BAB 1TUNTUTAN MERTUA“Bagaimana hasilnya?” cecar Arum. Dengan ragu, Lisa menggelengkan kepalanya lemah. Arum, mertua Lisa, mendengus dengan kesal.“Ma, ini bukan salah Lisa. Bukankah dokter mengatakan kami sama-sama subur dan tidak ada masalah?” ujar Farhan membela sang istri.“Mana buktinya? Bahkan hingga tiga tahun usia pernikahan, kalian belum bisa memberi mama cucu,” sentak wanita paruh baya tersebut.“Ma, tolong beri kami waktu lagi,” pinta Farhan. Sementara itu, Lisa hanya bisa menundukkan wajahnya. “Ini sudah tiga tahun, Farhan. Mau berapa lama lagi mama harus menunggu? Sampai mati?” sentak wanita paruh baya tersebut.“Ma, jangan bicara seperti itu,” ujar Farhan mengingatkan.Arum kembali menghembuskan nafas kasar, lalu menatap Lisa dengan sengit.“Lisa, Mama beri kamu waktu tiga bulan. Jika dalam tiga bulan kamu belum hamil juga, kamu harus merelakan Farhan menikah lagi,” ujar Arum.“Ma!” seru Farhan. Dia tidak menyangka mamanya akan berkata seperti itu pada istri yang sang
BAB 2FAKTA YANG TERUNGKAP"Oke, aku akan mintakan alamatnya. Kamu jangan khawatir, aku pasti akan nemenin kamu!" ujar Dista seraya menggenggam jemari sahabatnya tersebut.Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya mereka bisa mendapatkan alamat lokasinya. Tak menunggu lama, mereka pun segera meluncur menuju lokasi."Lis, kamu gak papa?" tanya Dista cemas. Lisa hanya bisa menggelengkan kepalanya. Bukan karena hatinya baik-baik saja, namun dia berusaha menguatkan dirinya sebelum semuanya terbukti. 'Semoga dugaanku salah. Tidak mungkin Mas Farhan tega melakukan semua ini,' harap Lisa dalam hati. Meskipun foto yang dilihatnya cukup jelas, namun dia masih berharap jika semua itu tidak benar.Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam, mobil yang dikendarai Dista memasuki halaman sebuah rumah yang cukup mewah di sebuah perumahan elite. Dengan hati berdebar, Lisa melangkah masuk.Perlahan, Lisa memasuki ruangan tempat diadakannya acara. Dari kejauhan, dia bisa melihat sang suami tengah berc
BAB 3TALAK“Lisa Anindya Yudhistira, dengan ini aku jatuhkan talak padamu. Mulai hari ini, kamu bukan istriku lagi,” ujar Farhan. Tanpa sadar, setitik air mata menetes di pipinya.“Terima kasih, Mas. Semoga kalian bahagia!” Usai mengatakan hal itu, Lisa segera berbalik dan meninggalkan tempat tersebut.Sesampainya di mobil Dista, tangis yang sejak tadi berusaha dia tahan, kini kembali pecah. Tanpa berkata apa-apa, Dista membawa sahabatnya tersebut ke dalam pelukannya. Dia sadar, saat ini sahabatnya tidak butuh kata-kata manis untuk menenangkan dirinya. Yang dia butuhkan hanyalah bahu untuk bersandar.“Sudah agak enakan?” tanya Dista tiga puluh menit kemudian setelah Lisa melepaskan pelukannya. Dengan sisa-sisa isak tangisnya, Lisa pun menganggukkan kepalanya.“Apa rencanamu sekarang?” tanya Dista.“Aku akan pergi, Dis,” ujar Lisa lirih.“Kemana?”“Entahlah, yang jelas aku ingin menjauh dari tempat ini,” sahut Lisa seraya menerawang.“Oke, sebagai langkah pertama, aku akan nemenin ka
BAB 4RAHASIA TERSEMBUNYI“Dari mana?” tanya Sesil, rekan kerja Lisa satu ruangan.“Dari toilet,” sahut Lisa seraya menjatuhkan bobotnya di kursi.“Kamu habis nangis? Kok sembab gitu?” tanya Sesil penuh selidik.“Masak sih?” tanya Lisa panik. Spontan dia segera membuka tasnya dan mengambil cermin mini yang biasa dia bawa. Sesil terkekeh geli melihat kepanikan sahabatnya tersebut.“Ish, kamu ini. Ngagetin aja!” protes Lisa seraya mengerucutkan bibirnya. Bukannya merasa bersalah, Sesil justru semakin terbahak melihat kekesalan sahabatnya tersebut.“Ayo, yang lain udah jalan tuh!” ajak Sesil.“Kemana?” tanya Lisa heran.“Lha, kamu gak lihat pengumuman di grup?” tanya Sesil balik. Spontan, Lisa menggelengkan kepalanya lengkap dengan ekspresi bengongnya.“Ya Tuhan … Lisa sayang, punya ponsel itu dibuka ya. Jangan dianggurin doang. Heran deh, kamu ini manusia zaman kapan sih? Kayak gak ada butuh-butuhnya sama ponsel,” cerocos sahabat Lisa tersebut. Hampir setiap ada pengumuman, Lisa selalu
BAB 5PERTEMUAN TAK TERDUGALisa melajukan motornya dengan tenang. Sebelum tiba di rumah, dia menyempatkan diri untuk berbelanja kebutuhan rumah dan beberapa macam camilan. Setelah selesai, dia pun segera meluncur ke rumahnya. Tanpa dia sadari, sebuah mobil mengikutinya dan berhenti tidak jauh dari rumahnya.“Lisa!” Sebuah seruan dari arah depan rumah, mengalihkan perhatian Lisa yang hendak masuk ke dalam rumah usai memarkirkan motornya. Merasa familiar dengan suara tersebut, Lisa pun segera berbalik. Mata Lisa membeliak menatap sosok yang tengah berdiri di depannya tersebut.Tubuh Lisa membeku seketika. Untuk beberapa lama, Lisa hanya terpaku di tempatnya seraya menatap wanita paruh baya yang tengah melangkah menghampirinya tersebut.“Jadi ini benar kamu?” ujar wanita paruh baya tersebut. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban karena dia sendiri sudah mendapatkannya. Wanita paruh baya tersebut menatap Lisa dari atas hingga kebawah, memindainya beberapa lama, lalu
BAB 6DAVIN ZAIDAN DIRGANTARA“Ma? Mama!” Davin terpaksa meninggikan nada suaranya karena Lisa tidak kunjung menyahut saat dipanggil.Tersentak dengan panggilan Davin, Lisa segera menolehkan kepala menatap putranya yang memiliki wajah tampan mirip seperti ayah kandungnya. “Iya, Sayang? Ada apa, Nak? Anak ganteng mama kenapa nih?” tanya Lisa.Kedua tangannya lalu bergerak mengangkat tubuh Davin untuk duduk di pangkuannya. “Mama kenapa bengong? Ada teman Mama yang nakal lagi, ya?” tanya Davin, dengan tampang polosnya yang menggemaskan. Kedua bola mata bulatnya tampak sangat lucu ketika penasaran.Rupanya Davin masih mengingat tentang apa yang diceritakan oleh Lisa beberapa hari lalu, tentang sahabatnya Sesil yang tanpa sengaja mengerjainya. Lalu, ketika Lisa bengong, Davin justru bertanya padanya sama seperti apa yang bocah kecil itu lakukan barusan.Kemudian Lisa asal menjawab bahwa dia sedang memikirkan teman kantornya yang nakal. Lisa menggeleng, tetapi beberapa detik kemudian dia
BAB 7MISI ARUMArum tahu mereka pasti akan mulai mengintimidasinya setelah ini. Tadi saja dipuji ke atas awan, sekarang dijatuhkan ke dasar jurang. “Eh iya, Jelita kan beda dua tahun dengan cucu saya juga, Jeng. Pasti Jeng Ratna senang sekali waktu mengantar Jelita pertama kali masuk sekolah.” Arum hanya diam, tidak menanggapi juga tidak memberikan reaksi. Kalau dia merasa terpancing karena masalah ini, yang ada dia justru mempermalukan diri sendiri. “Bener banget! Kemarin saya nganterin dia sekolah, seru deh! Jeng pada mau lihat nggak foto-fotonya?” sahut Jeng Ratna, salah satu kompor yang suka sekali membuat panas situasi.“Boleh-boleh! Saya mau lihat fotonya Jelita dong, Jeng.”Ratna buru-buru membuka kunci layar ponselnya, mengakses galeri guna memamerkan kelucuan cucu perempuannya. Sementara Arum diam seribu bahasa. “Lihat deh nih. Cantik-cantik ‘kan? Duh, Jelita itu pinter banget, baru masuk sekolah tapi udah punya temen deket lho dia!” serunya heboh.Arum merasakan hawa di
Bab 8Monster Mimpi“Nak,” panggil Lisa dengan menatap ke arah meja makan yang kosong. Lisa mengangkat kepala, melihat jam yang sudah menunjukan pukul tujuh. Tidak biasanya Davin belum ada di meja makan jam segini. Dengan risau, Lisa mencoba menemui Davin.Dia mencari putranya ke dalam kamar, menemukan Davin tengah terduduk dengan ekspresi sayu. Matanya terarah kepada pakaian yang masih tergantung rapi dan sudah Lisa siapkan sebelumnya tetapi belum dikenakan oleh Davin.“Nak, kok baju sekolahnya belum dipakai?” tanya Lisa sambil duduk di sebelah Davin, tangannya terangkat untuk mengelus sisi samping kepala anak semata wayangnya.“Davin nggak mau berangkat sekolah, Ma,” ungkap Davin jujur. Jawaban Davin barusan benar-benar di luar dugaan, tidak biasanya Davin bersikap seperti itu.Biasanya setiap pagi justru Davin yang selalu meminta Lisa untuk cepat-cepat mengantarnya ke sekolah. Kini ekspresi wajah Lisa tampak kebingungan. Lisa
Bab 128Tubuh Najwa menegang, tetapi bukan karena ketakutan. Ada sesuatu yang asing menjalar di dalam dirinya. Sensasi yang membuatnya bingung.Tangan Farhan yang semula hanya mengusap pipinya, kini bergerak turun, meremas gundukan kenyal dengan lembut. Tanpa sadar, Najwa mendesis lirih.Merasa mendapat respon, Farhan semakin intens melancarkan serangannya. Sementara itu, Najwa semakin tak dapat mengendalikan diri merasakan sensasi baru yang terasa candu.Tiba-tiba, Farhan mengehentikan aksinya. Ditatapnya gadis di bawahnya dengan intens. Sementara itu, Najwa balik menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya."Wa, bolehkah?" tanya Farhan dengan suara berat. Untuk sesaat, Najwa meragu. Meskipun belum berpengalaman, namun dia paham arah pembicaraan pria di hadapannya tersebut.Beberapa saat kemudian, Najwa menganggukkan kepalanya. Akhirnya, Farhan kembali melancarkan aksinya dengan lembut dan hati-hati. Dia paham betul jika ini pengalaman pertama bagi wanita di hadapannya tersebut.Aksi
BAB 127PERASAAN YANG TAK TERDUGASesampainya di apartemen, Najwa segera masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu dengan sedikit lebih keras dari biasanya. Ia berjalan menuju ranjangnya, lalu duduk di tepinya dengan wajah kesal. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian di kafe tadi.Bayangan Farhan bersama wanita lain terus mengusik benaknya. Tatapan mata wanita itu, senyum genitnya, cara dia menyentuh lengan Farhan, semua itu membuat dadanya terasa sesak.Najwa menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, perasaan aneh yang menggelayuti hatinya tak kunjung pergi.Tak lama kemudian, suara ketukan pelan terdengar dari balik pintu.Tok tok tok...."Najwa?"Najwa mendongak sejenak, mengenali suara itu. Namun, alih-alih menjawab, ia malah memalingkan wajahnya.Farhan, yang tak mendapat respons, akhirnya memutuskan untuk masuk. Dengan langkah perlahan, ia menghampiri gadis itu hingga hanya berjarak dua jengkal."Kamu kenapa?" tanyanya tenang.Najwa tetap tak melihat ke arahny
Bab 126Rahasia yang TerpendamFarhan menyesap kopinya perlahan, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang tiba-tiba merayapi benaknya. Ia menatap David yang duduk di hadapannya, pria itu terlihat tenang, tetapi jelas sedang mengamati setiap gerak-geriknya."Jadi?" David mengangkat alisnya. "Aku hanya ingin memastikan sesuatu, Farhan. Apa hubunganmu dengan Najwa?"Farhan menaruh cangkir kopinya dengan gerakan yang terkendali. "Maaf, tapi itu bukan urusan Anda."David tersenyum tipis. "Sebenarnya, itu urusanku. Najwa adalah anak tiriku sekarang dan aku ingin memastikan dia berada di tangan yang tepat."Farhan tertawa kecil, tetapi tidak ada humor di sana. "Anda tidak perlu khawatir soal itu. Najwa baik-baik saja."David mencondongkan tubuhnya, tatapannya semakin tajam. "Dengar, aku tidak bodoh, Farhan. Fara sudah memberitahuku bahwa mantan suaminya tidak memiliki kerabat. Jadi bagaimana mungkin kau bisa menjadi 'om' bagi Najwa?"Farhan tetap tenang, tetapi jari-jarinya mengepal di bawa
Bab 125Kini, setelah bertahun-tahun berlalu, Fara masih dihantui rasa bersalah.Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju lemari. Dari dalam laci, ia mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil yang sudah lama ia simpan. Perlahan, ia membuka tutupnya, memperlihatkan sebuah foto usang, foto dirinya bersama Najwa dan Suratman.Air matanya langsung mengalir. Ia menyusuri wajah kecil Najwa dalam foto itu dengan jemarinya yang bergetar."Najwa, sedikit saja, apakah tidak ada perasaan rindu untuk ibu?"Pertanyaan itu terus mengganggunya sejak pertama kali dia bertemu kembali dengan putrinya. Putri kecilnya yang kini telah beranjak dewasa.***Farhan masih sibuk memeriksa laporan keuangan ketika suara pintu ruang kerjanya terbuka tanpa izin."Farhan!" suara Arum terdengar tajam. Wanita paruh baya itu berjalan masuk dengan wajah kesal.Farhan menutup map di hadapannya dan mengusap wajah dengan lelah. "Ada apa, Ma?""Apa maksudmu bertanya ada apa?" Arum melipat tangan di depan dada. "Uang yan
Bab 124SURAT CERAITangannya bergetar saat menatap lembaran itu. Nama Fara tertera jelas di sana. Ia nyaris tidak bisa percaya dengan apa yang ia baca."Ini tidak mungkin. Fara tidak mungkin melakukan ini," gumam Suratman dengan suara bergetar."Sudah cukup. Jangan cari dia lagi. Kalian sudah bukan siapa-siapa."Suratman menatap pria tua itu dengan mata membelalak. "Kenapa? Apa yang terjadi? Apa yang kalian lakukan pada Fara?"Pak Karim tidak menjawab. Ia hanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan sebelum akhirnya menutup pintu tanpa sepatah kata lagi.Suratman berdiri di sana, masih memegang surat cerai itu dengan tangan gemetar.Dengan langkah gontai, ia kembali ke rumahnya. Sepanjang jalan, pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan yang tak terjawab. Bagaimana mungkin Fara meninggalkannya begitu saja? Kenapa tanpa penjelasan?Ketika ia tiba di rumah, Najwa berlari menghampirinya. "Ayah! Ibu sudah pulang?"Suratman menatap wajah polos putrinya dan seketika dadanya sesak. I
Bab 123SAAT-SAAT TERAKHIRHari demi hari berlalu, dan kondisi Najwa semakin membaik. Warna di wajahnya mulai kembali, senyum kecilnya sudah lebih sering muncul, dan suaranya tak lagi selemah dulu. Fara selalu berada di sampingnya, membacakan cerita sebelum tidur, menyuapinya makan, dan menggenggam tangannya setiap kali Najwa merasa kesakitan.Namun, di balik senyum yang ia tampilkan, ada kesedihan yang semakin dalam. Setiap kali melihat Suratman tertidur di kursi samping ranjang Najwa, Fara ingin menangis. Setiap kali pria itu bangun dan tersenyum padanya, seolah mereka adalah keluarga yang utuh, hatinya semakin hancur.Di saku tasnya, surat panggilan dari pengadilan agama telah berulang kali ia lipat dan sembunyikan. Ia tahu waktunya semakin sedikit. Proses perceraiannya dengan Suratman hampir selesai, dan saat Najwa benar-benar pulih, ia harus pergi.***Suatu sore, ketika Suratman pulang sebentar untuk mengambil beberapa barang di rumah, Fara duduk di samping Najwa yang tengah ter
Bab 122TAWARANFara berdiri di depan rumah orang tuanya dengan dada sesak. Tangannya gemetar saat hendak mengetuk pintu. Selama ini, ia sudah dianggap tidak ada oleh keluarganya setelah memutuskan menikah dengan Suratman, seorang pedagang keliling yang menurut mereka tidak pantas untuknya.Namun, sekarang ia tidak punya pilihan lain.Ia mengetuk pintu dengan ragu. Tak lama, suara langkah kaki terdengar dari dalam, lalu pintu terbuka, memperlihatkan wajah sang ibu, Bu Halimah, yang langsung berubah dingin begitu melihatnya."Untuk apa kamu kemari?" suara wanita paruh baya itu terdengar tajam.Fara menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh."Ma, aku butuh bantuan," suaranya bergetar.Bu Halimah melirik anaknya dari ujung kepala hingga kaki, lalu mendengus. "Jadi sekarang kamu ingat keluarga setelah sekian lama menghilang?"Fara menggeleng cepat. "Aku nggak pernah melupakan papa dan mama. Aku hanya… aku hanya tidak punya keberanian untuk kembali.""Tapi sekarang kamu kembal
BAB 121SEPULUH TAHUN YANG LALULangit sore mulai meredup ketika suara tawa anak-anak masih terdengar di gang sempit perkampungan kecil di pinggiran kota. Najwa, bocah perempuan berusia delapan tahun, berlari kecil mengejar bola plastik yang meluncur ke jalan raya. Tanpa sadar, langkah kakinya melampaui batas aman dari gang sempit itu.Tiba-tiba, suara klakson yang keras menggema di udara. Dalam sekejap, tubuh kecil Najwa terpental ke aspal, diikuti oleh jeritan histeris dari anak-anak lain yang menyaksikan kejadian itu. Mobil yang menabraknya melaju kencang tanpa sedikit pun mengurangi kecepatan, menghilang di belokan sebelum ada yang sempat mencatat nomor platnya."Najwa!"Seorang wanita berlari dari dalam rumah, wajahnya pucat pasi saat melihat tubuh kecil putrinya tergeletak tak bergerak di jalan. Darah mengalir dari pelipis dan hidungnya, membentuk genangan kecil di aspal.Orang-orang mulai berdatangan. Beberapa ibu berteriak panik, sementara beberapa bapak berusaha menenangkan i
BAB 120KERINDUAN YANG TAK TERPADAMKANFara duduk di sofa ruang keluarga dengan wajah yang dipenuhi kesedihan. Matanya yang sembab menunjukkan bahwa ia sudah menangis cukup lama. Di tangannya, ia menggenggam erat selembar foto lama, foto seorang gadis kecil dengan senyum polos yang begitu dirindukannya.David duduk di sampingnya, tangannya dengan lembut mengusap punggung istrinya, berusaha menenangkan. Namun, Fara tetap terisak, rasa sesak yang menghimpit dadanya tak kunjung mereda."Aku tidak bisa terus seperti ini, Mas. Aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin memeluknya setidaknya sekali saja. Aku ingin menebus semua kesalahan yang telah aku buat," ujar Fara dengan suara bergetar.David menarik napas dalam. Ia paham betul bagaimana perasaan istrinya. Setiap malam, ia melihat Fara duduk termenung di depan jendela, matanya menerawang jauh, pikirannya entah ke mana."Sayang, aku mengerti perasaanmu. Tapi kita harus bersabar sedikit lagi. Jangan gegabah, kita harus menunggu waktu yang te