Tiga sahabat sudah selesai mengerjakan tugas. Sekarang mereka tengah bersantai di kamar Rosie, markas favorit mereka, dengan kesibukan masing-masing.
"Aku cuma mau hubungan kami kembali seperti dulu." Akhirnya Rosie berkata setelah menyelesaikan curhat panjangnya. David dan Claire hanya memberikan "Hmmm" singkat tanpa menoleh sedikitpun.
David masih setia mengetik di ponselnya dan Claire masih sibuk membaca naskah untuk audisi.
"Kalian ngerti tidak sih apa yang aku maksud?" tanya Rosie agak kesal karena dua sahabatnya seperti tidak perduli. Padahal curhatan Rosie ini sudah jadi ganjalan di hatinya sejak beberapa bulan terakhir.
Jelas saja reaksi Claire dan David terlampau datar. Pasalnya hal yang jadi 'masalah besar' bagi Rosie sudah berulang kali mereka dengar. Bukan pertama kalinya Rosie cerita tentang kegalauannya akan hubungannya dengan sang kakak tiri.
Rosie hanya mau Edward kembali bersikap ra
"Oi, Edward! Bangun! Sudah sore. Kau tidak berniat bangun dan beraktivitas?" Axel duduk di pinggir ranjang, menggoyang-goyangkan tubuh sahabatnya. Si pemuda asal LA membetulkan posisi duduknya supaya lebih efektif membangunkan Edward."Minimal makan dulu. Kami tahu kau pasti belum makan sejak pagi." Axel berkata lagi seraya memberi kode pada Jackson untuk mengoper bungkusan plastik putih dari atas meja berisikan salad sayuran.Jackson berhenti men-scroll ponsel pintarnya, sedikit mencondongkan tubuh meraih plastik putih yang beberapa detik lalu baru dia taruh di meja, menyerahkannya pada Axel tanpa protes apapun. Meski dalambhati sudah bosan dan lelah mengurusi 'bayi' besar bernama Edward Carson Quin."Edward, kalau kau begini terus, kau pasti sudah mati duluan sebelum jadi menikah," komentar Jackson setelah melihat Edward tetap bergeming meski Axel sudah menggoyangkan badannya dan menaruh sald di dekat kepalannya.
Dia memang bajingan.Edward mengakuinya. Beberapa bulan ini sudah tak terhitung luka dan air mata yang dia berikan untuk gadis itu. Dia juga paham betapa Alice begitu merana karena dirinya. Tentu saja. Siapa perempuan yang tidak merana melihat kekasihnya, orang yang dia cintai, lebih perduli dan perhatian pada gadis lain?Dia tahu Alice banyak terluka karena kelakuannya, itu sebabnya Edward sudah mengambil keputusan. Beberapa hari ini dia merenung, memikirkan banyak hal tentang Alice dan hubungan mereka. Alice, gadis cantik baik hati yang sudah sepuluh tahun mengisi hari-harinya tidak pernah berubah. Masih gadis yang sama seperti sepuluh tahun lalu, mencintainya sepenuh hati.Namun...Edward lah yang telah berubah. Edward Quin bukan lagi orang yang sama. Dia sudah berhenti membohongi diri sendiri. Edward sadar bahwa perasaan yang selama ini dia pikir cinta, ternyata hanya rasa sayang terhadap sahabat. Edward b
"Sebenarnya, memang kami agak kuatir. Kalian sudah lima tahun lebih menjalin hubungan, tapi masih belum ada kepastian dari keluarga Quin. Alice dan kau 'kan sudah sama-sama dewasa, sudah cukup umur. Masalah kuliah juga bisa kalian lanjutkan walau kalian sudah menikah. Kami sebagai orang tua akan tetap mendukung sampai kalian lulus dan bisa menghidupi diri kalian sendiri. Yang penting sekarang itu kalian meresmikan hubungan biar sah. Jadi kedua pihak keluarga pun bisa tenang."Lionel John menuturkan pemikiran yang mengganggunya beberapa bulan ini. Baginya Alice dan Edward tidak punya alasan untuk menunda pernikahan. Toh mereka sudah lama pacaran."Sayang?" Sang Istri membelalak kaget kepada Suaminya. Mereka memang sudah beberapa kali membicarakan masalah ini, tapi belum ada kesepakatan untuk mengutarakannya langsung pada Edward.Alice juga dengan cemas menatap Ayahnya. Dia sudah bilang untuk jangan menekan Edward. Dia dan Edward tela
"Jadi... kamu ke sini untuk..." pancing Edward karena Rosie tetap membisu sembari pasang wajah kebingungan."Ah! iya...jadi aku ke mari karena....""Ada sesuatu yang mau kamu katakan, 'kan?""Betul." Rosie meremas kepalan tangannya hingga memutih. Dia menelan ludah sebab tiba-tiba saja tenggorokannya kering. Otaknya tidak bisa fokus pada apapun hingga dia kesulitan merangkai kata. Yang Rosie tahu hatinya nyeri sampai dia tidak bisa melakukan apapun."Rosie." panggilan Edward terdengar lembut dan hangat. Membuat Rosie makin sesak.Matanya mengejam sejenak. Dia membayangkan wajah Alice, Damian, dan kedua orang tuanya. Mereka semua tersenyum lebar padanya. Dan Rosie langsung menemukan kembali akal sehatnya yang sesaat tadi buyar.Si adik tiri lurus menatap Edward. Rosie memantapkan hatinya untuk menyelesaikan hubungan rumit bersama Edward. Dia menyiapkan segenap kekuatan untuk berhenti
"Aku baru naik kelas tiga, Kak. Kau harus tunggu minimal...." Rosie pasang wajah sok berpikir yang bikin Damian harus menahan dirinya untuk tidak menyerang gadis itu lagi. "...lima tahun lagi sampai aku lulus kuliah." Lanjut Rosie dengan senyum seduktif.Itu benar, sekarang saja Rosie baru libur panjang setelah pengumuman kenaikan kelas minggu lalu. Sebenarnya dia tidak keberatan menikahi Damiam setelah lulus SMA, satu tahun lagi. Tapi kesenangan yang didapat ketika kekasihnya membuat ekspresi terganggu sulit untuk Rosie abaikan.Damian manyun mendengar kalimat Rosie. Lima tahun terlalu lama baginya. Dia ingin Rosie jadi miliknya segera. Sekilas muncul pemikiran untuk membicarakan pernikahan mereka pada orang tuanya, supaya kedua keluarga bisa bertemu dan merencanakan pernikahan.Edward dan Alice saja berhasil meyakinkan orang tua mereka, Damian yakin dia dan Rosie punya kesempatan yang sama."
Semilir angin dingin kota Bandung tidak mematahkan tekad Edward untuk menemukan Rosie. Sepuluh menit lalu Rosie menelpon dan memberitahu lokasinya. Dia menunggu di halte bus depan sebuah toserba. Kini toserba yang dimaksud telah tutup, hanya beberapa lampu jalan temaram menerangi sisi jalan kosong. Sudah pasti, sekarang pukul sepuluh lewat sepuluh, hampir semua toko di pinggir jalan sudah tutup, mobil pun sangat jarang berlalu lalang.Hati Edward mencelos. Tidak tahu karena lega atau miris. Pemandangan Rosie duduk di aspal keras di dalam halte bus sembari memeluk lututnya memicu amarah sekaligus kesedihan di benak Edward.Tubuh kurus itu hanya berbalut gaun tipis putih selutut, terlihat jelas menggigil karena sengatan udara dingin. Wajah Rosie menunduk, kening bersandar pada lutut. Rambut hitamnya sudah acak-acakan tak karuan. Adik tirinya nampak menyedihkan dan dia membenci Damian Marley karena menjadi penyebabnya.Cih. Edward lebi
"A-ku..." dia terdiam. Sejujurnya tidak mengerti dengan keinginan hatinya sendiri. Damian enggan melepas Rosie, tapi dia juga tak mampu menentang orang tuanya.Rosie tersenyum getir. Baginya segala keraguan Damian adalah jawaban yang gamblang. Jelas. Rosie diangkat ke langit ke tujuh, hanya untuk kemudian dihempas ke bumi. Itu terjadi dua kali. Dia hancur untuk yang kedua kalinya."Terima kasih, Tuhan. Kau telah memberikan aku pelajaran sekaligus ganjaran yang tak akan aku lupakan.""Sudah berakhir. Kita putus. Jangan coba muncul di hadapanku lagi, aku tidak mau melihatmu selamanya." Air matanya kembali menerobos. Dia berjalan masuk ke rumah sebelum Damian menyadari tangisnya. Rosie harus kuat, toh ini bukan yang pertama kali.***"Kurang ajar betul! Dia pikir dia siapa berani-beraninya menyakiti putriku?! Lionel Marley sudah bosan hidup rupanya. Aku akan lihat bagaimana dia menyobongkan dirinya setelah kutarik semua inv
Suasana di kamar itu amat tegang.Udara melayang membawa kebencian dari pengkhianatan. Paru-paru mereka terasa menciut seiring pernapasan menghirup dan menghepas. Ada rasa sakit disetiap tatapan dalam sunyi.Tak pernah...Sedetik juga tak pernah Claire membayangkan dalam pikiran terliarnya bahwa sang sahabat sejati, sahabat sejiwa, orang yang dia kira soulmate-nya akan melakukan hal sedemikian keji.Bambam mendecih dalam cemooh. Menyadari dirinyalah yang terlampau naif. Percaya bahwa seseorang akan selalu menjaga perasaannya diatas kepentingan orang itu sendiri. Percaya bahwa jiwa lain di luar tubuhnya akan rela berkorban demi dirinya.Tidak ada yang seperti itu di dunia ini. Yang ada hanya orang yang baik padamu selama kau masih bisa dimanfaatkan. Selama kau masih bisa dipakai untuk kepentingannya. Jika tidak, kau akan dibuang begitu saja. Menjadi sampah tanpa belas kasihan.