku cepat-cepat menahan.
"Hentikan." Lirihku pada Harry.
"Kau tak apa? Apa kau terluka?" Tanya Harry, amarahnya dalam sekejap hilang. Ia mengawasiku lekat dari ujung kaki hingga ujung kepala, memastikan bahwa aku baik-baik saja. Setelahnya ia melepaskan mantelnya untuk selanjutnya dikenakan padaku. "Sebaiknya kita pergi sekarang."
"Tunggu." Chris yang terkapar mengintrupsi selagi menyeka darah di ujung bibirnya. Dengan tawa mengejek, ia menghampiri kami, atau lebih tepatnya Harry. Tinjuan kencang pun tanpa ku duga berakhir di wajah Harry dalam sepersekian detik. "Kau keparat sialan! Berani-beraninya kau mencari celah di saat Anna mengalami amnesia! Apa kau memang berniat menghancurkan keluarga kecil kami, hah?!"
Harry membuang air liurnya, dan ku tahu akan ada aksi saling menghajar lagi jika aku hanya berpangku tangan. Namun belum sempat aku mencegah, Harry terlebih dahulu mencengkram kaus Chris. Ia menghabisi Chris bagai kehilangan akal sehat.
"You better stop talking about bullshit in front of my girlfriend! Dia Brittany, bukan Anna!"
Babak belurnya wajah Chris tak menjadikannya gentar, kemudian ia balas menghajar Harry. Tidak banyaknya orang yang berlalu-lalang membuatku kesulitan meminta bantuan. Kalaupun ada yang melintas, mereka hanya sebatas berlalu saja.
"Sepertinya kau lupa jika kita pernah bertemu di pengadilan! Atau... kau hanya berpura-pura?" Mendengar lontaran Chris aku refleks menatap mereka bergantian dan berhenti mencari pertolongan. "Aku saat itu memberikan selembaran mengenai orang hilang kepadamu, keparat! Aku memberitahumu rincian dan fotonya! Dan kau tentu pasti ingat, jika orang hilang yang kumaksudkan ialah wanita yang kau sebut sebagai kekasihmu! Dia adalah Anna Hawkins William! Dia istriku!"
Tubuhku merosot. Apa yang sebenarnya terjadi? Mereka pernah bertemu? Dan apabila perkataan Chris benar, maka selama ini Harry menganggap amnesiaku sebagai sebuah lelucon. Bukankah begitu?
"Tidak, Brittany. Dia pembual. Dia itu bajingan pemabuk." Bantah Harry. Darah mengalir dari bibir sisi kanannya, memar juga tersebar nyaris menutupi wajahnya. Sontak aku menangis, menangisinya. Harry menggenggam tanganku erat. Hidung kami bersentuhan, dan aku hanya bisa terus-menerus terisak. "Aku bersumpah, Brittany. Aku mencintaimu. Bahagiamu adalah bahagiaku. Jadi tidak mungkin aku merahasiakan hal-hal yang berkaitan dengan masa lalumu. Apa... apa kau bisa memercayaiku?"
Walau ragu sempat datang, pada akhirnya aku mengecup lembut bagian bibirnya. Aku menyayangi pria ini, hingga rasanya hatiku terhimpit beban. "Bisakah kita pulang sekarang?" Pintaku pelan.
"Anna." Aku berlalu melewati Chris, tak menoleh. "Sayang..." Lagi, aku menganggapnya angin lalu. "For God sake! Lalu bagaimana dengan anak kita, Anna?! Alex baru berumur lima tahun! Dia tidak akan mengerti ketololan semacam ini!" Tubuhku seketika limbung. Anak? Aku memiliki anak? "Haruskah dia menjadi bagian dari rasa sakitku?! Kau memang hilang ingatan, namun kau memahami betul kenyataannya! Kau wanita yang sudah berkeluarga, memiliki suami, anak, serta tanggungjawab! Tapi yang ku ke kecewakan ialah kau mengingkari takdirmu, dan lebih memilih menelantarkan anak kita demi pria lain! Di mana kau sembunyikan hati kecilmu?"
Bahuku bergetar hebat. Sekalipun semua kalimatnya tak lebih dari suatu kepalsuan, tetapi batinku menjerit, dan ingin berteriak bahwa tuduhannya sudah kelewat kejam. Saat ku sadari rangkulan Harry menegang, aku menahannya sesegera mungkin. Aku tak ingin mereka terlibat perseteruan lagi. Keadaan mereka berdua sudah cukup buruk.
"Setidaknya kembalilah demi Alex."
Itulah kata-kata terakhir yang ku tangkap sebelum mobil Harry melaju kencang, meninggalkan Chris yang coba berlari menyusul kami.
Aku membersihkan luka Harry dengan hati-hati. Sementara pria itu hanya diam membisu semenjak perseteruan dirinya dengan Chris berakhir beberapa waktu lalu. Walau aku tidak tahu mana kenyataan yang benar, maksudku antara pembelaan Harry maupun Chris yang jauh berkebalikan, bagaimanapun juga hatiku condong pada Harry. Aku memercayai dia melebihi orang-orang di sekitarku. Aku yakin dia selalu berkata jujur."Ini sudah malam. Beristirahat--"Tiba-tiba Harry meraih pergelangan tanganku usai aku selesai mengobatinya dan hendak beranjak dari kamarnya. Hijau Harry menatapku datar, tak ada emosi apapun yang mampu ku baca. "Apa... kau akan pergi? Kau tidak memercayaiku?"Pun aku tersenyum tipis sambil menyentuh wajahnya. "Kau kekasihku, tentu aku percaya. Sekarang tidurlah."
Sudah nyaris 1 jam aku bersembunyi di dalam kamar. Apa yang barusan terjadi membuatku terkejut. Seorang anak menyebutku 'mom' dengan senyum yang merekah lebar. Itu semakin memperkuat ucapan Chris yang ku kira sebatas kebohongan belaka. Tentang aku yang merupakan istrinya, juga tentang kami yang sudah memiliki seorang anak lelaki bernama Alex --ya dia adalah anak itu.Pintu kamar pun diketuk. Lantas cepat-cepat aku menghapus air mataku. "Sebentar, Harry. Aku akan kelu... ar." Suaraku menipis begitu tersadar sosok yang masuk bukanlah Harry, melainkan Chris. Mengapa Harry bisa membiarkan dia kemari? "A-apa yang kau lakukan? Pergi!""Berikan aku kesempatan bicara." Chris berjalan mendekat, namun aku langsung melemparinya dengan berbagai barang disekitarku. Aku enggan mendengar satu kata pun dari mulutnya. Aku belum siap, atau lebih tepatnya
Aku mengeratkan selimut ketika mendengar suara mesin mobil dari halaman rumah. Saat aku yakin itu Harry, aku pun memejamkan mata dengan posisi tidur miring. Ini sudah pukul 3 pagi, dan aku tidak percaya dia baru kembali setelah kami sempat beradu mulut. Kekesalanku bertambah manakala dia tidak mengangkat telponku maupun membalas pesanku. Dia tahu betul cara membuatku gelisah setengah mati."Britt?" Harry memanggil bersamaan dengan sentuhannya di pundakku. "Aku tahu kau belum tidur. Maafkan aku sudah meninggalkanmu seperti tadi."Aku tak bergeming barang satu inchi pun. Bisa ku rasakan sisi ranjang terisi begitu Harry memeluk tubuhku dari belakang. Tangan kanan itu melingkar di pinggangku, sementara wajahnya dia tenggelamkan pada rambutku sebelum merambah pada bagian pundak. Kemudian aku tersadar helaan nafasnya berbau alkohol, terkesan
Alex baru saja dijemput oleh bus sekolah. Dia berusia 5 tahun dan duduk di kelas taman kanak-kanak. Sebelumnya Alex terus berbicara agar aku tidak menghilang lagi. Bahkan dia tetap menatapku sambil melambaikan tangan dari bagian belakang bus. Aku terhibur akan kelakuan menggemaskannya, walau di satu sisi kejadian yang terjadi sejauh ini masih terasa seperti mimpi. Dan hati kecilku dengan sangat egoisnya sedikit berharap dapat mengakhiri mimpi panjang ini, untuk kembali pada Harry. Oh, aku pasti gila! Apa yang baru saja aku pikirkan?Beralih pada Chris, dia pagi-pagi sekali sudah ke bandara mengantarkan Celine dan Gerald (kedua orangtuanya, atau haruskah ku sebut ibu-ayah mertuaku?) Mereka sungguh hangat sekaligus mengerti kondisiku. Sayangnya setelah satu minggu berkunjung, mereka harus kembali ke Manthattan. Di satu minggu ini pun aku mulai tahu banyak hal. Namun dari semuanya, yang pali
"Apa saja."Aku berucap tak berselera. Harry melirik karena sikapku mungkin membuatnya kesal. Dia menyebutkan dua full english breakfast dan orange juice sebagai menu sarapan paksanya bagiku."Aku ingin putus." Lanjutku, tanpa basa-basi."Makan dulu agar kau punya energi lebih untuk memutuskanku."Aku mengerucutkan bibir. Apa-apaan ini? Harry pun mengeluarkan ponselnya, memainkannya. Dia terus begitu, asik dengan gadgetnya, seolah aku tak ada di hadapannya. Lalu untuk apa dia repot-repot meyeretku kemari? Dan juga tau darimana dia rumahku?Setelah pesananku datang, Harry menaruh ponselnya di meja. Matanya kali ini tertuju padaku. Atas tatapan tajam itu, akhirnya aku berinisiatif mera
Setelah makan bersama Harry, aku tidak benar-benar pulang ke rumah. Aku sengaja mendatangi sekolah Alex sebagai pengalih rasa sedihku. Ku ambil cermin dari dalam tas, memastikan aku tak terlihat sembab usai menangis. Pun aku segera turun dari taksi.Ini masih pukul 10 pagi, Alex dan teman-temannya masih berada di dalam kelas. Ku perhatikan lamat-lamat situasi sekitar, berharap ada yang bisa ku ingat. Dari yang Chris bilang, aku kecelakaan dalam perjalanan menjemput Alex pulang sekolah. Pasti aku sering melakukan rutinitas ini. Namun kenapa aku tetap sulit mendapatkan kenangan itu?"Anna?" Sapa seorang wanita. Dia berusia sekitar 30 tahun, dan tersenyum hangat. Apa Alex berteman dengan anak dari ibu ini? "Kau kemana saja? Sudah lama aku tidak melihatmu.""Ah, hallo? Kau mengenalku?" Bal
"Sudah berapa kali aku katakan, jangan mengangkat ponselku sembarangan!"Chris yang baru keluar dari kamar mandi, merebut ponselnya. Helena hanya memajukan bibirnya kesal. Dia memilih bersembunyi dibalik selimut karena tubuh telanjangnya begitu kedinginan. Baru saja mereka bermesraan guna melepaskan penat, kini Chris sudah kembali emosi."Kenapa kau memarahi begitu? Lagipula tadi hanya salah sambung."Di ceklah sebentar kontak yang masuk, benar nomor asing. Setelahnya, Chris melepaskan handuk sebatas pinggang guna berpakaian. Ini sudah hampir makan malam. Chris tidak mau istrinya curiga, sekalipun dirinya ragu kalau Anna mengkhawatirkannya. Baru selesai memakai celana kerja dan akan meraih kemejanya, tangan Helena terlebih dahulu melingkar di pinggang Chris. Secara tidak langsung Helena i
"Sistem kekebalan dan pencernaan Alex belum sempurna. Sehingga kacang memang berbahaya bagi tubuhnya." Jelas seorang dokter IGD pada Brittany dan Harry. Brittany terus menggenggam tangan Alex yang terbebas dari tali infus, sementara Harry diam mendengar penuturan barusan. "Beruntung Alex cepat dibawa kemari, kalau tidak, bisa terjadi syok anafilaksis yang dapat membahayakan nyawanya."Hati Brittany betulan sakit. Ibu macam apa sebenarnya dia ini? Kenapa hal sekrusial ini bisa dia lupakan juga?"Alex akan kami pindahkan ke kamar rawat inap. Dia perlu perawatan setidaknya selama satu hari.""Baik, dokter. Tolong lakukan yang terbaik." Jawab Harry.Dua orang perawat mendorong ranjang Alex. Mereka melewati lorong rumah sakit, lalu berbelo
Harry menyelimuti Brittany yang tertidur lelap di samping Alex. Perempuan itu menolak berbaring di sofa, jadilah dia duduk di kursi dan menenggelamakan wajah pada bantalan lengan. Katanya biar tahu kalau Alex tiba-tiba siuman."Kau yakin?" Bisik Harry selagi menutup pintu kamar inap Alex. Ada seseorang yang menghubungi Alex, yaitu Lucas, teman semasa kuliah yang kini bekerja sebagai detektif di kepolisian. "Kenapa bisa sampai tidak ada cctv? Bukankah setiap tempat seharusnya sudah terpasang?""Tempat yang kau sebutkan hanya ruko kosong, Harry. Cctv jalan pun sudah lama tidak berfungsi." Balas Lucas di sebrang sana."Apa yang kau dan atasanmu lakukan dengan uang pajak?!" Harry berteriak frustasi."Besok pagi aku akan mencari tahu lagi. Ku
"Sistem kekebalan dan pencernaan Alex belum sempurna. Sehingga kacang memang berbahaya bagi tubuhnya." Jelas seorang dokter IGD pada Brittany dan Harry. Brittany terus menggenggam tangan Alex yang terbebas dari tali infus, sementara Harry diam mendengar penuturan barusan. "Beruntung Alex cepat dibawa kemari, kalau tidak, bisa terjadi syok anafilaksis yang dapat membahayakan nyawanya."Hati Brittany betulan sakit. Ibu macam apa sebenarnya dia ini? Kenapa hal sekrusial ini bisa dia lupakan juga?"Alex akan kami pindahkan ke kamar rawat inap. Dia perlu perawatan setidaknya selama satu hari.""Baik, dokter. Tolong lakukan yang terbaik." Jawab Harry.Dua orang perawat mendorong ranjang Alex. Mereka melewati lorong rumah sakit, lalu berbelo
"Sudah berapa kali aku katakan, jangan mengangkat ponselku sembarangan!"Chris yang baru keluar dari kamar mandi, merebut ponselnya. Helena hanya memajukan bibirnya kesal. Dia memilih bersembunyi dibalik selimut karena tubuh telanjangnya begitu kedinginan. Baru saja mereka bermesraan guna melepaskan penat, kini Chris sudah kembali emosi."Kenapa kau memarahi begitu? Lagipula tadi hanya salah sambung."Di ceklah sebentar kontak yang masuk, benar nomor asing. Setelahnya, Chris melepaskan handuk sebatas pinggang guna berpakaian. Ini sudah hampir makan malam. Chris tidak mau istrinya curiga, sekalipun dirinya ragu kalau Anna mengkhawatirkannya. Baru selesai memakai celana kerja dan akan meraih kemejanya, tangan Helena terlebih dahulu melingkar di pinggang Chris. Secara tidak langsung Helena i
Setelah makan bersama Harry, aku tidak benar-benar pulang ke rumah. Aku sengaja mendatangi sekolah Alex sebagai pengalih rasa sedihku. Ku ambil cermin dari dalam tas, memastikan aku tak terlihat sembab usai menangis. Pun aku segera turun dari taksi.Ini masih pukul 10 pagi, Alex dan teman-temannya masih berada di dalam kelas. Ku perhatikan lamat-lamat situasi sekitar, berharap ada yang bisa ku ingat. Dari yang Chris bilang, aku kecelakaan dalam perjalanan menjemput Alex pulang sekolah. Pasti aku sering melakukan rutinitas ini. Namun kenapa aku tetap sulit mendapatkan kenangan itu?"Anna?" Sapa seorang wanita. Dia berusia sekitar 30 tahun, dan tersenyum hangat. Apa Alex berteman dengan anak dari ibu ini? "Kau kemana saja? Sudah lama aku tidak melihatmu.""Ah, hallo? Kau mengenalku?" Bal
"Apa saja."Aku berucap tak berselera. Harry melirik karena sikapku mungkin membuatnya kesal. Dia menyebutkan dua full english breakfast dan orange juice sebagai menu sarapan paksanya bagiku."Aku ingin putus." Lanjutku, tanpa basa-basi."Makan dulu agar kau punya energi lebih untuk memutuskanku."Aku mengerucutkan bibir. Apa-apaan ini? Harry pun mengeluarkan ponselnya, memainkannya. Dia terus begitu, asik dengan gadgetnya, seolah aku tak ada di hadapannya. Lalu untuk apa dia repot-repot meyeretku kemari? Dan juga tau darimana dia rumahku?Setelah pesananku datang, Harry menaruh ponselnya di meja. Matanya kali ini tertuju padaku. Atas tatapan tajam itu, akhirnya aku berinisiatif mera
Alex baru saja dijemput oleh bus sekolah. Dia berusia 5 tahun dan duduk di kelas taman kanak-kanak. Sebelumnya Alex terus berbicara agar aku tidak menghilang lagi. Bahkan dia tetap menatapku sambil melambaikan tangan dari bagian belakang bus. Aku terhibur akan kelakuan menggemaskannya, walau di satu sisi kejadian yang terjadi sejauh ini masih terasa seperti mimpi. Dan hati kecilku dengan sangat egoisnya sedikit berharap dapat mengakhiri mimpi panjang ini, untuk kembali pada Harry. Oh, aku pasti gila! Apa yang baru saja aku pikirkan?Beralih pada Chris, dia pagi-pagi sekali sudah ke bandara mengantarkan Celine dan Gerald (kedua orangtuanya, atau haruskah ku sebut ibu-ayah mertuaku?) Mereka sungguh hangat sekaligus mengerti kondisiku. Sayangnya setelah satu minggu berkunjung, mereka harus kembali ke Manthattan. Di satu minggu ini pun aku mulai tahu banyak hal. Namun dari semuanya, yang pali
Aku mengeratkan selimut ketika mendengar suara mesin mobil dari halaman rumah. Saat aku yakin itu Harry, aku pun memejamkan mata dengan posisi tidur miring. Ini sudah pukul 3 pagi, dan aku tidak percaya dia baru kembali setelah kami sempat beradu mulut. Kekesalanku bertambah manakala dia tidak mengangkat telponku maupun membalas pesanku. Dia tahu betul cara membuatku gelisah setengah mati."Britt?" Harry memanggil bersamaan dengan sentuhannya di pundakku. "Aku tahu kau belum tidur. Maafkan aku sudah meninggalkanmu seperti tadi."Aku tak bergeming barang satu inchi pun. Bisa ku rasakan sisi ranjang terisi begitu Harry memeluk tubuhku dari belakang. Tangan kanan itu melingkar di pinggangku, sementara wajahnya dia tenggelamkan pada rambutku sebelum merambah pada bagian pundak. Kemudian aku tersadar helaan nafasnya berbau alkohol, terkesan
Sudah nyaris 1 jam aku bersembunyi di dalam kamar. Apa yang barusan terjadi membuatku terkejut. Seorang anak menyebutku 'mom' dengan senyum yang merekah lebar. Itu semakin memperkuat ucapan Chris yang ku kira sebatas kebohongan belaka. Tentang aku yang merupakan istrinya, juga tentang kami yang sudah memiliki seorang anak lelaki bernama Alex --ya dia adalah anak itu.Pintu kamar pun diketuk. Lantas cepat-cepat aku menghapus air mataku. "Sebentar, Harry. Aku akan kelu... ar." Suaraku menipis begitu tersadar sosok yang masuk bukanlah Harry, melainkan Chris. Mengapa Harry bisa membiarkan dia kemari? "A-apa yang kau lakukan? Pergi!""Berikan aku kesempatan bicara." Chris berjalan mendekat, namun aku langsung melemparinya dengan berbagai barang disekitarku. Aku enggan mendengar satu kata pun dari mulutnya. Aku belum siap, atau lebih tepatnya
Aku membersihkan luka Harry dengan hati-hati. Sementara pria itu hanya diam membisu semenjak perseteruan dirinya dengan Chris berakhir beberapa waktu lalu. Walau aku tidak tahu mana kenyataan yang benar, maksudku antara pembelaan Harry maupun Chris yang jauh berkebalikan, bagaimanapun juga hatiku condong pada Harry. Aku memercayai dia melebihi orang-orang di sekitarku. Aku yakin dia selalu berkata jujur."Ini sudah malam. Beristirahat--"Tiba-tiba Harry meraih pergelangan tanganku usai aku selesai mengobatinya dan hendak beranjak dari kamarnya. Hijau Harry menatapku datar, tak ada emosi apapun yang mampu ku baca. "Apa... kau akan pergi? Kau tidak memercayaiku?"Pun aku tersenyum tipis sambil menyentuh wajahnya. "Kau kekasihku, tentu aku percaya. Sekarang tidurlah."