"Oi, Edward! Bangun! Sudah sore. Kau tidak berniat bangun dan beraktivitas?" Axel duduk di pinggir ranjang, menggoyang-goyangkan tubuh sahabatnya. Si pemuda asal LA membetulkan posisi duduknya supaya lebih efektif membangunkan Edward.
"Minimal makan dulu. Kami tahu kau pasti belum makan sejak pagi." Axel berkata lagi seraya memberi kode pada Jackson untuk mengoper bungkusan plastik putih dari atas meja berisikan salad sayuran.
Jackson berhenti men-scroll ponsel pintarnya, sedikit mencondongkan tubuh meraih plastik putih yang beberapa detik lalu baru dia taruh di meja, menyerahkannya pada Axel tanpa protes apapun. Meski dalambhati sudah bosan dan lelah mengurusi 'bayi' besar bernama Edward Carson Quin.
"Edward, kalau kau begini terus, kau pasti sudah mati duluan sebelum jadi menikah," komentar Jackson setelah melihat Edward tetap bergeming meski Axel sudah menggoyangkan badannya dan menaruh sald di dekat kepalannya.
<Dia memang bajingan.Edward mengakuinya. Beberapa bulan ini sudah tak terhitung luka dan air mata yang dia berikan untuk gadis itu. Dia juga paham betapa Alice begitu merana karena dirinya. Tentu saja. Siapa perempuan yang tidak merana melihat kekasihnya, orang yang dia cintai, lebih perduli dan perhatian pada gadis lain?Dia tahu Alice banyak terluka karena kelakuannya, itu sebabnya Edward sudah mengambil keputusan. Beberapa hari ini dia merenung, memikirkan banyak hal tentang Alice dan hubungan mereka. Alice, gadis cantik baik hati yang sudah sepuluh tahun mengisi hari-harinya tidak pernah berubah. Masih gadis yang sama seperti sepuluh tahun lalu, mencintainya sepenuh hati.Namun...Edward lah yang telah berubah. Edward Quin bukan lagi orang yang sama. Dia sudah berhenti membohongi diri sendiri. Edward sadar bahwa perasaan yang selama ini dia pikir cinta, ternyata hanya rasa sayang terhadap sahabat. Edward b
"Sebenarnya, memang kami agak kuatir. Kalian sudah lima tahun lebih menjalin hubungan, tapi masih belum ada kepastian dari keluarga Quin. Alice dan kau 'kan sudah sama-sama dewasa, sudah cukup umur. Masalah kuliah juga bisa kalian lanjutkan walau kalian sudah menikah. Kami sebagai orang tua akan tetap mendukung sampai kalian lulus dan bisa menghidupi diri kalian sendiri. Yang penting sekarang itu kalian meresmikan hubungan biar sah. Jadi kedua pihak keluarga pun bisa tenang."Lionel John menuturkan pemikiran yang mengganggunya beberapa bulan ini. Baginya Alice dan Edward tidak punya alasan untuk menunda pernikahan. Toh mereka sudah lama pacaran."Sayang?" Sang Istri membelalak kaget kepada Suaminya. Mereka memang sudah beberapa kali membicarakan masalah ini, tapi belum ada kesepakatan untuk mengutarakannya langsung pada Edward.Alice juga dengan cemas menatap Ayahnya. Dia sudah bilang untuk jangan menekan Edward. Dia dan Edward tela
"Jadi... kamu ke sini untuk..." pancing Edward karena Rosie tetap membisu sembari pasang wajah kebingungan."Ah! iya...jadi aku ke mari karena....""Ada sesuatu yang mau kamu katakan, 'kan?""Betul." Rosie meremas kepalan tangannya hingga memutih. Dia menelan ludah sebab tiba-tiba saja tenggorokannya kering. Otaknya tidak bisa fokus pada apapun hingga dia kesulitan merangkai kata. Yang Rosie tahu hatinya nyeri sampai dia tidak bisa melakukan apapun."Rosie." panggilan Edward terdengar lembut dan hangat. Membuat Rosie makin sesak.Matanya mengejam sejenak. Dia membayangkan wajah Alice, Damian, dan kedua orang tuanya. Mereka semua tersenyum lebar padanya. Dan Rosie langsung menemukan kembali akal sehatnya yang sesaat tadi buyar.Si adik tiri lurus menatap Edward. Rosie memantapkan hatinya untuk menyelesaikan hubungan rumit bersama Edward. Dia menyiapkan segenap kekuatan untuk berhenti
"Aku baru naik kelas tiga, Kak. Kau harus tunggu minimal...." Rosie pasang wajah sok berpikir yang bikin Damian harus menahan dirinya untuk tidak menyerang gadis itu lagi. "...lima tahun lagi sampai aku lulus kuliah." Lanjut Rosie dengan senyum seduktif.Itu benar, sekarang saja Rosie baru libur panjang setelah pengumuman kenaikan kelas minggu lalu. Sebenarnya dia tidak keberatan menikahi Damiam setelah lulus SMA, satu tahun lagi. Tapi kesenangan yang didapat ketika kekasihnya membuat ekspresi terganggu sulit untuk Rosie abaikan.Damian manyun mendengar kalimat Rosie. Lima tahun terlalu lama baginya. Dia ingin Rosie jadi miliknya segera. Sekilas muncul pemikiran untuk membicarakan pernikahan mereka pada orang tuanya, supaya kedua keluarga bisa bertemu dan merencanakan pernikahan.Edward dan Alice saja berhasil meyakinkan orang tua mereka, Damian yakin dia dan Rosie punya kesempatan yang sama."
Semilir angin dingin kota Bandung tidak mematahkan tekad Edward untuk menemukan Rosie. Sepuluh menit lalu Rosie menelpon dan memberitahu lokasinya. Dia menunggu di halte bus depan sebuah toserba. Kini toserba yang dimaksud telah tutup, hanya beberapa lampu jalan temaram menerangi sisi jalan kosong. Sudah pasti, sekarang pukul sepuluh lewat sepuluh, hampir semua toko di pinggir jalan sudah tutup, mobil pun sangat jarang berlalu lalang.Hati Edward mencelos. Tidak tahu karena lega atau miris. Pemandangan Rosie duduk di aspal keras di dalam halte bus sembari memeluk lututnya memicu amarah sekaligus kesedihan di benak Edward.Tubuh kurus itu hanya berbalut gaun tipis putih selutut, terlihat jelas menggigil karena sengatan udara dingin. Wajah Rosie menunduk, kening bersandar pada lutut. Rambut hitamnya sudah acak-acakan tak karuan. Adik tirinya nampak menyedihkan dan dia membenci Damian Marley karena menjadi penyebabnya.Cih. Edward lebi
"A-ku..." dia terdiam. Sejujurnya tidak mengerti dengan keinginan hatinya sendiri. Damian enggan melepas Rosie, tapi dia juga tak mampu menentang orang tuanya.Rosie tersenyum getir. Baginya segala keraguan Damian adalah jawaban yang gamblang. Jelas. Rosie diangkat ke langit ke tujuh, hanya untuk kemudian dihempas ke bumi. Itu terjadi dua kali. Dia hancur untuk yang kedua kalinya."Terima kasih, Tuhan. Kau telah memberikan aku pelajaran sekaligus ganjaran yang tak akan aku lupakan.""Sudah berakhir. Kita putus. Jangan coba muncul di hadapanku lagi, aku tidak mau melihatmu selamanya." Air matanya kembali menerobos. Dia berjalan masuk ke rumah sebelum Damian menyadari tangisnya. Rosie harus kuat, toh ini bukan yang pertama kali.***"Kurang ajar betul! Dia pikir dia siapa berani-beraninya menyakiti putriku?! Lionel Marley sudah bosan hidup rupanya. Aku akan lihat bagaimana dia menyobongkan dirinya setelah kutarik semua inv
Suasana di kamar itu amat tegang.Udara melayang membawa kebencian dari pengkhianatan. Paru-paru mereka terasa menciut seiring pernapasan menghirup dan menghepas. Ada rasa sakit disetiap tatapan dalam sunyi.Tak pernah...Sedetik juga tak pernah Claire membayangkan dalam pikiran terliarnya bahwa sang sahabat sejati, sahabat sejiwa, orang yang dia kira soulmate-nya akan melakukan hal sedemikian keji.Bambam mendecih dalam cemooh. Menyadari dirinyalah yang terlampau naif. Percaya bahwa seseorang akan selalu menjaga perasaannya diatas kepentingan orang itu sendiri. Percaya bahwa jiwa lain di luar tubuhnya akan rela berkorban demi dirinya.Tidak ada yang seperti itu di dunia ini. Yang ada hanya orang yang baik padamu selama kau masih bisa dimanfaatkan. Selama kau masih bisa dipakai untuk kepentingannya. Jika tidak, kau akan dibuang begitu saja. Menjadi sampah tanpa belas kasihan.
Alice baru mau mendorong pintu yang setegah terbuka, ketika suara yang begitu familiar menyambangi rungunya."Claire jangan berlebihan! Aku dan kau tidak pernah jadi sesuatu. Aku dan Rosie saling mencintai-"Sontak saja Alice membelalak karenanya. Tanpa sadar dia mengeratkan legangannya pada kenop pintu hingga jemari lentiknya memutih. Jantungnya terasa terjun keluar rongga dada setelah kalimat lain dari dalam kamar Rosie terlontar."Diam! Kau lelaki brengsek! Kau juga tau aku sangat mencintaimu! Tapi kau malah menghamili sahabatku!"Laksana petir menyambarnya di siang bolong, Alice langsung lemas seketika, lututnya mulai gemetar, hatinya tak keruan. Ini pasti cuma mimpi, 'kan? Seseorang tolong katakan ini cuma mimpi saja. Hanya mimpi buruknya.David tidak mungkin menghamili Rosie! Mustahil David dan Rosie...Ah sial! Otak cemerlang Alice yang biasanya begitu tenang, sekarang tidak
"Wah, tidak jauh dari rumah. Kapan-kapan main ya ke rumah." Lidya terkekeh di akhir kalimatnya. Angel meringis dan Damian tersenyum kecil."Iya, Tante.""Siapa tahu, bisa menjadi menantu. Belum punya pacar, 'kan?"Angel sontak menatap Lidya dengan wajah terkejut namun setelah itu kembali melunak, terkekeh lalu menunduk. Kedua tangannya terkepal hingga jari kukunya kian memutih.***"Ella."Ella menoleh saat Samuel sudah berada di hadapannya dengan sekotak susu pisang."Ini, untukmu." Samuel menyodorkannya dan Ella dengan ragu mengambilnya."Terima kasih." cicit Ella pelan.Samuel tidak menjawab, anak itu langsung mengambil posisi di samping Ella seraya melanjutkan meminum susu pisangnya. Kini, sudah lima belas menit berlalu sejak bel istirahat berbunyi. Ella dan Samuel sedang duduk di santai di bangku taman seray
"Angel, kau apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu. Ada waktu luang? Bisa kita bicara sebentar?"Angel yang tidak tahu ingin berkata apa hanya mampu tersenyum kecil dan pasrah ketika tangannya di tarik begitu saja oleh Ibu Damian. Diam-diam, Damian merasakan tatapan tajam Angel yang siap membunuhnya.***Ella menghela napas lelah selepas turun dari mobil Rere. Padahal, niatnya hari ini dia tidak ingin masuk sekolah mengingat hal mengerikan lain yang mungkin saja bisa terjadi. Kemarin, seperti biasa dia selalu mendapat perlakuan yang menjengkelkan."Ella, tidak boleh cemberut begitu. Anak cantik harus tersenyum." Rere berujar dari balik kaca mobil.Ella hanya meliriknya sekilas lalu mengangguk. "I go to school, Aunty."Rere mengangguk, "I wiil pick you up later."Setelah Ella mengangguk barulah mobil Rere melesat menuju jalan ibu kota yang padat
"Aku berangkat dulu, ya." pamit Edward pada Rosie. Mengecup kening sang istri lalu beralih ke perut buncitnya."Sayang, jaga Ibu baik-baik, ya. Jangan nakal." Setelah itu, Edward juga meninggalkan kecupan untuk si jabang bayinya."Ayo, Ayah!" Rosie kembali terkekeh menyaksikan wajah lelah Edward."Aku sudah di tunggu Kak Eros di sekolah!" Samuel kembali bersuara, kali ini dengan menunjukkan jam tangan yang memiliki fungsi seperti ponsel, hadiah dari kakeknya."Iya, sebentar sayang.""Ya sudah, kamu berangkat. Hati-hati di jalan."Edward mengangguk, melemparkan senyum. "Baiklah."Lima menit kemudian, mobil yang di kendarai Edward melaju pergi, tersisa Samuel yang melambaikan tangannya pada Rosie sampai sang ibu hilang dari pandangannya.***David melirik ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah setenga
"Kak Damian? Angel? Kalian saling kenal?" Rosie menatap sepasang pria dan wanita yang dia kenal di hadapannya. Edward sepertinya juga menatap heran keduanya dari pandangan mata.Damian yang semula berada berapa langkah di belakang Angel kini mulai berjalan hingga keduanya bersisihan."Ya, kami saling kenal. Kami pernah berpacaran semasa aku kuliah dulu." ungkap Damian secara gamblang dengan mudahnya. Sontak saja, itu memancing tiga pasang mata yang ada di sana menatap Damiam terkejut. Terlebih lagi Angel, rasanya bola mata gadis itu sebentar lagi akan melompat keluar jika tak sedetik kemudian Angel berkedip."Wah, kalian ternyata pernah berpacaran? Astaga, dunia ini benar-benar sempit." Edward berseru kalut, ikut mewakili Rosie yang juga terkejut mendengarnya.Damian hanya melemparkan tatapan tak berdosanya pada Angel seraya menampilkan senyuman terbaiknya. Sedan
"Kau masih menyukainya?"Angel membuang wajahnya tanpa sadar yang malah membuat Damian semakin yakin dengan persepsinya."Kau ada waktu sebentar di taman? Kebetulan, aku membawa makanan." Damian menunjukkan tentengan yang dia bawa, arah mata Angel mengikuti pergerakan tangan Damian.***"Kau sudah lama menjadi Dokter di sini?" Damian memulai pertanyaan seraya membuka bungkus roti yang dia bawa. Kebetulan, dia belum sarapan. Niatnya, dia ingin menjenguk Rosie dan Samuel, tapi saat dia ingin menjenguknya, dia malah menemukan sosok mantan kekasih yang sudah lama sekali tidak muncul di hadapannya. Sebuah kebetulan sekali.Ya, Damian dan Angel memang pernah memadu kasih bahkan Damian sudah mengenalkan Angel pada ayah dan ibunya. Kalian ingat saat hubungan Damian dan Rosie di tentang keras oleh kedua orang tua Damian? Bukan semata-mata hanya karena Rosie tidak memiliki Ayah dan latar bel
Pada awalnya, Rosie akan menduga bahwa Edward tidak bisa menerima Samuel sebagai anak pertamanya, tapi dugaannya salah ketika melihat senyuman Edward yang begitu tulus ketika kali pertamanya dia melihat Samuel. Hati Rosie juga ikut mencelos kala itu, merasa terharu dengan apa yang dia lihat.Edward yang merasa terusik dengan elusan di kepalanya kini perlahan mulai membuka matanya, dan langsung membeliak kaget ketika melihat wajah sang istri yang sudah kembali berseri."Kau sudah sadar? Bagaimana? Apa perutmu merasa sakit lagi?" Edward langsung mengecek keadaan Rosie, memutar tubuh sang istri, dia ingin memastikannya sendiri.Rosie tertawa geli menyadari sikap protektif Edward terhadapnya, "Aku tidak apa-apa, Edward. Aku baik-baik saja."Edward menaikkan satu alisnya, "Apa kau yakin?" Rosie tersenyum lalu mengangguk.Edward menghela napas lega, "Syukurlah
Rere berdehem dengan salah satu telunjuknya menyentuh dagu, terlihat berpikir. "Menurut Aunty, Si Bully ini seperti racun yang semakin lama akan semakin menggerogoti tubuh kita. Jadi, kita harus menghilangkan racun-racun itu. Jika, Ella merasa di rugikan maka Ella harus menjauh, Ella tidak boleh diam saja itu akan semakin membuat Ella meras lemah. Ella menjauh saja, tidak usah pedulikan apa yang dia bicarakan. Toh, mereka semakin lama akan bosan dan tidak akan mengganggu Ella lagi."Rupanya, ucapan Rere tadi belum berhasil mengundang senyuman di wajah Ella. "Tapi, aku tidak memiliki teman. Aku ingin memiliki teman seperti yang lain, Aunty."Rere mengelus punggung belakang Ella, "Ella tahu, 'kan? Kalau Ella belum lama ada di sini? Jadi, Ella memang harus beradaptasi dengan lingkungan Ella yang sekarang. Lingkungan Ella yang sekarang ini jauh berbeda dengan lingkungan Ella yang di Sydney. Aunty juga yakin pasti suatu saat Ella ak
"Kau sedang melihat apa?" tanya David yang setelah itu menegak minumannya."Aku sedang melihat anak-anak, Samuel dab Eros terlihat nampak dekat. Bahkan, Samuel sudah seperti adiknya sendiri. Apa kau tahu? Eros tidak seperti itu pada Zea dan Zelo, hanya pada Samuel dia seperti itu."David mengangkat kedua bahunya lalu bersandar pada senderan kursi di belakangnya seraya melebarkan kakinya, "Kurasa, Eros benar-benar sangat menyukai Samuel, dan Samuel juga sebaliknya. Dulu, Eros selalu bilang padaku, katanya seperti ini, aku juga ingin menjaga adikku tapi Zea sudah bersama dengan Zelo, selalu. Padahal, dia juga ingin seperti Zelo. Sedangkan, Zelo sepertinya juga bisa tanpanya. Mungkin, itulah yang menyababkan Eros sangat menyayangi Samuel."Alice mengangguk seraya tersenyum, "Kurasa begitu. Setidaknya, aku lega karena permasalahan harus berakhir seperti ini. Untung saja, takdir memang sudah di gariskan da
"Edward, kakiku lemas. Aku tidak bisa berjalan." lirih Rosie pelan tapi masih bisa di dengar oleh semua pasang telinga."Ibu! Ibu kenapa?" Samuel langsung menyeru ketika melihat wajah sang ibu yang pucat tapi masih bisa memaksakan senyum.Edward dengan siaga langsung menggendong tubuh Rosie, "Alice sebentar ya, tolong jaga anak-anak aku akan membawa Rosie ke ruangannya dan memanggil Dokter." Setelah itu, langkah Edward menghilang di balik pintu."Aku kasihan melihatnya." ujar Alice lirih. Sungguh, dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia berada di posisi Rosie. Kandungannya yang mengalami flek dan anaknya yang habis terjatuh dari mainan bola dunia, benar-benar membuat Alice prustasi melihatnya."Tak apa, Rosie adalah gadis yang kuat." Alice mengangguk."Bibi Alice, Paman David. Ibu kenapa? Kenapa wajahnya sangat pucat sekali?" Samuel berkata dengan nada khawa