“CANA! Kamu nggak apa-apa? Ini dimakan dulu buburnya,” Begitu aku membuka pintu kamarku, Jasmine sudah berdiri di depanku. Mimik wajahnya tampak was-was. Rambut panjang lurusnya dia biarkan menjuntai indah sampai atas bahu. Kulit putih glowing-nya seperti biasa begitu membuatnya cantik dan sebening bidadari. Belum lagi lesung pipitnya yang membuatnya jauh lebih manis. Jika ingin mencari sosok seorang wanita yang cantik, manis, imut, dan lembut dalam satu raga, jawabannya ada pada Jasmine. Menurutku, orang tuanya tepat menamakannya seperti itu. Dia memang seputih, sesuci, dan seharum melati.
Aku juga baru sadar jika Jasmine memang lebih senang mengenakan baju putih atau krem. Misalnya saja seperti saat ini. Tubuh mungil langsingnya dibalut dengan gaun Sabrina putih selutut. Aku sanksi jika dia mengenakan baju seperti ini selama membantu orang tuanya di restoran. Jikalau dia hari ini mengurusi kasir, rasanya terlalu berlebihan jika berpenampilan seperti ini.
Ayolah Cana! Jangan pura-pura tidak tahu! Tentu saja Jasmine berpenampilan seperti ini demi mengantarkan bubur ayam. Sepertinya, aku memang sudah memenangkan hatinya. Sedahsyat-dahsyatnya pria manapun melirik bidadari secantik Jasmine, mereka tetap tak akan mampu mengalahkanku di hati Jasmine.
“Ya ampun, Jasmine, aku udah bilang nggak usah repot-repot,” aku memamerkan mimik memelasku. Kubelai lembut rambutnya. Dia tampak senang dan memberikan senyuman termanisnya kepadaku. Siapa bilang aku tak tergoda melihat bibir tipis ber-lip gloss pink nude-nya? Akan tetapi, aku tahu, untuk seorang gadis seperti ini, tentulah hanya suaminya yang dapat menyentuh bibir itu. Aku pun paham dengan hal itu, sehingga aku tak pernah memintanya.
“Lho? Kamu kok udah pakaian rapi banget?” Jasmine malah fokus pada pakaian yang kukenakan. Hanya sekilas melihat, dia sadar jika kerah kemejaku agak miring. Buru-buru dia menaruh semangkok bubur ayam yang dia bawa ke atas kabinet dekat pintu kamarku, lalu dia benarkan kerah kemejaku. “Jangan bilang, kamu mau ke kantor,” kedua mata lentiknya memandang ke atas sedikit, menjangkau pandanganku yang memang lebih tinggi dari dirinya.
“Yaaa… memang mau ke kantor dan meeting dengan klien,” jawabku agak tersenyum, memastikan kepadanya bahwa aku sangat tidak apa-apa sekali.
Jasmine tak langsung menjawab pernyataanku. Dia hanya memandangiku dengan begitu dalam, seolah menelisik apakah aku sungguhan sudah tidak apa-apa atau bagaimana.
“Ya ampun, kamu kan masih sakit,” Jasmine meletakkan tangannya di dahiku, memeriksa suhu tubuhku. Dia memang begitu perhatian, “Atau nggak, makan bubur buatanku dulu, yuk. Aku suapin,”
Seharusnya, aku senang karena makan siangku kali ini bisa disuapi oleh Jasmine. Namun, sebaliknya. Aku malah was-was. Sekelabat, otakku merekam gambaran wajah Aubree. Alam bawah sadarku sepertinya mendorongku untuk melakukan sesuatu padanya, “Nggak usah repot-repot,”
“Sayang, tapi ini buburnya. Dimakan dulu, ya,” Jasmine menghampiri kabinet kembali dan menyuguhkan semangkok bubur ayam kepadaku. Kelihatannya, dia membawa mangkok sendiri karena aku tak merasa memiliki mangkok keramik bergambar burung-burung merpati seperti ini. Mungkin juga milik restorannya.
“Terima kasih, Sayang,” tak ada kata yang dapat kulontarkan kepadanya selain ini.
“Yuk, kita makan dulu, yuk,” Jasmine siap melangkah masuk menuju kamarku.
Agar Jasmine tak memasuki kamarku yang seprainya belum ganti semenjak aku mabuk semalaman, aku berniat untuk menikmati semangkok bubur ayam di meja makan, “Eits, kita makan di meja makan aja. Ma…sa, kamu masuk ke kamarku, sih?” kusenggol harga dirinya yang sebenarnya pasti enggan memasuki kamar lawan jenis. Aku sudah kenal sekali dengan Jasmine. Gadis berusia dua puluh empat tahun ini pernah bercerita kepadaku bahwa lelaki yang paling dekat dengannya seumur hidupnya adalah aku. Sejak dulu, hidupnya sudah terisi penuh dengan belajar, bersekolah, berkuliah, dan membantu kedua orang tuanya di restoran. Menurutku, laki-laki di dunia ini bukannya bodoh tak dapat mendekati wanita secantik Jasmine. Hanya saja, Jasmine yang jarang sekali ikut bergaul atau nongkrong di tempat-tempat hits yang banyak dikunjungi muda-mudi seusia kami. Aku merasa jadi sungguh beruntung karena menemukan mutiara di dalam pasir, alias tak banyak laki-laki yang mengetahui keberadaannya. Perkenalan pun jadi tak pernah terjadi.
“Ah, eh, bukan begitu,” wajah Jasmine mendadak merona merah. Hanya disenggol dirinya tak segan memasuki kamar laki-laki saja, dia sudah malu seperti itu. Sungguh semakin menguatkan hati jika dia memang begitu menjaga jarak dengan laki-laki. Kalau sudah mengingat hal ini, aku ingin memberi tepuk tangan pada diriku sendiri. Tanpa usaha yang terlalu keras, aku bisa membuatnya dekat denganku. “Cuma, kamu kan lagi sakit, masa kamu jalan-jalan keluar kamar,” sedikit demi sedikit, dia mencoba mendongakkan wajah dan memandangi wajahku.
Begitu aku memandang balik, Jasmine mengalihkan pandangannya ke mangkok bubur ayam yang digenggamnya. Dia jadi salah tingkah.
“Ya udah, kita ke meja makan aja,” senyumku seraya membentangkan salah satu tanganku menuju ruang makan. Aku mempersilahkannya jalan duluan di depanku. Sebenarnya, aku sudah jarang sekali makan di meja makan. Kecuali, ada orang lain yang menemaniku seperti ini.
“Aku suapin, ya,” begitu aku dan Jasmine sampai di ruang makan, Jasmine kembali menawarkan diri untuk menyuapiku.
Aku menarik salah satu kursi, “Nggak usah repot-repot, Sayang, kita makan berdua aja, ya,”
“Ih, kan kamu yang kurang enak badan. Harus banyak energi. Habis ini kamu rapat, kan? Perlu banyak energi,” Jasmine menarik salah satu kursi di sebelahku dan menariknya hingga jarak kami terlampau dekat.
Aku jadi agak memundurkan posisi badanku, takut jika masih ada sisa alkohol di napasku dan tercium oleh gadis baik-baik ini. “Siapa yang bukain pintu pagar kamu tadi?” tanyaku mengalihkan perhatiannya.
“Penjaga rumah,” Jasmine siap-siap menyuapiku. Dia sendokkan bubur ayam itu menuju mulutku. “Baca doa dulu, Sayang,” daripada kuanggap menyuapi kekasihnya, sebenarnya caranya bicara seperti seorang ibu yang tengah menyuapi anaknya.
Dalam hati, aku mendumel. Seharusnya, penjaga rumahku itu minta izin dulu kepadaku. Dengan Jasmine seketika sudah berada di depan kamarku begini, aku merasa terpojok. Apalagi, aku sedang banyak berbohong saat ini.
“Gemeeees,” refleks, aku mencubit pipinya. Aku tak memungkiri jika dirinya kelewat menggemaskan.
“Cepetan baca doaaaaa,” karena aku sudah mencubit pipinya, Jasmine tampak senang dan kelihatan bertambah berseri-seri. Kurasa, perutnya kini penuh dengan kupu-kupu yang sedang berteberangan. Alias, banyak sekali cinta yang meletup-letup dalam dirinya.
“Iya, buuuu,” candaku mengikuti cara anak-anak berbicara.
“Hihihi,” Jasmine menutup mulutnya, malu jika mulutnya terbuka kala tertawa. Kelihatannya tertawa dengan mulut terbuka dilarang di keluarganya.
Aku mengikuti keinginan Jasmine untuk membaca doa. Mulutku komat-kamit membaca doa sebelum makan lalu mengusap wajahku. Sekelabat aku berpikir bahwa aku bisa melakukan banyak hal baik yang disebabkan dekat dengan Jasmine. Namun sebaliknya, menurutku, sebenarnya tak ada keuntungan apapun yang didapatkan Jasmine dariku. Semua yang dia lakukan ini semata-mata lantaran mengikuti kata hatinya yang penuh perasaan cinta. Kalau kata Selena Gomez, The Heart Wants What It Wants.
Ah! Mengingat lagu patah hati milik Selena Gomez itu, aku jadi ingat dengan seorang wanita yang baiknya luar biasa macam Jasmine. Aku mengkategorikannya sama dengan Jasmine, yaitu Si Jempol Sempurna. Jika Jasmine bernama Si Jempol 1, maka wanita itu Si Jempol 5. Namun, jika kau melihat kontak ponselku saat ini, kau tak akan menemukan kontak Si Jempol 5. Dia sudah membenciku luar biasa. Sebelum dia mem-blok semua social mediaku, postingan terakhir yang kulihat di story-nya adalah Spotify dari lagu patah hati Selena Gomez ini, The Heart Wants What It Wants.
“Sayang? Kamu ngelamun?” kudapati Jasmine tiba-tiba menjentikkan ibu jari di hadapanku. Sudah hampir setahun sejak kejadian Si Jempol 5 hengkang dalam hidupku, tetapi aku tak dapat memungkiri bahwa aku masih mengingatnya. Dia baik. Sayangnya, hanya baik. Dalam kamus hidupku, buat apa wanita baik tetapi tak menarik. Aku sedang tidak mencari guru.
“Ah, maaf. Aku keinget meeting nanti. Aku harus cepat-cepat sampai kantor,” aku melirik jam tangan kulitku, gestur meyakinkan bahwa aku memang tengah terburu-buru.
Seketika, Jasmine meletakkan sesendok bubur ayam yang tadinya ingin disuapkan kepadaku. Senyum di wajah cantiknya menyusut. Kelihatannya aku baru saja mematahkan sayap beberapa kupu-kupu yang tadi berteberangan di perutnya.
“Kamu kok kayaknya biasa-biasa aja sama kedatanganku?” tanyanya yang membuatku semakin yakin bahwa aku memang baru saja mematahkan sayap kupu-kupu ‘jatuh cinta’nya di perut.
“Oh, aku senang, kok,” ucapku penuh basa-basi. Aku jadi bingung sendiri. Aku tidak pernah meminta Jasmine repot-repot harus membawakan semangkok bubur ayam ke rumahku. Namun, dia tetap memaksakan dirinya untuk mengantarkannya. Lalu, setelah aku setuju untuk menikmatinya, dia tersinggung lantaran aku hanya melirik jam tangan. Aku jadi ingat tipikal wanita-wanita yang kukategorikan dalam ‘Si Jempol’. Mereka memang secantik, sebaik, setulus bidadari, tetapi karena semuanya diberikan satu-satunya untuk seseorang yang dicintainya, dalam hal ini adalah aku, maka dia begitu sensitif jika mendapati aku tak berbalik memberikan respons terbaikku.
Semakin mengenal ‘Si Jempol’, terkadang aku bukannya semakin diperlakukan sebagai lelaki yang begitu dicintai dan memiliki cinta sejati indah seperti di film-film, melainkan diikat oleh tali kencang dan dimasukkan dalam sangkar emas. Aku tak bebas atas hidupku. Memangnya, 24 jam yang dipikirkan cinta melulu?
“Bubur ayamnya kelihatannya enak,” kuhirup aroma yang sebenarnya jadi menggugah selera. Perutku yang kosong langsung mengeluarkan bunyi. Aku tak menampik jika perutku lapar. Aku berniat memakan bubur ayam yang dibawakan Jasmine. Aku juga senang jika dia ingin menyuapiku. Namun, mengapa aku jadi ada rasa takut sendiri karena kelihatannya dia begitu kecewa karena aku tak memperlakukannya seperti apa yang dipikirkannya? Aku jadi ingat, berkali-kali aku menghilang dari tipikal wanita ‘Si Jempol’ ini sebenarnya tak total seratus persen karena aku penjahat cinta, tetapi aku takut tak dapat membalas rasa cintanya. Sebelum dia semakin kecewa, aku harus cepat-cepat menghilang dari pandangnya.
“Makasih. Yuk kita makan. Aaaa,” Jasmine tersenyum manis dan membuka mulutnya, memeragakan bahwa aku harus membuka mulut.
Aku membuka mulut dan melahap bubur ayam itu. Rasanya enak seperti biasa. Aku sudah beberapa kali merasakannya. Tipe dari bubur ayamnya adalah bubur ayam Cina dengan telur Pitan, potongan ayam, potongan pangsit, dan kecap asin. Buburnya sendiri sudah terasa sekali bumbu kaldunya. Ibunya Jasmine pernah berkata bahwa kaldu yang terdapat di bubur ayam ini adalah kaldu asli dari rendaman ceker ayam.
Setelah menerima beberapa suapan dari Jasmine, aku mengangkat tanganku. Sepertinya, kini aku benar-benar harus berangkat ke kantor. Bukan hanya tak ingin terlambat, tetapi aku sepertinya harus sudah mulai menjaga jarak darinya. Bahaya jika rasa cintanya tambah besar kepadaku.
Banyak wanita berpikir jika seorang laki-laki yang tebar pesona dan banyak menaruh harapan kepada para wanita adalah sosok laki-laki terbrengsek yang pernah ada. Padahal dalam kamus hidupku, justru jika aku bisa sampaikan kepada para wanita, justru laki-laki seperti itu bukanlah laki-laki brengsek, melainkan laki-laki terbodoh. Mengapa terbodoh? Karena dia tak dapat bermain dengan halus atau ‘smooth’, sehingga para wanita sadar jika dipermainkan. Aku akan memberikan banyak tepuk tangan justru ketika seorang pria dapat memiliki hubungan dengan banyak wanita, tetapi setiap wanita itu tak saling mengetahui satu sama lain. Ataupun kalau sudah tahu, mereka memilih untuk bertahan atau menutup mata karena mengingat kebutuhan akan cintanya hanya bisa dipenuhi oleh kekasih brengseknya tersebut.
Lalu, bagaimana denganku?
Apakah aku mengkutuskan diriku sebagai laki-laki brengsek atau laki-laki bodoh versiku?
Aku sendiri…
Belum tahu.
“Hmm, kenapa? Kok kamu makannya sedikit banget?” Jasmine mengernyitkan dahi.
“Aku harus ke kantor, Sayang,” kubelai lagi rambut panjang menjuntai indahnya. Aku curiga dia baru saja mengeritingkan rambutnya, kecuali dia memang sengaja berpenampilan sempurna selaku kasir restorannya.
“Tapi, kamu butuh makan yang banyak,” mimik Jasmine penuh khawatir.
“Aku udah sembuh, kok,” sekali lagi, aku melakukan ini semata-mata agar tak ada pihak yang terlalu mengikatku. Termasuk Jasmine.
Aku bangkit dari kursi meja makan, lalu aku membelai pipi Jasmine seraya berpamitan, “Aku… pergi dulu ya, Sayang,”
“Aku panik kalau kamu kenapa-napa,” Jasmine masih saja menggaet tanganku, “Soalnya, ada yang sekalian ingin aku tanyakan,”
Firasatku mulai buruk. Aku kembali membelai rambutnya, “Apa?”
“Kapan kamu ke restoran keluargaku? Ayah dan ibu ingin bertemu,”
Deg!
Pertanyaan Jasmine membuat detak jantungku tak beraturan sesaat. Selama hampir tiga tahun aku mengenal Jasmine, aku memang baru satu kali bertemu dengan orang tuanya. Itu juga baru dengan ibunya. Waktu itu, aku tak sengaja berpapasan di pusat perbelanjaan.
Aku memilih untuk diam. Lalu, aku mengeles, “Nanti kita bicarakan, ya, Sayang. Aku merasa, aku belum bisa membuktikan apapun kepada kedua orang tuamu,”
“Tapi, hari ini mereka tahu bahwa aku membawakan semangkok bubur ayam untukmu,” ucap Jasmine.
“Aku…. aku sebenarnya tak pantas menerima semua ini,” aku mendadak menundukkan kepala, “aku… sudah bilang agar kamu tak usah membawakanku bubur ayam begini. Jujur, aku tadi tak enak memakannya,”
“Bubur ayamnya tak enak?!” mata Jasmine membelalak.
“Bu…kan begitu,”
“Jadi, apa?!”
“Aku… tak pantas mendapatkan semua ini darimu. Aku sudah memberimu apa, sih? Sementara kamu? Kamu sudah memberikan banyak,”
“Ah, aku.. ~”
Kugenggam tangan Jasmine erat-erat, membuat dia batal mengatakan sesuatu.
“Mulai sekarang, aku mohon kepadamu Jasmine,” kutatap mata Jasmine penuh sentimentil, “berhenti memberikanku banyak perhatian. Giliran aku yang harus memberikannya kepadamu, tapi aku mohon, aku dalam tahap mengusahakan, karena kamu tahu, kan, aku belum berhasil mengembangkan usaha keluargaku dengan baik,”
“Cana?” tak kupinta, Jasmine mendekapku erat. “Jangan bicara seperti itu! Kau sudah begitu berusaha membangun semua ini!”
“Terima kasih, Sayang,” kukecup rambutnya. Aku tak menyangkal jika sebenarnya, aku mungkin menyayangi dan mencintainya. Namun, untuk diriku yang sekarang, aku belum berani mengembangkan perasaanku kepada Jasmine, “Makanya, aku harus berangkat meeting sekarang,” aku melepas pelukan Jasmine. Kuseka mataku yang sebenarnya tak mengeluarkan air mata apapun.
“Jangan menyerah, ya, Sayang,” dalam hitungan detik, bibirku disentuh oleh seulas bibir lembut. Bahkan, bukan hanya dikecup, melainkan dilumat, dijilat, bahkan digigit sedikit. Di atas pundak kiri dan kananku, terbentang lengan yang kemudian menyilang di belakang tengkuk leherku. Dia mengikatku seerat ini.
Tak enak tak membalas ketulusan hatinya, kukecup lembut bibir ber-lip gloss aroma strawberry itu dengan lembut. Melihat kedua mata itu terpejam lentik, aku turut menutup kedua mataku. Aku kendalikan nafsuku karena tipikal wanita seperti Jasmine ini akan risih dan tak nyaman bila diperlakukan dengan begitu agresif. Dia akan mengkategorikanku sebagai laki-laki yang mengutamakan nafsu, bukan kasih dan cinta. Aku harus membuatnya nyaman.
Kulingkarkan kedua tanganku di pinggang Jasmine. Bersamaan dengan itu, aku sudahi kecupan ini. Aku memundurkan kepalaku dan dia pun membuka kedua mata lentiknya. Matanya agak sembab. Aku tak mengerti mengapa wajahnya tampak seperti seorang yang ingin menangis. Agar dia tak merasa aku tampak terburu-buru ingin melepaskan kecupannya, kukecup saja keningnya dan memandangi wajahnya yang merona merah.
“Akhirnya aku tahu rasanya,” senyum Jasmine tampak tak menyesalkan apapun.
Aku sempat melirik ke bawah dan jadi cekikikan sendiri. Apa yang kulihat saat ini, mungkin dapat menjadi gurauan kecil yang bisa membuat hari Jasmin semakin berbunga. Kusampaikan saja kepadanya, “Rasanya apa? Kaki pegal karena menjinjit dalam waktu lama, ya?”
Refleks, Jasmine menurunkan tumit kakinya. “Nyebelin!” dia memukul-mukul dadaku.
“Ya sudah, aku pergi dulu, ya,” aku sekalian pamit kepadanya.
“Sebentar,” Jasmine kembali menarik lembut lenganku. Wanita ini benar-benar tak ingin berpisah denganku.
“Ada apa?” aku mengerlingkan mata. Rupanya, kecupan dari Jasmine membuatku lebih bersemangat dari semangkok bubur ayam.
Jasmine memberikan selembar tissue kepadaku, “Di bibirmu ada glitter-glitter lip gloss-ku. Maaf,”
“Oh, ini,” aku memiringkan kepalaku dan menyeka bibirku dengan ibu jari. Kemudian, aku membasahinya dengan lidahku. “Sudah, kan?” tanyaku kepada Jasmine.
Melihat caraku membersihkan bibir, Jasmine tersipu malu. Kukecup sekali lagi keningnya, lalu berbalik untuk berangkat meeting. Jasmine pun ikut melangkah keluar bersamaku. Dia hendak kembali ke restorannya.
***
“Bye, Sayaaang. Take care, ya,” Jasmine memelukku lagi sebelum akhirnya dia memasuki mobil yang hendak dikemudikannya untuk kembali ke restoran. Mobil yang diberikan oleh orang tuanya adalah sebuah city car berwarna putih. Lagi-lagi putih. Mungkin kedua orang tuanya juga mengidentifikasikan Jasmine sebagai sesuatu yang suci. Mengingat hal ini, aku jadi tak enak barusan mencuri first kiss-nya.
“Kamu juga hati-hati di jalan, ya,” kulambaikan tanganku ke arah Jasmine. Gadis itu pun mengangguk. Lalu setelah itu, mesin mobil dinyalakan.
“Kau… satu terkasih. Kulihat, di sinar matamu,” begitu mesin mobil Jasmine dinyalakan dan kaca mobil diturunkan, aku mendengar lagu Bahasa Kalbu yang telah dinyanyikan ulang oleh Raisha.
“Aduh…duh… lagunya,” aku mendekati mobilnya dan sekalian meledek. Aku menopang sikutku di bagian atas pintu, sehingga jarak antara aku dan Jasmine bisa dekat sekali.
“Aku selalu inget kamu kalau denger lagu ini,” Jasmine menunjukkan mata berbinarnya, “aku… semakin sadar, kalau aku….,” dia mendongakkan kepalanya dan memandang mataku dengan begitu dalam, “aku…. nggak bisa jauh dari kamu,”
Aku menyunggingkan senyum mendengar pengakuan jujurnya. Andai kata aku memiliki perasaan yang sama besarnya dengan Jasmine, mungkin aku akan mendaratkan satu kecupan lagi kepadanya. Namun, aku tak tergerak sama sekali untuk melakukannya.
“Muaaaah,” Jasmine mengecup jari telunjuk dan jari tengahnya, lalu menempelkannya di bibirku. Ooops! Biasanya dia menempelkannya di kening atau pipiku. Kini, dia mulai berani menempelkannya di bibirku. Mungkin karena dia merasa barusan sudah mengecupnya.
“Apakah tadi adalah first kiss-mu?” kugenggam kedua jemari Jasmine yang baru saja ditempelkannya di bibirku.
Jasmine buru-buru menarik jemarinya. Dia tak menjawab pertanyaanku. Padahal, seharusnya dia ingat bahwa dia pernah bercerita kepadaku tak pernah berciuman.
Karena Jasmine sudah memasang seatbelt, aku memutuskan untuk melangkah mundur dan menunggunya berpamitan. Setelah Jasmine melepaskan rem tangan dan hendak melaju, dia sempat-sempatnya berkata, “Bagaimana menurutmu untuk sebuah first kiss?”
Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Sebenarnya, untuk ukuran pemula, cara Jasmine tadi mengecup bisa dikatakan lumayan. Namun, lebih baik aku tak meresponsnya karena aku juga tak ingin dia memberikan ciuman kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya kepadaku. Bahaya jika perasaannya semakin dalam.
“Jawaaaaaab,” pipi Jasmine merona merah.
“Lain kali, biarkan aku duluan yang mengecupmu,” kutanggapi saja dengan jawaban seperti ini.
“Ooooh,” Jasmine tersanjung. Dia jadi tak juga menancap gas.
Padahal, maksud dari kalimatku itu tak sesederhana itu. Aku mengatakan padanya agar dia membiarkanku duluan yang mengecupnya lantaran aku tak ingin dia mengecupku lagi seperti tadi. Dengan menunggu kecupan dariku, dia tak akan mengecupku duluan. Lalu, kecupan dariku sendiri kepadanya…
Belum tentu ada.
Selepas Jasmine pergi dan penjaga rumahku menutup pintu pagar, aku menghembuskan napas banyak-banyak. Aku merasa separuh bebanku lenyap. Kini saatnya aku mengurusi yang lain. Aku harus meeting dan akan kucoba untuk me-lobi Aubree kembali.
Dalam kesendirian, lamunan mulai memasuki pikiran. Tatapanku lurus ke depan, tetapi kosong. Tangan kiriku kumasukkan ke saku celana, tetapi tangan kananku menyentuh bibirku. Sepintas aku berpikir jika aku sudah melampaui batas. Seharusnya, Si Jempol alias Jasmine, jangan sampai mengecupku.
“Kamu jahat, Cana,” tiba-tiba, aku jadi merangkai jalan cerita sendiri dalam pikiranku. Kubayangkan Jasmine tadi berteriak-teriak di dalam rumahku jika pemberian bubur ayamnya kutolak dan dia tak terima. Atau, bisa juga aku tetap memakannya, tetapi aku menolak untuk berciuman dengannya.
Mengapa aku jadi merasakan bahwa ciumanku tadi dengan Jasmine itu seharusnya benar-benar tak terjadi? Justru saat ini, Jasmine pasti bertambah besar perasaanya.
Aku jadi membayangkan jika ciuman tadi tak ada atau kutolak. Mungkin saat ini, Jasmine akan marah, atau bahkan menyudahi hubungan.
“Jadi, selama ini, kamu anggap aku ini apa, Cana?! Hubungan kita ini apa?” kubayangkan Jasmine tadi marah-marah. Tak ada yang dapat menutupi kekecewaannya perihal perilakuku. Karena jika ingin mengikuti naluri, Jasmine sudah menantikan pertemuan ini jauh-jauh hari.
“Can,” karena ceritanya sikapku jadi agak dingin, Jasmine memberanikan diri untuk bertanya, “Boleh nggak aku nanya sesuatu ke kamu,”
Aku menganggukan kepala.
“Kapan kamu mau bicara serius di rumahku, tentang hubungan kita. Kedua orang tuaku juga banyak tanya,”
“Banyak tanya apa? Kok jadi ada orang tua?”
“Yaaa mereka hanya menungguku,”
“Aku nggak ngerti,”
“Wajar kan permintaanku,”
“Iya, wajar juga jawaban dariku,”
“Apa? Maksudmu?” Jasmine mendelik.
“Aku sedang menata diri,”
“Ayahku hanya butuh waktu kapan kamu melamarku,”
Dalam imajinasiku merangkai cerita ini, mungkin, aku bisa saja berekspresi dengan melirik semangkok bubur ayam yang disuguhi Jasmine untukku. Lalu, setelah menelan ludah, aku membuka mulut, “Seseorang yang mendampingimu haruslah laki-laki yang baik, dan itu bukan aku,”
“Mas Cana, mobilnya sudah saya panaskan,”
“Eh, kaget, Pak. Baik, terima kasih,” aku begitu terkejut karena tiba-tiba, penjaga rumahku menghampiriku yang sedang melamun. Ah, aku memang sering melamun karena senang merangkai cerita khayal. Salah satunya adalah cerita seandainya tadi diriku bisa mengutarakan apa yang dirasakan kepada Jasmine.
Sampai saat ini, meskipun sudah saling mendaratkan ciuman di bibir, aku yakin jika tak memiliki perasaan apa-apa. Kalau boleh jujur, saat ini aku malah rindu dengan salah seorang kawan yang biasa kuajak berciuman.
Bahkan, lebih dari sekadar ciuman…
***
Aku menyalakan playlist lagu dari aplikasi ponsel dan kusambungkan ke tape mobil. Sebelum aku menancap gas, aku sempat mendapatkan beberapa notifikasi sosial media dan membukanya. Aku sekilas melihat Jasmine baru saja men-upload video singkat yang menunjukkan dia sedang mendengarkan lagu-lagu penuh cinta. Dia tambahkan caption: ‘Thinking about you’. Lalu, aku refleks memberikan komentar, “Who?” Perasaan cinta Jasmine yang kutangkap begitu meletup-meletup tak kuanggap memberikan refleksi bagi hatiku. Aku justru merasa energi itu begitu mengancamku. Dalam waktu dekat, mungkin aku harus menjaga jarak dengannya. Tarik ulur adalah seni menjaga rasa. Aku kembali mendapati notifikasi. Kali ini dari aplikasi chat. Kunamakan dia ‘Si Telunjuk 1’. Si Telunjuk 1: 15 minutes….. “Ah, damn!” membaca chat-nya yang singkat, aku tahu jika dia alias ‘Si Telunjuk’ itu marah. Dia mengabarkan jika dia sudah berada di ruang meeting selama lima belas menit. Saking lamanya melepas Si Jempol Jasmine, aku sa
“HAHAHAHAHA!” gelak tawa meledak seantereo ruang meeting. Suara Mandy yang menggelegar sempat membuatku menoleh beberapa kali ke arah pintu, takut-takut menarik perhatian para anak buahku atau office boy. Yaaa… kenyatannya, ruang rapat ini memang bagian dari kantorku. Tentu saja tadi Mandy bercanda dengan mengatakannya sebagai kantornya dan aku adalah anak buahnya. Walaupun sebenarnya, aku berani bertaruh bahwa perusahaanku mungkin akan lebih maju jika dipimpin oleh wanita sepintar, setegas, dan secantik Mandy. “Wanita anggun bukanlah wanita yang tertawa begitu terbahak-bahak,” aku mencoba mengkritik caranya bersikap. Mimik wajahku sengaja kuatur datar. Sekali-sekali, aku ingin membuatnya insecure. “Memangnya, aku ingin disebut wanita anggun olehmu?” Mandy mengerlingkan mata. “Kau saja selalu mencariku untuk mendapatkan pertimbangan keuangan dan bisnis,” “Kau sendiri senang, kan, ditanya?” aku menaikkan alisku. “Meningkatkan self esteem,” aku mencoba menggodanya lagi dengan melahap
‘Kak, PPnya ganteng banget, deh! Hehehe,’ ‘Aku tadi dengerin podcast kakak loooh! Kereeeen!’ ‘Sebenarnya kak, pemerintah sudah mendukung seni dan budaya tanah air, tetapi terkadang inkonsistensi dari beberapa pihak yang bikin semangat seniman tanah air juga naik turun. Aku ngerasain banget waktu buka usaha tas anyaman bambu itu, Kak,’ ‘Tirandra likes your photo’ ‘Tirandra likes your photo’ ‘Tirandra reply your story’ ‘Tirandra commend your post’ ‘Tirandra likes your commend’ Baru saja aku membuka mata dari bangun tidur dan mengecek ponsel, beberapa notifikasi social media-ku masuk. Nama yang keluar begitu beragam. Namun, ada satu yang menarik perhatianku. Sebut saja dia, ‘Si Jari Manis Loyal’. Tirandra Dewy Leisnaldy…. Tiba-tiba, lamunanku beranjak ke peristiwa tujuh tahun silam. “Eh, name tag kamu jatuh, tuh!” percakapan pertama kami berlangsung pertama kali sekitar tujuh tahun lalu. Ketika itu, aku sedang menontoni para mahasiswa baru di fakultasku. Mereka sedang berlari-l
“Donburi Teriyaki is comiiiin’,” kutaruh nampan makananku dan Tira di atas meja. Tira yang sedang menggerak-gerakan dua ibu jarinya dikeyboardponsel jadi langsung menyembunyikangadget-nya itu di bawah meja. Kelihatannya, dia jadi salah tingkah terhadapaku. Aku sempat lihat tadi dari kejauhan bahwa dia sedang senyum-senyum sendirian di depan layar ponsel. Aku masih curiga jika dia sedang membicarakan topik yang sama dengan orang yang tadi dia telepon.“Ma….kasih banyak, Kak Cana,” kedua mata Tira memandangku dengan berbinar-binar, “Ini…., bener-bener ditraktir, Kak?”Aku menunjukkan ekspresi wajah seseorang yang sedang marah. Tentu saja pura-pura. “Enggak!” aku mengangkat daguku, “Kamu harus bayar dua kali lipat ke aku!” aku berkacak pinggang, bercanda jika dia yang berb
“Apa? Lo udah putus sama si cowok Korea itu?” mataku membelalak ketika mendengar curahan hati Gwen beberapa detik lalu. Aku tak mengira jika hubungan yang kelihatannya dijalin dengan begitu serius dan akan berakhir di gerbang pernikahan itu kandas di tengah jalan.Gwen menganggukan kepala, “Kita berdua ngerasa hubungannya udah nggak enak dijalanin sekitar seminggu lalu, tapi bener-bener putusnya itu semalam,”“Terus? Lo….nggak nangis?”Mendengar pertanyaanku, Gwen langsung menjentikkan jari, “Sama aja lo sama si Oppa mantan gue itu. Dia juga heran kenapa gue nggak nangis di zoom,”“Di mana?”“Di zoom,”“Zoom…?” aku mengernyitkan dahi.“Iya, Zoom. Aplikasi zoom, yang suka dipakek webinar orang-orang itu,” jelas Gwen.“Lah?! Lo diputusin via zoom? Via online? Via webinar?” aku menegakkan badanku. “Kok? M
Penulis yang konon tak terlalu suka dengan gelora cinta Aphrodite itu duduk dengan santai di hadapanku. Pandangan matanya yang biasanya menyorot tajam ke arahku, kini agak sayu dan mengandung harap. Aku jadi ingin tahu alasan Aubree kembali ingin memakaisound system-ku itu apa. Lalu, mengapa dia juga tampak putus asa begitu? “Can, gue nggak terlalu suka samasound systemmereka. Kualitasnya bagusan produk lo,” belum saja aku bertanya alasannya kembali ingin menggunakan produk perusahaanku, Aubree sudah melontarkannya sendiri, “Jadi, gue datang ke sini untuk meyakinkan lo,” lanjutnya. Aku suka dengan penampilan Aubree hari ini. Dia mengenakan topi pet berwarna cokelat kemerahan alias cokelat marun. Lalu, rambut lurus kecokelatannya menggantung rapi di atas pundak. Kemeja putih gombrong yang dimasukkan ke celana jins biru menunjukkan kesanandrogyneatau sedikit maskulin. Gesper kulitnya sama-sama berwarna cokelat kemerahan
Lesung pipi Aubree tampak jelas di refleksi kaca spion tengah mobil. Selama mengunjungi Cana di kantor, dia memakirkan mobilnya di gedung parkir yang agak gelap. Tak jarang untuk meminimalisir kegelapan, dia menyalakan lampu dalam mobil.Di bawah sorot cahaya lampu mobil yang berwarna kekuningan, Aubree menggerak-gerakan bibirnya, melebarkan senyum yang kelewat lebar. Dia biasa melakukan hal ini jika sedang dalam kondisi tak terlalu baik-baik saja. Wajahnya yang good looking sebenarnya tak bisa dikatakan selalu cantik, tetapi karena dirinya selalu merawat kecantikan kulit dan berolahraga, dia yang kini sudah berusia seperempat abad masih cocok saja mengenakan seragam putih abu-abu. Menurut Cana, wajah Aubree juga tak berubah sejak SMA.“Cana jadi agak sebel nggak, ya, gue plin-plan begini?” Aubree memukul-mukul setir mobil dengan jemari. Kedua matanya masih melirik kaca spion tengah. Dia cukup mengagumi warna lensa kontaknya yang unik. Jika diperhatikan dengan seksama, lensa kontak ber
Aubree menggigit bibir bawah ketika tak sengaja pandanganku masih tertuju ke sana. Aku sendiri tak berani menebak apakah dirinya menyadari arah pandangku saat ini atau tidak. Kalau pun menyadari, aku rasa Aubree tak protes. Mungkin sebagai penulis novel, dia malah mendapatkan inspirasi baru karena aku kedapatan tertarik dengan bibirnya. “Duduk dulu, yuk, Can. Lo mau pesen minum atau makanan apa?” Aubree menoleh ke kiri dan ke kanan, kemudian mengangkat tangannya untuk memanggil seorang pramusaji. “Minta menunya, ya, Mbak?” senyumnya membuat lesung pipinya terlihat. Kalau tadi aku memperhatikan bibirnya, kini pandanganku beralih ke lesung pipitnya. Seharusnya aku berpendapat biasa saja karena aku sendiri juga tak terlalu berkesan setiap kali bertemu dengan seorang yang berlesung pipit. Namun, bolehkah aku sampaikan bahwa sungguh berbeda jika seorang berlesung pipit itu adalah Aubree? Dibandingkan semasa SMA, lesung pipitnya lebih jelas saat ini. Apakah dia operasi plastik? Entahlah, s
Beberapa tahun kemudian:“Would you marry me?” tak terbayang olehku sebelumnya, sepanjang hidupku, bahwa suatu hari ini, aku akan mengajak seseorang untuk melangkah ke tahap baru dari fase kehidupan seorang manusia.Ketika aku melontarkan pertanyaan ini, aku juga tak tahu apakah suatu hari nanti, aku akan mengajukan pertanyaan ini lagi kepada seorang lain?Lika-liku kehidupan yang lebih kuanggap sebagai proses pencarian, bukan permainan. Mungkin caranya untuk sebagian besar orang dianggap permainan, tetapi tidak denganku.Hanya ada satu kata yang bisa kulontarkan kepada mereka yang menganggapnya sebagai suatu permainan.Aku sungguh tak bermaksud.Maka dari itu, aku lontarkan saja satu kata itu.Kata itu berarti adalah….Maaf….Tak mengapa pula jika tak dimaafkan...***The EndLima Jari Playboy….Selesai….
Kau kira aku adalah jalan pulang, sedangkan aku berpikir bahwa kau adalah persimpangan.Jangan sakit hati dulu dengan kata-kataku barusan!Bisa saja jalan pulang yang terbentang di hadapanmu itu panjang sekali. Sampai-sampai, waktu kita berbincang-bincang akan selalu ada dan bergulir. Kusarankan kau agar memanfaatkan semua kesempatan ini.Sebaliknya, bisa saja persimpangan yang tersaji di hadapanku mengandung jalan buntu di belokannya. Akhirnya, ujung-ujungnya, aku harus kembali lagi ke persimpangan.Asalkan kau sabar-sabar saja jika aku banyak menyapu pandang di persimpangan sana. Aku pasti akan terus memutar-mutarkan tubuhku, sehingga aku tahu apa saja yang ada di sekelilingku. Aku sendiri memberikanmu kebebasan akan itu, meskipun kau tak memanfaatkannya sama sekali.Tak bisa disalahkan juga.Kau terlalu mencintaiku.“Jasmine,” kusentuh pipi Jasmine yang sudah basah karena air mata, “bicara apa kamu barusan?”
Aku mengangkat badanku dari dalam kolam renang. Di hadapanku, masih ada Aubree, Jasmine, Mandy, Naomi, Tira, dan Gwen. Aku sempat menangkap beberapa ekspresi mereka kala aku mengangkat badanku dari dalam kolam renang. Sudah pasti badanku basah dan aku tak bisa merendahkan diri dengan mengatakan bahwa badanku kurang atletis.“Apa maksud kamu membawa mereka semua ke sini?” tanyaku kepada Aubree. Caraku bertanya masih tenang.“Aku tak membawa mereka ke sini, tetapi mereka yang mengikutiku,” tatap Aubree yang sepertinya tidak bohong.“Jadi, kalian semua mau apa ke sini? Mau mengeroyokku?” aku masih tak melontarkan kata-kata dengan kasar. Aku berpikir jika nada bicaraku meninggi sedikit, maka mereka bisa menjadikan satu sifat itu seperti bagian dari sumber kesalahanku.“Aku yang membawa mereka ke sini,” Mandy si Telunjuk mendekatiku seraya melipat kedua tangan di depan dadanya.“Un…tuk apa, ha
“Jadi, kurasa, obrolan kita hanya sampai sini saja,” aku beranjak dari kursi dan membuang pandangan pada Aubree. “Mengapa kamu tak berani mencobanya?”“Aku bukannya tak berani mencoba,” Aku memperhatikan anting bundar Aubree yang terombang-ambing selama Aubree menggerak-gerakan kepalanya kala berbicara denganku. Aku tak bisa memungkiri bahwa dirinya masih menempati posisi teratas bagi hatiku. Aku kelewat mencintainya.“Lantas?” aku betul-betul mengejar argumennya.“Aku belum yakin padamu, Cana,” ucapnya, “selama aku belum yakin denganmu, tetapi kau sudah begitu membutuhkan cinta, aku tak masalah jika kamu ingin mencobanya dengan wanita lain,”“Wanita lain itu siapa?” sepertinya, posisiku yang berdiri, sedangkan Aubree yang duduk cukup mencolok. Aku mendapati beberapa pasang mata dari meja lain, yang rata-rata juga dari sepasang kekasih jadi memperhatikan kami. Dikiranya mu
Waktu yang kunantikan akhirnya menghampiri juga. Di hadapanku, duduklah Aubree beserta dengannotesdan pulpennya. Dia mengatakan bahwa dirinya akan melanjutkan pembahasan mengenailaunchingnovel terbarunya. Tak hanya itu saja. Dia juga melanjutkan risetnya mengenai kisah-kisahku selama menjadiplayboyuntuk kepentingan novelnya tersebut. “Aubree! Jadi? Kamu hubungi aku lagi, karena kepentingan-kepentinganmu ini?” tempat yang dipilih Aubree untuk bicara empat mata denganku malam ini bukan di Cosmo King. Dia memilihkan sebuah café yang begitu tenang, sejuk, dan memperdengarkan lagu-lagu Jazz dispeaker-nya. Aubree mengaduk secangkir teh yang dipesannya dengan kayu manis. Dia belum menjawab pertanyaanku, tetapi senyum lebar terlanjur te
“Saya mau loakin novel-novel yang ditulis penulis Aphrodie. Bisa telepon tukang loak sekarang untuk ambil semuanya di apartemen saya?” Mandy si Telunjuk akhir-akhir ini jarang keluar apartemennya di bilangan Mega Kuningan. Dia sibuk merapikan rak bukunya dan membuang beberapa koleksi bacaannya yang menurutnya tak penting. Beberapa dari bacaan tak penting itu ternyata adalah novel-novel favorit Mandy yang ditulis oleh Aphrodie. Buku-buku itu siap diloakkan dan dia minta tolong asisten rumah tangganya untuk mengenyahkan buku-buku itu dari sini. Asal kau tahu, Aphrodie sesungguhnya adalah novelis kesukaan Mandy si Telunjuk. Menurutnya, Aphrodie tak hanya menuliskan cerita-cerita penuh romantisme dan puitis, tetapi juga nilai humaniora dan wawasan yang begitu luas. Mandy jarang menyukai novel fiksi bergenre romantis. Namun, jika yang menulis adalah Aphrodie, Mandy bisa menghabiskannya dalam waktu kurang lebih seminggu.
Mungkin kau melihatku tak lagi menemukan semarak yang biasanya kutemukan bersamamu di hari-hari yang telah lewat.Aku tak menampik bahwa kau benar.Namun, satu hal yang ingin aku sampaikan kepadamu adalah bahwa aku lebih baik tak lagi menemukan semarak itu dibandingkan harus memasukkanmu lagi di ruangku.Di hari terakhir perpisahan, kau mengatakan padaku bahwa kau akan menungguku sampai aku kembali membuka pintu kebersamaan denganmu lagi.Satu hal yang ingin aku sampaikan kepadamu adalah bahwa setidakenaknya aku di sini, aku tak akan pernah menghampirimu lagi.Jangankan menghampirimu, kau mengetuk pintuku saja mungkin akan tetap kubiarkan masuk, tetapi setelah itu kau punya pilihan untuk keluar lagi.Kau bukan pilihanku untuk mengemis pertolongan. Buat apa menerima kebaikanmu setinggi langit, tetapi setelah itu dihempaskan sampai inti bumi yang kelewat panas? Aku lebih baik berjinjit
“Siapa?! Emma?!” meski sedang berada di sebuahcoffee shopumum yang tentu saja tak akan ada seorang wanita bernama Emma, aku tetap merasa panik kala Gwen si Kelingking menyerukannya dalam nada bicara agak meninggi.Deg!Aku tak percaya jantungku berdetak kencang seketika. Hatiku sepertinya sedang tergantung di sosok bernama Emma yang kutemui semalam dalam pesta pernikahan kawanku. Bisa ditebak bahwa setelah aku ditunjukkan dirinya di pesta oleh temanku, tak ada sesuatu yang aku perbuat padanya. Aku hanya memandangnya dari jauh. Dia cukup cantik, menarik, dan tampaknya menyenangkan jika bisa lebih dekat dengannya. Namun, aku punya alasan hanya memandangnya dari jauh.Dalam kamus seorang laki-laki, ah tunggu! Mungkin bukan seorang laki-laki pada umumnya, melainkan segelintir orang dan salah satunya adalah aku, pada hakikatnya, cinta adalah sebuah sugesti yang dapat diciptakan sendiri oleh tiap insan.Lelaki yang dian
“Untuk Rinka dan Theo, hmm….., selamat menempuh hidup baru,” ucap salah seorang tamu di pertengahan sesi santap malam. “Kau dan aku tercipta oleh waktu. Hanya untuk saling mencintai,” lalu, wanita yang sepertinya adalah adik sepupu Theo itu mulai menyanyi di atas panggung musik. Adik sepupu Theo, si pengantin laki-laki, pada akhirnya mengucapkan selamat di atas panggung lantaran tadi mendapatkan bunga yang dilempar oleh kedua mempelai. Tadinya, aku yang dapat, tetapi karena reaksi orang di sekitarku tampak berlebihan, aku refleks melempar bunga lagi dan ditangkap oleh gadis ini. Sebenarnya, aku tak boleh melemparkannya lagi. Tentunya terkesan kurang menghargai acara. Namun, apa boleh buat? Aku sedang tak minat dengan yang namanya pernikahan. Jika tadi aku mendapatkan bunga itu, maka akan banyak orang yang mendoakanku ke arah sana. Untuk sekarang, aku aminkan saja dulu. Sambil menusukkanpopper cheesedan memasukkannya ke dalam mulut, pikirank