Suasana di kamar itu amat tegang.
Udara melayang membawa kebencian dari pengkhianatan. Paru-paru mereka terasa menciut seiring pernapasan menghirup dan menghepas. Ada rasa sakit disetiap tatapan dalam sunyi.
Tak pernah...
Sedetik juga tak pernah Claire membayangkan dalam pikiran terliarnya bahwa sang sahabat sejati, sahabat sejiwa, orang yang dia kira soulmate-nya akan melakukan hal sedemikian keji.
Bambam mendecih dalam cemooh. Menyadari dirinyalah yang terlampau naif. Percaya bahwa seseorang akan selalu menjaga perasaannya diatas kepentingan orang itu sendiri. Percaya bahwa jiwa lain di luar tubuhnya akan rela berkorban demi dirinya.
Tidak ada yang seperti itu di dunia ini. Yang ada hanya orang yang baik padamu selama kau masih bisa dimanfaatkan. Selama kau masih bisa dipakai untuk kepentingannya. Jika tidak, kau akan dibuang begitu saja. Menjadi sampah tanpa belas kasihan.
Alice baru mau mendorong pintu yang setegah terbuka, ketika suara yang begitu familiar menyambangi rungunya."Claire jangan berlebihan! Aku dan kau tidak pernah jadi sesuatu. Aku dan Rosie saling mencintai-"Sontak saja Alice membelalak karenanya. Tanpa sadar dia mengeratkan legangannya pada kenop pintu hingga jemari lentiknya memutih. Jantungnya terasa terjun keluar rongga dada setelah kalimat lain dari dalam kamar Rosie terlontar."Diam! Kau lelaki brengsek! Kau juga tau aku sangat mencintaimu! Tapi kau malah menghamili sahabatku!"Laksana petir menyambarnya di siang bolong, Alice langsung lemas seketika, lututnya mulai gemetar, hatinya tak keruan. Ini pasti cuma mimpi, 'kan? Seseorang tolong katakan ini cuma mimpi saja. Hanya mimpi buruknya.David tidak mungkin menghamili Rosie! Mustahil David dan Rosie...Ah sial! Otak cemerlang Alice yang biasanya begitu tenang, sekarang tidak
"Ayolah, David! Kau 'kan pria baik. Tidak seperti dua mantannya Rosie yang brengse-"David yang tadinya tersenyum langsung membelalak. Claire juga kaget atas kalimat dari mulutnya sendiri. Dia terlalu santai hingga perkataan spontan itu terucap begitu saja tanpa sengaja. Si gadis cantik dan pemuda tinggi kompak menoleh pada Rosie.Wajah pucat Rosie kini muram. Berbeda dengan ekspresinya yang cerah ceria sebelum Claire melempar anak panah beracun dalam bentuk verbal. Hati Rosie langsung nyeri tertancap bilah tajam itu meski tanpa sengaja. Bibirnya bergetar biarpun dia menahan tangisnya. Tak ada air mata, setidaknya belum keluar dari manik hazel itu, namun Claire dan David jelas melihat kesedihan mendalam di mata Rosie.David diam-diam memarahi Claire dengan tatapannya, Claire hanya bisa meringis merasa bersalah. Dia harus lebih berhati-hati menjaga lisan, terutama di depan Rosie. Topik ini adalah hal sensitif bagi Rosie,
Ah... udara malam ini begitu dingin.Rosie menyesal tidak membawa jaket ketika Edward menawarkannya sesaat sebelum dia berangkat. Sekarang Rosie harus menggigil menahan udara dingin berhembus di atas kulitnya.Dia mengosok-gosok telapak tangan dengan lengan atasnya untuk meredakan dingin yang menusuk. Nampaknya usahanya gagal karena tubuhnya masih menggigil.Sudah lima belas menit Rosie berdiri di depan rumah Susan, teman satu angkatan yang hari ini berulang tahun. Dia menyesal tidak menerima ajakan David untuk diantar pulang karena merasa David pasti sudah kerepotan mengurus Claire. Si gadis cantik mabuk berat sampai berteriak histeris, David harus segera mengangkut tubuh kurus gadis itu sebelum dia berbuat yang aneh-aneh. Sudah begitu arah rumahnya dan apartemen Claire bertolak belakang, Rosie enggan menyusahkan David. Lagi pula jarak rumahnya dan rumah Susan hanya beberapa menit naik taksi, yang tak kunjung datang, jadi Ros
Plaak.Pipi Rosie perih akibat tamparan keras itu. Dia menatap pemuda biadab yang sedang mengangkanginya dengan kebencian luar biasa. Beribu sumpah serapah ingin dia lontarkan, tapi urung sebab dia tahu akan berdampak buruk untuk dirinya sendiri."Dasar pelacur!" hinaan itu lebih perih terasa ketimbang tamparan barusan.Rosie masih setia melawan meski gaunnya telah koyak dan memperlihatkan sebagian besar tubuhnya. Dia makin panik ketika Griffin berhasil melucuti celana dalamnya. Rosie menendang-nendang dalam rangka membebaskan diri, Griffin hanya terkekeh geli."JANGAN!" raungan Rosie adalah gambaran mentalnya sekarang. Putus asa juga murka.Karena Rosie terus melawan, Griffin mengunci kedua tangannya di atas kepala. Pemuda itu membuka ritsleting jeans-nya dengan satu tangan, membuka paksa paha Rosie dan memposisikan organ vitalnya di pintu masuk Rosie.Mata
"Rosie...""Edward! A-apa yang kau lakukan? Ke-kenapa kau ada diberita?....Apa yang terjadi? Ken-kenapa-""Tenang dulu, Rosie. Jangan panik," ucap pemuda Quin dengan tenang. Padahal seharusnya Edwardlah orang yang pantas panik, karena dia yang sedang meringkuk di sel tahanan."Gimana aku tidak panik?! Kau-kenapa kau yang ditahan? Kenapa jadi kau yang membunuh-""Griffin tidak mati. Dia hanya gegar otak, akan bangun dalam beberapa hari. Kau tidak perlu panik, Ros."'Hanya' Edward bilang? Sepertinya bukan Griffin yang gegar otak, melainkan Edward. Dia tidak bisa membaca kekacauan apa yang sedang terjadi. Tidak tahu sebesar apa masalah yang melilitnya sekarang."Tetap saja-""Dan sudah kukatakan untuk menuruti semua perintahku, 'kan? Kau tidak pernah bertemu Griffin semalam. Jangannpernah membahas hal yang tidak pernah terjadi, Rosie." Edwar
"Apa yang sebenarnya terjadi, Edward? Kenapa kau sampai memukulnya? Apa yang kau lakukan semalam di rumah pemuda itu? Aku bahkan tidak tahu kalian saling kenal? Kenapa kau bisa sampai melakukan itu? Hah? Tolong jawab aku?! Hiks hiks hiks..."Alice makin frustasi ketika pemuda Quin hanya memberikan senyum simpul penuh penyesalan. Tidak ada kata-kata apa lagi penjelasan. Pemuda itu diam seribu bahasa. Alice yakin ada sesuatu yang Edward sembunyikan. Tidak ada alasan untuk Edward berkelahi dengan seseorang yang hampir mustahil dia kenal sampai hampir merenggut nyawa pemuda itu. Edward Quin bukan orang yang suka melakukan kekerasan. Dia adalah orang yang paling anti dengan yang namanya kekerasan. Edward yang Alice kenal tidak akan melukai seseorang sampai orang tersebut koma.Alice yakin pasti bukan Edward yang melakukannya. Tapi kenapa pemuda Quin tidak membela diri dari semua tuduhan? Kenapa dia pasrah saja menerima semuanya?"Jangan
Akhirnya Rosie tertidur juga. Sudah hampir satu minggu kasus yang menjerat Edward berlangsung. Semua acara berita pasti selalu menyiapkan satu segmen penuh untuk membahas berita 'menarik' tersebut. Mulai dari fakta-fakta janggal, sampai spekulasi tanpa dasar yang hanya bertujuan menarik penonton.Bahkan jika pemberitaan yang mereka tayangkan berdampak buruk bagi si pemuda malang, mereka tak perduli, pada akhirnya hanya rating yang paling penting bagi industri media. Uang tepatnya.Claire memastikan Rosie tidak menonton semua berita sampah itu. Kondisi sang sahabat sudah teramat memprihatinkan, setiap malam Rosie gelisah, sulit tidur, menangis tiba-tiba. Kalau siang gadis itu hanya melamun, tatapannya kosong, dan lebih pendiam dari biasanya.Keadaan Rosie persis sama seperti dua tahun lalu. Dan, Claire benci karena dia tidak bisa berbuat apapun. Si gadis cantik menyugar rambut hitam sahabatnya. Dia mendesah lemah sembari menyeka sisa
"Tapi..bukan hanya Rosie yang aku maksud. Paman dan Bibi Quin lalu Alice, mereka semua juga ikut menderita karena keadaan ini, Claire. Apa kita tidak keterlaluan mengorbankan kebahagiaan mereka." Lalu, David pun terdiam. Dia sampai pada akhir kalimatnya ketika dia menyadari akhir dari kalimat itu.Mengorbankan Rosie. Sahabatnya. Gadis yang lebih dulu mengulurkan tangannya pada bocah tidak punya teman yang selalu jadi sasaran perundungan."Kenapa berhenti, David? Kau belum menyelesaikan kalimatmu!" Tantang Claire dengan nada mencela.David tertunduk lesu. Bungkam dalam rasa bersalah. Bukan hanya terhadap Rosie, melainkan terhadap semua orang. Ah. Sial. Kenapa semua jadi rumit begini?"Kau menjadi seorang sabahat yang baik dengan mengorbankan sahabatmu sendiri untuk meyelamatkan orang lain. Kau lebih suka Rosie yang menanggung malu di hadapan seluruh penjuru Indonesia, lebih memilih Rosie yang dipenjara atas tindakan