"Aku baru naik kelas tiga, Kak. Kau harus tunggu minimal...." Rosie pasang wajah sok berpikir yang bikin Damian harus menahan dirinya untuk tidak menyerang gadis itu lagi. "...lima tahun lagi sampai aku lulus kuliah." Lanjut Rosie dengan senyum seduktif.
Itu benar, sekarang saja Rosie baru libur panjang setelah pengumuman kenaikan kelas minggu lalu. Sebenarnya dia tidak keberatan menikahi Damiam setelah lulus SMA, satu tahun lagi. Tapi kesenangan yang didapat ketika kekasihnya membuat ekspresi terganggu sulit untuk Rosie abaikan.
Damian manyun mendengar kalimat Rosie. Lima tahun terlalu lama baginya. Dia ingin Rosie jadi miliknya segera. Sekilas muncul pemikiran untuk membicarakan pernikahan mereka pada orang tuanya, supaya kedua keluarga bisa bertemu dan merencanakan pernikahan.
Edward dan Alice saja berhasil meyakinkan orang tua mereka, Damian yakin dia dan Rosie punya kesempatan yang sama.
"
Semilir angin dingin kota Bandung tidak mematahkan tekad Edward untuk menemukan Rosie. Sepuluh menit lalu Rosie menelpon dan memberitahu lokasinya. Dia menunggu di halte bus depan sebuah toserba. Kini toserba yang dimaksud telah tutup, hanya beberapa lampu jalan temaram menerangi sisi jalan kosong. Sudah pasti, sekarang pukul sepuluh lewat sepuluh, hampir semua toko di pinggir jalan sudah tutup, mobil pun sangat jarang berlalu lalang.Hati Edward mencelos. Tidak tahu karena lega atau miris. Pemandangan Rosie duduk di aspal keras di dalam halte bus sembari memeluk lututnya memicu amarah sekaligus kesedihan di benak Edward.Tubuh kurus itu hanya berbalut gaun tipis putih selutut, terlihat jelas menggigil karena sengatan udara dingin. Wajah Rosie menunduk, kening bersandar pada lutut. Rambut hitamnya sudah acak-acakan tak karuan. Adik tirinya nampak menyedihkan dan dia membenci Damian Marley karena menjadi penyebabnya.Cih. Edward lebi
"A-ku..." dia terdiam. Sejujurnya tidak mengerti dengan keinginan hatinya sendiri. Damian enggan melepas Rosie, tapi dia juga tak mampu menentang orang tuanya.Rosie tersenyum getir. Baginya segala keraguan Damian adalah jawaban yang gamblang. Jelas. Rosie diangkat ke langit ke tujuh, hanya untuk kemudian dihempas ke bumi. Itu terjadi dua kali. Dia hancur untuk yang kedua kalinya."Terima kasih, Tuhan. Kau telah memberikan aku pelajaran sekaligus ganjaran yang tak akan aku lupakan.""Sudah berakhir. Kita putus. Jangan coba muncul di hadapanku lagi, aku tidak mau melihatmu selamanya." Air matanya kembali menerobos. Dia berjalan masuk ke rumah sebelum Damian menyadari tangisnya. Rosie harus kuat, toh ini bukan yang pertama kali.***"Kurang ajar betul! Dia pikir dia siapa berani-beraninya menyakiti putriku?! Lionel Marley sudah bosan hidup rupanya. Aku akan lihat bagaimana dia menyobongkan dirinya setelah kutarik semua inv
Suasana di kamar itu amat tegang.Udara melayang membawa kebencian dari pengkhianatan. Paru-paru mereka terasa menciut seiring pernapasan menghirup dan menghepas. Ada rasa sakit disetiap tatapan dalam sunyi.Tak pernah...Sedetik juga tak pernah Claire membayangkan dalam pikiran terliarnya bahwa sang sahabat sejati, sahabat sejiwa, orang yang dia kira soulmate-nya akan melakukan hal sedemikian keji.Bambam mendecih dalam cemooh. Menyadari dirinyalah yang terlampau naif. Percaya bahwa seseorang akan selalu menjaga perasaannya diatas kepentingan orang itu sendiri. Percaya bahwa jiwa lain di luar tubuhnya akan rela berkorban demi dirinya.Tidak ada yang seperti itu di dunia ini. Yang ada hanya orang yang baik padamu selama kau masih bisa dimanfaatkan. Selama kau masih bisa dipakai untuk kepentingannya. Jika tidak, kau akan dibuang begitu saja. Menjadi sampah tanpa belas kasihan.
Alice baru mau mendorong pintu yang setegah terbuka, ketika suara yang begitu familiar menyambangi rungunya."Claire jangan berlebihan! Aku dan kau tidak pernah jadi sesuatu. Aku dan Rosie saling mencintai-"Sontak saja Alice membelalak karenanya. Tanpa sadar dia mengeratkan legangannya pada kenop pintu hingga jemari lentiknya memutih. Jantungnya terasa terjun keluar rongga dada setelah kalimat lain dari dalam kamar Rosie terlontar."Diam! Kau lelaki brengsek! Kau juga tau aku sangat mencintaimu! Tapi kau malah menghamili sahabatku!"Laksana petir menyambarnya di siang bolong, Alice langsung lemas seketika, lututnya mulai gemetar, hatinya tak keruan. Ini pasti cuma mimpi, 'kan? Seseorang tolong katakan ini cuma mimpi saja. Hanya mimpi buruknya.David tidak mungkin menghamili Rosie! Mustahil David dan Rosie...Ah sial! Otak cemerlang Alice yang biasanya begitu tenang, sekarang tidak
"Ayolah, David! Kau 'kan pria baik. Tidak seperti dua mantannya Rosie yang brengse-"David yang tadinya tersenyum langsung membelalak. Claire juga kaget atas kalimat dari mulutnya sendiri. Dia terlalu santai hingga perkataan spontan itu terucap begitu saja tanpa sengaja. Si gadis cantik dan pemuda tinggi kompak menoleh pada Rosie.Wajah pucat Rosie kini muram. Berbeda dengan ekspresinya yang cerah ceria sebelum Claire melempar anak panah beracun dalam bentuk verbal. Hati Rosie langsung nyeri tertancap bilah tajam itu meski tanpa sengaja. Bibirnya bergetar biarpun dia menahan tangisnya. Tak ada air mata, setidaknya belum keluar dari manik hazel itu, namun Claire dan David jelas melihat kesedihan mendalam di mata Rosie.David diam-diam memarahi Claire dengan tatapannya, Claire hanya bisa meringis merasa bersalah. Dia harus lebih berhati-hati menjaga lisan, terutama di depan Rosie. Topik ini adalah hal sensitif bagi Rosie,
Ah... udara malam ini begitu dingin.Rosie menyesal tidak membawa jaket ketika Edward menawarkannya sesaat sebelum dia berangkat. Sekarang Rosie harus menggigil menahan udara dingin berhembus di atas kulitnya.Dia mengosok-gosok telapak tangan dengan lengan atasnya untuk meredakan dingin yang menusuk. Nampaknya usahanya gagal karena tubuhnya masih menggigil.Sudah lima belas menit Rosie berdiri di depan rumah Susan, teman satu angkatan yang hari ini berulang tahun. Dia menyesal tidak menerima ajakan David untuk diantar pulang karena merasa David pasti sudah kerepotan mengurus Claire. Si gadis cantik mabuk berat sampai berteriak histeris, David harus segera mengangkut tubuh kurus gadis itu sebelum dia berbuat yang aneh-aneh. Sudah begitu arah rumahnya dan apartemen Claire bertolak belakang, Rosie enggan menyusahkan David. Lagi pula jarak rumahnya dan rumah Susan hanya beberapa menit naik taksi, yang tak kunjung datang, jadi Ros
Plaak.Pipi Rosie perih akibat tamparan keras itu. Dia menatap pemuda biadab yang sedang mengangkanginya dengan kebencian luar biasa. Beribu sumpah serapah ingin dia lontarkan, tapi urung sebab dia tahu akan berdampak buruk untuk dirinya sendiri."Dasar pelacur!" hinaan itu lebih perih terasa ketimbang tamparan barusan.Rosie masih setia melawan meski gaunnya telah koyak dan memperlihatkan sebagian besar tubuhnya. Dia makin panik ketika Griffin berhasil melucuti celana dalamnya. Rosie menendang-nendang dalam rangka membebaskan diri, Griffin hanya terkekeh geli."JANGAN!" raungan Rosie adalah gambaran mentalnya sekarang. Putus asa juga murka.Karena Rosie terus melawan, Griffin mengunci kedua tangannya di atas kepala. Pemuda itu membuka ritsleting jeans-nya dengan satu tangan, membuka paksa paha Rosie dan memposisikan organ vitalnya di pintu masuk Rosie.Mata
"Rosie...""Edward! A-apa yang kau lakukan? Ke-kenapa kau ada diberita?....Apa yang terjadi? Ken-kenapa-""Tenang dulu, Rosie. Jangan panik," ucap pemuda Quin dengan tenang. Padahal seharusnya Edwardlah orang yang pantas panik, karena dia yang sedang meringkuk di sel tahanan."Gimana aku tidak panik?! Kau-kenapa kau yang ditahan? Kenapa jadi kau yang membunuh-""Griffin tidak mati. Dia hanya gegar otak, akan bangun dalam beberapa hari. Kau tidak perlu panik, Ros."'Hanya' Edward bilang? Sepertinya bukan Griffin yang gegar otak, melainkan Edward. Dia tidak bisa membaca kekacauan apa yang sedang terjadi. Tidak tahu sebesar apa masalah yang melilitnya sekarang."Tetap saja-""Dan sudah kukatakan untuk menuruti semua perintahku, 'kan? Kau tidak pernah bertemu Griffin semalam. Jangannpernah membahas hal yang tidak pernah terjadi, Rosie." Edwar