Aubree menggigit bibir bawah ketika tak sengaja pandanganku masih tertuju ke sana. Aku sendiri tak berani menebak apakah dirinya menyadari arah pandangku saat ini atau tidak. Kalau pun menyadari, aku rasa Aubree tak protes. Mungkin sebagai penulis novel, dia malah mendapatkan inspirasi baru karena aku kedapatan tertarik dengan bibirnya. “Duduk dulu, yuk, Can. Lo mau pesen minum atau makanan apa?” Aubree menoleh ke kiri dan ke kanan, kemudian mengangkat tangannya untuk memanggil seorang pramusaji. “Minta menunya, ya, Mbak?” senyumnya membuat lesung pipinya terlihat. Kalau tadi aku memperhatikan bibirnya, kini pandanganku beralih ke lesung pipitnya. Seharusnya aku berpendapat biasa saja karena aku sendiri juga tak terlalu berkesan setiap kali bertemu dengan seorang yang berlesung pipit. Namun, bolehkah aku sampaikan bahwa sungguh berbeda jika seorang berlesung pipit itu adalah Aubree? Dibandingkan semasa SMA, lesung pipitnya lebih jelas saat ini. Apakah dia operasi plastik? Entahlah, s
“Kenapa niiiiih, kamu nanya-nanya tentang Aphrodie?” nada suaraku kuusahakan terdengar agak manja. Tidak apa-apa pikirku. Mandy juga sudah paham jika aku akan mengeluarkan suara kekanak-kanakanku di saat menggodanya. Karena pada tingkatan usiaku yang lebih muda daripadanya, aku bisa merengek semauku. Aku pernah pura-pura tak ingin bicara padanya ketika kami makan siang bersama dan dia lupa mengatakan kepada pramusaji bahwa aku tak suka tingkat kematangan medium rare. Ketika Mandy menawarkan untuk menukar atau memesan ulang, aku pura-pura mengangguk dengan sedikit ogah-ogahan. Sebenarnya, dia bisa marah karena jengkel dengan kelakuanku, tetapi tampaknya dia lebih takut jika aku tak akan lagi menemaninya ke mana-mana lagi.“Kamu nggak cerita-cerita kalau lagi dekat dengan Aphrodie?” pertanyaan Mandy di seberang sana lagi-lagi kuanalisis sebagai bentuk interogasi.“Apakah aku harus cerita-cerita? Aku nggak pernah minta kamu untuk cerita tentang teman yang lagi dekat sama kamu?” Pertanyaan
Kalau pasanganmu adalah seorang seniman, janganlah marah kepadanya jika rasa cinta yang kau berikan kepadanya disalurkan kepada banyak orang melalui karya.Coba bayangkan, kau hanya membuat satu orang merasakan cinta, dan dia bisa membuat banyak penikmat karyanya merasakan cinta yang kau berikan kepadanya.Bukannya, pahalamu jadi banyak?Kecuali, kamu memberikan rasa cinta pada satu orang, lalu dia menebarkan pesonanya sendiri, sehingga orang-orang tak jatuh cinta pada karyanya, tetapi padanya. Tapi, tenang saja!Dia sudah pasti setia kepadamu.Karena baginya, kau adalah karya seni Tuhan yang digariskan menjadi inspirasi karya seninya.Itu sangat mahal harganya.Sebelas dua belas dengan harga nyawanya.“Lalu? Ke manakah aku harus meminta balik rasa cintanya?” tanyamu kepada semesta.Jangan terlalu diambil pusing!Kau akan jatuh cinta balik hanya dengan menikmati karya seni ciptaannya. Lalu, jujurlah atas penilaianmu terhadap karyanya. Dia tak akan melepas genggaman tanganmu. Kedua mat
Mobil Aubree terhenti di depan sebuah rumah tingkat dua berpagar cokelat keemasan. Rumah-rumah di sekitarnya rata-rata juga bertingkat dua. Pepohonannya tinggi-tinggi dan rimbun sekali. Sumber penerangannya hanya berasal dari lampu perumahan dan pos satpam depan portal. “Masuk dulu, Can. Sambil nunggu taksi online, lo santai aja di ruang tamu gue,” Aubree menarik rem tangan, “lagipula, obrolan kita belum selesai, kan?” dia membuka pintu mobil dan melangkah mendekati pagar rumah. “Eh! Eh! Eh! Gue aja yang buka pagarnya!” betapa terkejutnya aku ketika melihat Aubree hendak mendorong pagar rumahnya sendiri. Buru-buru, aku ikut keluar mobil. “Gue kira, bakal ada penjaga yang buka pintunya?” “Memang ada sebenarnya. Cuma gue suka nggak enak kalau udah malam begini bangunin penjaga rumah,” jawab Aubree terbilang santai, “lagipula, gue udah biasa kok buka pager begini,” dia mulai mendorong pintu pagarnya. “Iya, tapi kalau ada cowok, atau ada gue, yaaa biar gue aja yang dorong pagarnya,” ak
“WRONG WAY!” “WRONG WAY!” “WRONG WAY!” Suara narator video game playstation racing Grand Turismo membuatku bertambah panik kala menekan-nekan tombol stick video game. Mobil-mobil rivalku dalam car race ini melaju berlawanan arah denganku. Sial! Hanya lantaran tersenggol mobil lawan, mobilku jadi berbalik arah seratus delapan puluh derajat. Selama hidupku, sebenarnya aku akrab dengan dunia video game. Ketika kukecil dulu, orangtuaku rajin membelikan konsul game apa pun yang kumau. Mulai dari playstation, sega, x-box, maupun Gameboy tak ada yang terlewatkan. Tak jarang aku mengajak teman-temanku di sekolah maupun tetangga untuk bermain video game ke rumahku. Kebanyakan memang laki-laki. Kalau pun ada teman perempuan yang ikut bersama kami bermain video game, kemungkinan adalah pacarku atau pacar dari sahabat-sahabatku. Satu hal yang menarik adalah… Seingatku, aku tak pernah mengajak Aubree untuk bermain video game di rumahku. Padahal, kami berdua ini satu sekolah. Mungkin karena kuk
Aku mencintaimu. Aku milikmu. Kau adalah kekasihku. Kau adalah tambatan hatiku. Kau adalah milikku. Bolehkah aku mengkritisi kalimat yang terlontar dari bibir berlipstik maroon red cantiknya itu dan mengungkapkan dari lubuk hati terdalamku bahwa justru aku akan menjauh dari seseorang yang meyakini teori cinta tesebut untuk pedoman hidupnya? Aku tak suka diriku menjadi miliknya. Diriku hanyalah milikku, sedangkan dirinya adalah miliknya. Kalau pun ada orang lain yang ingin mengklaim kepemilikan seseorang, menurutku yang lebih pantas adalah kedua orang tuanya. Aku ada karena mereka berdua. Atau, jika aku ingin sok suci, sudah pasti diriku dan dirinya hanyalah milik Tuhan. Ah! Sekilas, pernyataan kau adalah milikku dari seseorang yang sedang kau cintai itu terdengar begitu romantis. Namun, sebenarnya, makna di balik semua itu sangat menyeramkan. Kau tak hanya sekedar menyerahkan diri, tetapi sudah mengakui bahwa jiwa dan ragamu adalah miliknya. Aku pernah mendapatkan cerita dari se
“Mungkin suatu hari nanti, aku harus bicara pada Jasmine,” aku mencoba memejamkan mataku. Aku hendak berangkat tidur. Perasaanku memang agak tak enak, mungkin karena memikirkan Jasmine. Namun sepertinya, kantukku jauh lebih menguasai. Aku ingin mengakhiri hari dengan tenang. Sampai jumpa di hari esok.Nyatanya, ketika aku sudah memejamkan mata, aku belum benar-benar tertidur pulas. Semilir AC hanyalah satu-satunya bunyi yang kudengar di telinga. Dalam gelap karena memejamkan mata, benakku rupanya belum ingin beristirahat. Baiklah! Biarkan dia berpikir terlebih dahulu tentang hubunganku dengan Jasmine.Tak hanya itu, biarkan aku juga menambahkan beban pikiranku seputar pernikahan.Entah mengapa, aku jadi teringat dengan pesta perayaan usia pernikahan lima puluh tahun kakek dan nenekku.Dalam beberapa acara perayaan lima puluh tahun pernikahan, aku sering mengkritisi perjalanan kisah panjang pasangan yang sedang merayakan kemeriahan itu. Sebenar
Rambut-rambut Jasmine Si Jempol berjatuhan di sekitar meja rias kamarnya yang serba putih. Tak hanya warna favorit dan hatinya yang berwarna putih, ada dinding kamar, cat lemari pakaian, warna tempat tidur beserta meja rias dan kabinet, pintu, jendela, boneka beruang di pojok kamar, gorden, jam dinding, bingkai-bingkai foto, karpet, sofa kecil, sampai mayoritas pakaian di lemari, semuanya berwarna putih. Kedua orangtuanya, sang pemberi nama ‘Jasmine’ juga tak mengarahkan putri sematawayangnya untuk menggemari warna putih bak warna melati. Sudah digariskan semesta rupanya gadis cantik dan manis ini menyukai warna terang macam putih. Rambut-rambut hitam legam Jasmine berjatuhan di karpet putih kamar. Jasmine yang hendak menggunting helai-helai rambut lainnya sempat melirik sejenak ke arah helai-helai rambutnya yang telah berjatuhan. Air matanya meleleh lagi. Dia bukannya sedih berpisah dengan potongan-potongan rambut itu, melainkan mengenang kisah indah bersama seseorang selama helai-he
Beberapa tahun kemudian:“Would you marry me?” tak terbayang olehku sebelumnya, sepanjang hidupku, bahwa suatu hari ini, aku akan mengajak seseorang untuk melangkah ke tahap baru dari fase kehidupan seorang manusia.Ketika aku melontarkan pertanyaan ini, aku juga tak tahu apakah suatu hari nanti, aku akan mengajukan pertanyaan ini lagi kepada seorang lain?Lika-liku kehidupan yang lebih kuanggap sebagai proses pencarian, bukan permainan. Mungkin caranya untuk sebagian besar orang dianggap permainan, tetapi tidak denganku.Hanya ada satu kata yang bisa kulontarkan kepada mereka yang menganggapnya sebagai suatu permainan.Aku sungguh tak bermaksud.Maka dari itu, aku lontarkan saja satu kata itu.Kata itu berarti adalah….Maaf….Tak mengapa pula jika tak dimaafkan...***The EndLima Jari Playboy….Selesai….
Kau kira aku adalah jalan pulang, sedangkan aku berpikir bahwa kau adalah persimpangan.Jangan sakit hati dulu dengan kata-kataku barusan!Bisa saja jalan pulang yang terbentang di hadapanmu itu panjang sekali. Sampai-sampai, waktu kita berbincang-bincang akan selalu ada dan bergulir. Kusarankan kau agar memanfaatkan semua kesempatan ini.Sebaliknya, bisa saja persimpangan yang tersaji di hadapanku mengandung jalan buntu di belokannya. Akhirnya, ujung-ujungnya, aku harus kembali lagi ke persimpangan.Asalkan kau sabar-sabar saja jika aku banyak menyapu pandang di persimpangan sana. Aku pasti akan terus memutar-mutarkan tubuhku, sehingga aku tahu apa saja yang ada di sekelilingku. Aku sendiri memberikanmu kebebasan akan itu, meskipun kau tak memanfaatkannya sama sekali.Tak bisa disalahkan juga.Kau terlalu mencintaiku.“Jasmine,” kusentuh pipi Jasmine yang sudah basah karena air mata, “bicara apa kamu barusan?”
Aku mengangkat badanku dari dalam kolam renang. Di hadapanku, masih ada Aubree, Jasmine, Mandy, Naomi, Tira, dan Gwen. Aku sempat menangkap beberapa ekspresi mereka kala aku mengangkat badanku dari dalam kolam renang. Sudah pasti badanku basah dan aku tak bisa merendahkan diri dengan mengatakan bahwa badanku kurang atletis.“Apa maksud kamu membawa mereka semua ke sini?” tanyaku kepada Aubree. Caraku bertanya masih tenang.“Aku tak membawa mereka ke sini, tetapi mereka yang mengikutiku,” tatap Aubree yang sepertinya tidak bohong.“Jadi, kalian semua mau apa ke sini? Mau mengeroyokku?” aku masih tak melontarkan kata-kata dengan kasar. Aku berpikir jika nada bicaraku meninggi sedikit, maka mereka bisa menjadikan satu sifat itu seperti bagian dari sumber kesalahanku.“Aku yang membawa mereka ke sini,” Mandy si Telunjuk mendekatiku seraya melipat kedua tangan di depan dadanya.“Un…tuk apa, ha
“Jadi, kurasa, obrolan kita hanya sampai sini saja,” aku beranjak dari kursi dan membuang pandangan pada Aubree. “Mengapa kamu tak berani mencobanya?”“Aku bukannya tak berani mencoba,” Aku memperhatikan anting bundar Aubree yang terombang-ambing selama Aubree menggerak-gerakan kepalanya kala berbicara denganku. Aku tak bisa memungkiri bahwa dirinya masih menempati posisi teratas bagi hatiku. Aku kelewat mencintainya.“Lantas?” aku betul-betul mengejar argumennya.“Aku belum yakin padamu, Cana,” ucapnya, “selama aku belum yakin denganmu, tetapi kau sudah begitu membutuhkan cinta, aku tak masalah jika kamu ingin mencobanya dengan wanita lain,”“Wanita lain itu siapa?” sepertinya, posisiku yang berdiri, sedangkan Aubree yang duduk cukup mencolok. Aku mendapati beberapa pasang mata dari meja lain, yang rata-rata juga dari sepasang kekasih jadi memperhatikan kami. Dikiranya mu
Waktu yang kunantikan akhirnya menghampiri juga. Di hadapanku, duduklah Aubree beserta dengannotesdan pulpennya. Dia mengatakan bahwa dirinya akan melanjutkan pembahasan mengenailaunchingnovel terbarunya. Tak hanya itu saja. Dia juga melanjutkan risetnya mengenai kisah-kisahku selama menjadiplayboyuntuk kepentingan novelnya tersebut. “Aubree! Jadi? Kamu hubungi aku lagi, karena kepentingan-kepentinganmu ini?” tempat yang dipilih Aubree untuk bicara empat mata denganku malam ini bukan di Cosmo King. Dia memilihkan sebuah café yang begitu tenang, sejuk, dan memperdengarkan lagu-lagu Jazz dispeaker-nya. Aubree mengaduk secangkir teh yang dipesannya dengan kayu manis. Dia belum menjawab pertanyaanku, tetapi senyum lebar terlanjur te
“Saya mau loakin novel-novel yang ditulis penulis Aphrodie. Bisa telepon tukang loak sekarang untuk ambil semuanya di apartemen saya?” Mandy si Telunjuk akhir-akhir ini jarang keluar apartemennya di bilangan Mega Kuningan. Dia sibuk merapikan rak bukunya dan membuang beberapa koleksi bacaannya yang menurutnya tak penting. Beberapa dari bacaan tak penting itu ternyata adalah novel-novel favorit Mandy yang ditulis oleh Aphrodie. Buku-buku itu siap diloakkan dan dia minta tolong asisten rumah tangganya untuk mengenyahkan buku-buku itu dari sini. Asal kau tahu, Aphrodie sesungguhnya adalah novelis kesukaan Mandy si Telunjuk. Menurutnya, Aphrodie tak hanya menuliskan cerita-cerita penuh romantisme dan puitis, tetapi juga nilai humaniora dan wawasan yang begitu luas. Mandy jarang menyukai novel fiksi bergenre romantis. Namun, jika yang menulis adalah Aphrodie, Mandy bisa menghabiskannya dalam waktu kurang lebih seminggu.
Mungkin kau melihatku tak lagi menemukan semarak yang biasanya kutemukan bersamamu di hari-hari yang telah lewat.Aku tak menampik bahwa kau benar.Namun, satu hal yang ingin aku sampaikan kepadamu adalah bahwa aku lebih baik tak lagi menemukan semarak itu dibandingkan harus memasukkanmu lagi di ruangku.Di hari terakhir perpisahan, kau mengatakan padaku bahwa kau akan menungguku sampai aku kembali membuka pintu kebersamaan denganmu lagi.Satu hal yang ingin aku sampaikan kepadamu adalah bahwa setidakenaknya aku di sini, aku tak akan pernah menghampirimu lagi.Jangankan menghampirimu, kau mengetuk pintuku saja mungkin akan tetap kubiarkan masuk, tetapi setelah itu kau punya pilihan untuk keluar lagi.Kau bukan pilihanku untuk mengemis pertolongan. Buat apa menerima kebaikanmu setinggi langit, tetapi setelah itu dihempaskan sampai inti bumi yang kelewat panas? Aku lebih baik berjinjit
“Siapa?! Emma?!” meski sedang berada di sebuahcoffee shopumum yang tentu saja tak akan ada seorang wanita bernama Emma, aku tetap merasa panik kala Gwen si Kelingking menyerukannya dalam nada bicara agak meninggi.Deg!Aku tak percaya jantungku berdetak kencang seketika. Hatiku sepertinya sedang tergantung di sosok bernama Emma yang kutemui semalam dalam pesta pernikahan kawanku. Bisa ditebak bahwa setelah aku ditunjukkan dirinya di pesta oleh temanku, tak ada sesuatu yang aku perbuat padanya. Aku hanya memandangnya dari jauh. Dia cukup cantik, menarik, dan tampaknya menyenangkan jika bisa lebih dekat dengannya. Namun, aku punya alasan hanya memandangnya dari jauh.Dalam kamus seorang laki-laki, ah tunggu! Mungkin bukan seorang laki-laki pada umumnya, melainkan segelintir orang dan salah satunya adalah aku, pada hakikatnya, cinta adalah sebuah sugesti yang dapat diciptakan sendiri oleh tiap insan.Lelaki yang dian
“Untuk Rinka dan Theo, hmm….., selamat menempuh hidup baru,” ucap salah seorang tamu di pertengahan sesi santap malam. “Kau dan aku tercipta oleh waktu. Hanya untuk saling mencintai,” lalu, wanita yang sepertinya adalah adik sepupu Theo itu mulai menyanyi di atas panggung musik. Adik sepupu Theo, si pengantin laki-laki, pada akhirnya mengucapkan selamat di atas panggung lantaran tadi mendapatkan bunga yang dilempar oleh kedua mempelai. Tadinya, aku yang dapat, tetapi karena reaksi orang di sekitarku tampak berlebihan, aku refleks melempar bunga lagi dan ditangkap oleh gadis ini. Sebenarnya, aku tak boleh melemparkannya lagi. Tentunya terkesan kurang menghargai acara. Namun, apa boleh buat? Aku sedang tak minat dengan yang namanya pernikahan. Jika tadi aku mendapatkan bunga itu, maka akan banyak orang yang mendoakanku ke arah sana. Untuk sekarang, aku aminkan saja dulu. Sambil menusukkanpopper cheesedan memasukkannya ke dalam mulut, pikirank