Bab 58
"Mama tidak mau tahu. Pokonya, kamu Haris mendekati Lisa lagi. Mama sudah memberikan restu. Masalah Sonya, biar jadi urusan mama," ujar Arum dengan tegas.“Aku akan pikirkan,” jawab Farhan akhirnya sebelum menutup telepon.Setelah percakapan itu, Farhan duduk diam di kursinya, memandangi jendela kantornya yang besar. Pikiran tentang Lisa, Davin, dan ibunya berputar di kepalanya.'Apakah aku harus mengejar cintaku kembali?' tanya Farhan dalam hati.Di tempat lain, Lisa duduk di balkon kamarnya, menatap langit malam yang gelap, dipenuhi bintang. Udara malam terasa sejuk, namun pikirannya tak bisa tenang. Pikiran tentang Satria dan Kenzi terus menghantui dirinya, di tengah semua masalah yang dia hadapi dengan Farhan dan Davin. Hatinya terasa berat, bingung dengan perasaannya sendiri.***Pagi itu, Lisa sedang menyiapkan sarapan ketika bel pintu berbunyi. Dia menoleh, sedikit terkejut karena tidak mengharapkan tamu pagi-pagi bBab 59Lisa menarik napas dalam-dalam, merasa hatinya mencelos, lalu mengangguk pelan. "Iya, Nak. Ini papa kamu."Farhan menatapnya dengan mata yang penuh air mata, lalu kembali memeluk anak itu. Kali ini, lebih erat, lebih dalam, seolah dia berusaha menyalurkan semua perasaan yang tertahan bertahun-tahun. Ada perasaan hangat yang menyeruak di dalam hatinya. Farhan tahu, ini bukan pelukan yang biasa. Ini adalah pelukan seorang ayah yang baru menemukan kembali anaknya, dan pelukan itu penuh dengan harapan, cinta, dan penyesalan.Di dalam pelukan itu, Farhan merasa sebuah kekosongan besar dalam hidupnya mulai terisi. Ada sesuatu yang dulu hilang dan kini kembali. Namun, bersama kebahagiaan itu, muncul pula rasa bersalah yang menggigit. Dia menyadari, kenapa tidak sejak awal? Kenapa tidak sejak mengetahui fakta bahwa Davin adalah putranya, dia segera menemui anak itu? Kenapa malah membiarkan ego dan rasa marahnya menguasai dirinya, hi
Bab 60Farhan tersenyum. "Iya, Papa juga suka."Suasana berubah lebih santai. Farhan menikmati setiap momen bersama Davin, sementara Lisa, yang duduk tidak jauh dari mereka, merasa perasaannya bercampur aduk. Melihat Davin bahagia membuat hatinya lega, tapi dia tidak bisa menghilangkan perasaan was-was yang terus menghantuinya.Saat sore menjelang, mereka kembali ke rumah. Farhan menurunkan Davin dari mobilnya, lalu menatap Lisa yang berdiri di samping mereka."Terima kasih, Lisa. Aku tidak akan melupakan hari ini," kata Farhan dengan nada tulus.Lisa mengangguk singkat, meski masih merasa berat. "Ini bukan tentang kamu, Farhan. Ini tentang Davin. Aku hanya ingin yang terbaik untuknya."Farhan tersenyum samar, memahami maksud Lisa. "Aku tahu. Dan aku akan melakukan yang terbaik untuknya, Lisa."Mereka saling berpandangan dalam keheningan yang terasa begitu berat. Mata Lisa menatap dalam-dalam ke arah Farhan, seolah menc
Bab 61Farhan merasa hatinya hampir meledak. Air mata yang dia tahan akhirnya jatuh juga. Dia menarik napas panjang, mencoba tetap tenang di hadapan putranya. Tangan besarnya dengan lembut mengusap punggung Davin, mencoba menenangkan bocah kecil itu yang tampak begitu terluka."Davin, Papa janji... Papa akan datang lagi. Papa gak akan ninggalin kamu, ya?" ulangnya lagi, kali ini dengan lebih lembut.Lisa akhirnya melangkah maju, berusaha membantu menenangkan situasi. Dia menunduk, menyentuh bahu kecil Davin dengan lembut. "Sayang, Papa harus pulang sekarang. Tapi nanti Papa akan datang lagi, kok. Kamu bisa main sama Papa lagi.""Gak mau. Papa gak boleh pergi," seru Davin yang tetap kekeuh dengan keinginannya. Lisa dan Farhan pun mulai kesalahan membujuknya."Lisa, tolong izinkan aku nemenin dia sampai tertidur. Aku janji akan pergi setelahnya," pinta Farhan. Batinnya pun ikut teriris mendengar tangisan putranya. Lisa yang sudah
Bab 62Setelah beberapa saat, Farhan akhirnya berdiri perlahan, berusaha tidak membuat suara yang bisa membangunkan Davin. Dia melangkah ke pintu, menoleh sekali lagi ke arah anaknya yang masih terlelap, lalu perlahan menutup pintu kamar dengan hati-hati.Di luar kamar, Lisa sedang menunggu di ruang tamu. Saat Farhan keluar, mereka bertatapan sejenak. Suasana antara mereka terasa lebih damai malam itu, meskipun masih ada banyak hal yang belum terselesaikan. Farhan berjalan mendekat, berhenti di depan Lisa.Lisa menatapnya penuh arti, ada kehangatan di matanya meskipun ia masih tampak lelah. "Dia sudah tidur?" tanyanya pelan.Farhan mengangguk. "Sudah. Dia sangat senang hari ini. Terima kasih sudah mengizinkan aku menghabiskan waktu dengan Davin."Lisa tersenyum kecil, lalu menarik napas panjang. "Kamu papa kandungnya, Farhan. Davin berhak mengenalmu. Aku hanya ingin yang terbaik untuknya," ucap Lisa dengan jujur.Farhan mengangguk pelan, matanya menunjukkan rasa terima kasih yang tulu
Bab 63"Sonya, dengarkan aku. Masalah Davin, aku tidak bisa menghalanginya. Apapun alasannya, Farhan adalah ayah kandungnya. Davin berhak untuk mengenalnya, begitu pun sebaliknya. Untuk masalah Farhan, aku tidak pernah berfikiran untuk merebut dia darimu. Barang yang sudah aku buang, tidak mungkin aku pungut lagi," sahut Lisa dengan tegas. "Baik, aku pegang ucapanmu. Jangan karena kamu cucu Tuan Rio, kamu bisa menggunakan kekuasaannya untuk menekanku," sentak Sonya. Lisa tersenyum tipis mendengar ucapan orang yang sudah merusak rumah tangganya tersebut."Aku bukan kamu yang rela menghalalkan segala cara demi tujuannya. Tenang saja. Nikmati saja hari-harimu."***Setelah pertemuan dengan Sonya, Lisa merasa tertekan. Dia duduk di gazebo, mencoba menenangkan pikirannya, tapi kata-kata Sonya terus terngiang. Sebuah ketukan di pintu mengagetkannya.Kenzi yang melihat kondisi Lisa, merasa tak tega. Perlahan, dia melangkah dan hendak mengha
Bab 64Lisa menarik napas lega. “Terima kasih, Farhan. Aku juga tidak ingin Davin terjebak di antara kita. Mungkin… kita bisa mencoba mengasuhnya secara bergilir.”Farhan tersenyum kecil. "Itu yang aku pikirkan. Aku ingin Davin juga merasakan kehadiranku dalam hidupnya, tapi aku tahu kau tetap bagian terpenting dalam hidupnya."Lisa mengangguk, setuju dengan usul Farhan. “Kita bisa bicarakan jadwalnya. Yang penting, Davin tidak kehilangan salah satu dari kita.”Farhan tersenyum lega. "Setuju. Aku juga ingin membawanya tidur di rumahku sesekali. Apa kau setuju?"Lisa terdiam sejenak, menimbang permintaan itu. Akhirnya, dia mengangguk. "Baiklah, Farhan. Tapi tolong, jaga dia dengan baik."Farhan tersenyum, kali ini dengan penuh kebahagiaan. "Tentu saja, Lisa."Keesokan harinya, di rumah Farhan, Davin bersiap-siap tidur di kamar yang telah disiapkan khusus untuknya. Farhan melihat putranya dari pintu, pe
Bab 65Dengan lembut, Lisa memeluk Davin erat. “Sayang, dengar ya... Mama dan papa memang tidak bisa tinggal bersama lagi, tapi itu bukan berarti papa tidak sayang sama kamu. Papa akan selalu ada buat kamu, begitu juga mama.”Davin tidak menjawab, hanya memeluk Lisa lebih erat sambil menumpahkan air matanya. Lisa mengusap punggung putranya, berusaha menenangkan.“Mama janji, kamu gak akan pernah kehilangan papa. Kamu bisa ketemu papa kapan saja, dan papa akan selalu ada untuk kamu. Tapi... untuk tinggal bersama lagi, itu tidak mungkin.”“Kenapa gak mungkin, Ma?” Davin bertanya lagi, suaranya serak karena menangis.Lisa terdiam sesaat, lalu menjawab dengan lembut, “Karena... ada banyak hal yang sudah terjadi di antara mama dan papa. Kami sudah memilih jalan yang berbeda. Tapi yang penting sekarang adalah kamu tetap punya dua orang tua yang sayang banget sama kamu.”Davin terisak, masih belum sepenuhnya mengerti, tapi dia mulai ten
Bab 66"Mas..."Farhan menunduk, mendekatkan diri agar bisa mendengar suaranya dengan jelas."Aku di sini. Ada apa?" tanya Farhan.Sonya tersenyum lemah."Aku ingin kita bicara... tentang sesuatu yang penting."Farhan terdiam, melihat wajah pucat Sonya yang tampak begitu lelah. Dia tahu ini bukan percakapan biasa. Ada sesuatu yang lebih berat yang ingin disampaikan oleh Sonya.Sonya menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan kalimatnya. "Mas... aku tahu selama ini aku sudah banyak salah. Aku... aku menyadari aku telah menghancurkan kebahagiaanmu.""Sonya, jangan bicara seperti itu. Aku juga punya kesalahan. Semua yang terjadi bukan cuma karena kamu," sahut Farhan lirih."Aku tahu, tapi aku ingin minta maaf. Aku yang mendorong kamu jauh dari Lisa. Aku yang membuatmu terjebak di antara perasaanmu padanya dan tanggung jawabmu padaku."Farhan menunduk, merasakan kehangatan air mata yang mulai mengalir di
Bab 83“Hai, mau gue antar pulang?” tawar Jonathan yang tiba-tiba muncul di hadapan Najwa. Saat ini, Najwa tengah menunggu taksi online yang dipesannya melalui aplikasi.“Gak, makasih!” sahut Najwa cuek.“Ayolah, kita kan tetangga!” bujuk Jonathan.“Udah dibilang gak usah, ya gak usah. Kenapa ngeyel sih?” protes Najwa. “Gue kan cuma pengen nganterin situ pulang,” bujuk Jonathan.“Gak perlu!” sahut Najwa ketus. Mendapat jawaban ketus Najwa, bukannya marah, Jonathan justru terkekeh geli.“Ternyata lo galak juga ya!” ujar Jonathan dengan senyum dikulum.“Baru tahu?”“Sayangnya iya dan itu bikin gue makin penasaran,” ujar Jonathan seraya berbisik.“Jangan dekat-dekat,” sentak Najwa.“Jangan galak-galak dong. Asal kamu tahu, di kampus ini gue ini jadi pria paling didambakan jadi pacar,” sahut Jonathan dengan penuh percaya diri.“Itu mereka, bukan aku,” sahut Najwa. Selang tak berapa lama kemudian, taksi y
Bab 82Jonathan tersenyum kecut mendengar ucapan sahabatnya tersebut. Nyatanya, yang dia ucapkan memang benar adanya. Entah sudah berapa banyak barang branded yang dia beli untuk menyenangkan kekasihnya tersebut, belum lagi uang yang dia gelontorkan untuk perawatan kecantikan dan jajan wanita itu. “Jo, daripada sama Hera, mending lo deketin cewek model begitu. Dijamin pasti masih ori!” ujar Tio seraya menunjuk salah satu arah dengan dagunya. “Yang mana?” tanya Gerry penasaran. “Yang pakai baju hijau itu,” sahut Tio. Spontan, mereka menoleh dan menatap arah yang ditunjuk pria tersebut. Jonathan tersenyum tipis saat menyadari siapa yang ditunjuk sahabatnya tersebut.“Manis,” ujar Gerry. “Ya udah, lo gebet sana!” sahut Jonathan.“Mana boleh? Silvy mau gue kemanakan?” protes Gerry.“Kali aja lo khilaf,” sahut Tio seraya terkekeh.“Gak akan. Si Jonathan tuh, mumpung jomblo,” sahut Gerry.“Bukan tipe gue!”
Bab 81 Najwa baru saja merebahkan tubuhnya setelah seharian di kampus ketika bel pintu apartemennya berbunyi. Dengan malas, Najwa pun melangkah dan membukakan pintu. Najwa menelan ludah kasar saat menyadari siapa yang datang. Arum. Ibu Farhan itu menatapnya tajam, seolah Najwa adalah noda yang mencemari hidup putranya. “Kamu masih di sini?” suara Arum terdengar tajam. Najwa tidak langsung menjawab. Ia mencoba menenangkan dirinya, meskipun jantungnya berdegup kencang. “Saya… baru pulang dari kampus,” jawabnya pelan. Arum melipat tangan di dadanya, tatapannya penuh penghinaan. "Jangan pura-pura polos, Najwa. Kamu tahu betul kenapa aku ada di sini. Aku ingin kamu keluar dari kehidupan Farhan.” Najwa mengepalkan tangannya. Ia sudah menduga bahwa Arum tidak menyukainya, tetapi mendengar kata-kata itu langsung dari mulut wanita itu tetap menyakitkan.
Bab 80Dengan penuh semangat, Najwa mengayunkan langkahnya menuju stand yang berjejer rapi. Dia membeli dan mencicipi jajanan tersebut hingga kedua tangannya penuh dengan makanan. Setelah mendapatkan aneka macam camilan dan minuman, dia mengajak Farhan kembali ke mobil dan menikmati jajanan tersebut disana.“Beli jajan segini banyak, apa bisa habis?” tanya Farhan heran.“Kan dimakan berdua,” sahut Najwa.“Gak deh, makasih, kamu saja yang makan,” sahut Farhan seraya melirik jajanan tersebut.“Kenapa? Ini enak lho!” sahut Najwa santai. “Itu makanan tidak sehat.”“Siapa bilang? Tidak semua makan kaki lima tidak sehat. Banyak kok pedagang kaki lima yang higienis,” sahut Najwa.“Tapi tetap saja bahan yang mereka pakai murahan.”“Om pikir bahan murahan tidak sehat? Buktinya aku sampai sekarang masih hidup sehat wal afiat.”“Tapi kurus kering,” ejek Farhan.“Yang penting kan sehat. Ini enak lho!” ujar Najwa seraya mencicipi s
Bab 79Wahana pertama yang mereka kunjungi adalah ombak banyu. Di wahana ini, kita bisa merasakan sensasi terombang-ambing seperti berada di lautan. Setelah puas bermain disana, Najwa mengajak Farhan naik ke wahana kora-kora atau galeon. Wahana yang mirip seperti ayunan raksasa ini cukup memacu adrenalin penumpangnya. Jika kamu pergi ke pasar malam dan mendengar teriakan, bisa dipastikan itu bersumber dari wahana ini.Setelah selesai, Najwa mengajak Farhan ke rumah hantu. Meskipun ketakutan,namun dia terus melangkah dan menyelesaikan tantangan melewati wahana tersebut.“Kalau takut, ngapain masuk?” protes Farhan.“Kan pengen, aku selalu penasaran setiap teman-teman bercerita mengenai wahana-wahana seperti ini,” sahut Najwa. Farhan tak berani protes lagi. Dia paham betul jika gadis di sebelahnya tersebut jarang sekali pergi ke tempat hiburan. Jadi, daripada protes, dia lebih memilih menuruti gadis itu. Dia terus mengikuti langkah gad
Bab 78“Baru pulang?” tanya pria tersebut.“Iya, Om. Om sendiri juga baru pulang?” Najwa balik bertanya.“Iya, tadi jalanan lumayan macet. Gimana acara nontonnya? Seru?” tanya Farhan. Mereka melangkah beriringan menuju unit yang mereka tempati.“Seru banget. Ini pengalaman pertama buat aku!” sahut Najwa.“Kamu belum pernah nonton bioskop?” tanya Farhan heran. Najwa menggelengkan kepala dengan polosnya.“Kan Om tahu sendiri bagaimana kehidupanku. Jangankan buat nonton, bisa makan setiap hari aja sudah syukur!” sahut Najwa. Farhan menganggukkan kepalanya tanda mengerti.“Maaf ya, selama disini, saya belum bisa mengajak kamu kemana-mana,” ujar Farhan.“Tidak apa, Om, aku paham kok. Aku tahu Om sibuk,” sahut Najwa.“Bagaimana kalau nanti malam kita jalan-jalan? Gak usah jauh-jauh, kita keliling kota saja!” usul Farhan.“Memangnya Om gak sibuk? Biasanya kan weekend gini Om jalan sama Davin!” ujar Najwa.“Davin sedang ke
Bab 77“Om itu orangnya sibuk kerja,” sahut Najwa.“Hari libur? Weekend?” tanya Maya lagi.“Kadang ngajak aku keluar sih, cuma dia lebih sering menghabiskan waktu dengan anaknya.”“Ow … tinggal sama istri dan anaknya juga?”“Bukan, gak gitu. Jadi, omku dan istrinya itu sudah bercerai dan anaknya ikut istrinya. Gitu,” sahut Najwa memberikan penjelasan. Kedua temannya pun menganggukkan kepala tanda mengerti.“Berarti kamu memang jarang ke luar dong ya. Kasihan banget sih kamu,” ujar Maya.“Gini aja, kalau kamu lagi kesepian, kamu bisa main ke rumahku, nanti aku kasih alamatnya deh. Atau kalau gak, kita yang main ke tempat kamu, gimana?” tanya Maya.“Terima kasih ya. Aku senang sekali karena disini aku bertemu dengan teman-teman yang baik seperti kalian,” ujar Najwa tulus.“Santai saja, aku juga senang kok bisa kenal kamu sama yang lain juga. Entah kenapa, sejak awal bertemu, aku merasa nyaman aja gitu!” sahut Maya.“Idem
Bab 76Sudah tiga bulan Najwa dan Farhan menikah. Hubungan mereka masih sama seperti sebelumnya, namun mereka sudah saling terbiasa dengan hubungan yang terjalin. Tasya pun masih sering berkunjung dan selalu menampakkan wajah penuh permusuhan pada Najwa. Farhan sudah berusaha mengingatkan akan sikap wanita itu, namun tetap saja wanita tersebut tak mau tahu. Dia tetap berusaha membuat Najwa merasa tidak nyaman, syukur-syukur dia mau meninggalkan apartemen sang kekasih.***Sudah satu minggu Najwa masuk kuliah di kampus barunya. Beruntung dia memiliki teman-teman yang baik dan asyik di ajak berteman. Saat ini, dia dan teman-temannya tengah asyik bercengkerama di kantin usai menyelesaikan jam kuliah yang pertama. “Habis ini kalian mau kemana?” tanya Nindy.“Mau langsung balik aja deh, memangnya mau kemana lagi?” sahut Maya.“Nonton yuk! Ada film baru di bioskop!” sahut Nindy.“Aku sih oke aja. Yang lain gimana?” tanya Maya.“Aku iku
BAB 75TETANGGA RESE“Wow ... kita ketemu lagi. Lo tinggal disini juga?” tanya Jonathan dengan wajah tengilnya. Najwa mendengkus dengan kesal, lalu memalingkan wajahnya. Dia tidak menanggapi ucapan pria tersebut. “Atau jangan-jangan lo nguntit gue ya?” “Idih, najis!” sahut Najwa spontan. Mendengar jawaban spontan Najwa, Jonathan terbahak seketika.“Siapa tahu kan lo terpesona sama ketampanan gue!” ujar Jonathan seraya menaikturunkan alisnya. Najwa kembali memalingkan wajahnya. Terjebak dalam lift berdua bersama pria yang dibencinya sungguh memuakkan. Dia ingin segera tiba di apartemennya agar tidak perlu lagi melihat wajah pria di sebelahnya tersebut.Selang tak berapa lama kemudian, pintu lift pun terbuka. Dengan gegas, Najwa pun melangkah keluar.“Wow ... kita tinggal satu lantai, menarik!” ujar pria tersebut. Najwa menghentikan langkahnya seketika.“Jangan-jangan kamu yang sengaja ngikutin aku ya?” ujar Najwa balik berta