BAB 6
DAVIN ZAIDAN DIRGANTARA “Ma? Mama!” Davin terpaksa meninggikan nada suaranya karena Lisa tidak kunjung menyahut saat dipanggil. Tersentak dengan panggilan Davin, Lisa segera menolehkan kepala menatap putranya yang memiliki wajah tampan mirip seperti ayah kandungnya. “Iya, Sayang? Ada apa, Nak? Anak ganteng mama kenapa nih?” tanya Lisa. Kedua tangannya lalu bergerak mengangkat tubuh Davin untuk duduk di pangkuannya. “Mama kenapa bengong? Ada teman Mama yang nakal lagi, ya?” tanya Davin, dengan tampang polosnya yang menggemaskan. Kedua bola mata bulatnya tampak sangat lucu ketika penasaran. Rupanya Davin masih mengingat tentang apa yang diceritakan oleh Lisa beberapa hari lalu, tentang sahabatnya Sesil yang tanpa sengaja mengerjainya. Lalu, ketika Lisa bengong, Davin justru bertanya padanya sama seperti apa yang bocah kecil itu lakukan barusan. Kemudian Lisa asal menjawab bahwa dia sedang memikirkan teman kantornya yang nakal. Lisa menggeleng, tetapi beberapa detik kemudian dia mengangguk. Davin tidak salah, memang ada teman kantornya yang nakal. Farhan, laki-laki itu berhasil mengusik hidupnya lagi. Lisa menjadi tidak tenang kalau sampai Farhan tahu tentang Davin. Mencemaskan hal itu, tanpa sadar Lisa menjatuhkan air matanya, membuat Davin berinisiatif mengusapnya. “Mama kenapa nangis? Apa karena teman Mama yang nakal itu? Mama mau Davin marahin nggak temennya?” tanya bocah kecil yang baru akan berumur 5 tahun itu. Davin memang masih sangat kecil, tetapi cara bicara dan pikirnya mirip dengan Farhan, lebih dewasa dari anak seumurannya. Dia juga cerdas, sama persis seperti ayahnya. Oleh karena itu, Lisa sangat takut jika Farhan nantinya akan bertemu dengan Davin, karena kemiripan keduanya tidak akan bisa dipungkas oleh siapapun. Mungkin Davin terlahir sangat mirip dengan Farhan, karena tidak ingin suatu saat jika mereka bertemu, Farhan justru tidak mengakuinya sebagai anak, padahal jelas Davin adalah darah daging dari laki-laki itu. Menanggapi perkataan Davin sebelumya, Lisa dengan cepat menghapus bekas air mata di pipinya lalu berkata, “Enggak kok, Sayang. Mama bisa marahin sendiri teman Mama yang nakal itu.” Kening Davin mengkerut dengan bibir mengerucut. “Tapi ‘kan Davin hero-nya Mama, jadi harusnya Davin lindungi Mama dong!” protesnya, tampak begitu menggemaskan. Lisa tersenyum hangat. Meski Davin tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah, dia tetap menjadi laki-laki hebat yang mampu menumpas semua kesedihan yang dirasakan oleh Lisa. “Mau Davin melindungi mama atau enggak, buat mama, Davin akan selalu jadi hero.” Karena cuma Davin alasan mama bertahan sampai sekarang, Nak. Lisa sangat ingin meneruskan perkataannya, tetapi dia hanya berani membatin dalam hati. Davin tidak perlu tahu tentang penderitaannya selama ini. Cukup dia saja yang merasakan sakit itu. Lagipula, anak itu masih terlalu kecil untuk bisa mengerti masalah di antara kedua orang tuanya. *** Keesokan harinya, setelah mengantar Davin ke sekolah, Lisa bergegas pergi ke kantor. Dia sengaja berangkat lebih awal agar tidak perlu berpapasan dengan Farhan di lobby atau area kantor lainnya. Namun sialnya, yang namanya hidup memang tidak pernah sesuai dengan harapan. Lisa justru harus terjebak di lift yang sama dengan Farhan. Apa-apaan ini?! Dari sudut matanya, Lisa tahu bahwa Farhan sedang memperhatikannya, terutama mengamati penampilannya yang pasti terlihat amat sangat miskin di mata laki-laki itu. “Bagaimana kabarmu, Lisa?” tanya Farhan. Lisa bukan tidak ingin membalas, tetapi dia sedang malas. Lagipula dia tidak memiliki kewajiban untuk menjawabnya, bukan? Pertanyaan yang dilontarkan Farhan juga tidak berhubungan dengan pekerjaan, jadi Lisa jelas berhak memilih untuk tidak menanggapi. Tanpa bersuara, langkah kaki Farhan mendekati Lisa sampai wanita itu terdorong ke sudut lift. “Aku sedang berbicara denganmu. Apa kamu tidak dengar?” tanyanya, raut wajahnya tampak kesal. Masa bodoh dengan perasaan Farhan! Lisa sama sekali tidak peduli. Lebih baik dia berpura-pura tuli daripada harus berhubungan lagi dengan laki-laki itu. Dengan senyum menyungging, Lisa lalu membalas, “Oh, Bapak sedang bicara sama saya? Maaf saya tidak tahu.” Farhan mendecak, kembali menunjukkan kekesalannya. “Ck. Alasan konyol macam apa itu? Padahal jelas-jelas aku menyebut namamu sebelumnya.” Lisa terus berpura-pura bodoh. “Oh iya? Kalau begitu, mungkin saya yang tidak dengar.” Kemudian perempuan itu sedikit melongokan kepalanya untuk mengintip dari celah tinggi badan Farhan. “Permisi, Pak. Saya harus turun di lantai ini,” ucap Lisa. Farhan tidak ingin mencari masalah di hari pertamanya bekerja sebagai direktur utama perusahaan. Karena itu, dia memundurkan langkah, memberikan akses untuk Lisa. Namun, sebelum Lisa benar-benar keluar dari lift, Farhan bergumam lirih. “Aku merindukanmu, Lisa, sungguh.” Sejenak, Lisa akui dia cukup terbuai dengan kata manis yang keluar dari mulut tukang selingkuh itu. Namun, dengan kekuatan kilat Lisa segera menampiknya. Farhan bukan lagi suaminya, mereka hanyalah mantan! Hubungan mereka juga sudah berakhir 5 tahun lalu. Lisa melanjutkan langkah, mengabaikan Farhan yang saat ini sedang memijat pelipisnya. Bertemu Lisa kembali benar-benar merubah hidupnya secara drastis. Sudah lama dia ingin kembali bertemu Lisa, tetapi tidak menyangka setelah keinginannya terkabul, wanita itu justru berpura-pura tidak mengenalnya. Tatapan Lisa terhadapnya bahkan tidak sehangat dulu. Jika wanita itu menatapnya tajam, meluapkan segala caci maki dan hinaan, mungkin Farhan akan lebih senang. Kata orang, benci itu bentuk lain dari cinta. Seseorang tidak akan bisa menyimpan kebencian tanpa ada rasa cinta. Namun, jika Lisa tidak memberikan reaksi apapun atas kehadirannya, apa itu berarti Lisa sudah benar-benar melupakannya? *** “Ya ampun, Jeng. Berlianmu ini baru toh. Kok aku baru lihat sekarang?” tanya salah satu ibu sosialita yang saat ini duduk bergerombol dengan Arum. Seperti biasa, rutinitas Arum setiap hari selain berleha-leha di rumah adalah pergi keluar bersama teman-temannya. Hidupnya berubah setelah Farhan menikahi Sonya. Dia bisa berbelanja setiap hari dan juga keliling mall tanpa harus takut akan kehabisan uang. Sonya memang seorang menantu idaman. Dia memanjakan Arum dengan segala kemewahan dan harta yang bergelimang. Hanya satu yang kurang, yaitu keturunan. “Ini pasti dibelikan menantu Jeng lagi, ya? Duh, Jeng beruntung deh punya menantu loyal begitu,” sahut ibu lainnya. Arum menyibakkan rambutnya dengan bangga, sedang siap-siap untuk menyombongkan diri. “Biasalah, Sonya ‘kan memang begitu. Dia tuh kalau belanja nggak pernah lupa sama mertuanya. Sayang banget deh sama aku, Jeng,” balas Arum, semakin memuji Sonya hingga langit ke tujuh. “Tapi sayang sih, ya, sampai sekarang masih belum bisa ngasih keturunan buat Farhan. Padahal cucu saya aja tahun ini sudah masuk TK lho, Jeng.” Mood Arum tiba-tiba drop ketika temannya mengubah topik pembicaraan.BAB 7MISI ARUMArum tahu mereka pasti akan mulai mengintimidasinya setelah ini. Tadi saja dipuji ke atas awan, sekarang dijatuhkan ke dasar jurang. “Eh iya, Jelita kan beda dua tahun dengan cucu saya juga, Jeng. Pasti Jeng Ratna senang sekali waktu mengantar Jelita pertama kali masuk sekolah.” Arum hanya diam, tidak menanggapi juga tidak memberikan reaksi. Kalau dia merasa terpancing karena masalah ini, yang ada dia justru mempermalukan diri sendiri. “Bener banget! Kemarin saya nganterin dia sekolah, seru deh! Jeng pada mau lihat nggak foto-fotonya?” sahut Jeng Ratna, salah satu kompor yang suka sekali membuat panas situasi.“Boleh-boleh! Saya mau lihat fotonya Jelita dong, Jeng.”Ratna buru-buru membuka kunci layar ponselnya, mengakses galeri guna memamerkan kelucuan cucu perempuannya. Sementara Arum diam seribu bahasa. “Lihat deh nih. Cantik-cantik ‘kan? Duh, Jelita itu pinter banget, baru masuk sekolah tapi udah punya temen deket lho dia!” serunya heboh.Arum merasakan hawa di
Bab 8Monster Mimpi“Nak,” panggil Lisa dengan menatap ke arah meja makan yang kosong. Lisa mengangkat kepala, melihat jam yang sudah menunjukan pukul tujuh. Tidak biasanya Davin belum ada di meja makan jam segini. Dengan risau, Lisa mencoba menemui Davin.Dia mencari putranya ke dalam kamar, menemukan Davin tengah terduduk dengan ekspresi sayu. Matanya terarah kepada pakaian yang masih tergantung rapi dan sudah Lisa siapkan sebelumnya tetapi belum dikenakan oleh Davin.“Nak, kok baju sekolahnya belum dipakai?” tanya Lisa sambil duduk di sebelah Davin, tangannya terangkat untuk mengelus sisi samping kepala anak semata wayangnya.“Davin nggak mau berangkat sekolah, Ma,” ungkap Davin jujur. Jawaban Davin barusan benar-benar di luar dugaan, tidak biasanya Davin bersikap seperti itu.Biasanya setiap pagi justru Davin yang selalu meminta Lisa untuk cepat-cepat mengantarnya ke sekolah. Kini ekspresi wajah Lisa tampak kebingungan. Lisa
Bab 9Bertemu Lagi“Davin, ini sahabat mama. Namanya tante Dista. Sini,” ucap Lisa ketika Dista berdiri dan beranjak untuk memeluk Davin sambil mengelus si anak lelaki. “Beneran lho ini, dia gemesin banget. Ganteng! Besarnya pasti jadi idaman.” Dista menoleh ke arah Lisa, melihat sahabatnya yang sudah rapi sebelum melepaskan Davin yang langsung menghambur ke arah Lisa.“Kamu akan berangkat kerja, Lis?”“Iya,” kata Lisa. “Sebenarnya ini sudah terlambat, tapi aku bingung mau kerja atau enggak, karena Davin nggak ada yang jagain di rumah. Pengasuhnya datang saat siang. Nggak mungkin ‘kan aku ninggalin Davin di sini sendiri?” lanjutnya.Dista mengelus perut buncitnya dan Lisa juga menyentuhnya setelah mendapatkan izin dari Dista terlebih dahulu.“Mama, Davin juga mau! Davin mau pegang perut Tante Dista,” kata Davin bersemangat hingga Dista mengangguk bersemangat.“Sini sini. Kamu dulu juga ada di perut mama seperti ini,
BAB 10 KETAKUTAN LISA “Loh Jeng. Salah bagaimana? Kamu ini ya Jeng, kalau nelepon orang pagi-pagi jangan pakai emosi dong, Jeng Arum,” kata Ratna mengingatkan sementara Arum kesal bukan main. “Sekarang jawab aku, Jeng Ratna. Informasi kamu salah atau benar? Ini aku lagi di sekolah TK nya Jelita. Bocah itu enggak ada! Kamu pasti bohong, ‘kan? Kamu bikin waktu ku sia-sia banget di sini, Jeng!” Ratna yang tidak suka dituduh oleh Arum kemudian emosinya ikut bergejolak. Apalagi, Arum tidak hanya sekali mengatainya berbohong. “Jeng, mana mungkin aku bohong ke kamu? Kemarin, foto yang aku kasih lihat ‘kan kelihatan logo sekolahnya. Kamu cocokkan saja. Memang aku anak jaman sekarang yang ngerti edit-edit?” “Benar juga. ‘Kan, kamu sudah tua,” cibir Arum, lupa dengan usianya yang sepantaran dengan Jeng Ratna dan sekarang sudah jadi nenek-nenek. “Loh, ka
Bab 11MUNGKINKAH?Berulang kali Lisa menarik napas dan nampak tidak tenang. Dia terus menatap ke arah belakang, takut tiba-tiba ada Farhan, Sonya dan Arum di sana. Dirinya tak mau apa yang terjadi saat memergoki Farhan lamaran dengan Sonya dan dirinya yang dipermalukan oleh Arum terjadi lagi.“Sekarang keluarga ayahnya mencari-cari keberadaan Davin. Jadi, saya mohon agar Miss Tina dan sekolah bisa menyembunyikan informasi tentang Davin,” tutup Lisa setelah hampir setengah jam berbincang dengan Miss Tina.“Bagaimana, Miss?” katanya memohon sebelum perlahan Miss Tina mengangguk.“Sekolah pasti akan berusaha untuk menjaga murid-muridnya. Tenang saja, Bu Lisa.”***“Hei. Kamu! Ya, kamu. Kamu lihat karyawan yang duduk di sini?”“T—tidak, Pak,” jawab karyawan kesekian yang ditanya oleh Farhan.Dengan sengaja, Farhan melewati tempat duduk Lisa, berusaha mencari tahu kenapa Lisa belum juga datang padahal sudah lewat jam
BAB 12TERPOJOKKebetulan sekali bertemu dengan pria bajingan itu di sini. Padahal baru tadi pagi Dista membatin saat melihat presentase kemiripan wajah Davin dengan Farhan, ayahnya, Dia sudah gatal ingin memaki-maki Farhan, atau bahkan membunuhnya kalau perlu! Kini, Dista memandang ke arah Farhan dan Davin secara bergantian, tidak akan ada yang mengelak bahwa keduanya adalah pasangan ayah dan anak kandung, karena mereka bagaikan pinang di belah dua kecuali bibir yang sangat sama dengan milik Lisa.“Oh Tuan Farhan ternyata masih ingat dengan nama saya,” sindirnya telak dengan penuh penekanan dan emosi sementara Davin sekarang bersembunyi tepat dibelakang tubuh Dista, memeluknya kencang-kencang.“Saya kira Tuan Farhan akan melupakan saya seperti ketika Tuan Farhan lupa bahwa terdapat seorang istri yang setia menunggu suaminya tetapi suaminya justru bertunangan dengan wanita lain secara diam-diam!”“Aku tidak ingin membahas soal itu, Dista
Bab 13TERJEBAK “Mbak Lisa, tolong dokumen ini ditaruh ke ruangan Pak Farhan ya. Aku lagi kebelet pipis! Dia butuh cepat.”Lisa mengangkat kepala setelah kembali dari kamar mandi dan berpapasan dengan karyawan lain. Tanpa prasangka apapun, Lisa mengiyakan dan menerima dokumen itu. Dia berjalan ke ruangan Farhan dan bertanya kepada sekretaris Farhan.“Pak Farhan sedang di luar. Silakan saja masuk dan letakan dokumennya. Nanti akan saya sampaikan ke Pak Farhan kalau ada dokumen baru yang harus segera ditandatangani.”“Oke.” Kata sekretaris Farhan, pria itu sedang tidak berada di ruangan, Lisa menjadi berani. Dia masuk ke dalam ruangan dan menaruh dokumen tepat di atas mejanya lalu berhenti sejenak untuk mengagumi ruangan Farhan. Saat Lisa membalik tubuh, dia sangat terkejut karena Farhan tiba-tiba ada di belakangnya."Maaf, Pak, saya hanya mengantar dokumen. Permisi!" Dengan kikuk, Lisa melangkah dan hendak meninggalkan ruang
BAB 14KUNJUNGAN DADAKAN“Apakah ada kunci cadangan? Bisakah seseorang membukakan untukku? Hei!”“Farhan, bagaimana?” desak Lisa ingin tahu apa yang mau dibahas oleh Farhan ketika dirinya turut mendengar suara Sonya. Mustahil dia melupakan suara perempuan angkuh yang memandangnya rendah dan hina tersebut. Berbeda dengan Lisa yang meminta Farhan menjelaskan, Farhan malah menanggapi Lisa dengan berbeda, dirinya pikir, Lisa panik karena keberadaan Sonya.“Kamu … bersembunyilah di kamar mandi,” kata Farhan dengan diselingi kepanikan.“Apa? Tidak,” sahut Lisa tidak terima, dia masih berada tepat di atas sofa. “Kenapa aku jadi seperti selingkuhanmu? Kenapa aku harus bersembunyi? Tidak. Jelas-jelas aku bekerja di sini sebagai karyawan,” kata Lisa dengan melipat kedua tangan di depan dada.Tok tok tok ....“Mas Farhan, kamu di dalam sana?!”Lisa melirik ke arah pintu dan kembali melanjutkan kalimatnya apalagi ketika ia menyadari
Bab 128Tubuh Najwa menegang, tetapi bukan karena ketakutan. Ada sesuatu yang asing menjalar di dalam dirinya. Sensasi yang membuatnya bingung.Tangan Farhan yang semula hanya mengusap pipinya, kini bergerak turun, meremas gundukan kenyal dengan lembut. Tanpa sadar, Najwa mendesis lirih.Merasa mendapat respon, Farhan semakin intens melancarkan serangannya. Sementara itu, Najwa semakin tak dapat mengendalikan diri merasakan sensasi baru yang terasa candu.Tiba-tiba, Farhan mengehentikan aksinya. Ditatapnya gadis di bawahnya dengan intens. Sementara itu, Najwa balik menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya."Wa, bolehkah?" tanya Farhan dengan suara berat. Untuk sesaat, Najwa meragu. Meskipun belum berpengalaman, namun dia paham arah pembicaraan pria di hadapannya tersebut.Beberapa saat kemudian, Najwa menganggukkan kepalanya. Akhirnya, Farhan kembali melancarkan aksinya dengan lembut dan hati-hati. Dia paham betul jika ini pengalaman pertama bagi wanita di hadapannya tersebut.Aksi
BAB 127PERASAAN YANG TAK TERDUGASesampainya di apartemen, Najwa segera masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu dengan sedikit lebih keras dari biasanya. Ia berjalan menuju ranjangnya, lalu duduk di tepinya dengan wajah kesal. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian di kafe tadi.Bayangan Farhan bersama wanita lain terus mengusik benaknya. Tatapan mata wanita itu, senyum genitnya, cara dia menyentuh lengan Farhan, semua itu membuat dadanya terasa sesak.Najwa menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, perasaan aneh yang menggelayuti hatinya tak kunjung pergi.Tak lama kemudian, suara ketukan pelan terdengar dari balik pintu.Tok tok tok...."Najwa?"Najwa mendongak sejenak, mengenali suara itu. Namun, alih-alih menjawab, ia malah memalingkan wajahnya.Farhan, yang tak mendapat respons, akhirnya memutuskan untuk masuk. Dengan langkah perlahan, ia menghampiri gadis itu hingga hanya berjarak dua jengkal."Kamu kenapa?" tanyanya tenang.Najwa tetap tak melihat ke arahny
Bab 126Rahasia yang TerpendamFarhan menyesap kopinya perlahan, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang tiba-tiba merayapi benaknya. Ia menatap David yang duduk di hadapannya, pria itu terlihat tenang, tetapi jelas sedang mengamati setiap gerak-geriknya."Jadi?" David mengangkat alisnya. "Aku hanya ingin memastikan sesuatu, Farhan. Apa hubunganmu dengan Najwa?"Farhan menaruh cangkir kopinya dengan gerakan yang terkendali. "Maaf, tapi itu bukan urusan Anda."David tersenyum tipis. "Sebenarnya, itu urusanku. Najwa adalah anak tiriku sekarang dan aku ingin memastikan dia berada di tangan yang tepat."Farhan tertawa kecil, tetapi tidak ada humor di sana. "Anda tidak perlu khawatir soal itu. Najwa baik-baik saja."David mencondongkan tubuhnya, tatapannya semakin tajam. "Dengar, aku tidak bodoh, Farhan. Fara sudah memberitahuku bahwa mantan suaminya tidak memiliki kerabat. Jadi bagaimana mungkin kau bisa menjadi 'om' bagi Najwa?"Farhan tetap tenang, tetapi jari-jarinya mengepal di bawa
Bab 125Kini, setelah bertahun-tahun berlalu, Fara masih dihantui rasa bersalah.Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju lemari. Dari dalam laci, ia mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil yang sudah lama ia simpan. Perlahan, ia membuka tutupnya, memperlihatkan sebuah foto usang, foto dirinya bersama Najwa dan Suratman.Air matanya langsung mengalir. Ia menyusuri wajah kecil Najwa dalam foto itu dengan jemarinya yang bergetar."Najwa, sedikit saja, apakah tidak ada perasaan rindu untuk ibu?"Pertanyaan itu terus mengganggunya sejak pertama kali dia bertemu kembali dengan putrinya. Putri kecilnya yang kini telah beranjak dewasa.***Farhan masih sibuk memeriksa laporan keuangan ketika suara pintu ruang kerjanya terbuka tanpa izin."Farhan!" suara Arum terdengar tajam. Wanita paruh baya itu berjalan masuk dengan wajah kesal.Farhan menutup map di hadapannya dan mengusap wajah dengan lelah. "Ada apa, Ma?""Apa maksudmu bertanya ada apa?" Arum melipat tangan di depan dada. "Uang yan
Bab 124SURAT CERAITangannya bergetar saat menatap lembaran itu. Nama Fara tertera jelas di sana. Ia nyaris tidak bisa percaya dengan apa yang ia baca."Ini tidak mungkin. Fara tidak mungkin melakukan ini," gumam Suratman dengan suara bergetar."Sudah cukup. Jangan cari dia lagi. Kalian sudah bukan siapa-siapa."Suratman menatap pria tua itu dengan mata membelalak. "Kenapa? Apa yang terjadi? Apa yang kalian lakukan pada Fara?"Pak Karim tidak menjawab. Ia hanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan sebelum akhirnya menutup pintu tanpa sepatah kata lagi.Suratman berdiri di sana, masih memegang surat cerai itu dengan tangan gemetar.Dengan langkah gontai, ia kembali ke rumahnya. Sepanjang jalan, pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan yang tak terjawab. Bagaimana mungkin Fara meninggalkannya begitu saja? Kenapa tanpa penjelasan?Ketika ia tiba di rumah, Najwa berlari menghampirinya. "Ayah! Ibu sudah pulang?"Suratman menatap wajah polos putrinya dan seketika dadanya sesak. I
Bab 123SAAT-SAAT TERAKHIRHari demi hari berlalu, dan kondisi Najwa semakin membaik. Warna di wajahnya mulai kembali, senyum kecilnya sudah lebih sering muncul, dan suaranya tak lagi selemah dulu. Fara selalu berada di sampingnya, membacakan cerita sebelum tidur, menyuapinya makan, dan menggenggam tangannya setiap kali Najwa merasa kesakitan.Namun, di balik senyum yang ia tampilkan, ada kesedihan yang semakin dalam. Setiap kali melihat Suratman tertidur di kursi samping ranjang Najwa, Fara ingin menangis. Setiap kali pria itu bangun dan tersenyum padanya, seolah mereka adalah keluarga yang utuh, hatinya semakin hancur.Di saku tasnya, surat panggilan dari pengadilan agama telah berulang kali ia lipat dan sembunyikan. Ia tahu waktunya semakin sedikit. Proses perceraiannya dengan Suratman hampir selesai, dan saat Najwa benar-benar pulih, ia harus pergi.***Suatu sore, ketika Suratman pulang sebentar untuk mengambil beberapa barang di rumah, Fara duduk di samping Najwa yang tengah ter
Bab 122TAWARANFara berdiri di depan rumah orang tuanya dengan dada sesak. Tangannya gemetar saat hendak mengetuk pintu. Selama ini, ia sudah dianggap tidak ada oleh keluarganya setelah memutuskan menikah dengan Suratman, seorang pedagang keliling yang menurut mereka tidak pantas untuknya.Namun, sekarang ia tidak punya pilihan lain.Ia mengetuk pintu dengan ragu. Tak lama, suara langkah kaki terdengar dari dalam, lalu pintu terbuka, memperlihatkan wajah sang ibu, Bu Halimah, yang langsung berubah dingin begitu melihatnya."Untuk apa kamu kemari?" suara wanita paruh baya itu terdengar tajam.Fara menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh."Ma, aku butuh bantuan," suaranya bergetar.Bu Halimah melirik anaknya dari ujung kepala hingga kaki, lalu mendengus. "Jadi sekarang kamu ingat keluarga setelah sekian lama menghilang?"Fara menggeleng cepat. "Aku nggak pernah melupakan papa dan mama. Aku hanya… aku hanya tidak punya keberanian untuk kembali.""Tapi sekarang kamu kembal
BAB 121SEPULUH TAHUN YANG LALULangit sore mulai meredup ketika suara tawa anak-anak masih terdengar di gang sempit perkampungan kecil di pinggiran kota. Najwa, bocah perempuan berusia delapan tahun, berlari kecil mengejar bola plastik yang meluncur ke jalan raya. Tanpa sadar, langkah kakinya melampaui batas aman dari gang sempit itu.Tiba-tiba, suara klakson yang keras menggema di udara. Dalam sekejap, tubuh kecil Najwa terpental ke aspal, diikuti oleh jeritan histeris dari anak-anak lain yang menyaksikan kejadian itu. Mobil yang menabraknya melaju kencang tanpa sedikit pun mengurangi kecepatan, menghilang di belokan sebelum ada yang sempat mencatat nomor platnya."Najwa!"Seorang wanita berlari dari dalam rumah, wajahnya pucat pasi saat melihat tubuh kecil putrinya tergeletak tak bergerak di jalan. Darah mengalir dari pelipis dan hidungnya, membentuk genangan kecil di aspal.Orang-orang mulai berdatangan. Beberapa ibu berteriak panik, sementara beberapa bapak berusaha menenangkan i
BAB 120KERINDUAN YANG TAK TERPADAMKANFara duduk di sofa ruang keluarga dengan wajah yang dipenuhi kesedihan. Matanya yang sembab menunjukkan bahwa ia sudah menangis cukup lama. Di tangannya, ia menggenggam erat selembar foto lama, foto seorang gadis kecil dengan senyum polos yang begitu dirindukannya.David duduk di sampingnya, tangannya dengan lembut mengusap punggung istrinya, berusaha menenangkan. Namun, Fara tetap terisak, rasa sesak yang menghimpit dadanya tak kunjung mereda."Aku tidak bisa terus seperti ini, Mas. Aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin memeluknya setidaknya sekali saja. Aku ingin menebus semua kesalahan yang telah aku buat," ujar Fara dengan suara bergetar.David menarik napas dalam. Ia paham betul bagaimana perasaan istrinya. Setiap malam, ia melihat Fara duduk termenung di depan jendela, matanya menerawang jauh, pikirannya entah ke mana."Sayang, aku mengerti perasaanmu. Tapi kita harus bersabar sedikit lagi. Jangan gegabah, kita harus menunggu waktu yang te