Kepala Cana berat sekali pagi hari ini. Dia mencoba bangkit dari tempat tidurnya, tetapi rasanya seperti ada batu yang meniban dahi. Entah sudah berapa gelas minuman keras yang dia habiskan semalaman. Semua dampaknya dia rasakan pagi ini. Memang liquor menjadi tempat pelarian dari penatnya pekerjaan, tetapi di sisi lain, sesungguhnya kesehatan akan bertambah buruk karena terlalu banyak mengkonsumsinya.
“Seharusnya, gue bisa berhenti dari pelarian ke alkohol ini,” sambil menatap langit-langit kamar, Cana berbicara sendiri. Pria berusia seperempat abad ini mengusap wajah dan rambutnya sambil menguap. Dia baru menyadari jika kemeja putih berdasi hitamnya masih melekat di raganya. Bahkan, jam tangan kulit cokelatnya masih melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sakit kepalanya terasa kian bertambah. Cowok bertinggi badan seratus tujuh puluh sembilan centimeter ini jadi berpikir siapa gerangan yang mengantarnya ke rumah dan membaringkan dirinya di atas tempat tidur berukuran King-nya. Selalu saja, dia berpikir seperti ini di kala semalaman mabuk. Lalu, untuk kelanjutannya, sekitar seminggu kemudian dia baru mengetahui jawabannya. Biasanya yang mengantarnya pulang adalah kawan satu kantornya yang ikut minum di bar, supir pribadinya, atau pernah juga pemilik bar.
Kicauan burung dari arah jendela kamar sayup-sayup terdengar di telinga Cana yang bertindik anting tusuk berwarna hitam. Alunan merdu dari burung-burung kutilang peliharaannya di pagi hari ini bagaikan jembatan yang menggabungkan antara ketidaksadarannya dengan realita kesadarannya di luar sana. Dia jadi ingat bahwa hari senin ini akan banyak meeting yang harus dihadirinya. Setidaknya, itulah tanggung jawab yang diberikan kedua orang tuanya yang kini menetap di Perth, Australia karena Cana tidak ingin ikut dengan keduanya. Cowok lulusan bisnis management dari salah satu universitas swasta negeri kangguru ini harus memimpin perusahaan keluarga mereka di Jakarta. Perusahaan yang sudah dibangun di generasi kakek Cana ini bergerak di bidang penyewaan alat-alat musik tradisional maupun modern. Baru sejak di tangan generasi ayahnya Cana, perusahaan ini memperluas usahanya dengan tak hanya menyewa tetapi juga mendistribusikan alat-alat musik, sound system, mic, sampai meja DJ dari dalam maupun luar negeri. Ketika perusahaan berada di kepemimpinan Cana, dia memperkaya bentuk marketing dan jaringan dengan men-supply alat-alat musik ini di berbagai konser maupun event musik yang diadakan di ibukota dan beberapa kota tanah air. Oleh karena itu, tak heran jika pada instagramnya terdapat foto dirinya bersama beberapa musisi dalam negeri maupun luar negeri. Kota yang paling sering dia kunjungi adalah Bali karena konser-konser musik yang bekerja sama dengan perusahaan Cana sudah tak terhitung jumlahnya di Pulau Dewata itu. Bahkan, Cana sendiri memiliki rumah di Ubud.
Revolusi besar-besaran perusahaan keluarga Cana memang terjadi di masa kepemimpinannya. Karena pergaulannya yang cukup luas, dia mampu mengajak berbagai pihak untuk berkolaborasi dan menguntungkan perusahaan. Melihat sepak terjang anaknya, kedua orang tua Cana tak jadi menjual perusahaannya dan memercayakan anak semata wayangnya itu untuk melanjutkan memimpin perusahaan.
Namun konsekuensinya karena kedua orang tuanya tak tinggal bersamanya adalah Cana sering merasa sendiri membangun usahanya. Dia memang berhasil mencetak pundi-pundi uang, tetapi keletihan yang menerpanya hampir setiap hari bagaikan bayaran yang harus dia keluarkan. Di sanalah, alkohol menjadi pelarian hidupnya.
Sebenarnya, tak hanya alkohol, ada hal lain yang membuat Cana merasa menemukan dunianya, jati dirinya, bahkan meninggikan kepercayaan diri.
Apalagi kalau bukan makhluk terindah yang diciptakan Tuhan bernama wanita.
“Deeeert…. Deeeert…”
Getar ponsel Cana yang ditaruh di atas nakas samping tempat tidur kembali menjadi bunyi-bunyian yang menjembatani Cana terhadap realita di luar sana. Kedua mata kecil Cana sempat terbuka lebar. Langit-langit kamar tidur yang ditempeli beberapa lampu kecil adalah benda yang pertama kali dilihat. Pertama-tama, semuanya tampak buram. Luar biasa memang dampak alkohol bagi Cana. Sebenarnya, raganya tak mudah kompromi dengan alkohol.
“Si….apa sih yang nelpon… pagi-pagi…?” rutuk Cana yang pada akhirnya mencoba kembali bangkit dari tempat tidur. Kepalanya yang begitu berat dia paksakan untuk bangkit. Lalu, tangannya meraba-raba meja nakas. Sampai akhirnya, dia meraih ponselnya dan mengangkat panggilan telepon tersebut. Karena kepalanya masih berat, dia tak terlalu fokus jika seharusnya melihat nama si penelepon terlebih dahulu di layar ponsel. “Halo?” suara nge-bassnya terdengar begitu maskulin dan tegas meskipun kesadarannya belum hinggap seratus persen.
“Pagi, Sayaaaang, lagi apa kamu?” suara lembut seorang wanita dari seberang sana seolah membuyarkan kantuk dan sakit kepala. Kedua mata Cana langsung mengerjap. Dia bangkit terduduk di tepi ranjang. Meski rambut potongan mullet-nya berantakan, dia tetap memuji refleksi ketampanan wajahnya yang terpantul di cermin lemari pakaiannya.
“Jem….jempol? Eh, Jasmine?” Cana menutup mulutnya. Apakah saking mabuknya dia jadi salah menyebutkan nama? Penelepon bernama Jasmine di seberang sana dia sebut dengan ‘Jempol’?
“Sayang? Kamu baru bangun? Udah jam sembilan. Biasanya kamu udah lari pagi?” wanita bersuara lembut bernama Jasmine itu sudah bisa menebak kondisi Cana saking seringnya menelepon. “Terus juga agak sengau? Kamu pilek? Kurang enak badan?”
Kepala Cana yang sebenarnya masih ‘cenat-cenut’ terus berusaha memutar otak untuk memberikan jawaban yang tak mencurigakan bagi Jasmine. “Hmm.., Euh…, iya, Sayang. Aku kurang enak badan. Semalam pulang pagi,” sebenarnya, apa yang dikatakannya tidak seratus persen bohong.
“Ya ampun, Sayang. Kerja keras boleh, tapi jangan lupa sama kesehatan badan. Kamu mau aku bikinin bubur?”
Niat baik Jasmine membuat kesadaran Cana semakin terkumpul. Dia berdiri dan mondar-mandir di kamar tidurnya, “Ah, nggak usah, Sayang. Aku tinggal minum obat terus tidur siang aja lagi,” dia menggaruk-garuk kepala saking bingungnya. Jangan sampai Jasmine tahu kalau dia tumbang karena alkohol.
“Sekalian makan semangkok bubur ayam biar lebih enak badannya. Kebetulan hari ini restoran mamaku lagi nggak terlalu ramai. Nggak apa-apa aku satu jam izin sebentar buat nganterin bubur ke kamu,” kebetulan, salah satu menu restoran keluarga Jasmine memang menjual bubur ayam. Menu utamanya sendiri adalah nasi ayam bakar. Restorannya lumayan terkenal di ibukota. Jika meminta aplikasi ojek online untuk mengantarkan makanan dari restoran keluarganya tersebut, kita bisa melihat bintang empat koma delapan di kolom review.
“Aku khawatir, Sayang. Aku kirimkan bubur ayamnya, ya. Take care, Sayang. Byeee…,” merasa Cana tak ingin menyusahkannya, Jasmine benar-benar menunjukan bahwa niat baiknya bukan sekedar basa-basi. Dia segera menutup telepon, dan sudah dipastikan tengah menyiapkan bubur ayam, lalu siap mengantarkannya ke rumah Cana.
“Halo? Jasmine? Halo?” Cana mendapati nada putus panggilan telepon. Dia perhatikan layar ponselnya dan tertera tulisan ‘Si Jempol1’ end calls. Sebenarnya bukan Cana yang salah bicara, tetapi memang nama Jasmine di ponselnya adalah ‘Si Jempol 1’.
Pada aplikasi chat, terdapat beberapa orang yang mengirim pesan kepada Cana. Uniknya, kebanyakan dari mereka tak ditulis namanya. Ada yang bernama ‘si Telunjuk’, ‘si jari Tengah’, ‘si Jari Manis’, dan ‘si Kelingking’. Bahkan, ada pula ‘si Jari Tengah 2’, ‘si Telunjuk 3’, dan lain-lain. Karena pikirannya sedang tak jernih, tak ada satu pun pesan yang dibalas. Sekelabat, Cana membaca pesan-pesan itu.
Si Telunjuk 1: Tahun depan bakal jadi pilihan tepat kalau kamu inves di sana. Firasatku, perusahaan itu bakal jadi The Best Unicorn Companies mulai akhir tahun ini. Aku bisa temenin kamu kalau kamu mau lihat nilainya di saham.
Si Jari Manis 2: Aku suka profile picture-mu yang ini. Kamu ganteng. Hahaha… Aku izin save, ya…
Si Kelingking 6: Nobarnya rabu aj y? bsk gw nntn Kpop konser online.
Si Jari Tengah 1: Miss u much… I think you’re kinda crazy…. Oops…. Maaf. Salah kirim. Hihihi….
Si Jempol 7: Kamu kapan mau ketemu mama?
Si Jempol 3: Kalau aku dilamar orang, gimana? Kamu yang jelas, dong… Kita ini apa?
Si Jari Manis 4: Maaf Kak. Aku masih bingung sama bisnisnya. Kalau ada hal yang aku bingungin lagi soal bisnis, aku boleh telepon kamu lagi, nggak?
Si Kelingking 3: Y udah seeh! K Bromonya ngejeep ma gw dkk ae! Banyak cowok-cowok juga yang ngikut. Bakal asyik kok lo join sama temen-temen gue.
Si Jempol 4: Aku cuma mau bilang terima kasih buat semuanya. Habis kamu balas pesan ini, aku harap kamu terima aku block. I love you but I love myself more.
Si Telunjuk 4: Mobil kamu perkara lagi mesinnya? Beb… drop aja di bengkel mantan suamiku.
Si Jari Tengah 2: Hmm… lollipop gmn maksudnya? Hihihi…. XOXO
Si Kelingking 4: KAMPRET! Kapan lo mau mampir toko sepatu gue? Janji doang lu! Air Jordan yang lo mau, gue kasih orang neh!
Si Telunjuk 5: Iya betul… aku kurang suka liat kamu pakek sunglasses lensa item total. Mata tajem kamu jadi kurang keliatan, Can…. Aku beliin Gucci yellow or peach lens suka nggak? Aduh… Jadi kangen ngobrol-ngobrol sambil ngopi-ngopi lagi sama kamu.
Si Jempol 2: Weekend ini kamu free, nggak? Kamu mau nemenin aku ke nikahan temen kantorku, nggak? Sekalian aku kenalin temen-temenku. Ada anak band loh… Siapa tahu kamu bisa nawarin bisnis kamu ke dia?
Merasa banyak pesan yang harus dibalas, Cana langsung melempar ponselnya ke ranjang. Dia memusatkan pikirannya hanya kepada satu hal, yaitu persoalan Jasmine.
“Aduh! Jasmine mau ke sini lagi?! Harusnya gue nggak usah bilang sampe pagi terus capek. Bilang aja udah di jalan berangkat ke kantor buat meeting!” Kepanikan Cana terlihat dari caranya menggaruk-garuk kepala. Niat baik Jasmine mengantarkan makanan bubur ayam dianggap malapetaka bagi Cana. “Langsung cabut beneran aja apa ke kantor?!” meski cara jalannya masih sempoyongan, dia memaksakan diri untuk melangkah ke kamar mandi. Dia berniat untuk menghindari Jasmine secepat mungkin.
Deeert… Deeeert….,
Getar ponsel Cana sempat menarik perhatiannya. Namun, dia memutuskan untuk cepat-cepat masuk kamar mandi. Tujuannya agar dia lebih awal pula berangkat kantor untuk menghindari Jasmine yang mungkin saat ini tengah bersiap menuju rumah Cana.
Lalu, siapa sebenarnya Jasmine itu? Mengapa dia perhatian sekali kepada Cana? Semuanya berawal dari sebuah event kuliner di sebuah pusat perbelanjaan. Pada waktu itu, Cana yang menghadiri event salah satu klien perusahaannya berkenalan dengan Jasmine yang merupakan salah satu pemilik stand makanan di acara tersebut.
Mengenai panggilan Jasmine yang disebut ‘Si Jempol’ di kontak ponsel Cana, sebenarnya dia memiliki alasan tersendiri. Ujung-ujungnya memang ada kaitannya dengan lima kategori wanita yang dia bicarakan semalaman suntuk selama mabuk. Selama ini, hanya dirinya dan Tuhan yang tahu.
Namun, semua berubah sejak semalam.
“Eh, tadi malem, gue ngomong apa sama Aubree, ya?” berjalannya detik waktu, tingkat kesadaran Cana meningkat. Dia mulai berusaha mengingat apa yang semalaman dia ceritakan kepada orang yang ditemuinya, yaitu Aubree. Aubree bukanlah orang lain bagi Cana. Selain sudah menjadi sahabatnya sejak kuliah, Aubree kebetulan akan menjadi salah satu kliennya. Makanya, semalam, Cana mengajaknya bertemu di sebuah Apocalypse bar. Kebetulan, Cana tengah membuang penat di sana.
Setelah menanggalkan pakaiannya, Cana memutar kran shower di sebelah kanan. Air hangat membasahi raga atletis cowok penggemar olahraga ini. Dia langsung mengusap rambut dan wajahnya, segar menerima siraman air di kepalanya. Dia menghela napas begitu panjang, seolah beban pikirannya dia hembuskan lewat sana.
“Kayaknya gue ngomong ngaco semalaman ke Aubree, tapi, apa, ya?” Cana menggigit bibir selagi berpikir. Dia merasa apa yang dia bicarakan kepada Aubree ada hubungannya dengan ‘Si Jempol’. Hal ini dipertegas lantaran pikiran Cana mulai mengarah ke pertemuannya dengan Aubree semalam karena membaca nama kontak Jasmine, yaitu ‘Si Jempol’ di ponselnya barusan.
Bunyi aliran air pada shower merayu Cana untuk memejamkan mata. Sejenak, dia merasa hatinya tenang. Aliran deras air shower itu tak hanya menyegarkan raga, tetapi hatinya terasa tengah mengikuti meditasi. Pikirannya yang kusut perlahan terajut teratur. Baru di tengah inilah, dia merasa mendapati sesuatu.
“Oh, damn!” tiba-tiba saja Cana membuka matanya. Mulutnya menganga dan dia biarkan saja air hangat shower itu masuk ke geligi dan dinding mulut. Dia mulai ingat apa yang dia katakan semalaman.
"Setiap kenalan sama cewek, gue selalu mengkategorikan mereka ke dalam lima jari. Mereka adalah si Jempol, si Telunjuk, si Jari Tengah, si Jari Manis, dan si Kelingking,"
Apa yang Cana bicarakan semalam mulai bertalu-talu di benak. Dia baru ingat apa yang sudah dia sampaikan kepada Aubree. Sesuatu yang menurutnya begitu aneh dan gila jika diketahui oleh orang lain.
“Aduuuh! Kok gue bisa-bisanya ngomong begitu?” Cana memegangi kepala. Dia merasa bodoh dengan topik pembicaraan yang dia sampaikan semalaman kepada Aubree. Memang benar seseorang akan berubah menjadi orang lain atau berkata yang mungkin tak dikehendaki dirinya ketika dia sedang mabuk. Alam bawah sadarnya berkuasa. Saat itulah, semuanya terasa seperti rentetan hipnotis. “Aduuuh! Mampus! Apa yang ada di pikiran Aubree sekarang?” dia buru-buru menuangkan shampoo di rambut dan sabun di badannya. Dia merasa tugasnya pagi ini tambah banyak. Tak hanya harus menghadiri meeting dan secepatnya menghindari Jasmine, tetapi juga menjelaskan sesuatu kepada Aubree. Cana benar-benar tak bangga telah menyampaikan hal itu kepada sahabat dan calon kliennya itu. Apalagi, Aubree sendiri adalah seorang wanita.
Oh bukan!
Apalagi, Aubree adalah seorang ‘Aphrodie’ alias penulis novel.
Mampus kalau Aubree jadi kepikiran nulis cerita aneh-aneh yang terinspirasi dari perkataan gue semalam! Batin Cana begitu was-was.
Sehabis menyikat gigi, mencuci muka, dan mengeringkan badan dengan handuk, Cana segera mengenakan pakaian kantornya. Di sela-sela itu, dia memeriksa ponselnya. Dia mendapati Aubree sudah meninggalkan missed call di ponselnya sebanyak tiga kali.
“Aduh, kok gue ngerasa today is my bad day, right?” Cana refleks menelepon Aubree. Dia aktifkan loudspeaker agar dia bisa sekalian berpakaian sambil bicara dengan Aubree.
Nada sambung terdengar dari seberang sana. Selang hampir semenit, seseorang di seberang sana langsung mengangkatnya. “Halo, Can?” suara Aubree terdengar jelas sekali.
“Halo, Aubree. Heey,” sapa Cana seraya mengancingkan kemeja flanelnya. Karena perusahaannya bukanlah perusahaan yang menuntutnya harus berpenampilan formal, dia pun selalu menggabungkan cara berpakaiannya dengan konsep casual, semi formal, dan terkadang juga professional formal. Contohnya hari ini, dia mengenakan kemeja flanel dan dia gabungkan dengan celana jins ketat hitam, tetapi sepatu yang dikenakannya bernuansa formal. Sepasang pantofel hitam dengan bandul emas dan intan elegan siap menemani langkahnya hari ini. “Kenapa missed call, Bree?” tanyanya.
“Kepala lo udah nggak apa-apa?” pertanyaan Aubree entah mengapa bagai petir di siang bolong bagi Cana. “Semalem lo pingsan di depan pintu bar. Makanya gue setirin lo sampai rumah lo,”
“Ja…di yang nganterin gue pulang semalem itu…. Elo?” Cana memukul-mukul dahinya tanpa suara.
“Iya, lo kira siapa emang yang nganterin lo pulang? Lo sendiri?” suara Aubree terdengar begitu santai. “Lain kali kalau mau pulang sambil mabok, lo harus punya temen yang nganterin lo pulang. Kalau semalem lo nggak ketemuan sama gue, siapa yang bakal ngurusin lo pulang dalam keadaan mabok begitu?”
“Ha… harusnya lo biarin aja gue ambruk di depan pintu bar. Udah biasa itu. Biasanya pemilik barnya yang nganterin gue pulang. Lo nggak usah repot-repot,”
“Pemilik bar? Yang mana?” Aubree terus menyanggah.
“Gue udah kenal, Bree,” saking bingungnya, intonasi nada bicara Cana melunak.
“Yaaaa, lo kan lagi pergi sama gue. Nggak tega guelah diemin lo ambruk begitu di depan pintu bar!”
Ekspresi wajah Cana sudah meringis. Jika dia punya mesin waktu, ingin rasanya dia kembali ke hari kemarin, “Terus? Waktu sampai di rumah gue, penjaga rumah gue yang bukain pintu pagar, kan?”
“Penjaga rumah lo lagi di kamar mandi. Istrinya yang bukain. Istrinya asisten rumah tangga lo kan? Dia takut lihat lo mabok dan katanya sungkan. Nunggu suaminya keluar kamar mandi lamanya bukan main. Daripada gue pulang tambah malam dan takut nggak kedapetan taksi online, gue yang akhirnya mapah lo sampai kamar lo,” papar Aubree dengan nada bicara luar biasa santai.
“E…elo… yang nganter gue ke kamar gue?” Cana merasa ingin hilang dari muka bumi ini. Padahal dia adalah laki-laki, tetapi entah mengapa dia merasa dirinya yang kehilangan kehormatan seperti anak perawan. Apalagi, nada bicara Aubree santai luar biasa. “Te…rus? Lo dapet taksi onlinenya?”
“Dapet,”
“Lo sendirian naik taksi online? Aduh… sorry. Berapa ongkosnya? Gue transfer, Bree,” Cana merasa luar biasa tak enak.
“Penjaga rumah lo keluar dari kamar mandi pas gue lagi nunggu taksi online di teras rumah lo. Ada asisten rumah tangga lo yang nemenin gue ngobrol di teras. Terus, penjaga rumah lo inisiatif nemenin gue di taksi online sampai rumah karena udah dini hari. Gue juga nggak enak karena berarti istrinya cuma ditinggal sendirian di rumah. Yaaa…. Ada lo sih… di rumah lo… tapi lonya sendiri kan juga lagi pingsan nggak sadar. Gue suruh aja asisten rumah tangga lo itu kunci-kunciin rumah. Rumah lo gede banget tapi cuma tiga orang yang nempatin di situ,” setelah berbicara panjang lebar, Aubree memberi jeda sedikit. Seharusnya Cana mengatakan sesuatu, tetapi anehnya, lidahnya kelu luar biasa. Pikirannya juga buntu. “Sorry ya, Can. Gue jadi gosipin lo sama asisten rumah tangga lo di teras. Habis gue kepo aja,”
“Go…sip apaan lo sama bibi gue di teras?”
“Habis gara-gara lo, sih. Lo cerita tentang ‘lima jari’ -‘lima jari’ itu di bar. Gue jadi kepo tentang kehidupan lo,”
Tanpa Cana sadari, dia yang sebenarnya sudah mandi dan berada di kamarnya yang ber-AC mulai bermandikan peluh. Pelipisnya basah dan dia mulai menyekanya dengan tangan. Kepanikan menguasai jiwa dan raganya.
“Eh, Bree, hmm… lo nggak usah mikirin yang kemarin gue bilang, ya….. Gue mohon banget sama lo,” walaupun tak ada Aubree di hadapannya, Cana perlahan berlutut. Dia membayangkan seolah-olah ada Aubree di hadapannya. “Asli, maafin gue. Maafin gue juga udah ngerepotin lo. Aubree, gue traktir atau gue kabulin semua keinginan lo,”
“Hmm…, iya, Can. Nggak usah sampai kayak begitu, tapi… kebetulan, nih, gue mau minta sesuatu. Makanya, gue telepon lo dari tadi,” suara Aubree yang semula tenang dan asyik mulai melamban. Cana menangkap ada tanda keraguan dalam diri lawan bicaranya kini. Semoga tidak mendatangkan keburukan bagi kerja sama mereka.
“Oh, ya, udah. Emang gue mau kabulin permintaan lo, kan,” Cana menenangkan diri dengan cara duduk di tepi tempat tidur.
“Maaf sebelumnya, Can. Cuma, hmm…. mungkin ini aneh, tapi gue cuma ngikutin kata hati gue sebenarnya,”
Cana menggigit bibir. Firasat buruknya mulai tumbuh di hatinya. Dia kembali menghembuskan napas ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh kurang seperapat. Dia jadi ketakutan jika dia semakin berlama-lama di rumah, dia akan bertemu dengan Jasmine.
“Santai, Bree,” tentu saja Cana berbohong kali ini.
Di seberang sana, Aubree menghela napas. Tampaknya, dia mengambil suatu keputusan yang tak mudah. “Can, I’m so sorry, but it seems like….gue dapat endorse sound system buat acara launching novel gue. Mereka hubungin penerbit gue dan gue ngerasa…. Nggak ada alasan gue untuk bilang enggak… karena…. Sorry, Can. Gue tadinya masih berpikir sama lo aja, karena walaupun tetap bayar, tapi kan lo nawarin duluan, ta…pi, ta….pi,”
“Tapi lo jadi nggak sreg sama gue gara-gara gue ngomong tentang lima jari semalaman?” timpalku.
“Can….,” Aubree tak mampu berkelit, “So… sorry, tapi entah kenapa hati gue jadi nggak sreg.”
“Aduh, Bree! Gue semalam bercanda! Why are you so serious?” untung saja Cana mampu menahan getaran suaranya, sehingga di seberang sana, Aubree berpikir bahwa cowok ini masih tenang-tenang saja.
“So sorry if I’m so weird… Sorry gue aneh, Caaan,” dari nada bicara Aubree yang merajuk, Cana menyimpulkan bahwa cewek ini sendiri juga tak bisa mengendalikan perasaannya, “Justru sekarang gue yang mau ngajuin permintaan ke elo. Gue kabulin apapun yang lo mau, tapi sorry, gue harus nerima endorse itu,”
“Oke, mungkin dengan endorse itu, lo bisa menekan pengeluaran, tapi lo harus berpikir soal kualitasnya,” Cana masih mencoba melobi Aubree.
“Yaaa…. Acara gue kan juga bukan event musik kayak konser gitu, Can. Cuma ngobrol-ngobrol soal buku. Sound system sederhana aja udah cukup sebenernya,” dilihat dari cara Aubree bicara, Cana menyimpulkan bahwa kualitas sound system milik perusahaannya sebenarnya lebih unggul dibandingkan produk yang akan di-endorse Aubree.
“Followers-nya penyewa sound system yang minta endorse itu berapa?” Cana terus melobi. “Kalau lo pakek produk kita lo juga bakal gue post di social media. Bahkan, followers kita udah tingkat internasional dan banyak. Lo bisa sekalian promosi kalau diri lo itu penulis. Siapa tahu tambah banyak yang beli buku lo nanti.”
“Can…., DP yang udah gue kasih nggak bakal gue ambil lagi. Ini kesalahan gue karena gue batalin dadakan,” di seberang sana, Aubree malah menerawang situasi jika Cana mempertahankan pemasukan yang sudah tercatat masuk ke keuangan perusahaannya. “Atau, gue oke kalau harus bayar full,” dia malah ingin membayar seluruhnya.
Berbanding terbalik dengan Cana. Dia malah menawarkan hal lain yang membuat Aubree berbalik tak berkutik, “Bree, gue kasih gratis gimana? Anggap aja gue nawarin lo endorse sound system dari perusahaan gue ini,”
“Hah?!” Aubree luar biasa tersentak. “Apa untungnya lo jadiin gue endorse? Perusahaan lo udah gede banget,”
Cana mengeluarkan lidah dan membasahi permukaan bibirnya. Dari percakapan panjang dengan Aubree, dia jadi tahu bagaimana penilaian Aubree terhadap produknya. Karena sudah merasa puas mendengar pujian tersebut, dia pun menyudahi percakapan kepada Aubree. “Gimana? Lo mau, nggak?”
Tok tok tok!
Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar diketuk.
“Sayaaang, kamu di dalam kamar? Ini aku bawain bubur ayam buat kamu,” disusul dengan suara lembut Jasmine yang membuat sakit kepala Cana muncul lagi.
Cana langsung melirik jam dinding dan menghela napas panjang. Dia kembali terbaring mengeluh sambil memandangi langit-langit kamar.
“Lo ngejar gue sampai begini banget? Cuma lantaran lo pengin gue lupain apa yang lo omongin semalam?” Aubree membalik kondisi.
“Ya udah. Gue nggak maksa,” merasa sudah mati kutu, Cana akhirnya mengikhlaskan semuanya, “Gue nggak minta lo lupain omongan gue semalam ke elo, tapi,” dia harus mengakui bahwa kali ini harus sportif, “Pegang aja untuk nambah-nambahin pengetahuan lo tentang cowok,”
“Cowok player lebih tepatnya,” timpal Aubree, “Karena gue yakin, nggak semua cowok kayak begitu,”
“Yaa… up to you,” Cana memutuskan untuk tak berkomentar banyak. Karena ketukan pintu tak kunjung berhenti, dia pun segera mematikan ponsel dan bersiap untuk membuka pintu. Sebelum menarik daun pintu, dia mengacungkan jempolnya ke udara. Lalu, dia berkata, “Jangan terlalu mengikatku,” kebiasaan anehnya mulai muncul. Dia bicara sendiri dengan jemari-jemarinya.
***
“CANA! Kamu nggak apa-apa? Ini dimakan dulu buburnya,” Begitu aku membuka pintu kamarku, Jasmine sudah berdiri di depanku. Mimik wajahnya tampak was-was. Rambut panjang lurusnya dia biarkan menjuntai indah sampai atas bahu. Kulit putih glowing-nya seperti biasa begitu membuatnya cantik dan sebening bidadari. Belum lagi lesung pipitnya yang membuatnya jauh lebih manis. Jika ingin mencari sosok seorang wanita yang cantik, manis, imut, dan lembut dalam satu raga, jawabannya ada pada Jasmine. Menurutku, orang tuanya tepat menamakannya seperti itu. Dia memang seputih, sesuci, dan seharum melati. Aku juga baru sadar jika Jasmine memang lebih senang mengenakan baju putih atau krem. Misalnya saja seperti saat ini. Tubuh mungil langsingnya dibalut dengan gaun Sabrina putih selutut. Aku sanksi jika dia mengenakan baju seperti ini selama membantu orang tuanya di restoran. Jikalau dia hari ini mengurusi kasir, rasanya terlalu berlebihan jika berpenampilan seperti ini. Ayolah Cana! Jangan pura-pu
Aku menyalakan playlist lagu dari aplikasi ponsel dan kusambungkan ke tape mobil. Sebelum aku menancap gas, aku sempat mendapatkan beberapa notifikasi sosial media dan membukanya. Aku sekilas melihat Jasmine baru saja men-upload video singkat yang menunjukkan dia sedang mendengarkan lagu-lagu penuh cinta. Dia tambahkan caption: ‘Thinking about you’. Lalu, aku refleks memberikan komentar, “Who?” Perasaan cinta Jasmine yang kutangkap begitu meletup-meletup tak kuanggap memberikan refleksi bagi hatiku. Aku justru merasa energi itu begitu mengancamku. Dalam waktu dekat, mungkin aku harus menjaga jarak dengannya. Tarik ulur adalah seni menjaga rasa. Aku kembali mendapati notifikasi. Kali ini dari aplikasi chat. Kunamakan dia ‘Si Telunjuk 1’. Si Telunjuk 1: 15 minutes….. “Ah, damn!” membaca chat-nya yang singkat, aku tahu jika dia alias ‘Si Telunjuk’ itu marah. Dia mengabarkan jika dia sudah berada di ruang meeting selama lima belas menit. Saking lamanya melepas Si Jempol Jasmine, aku sa
“HAHAHAHAHA!” gelak tawa meledak seantereo ruang meeting. Suara Mandy yang menggelegar sempat membuatku menoleh beberapa kali ke arah pintu, takut-takut menarik perhatian para anak buahku atau office boy. Yaaa… kenyatannya, ruang rapat ini memang bagian dari kantorku. Tentu saja tadi Mandy bercanda dengan mengatakannya sebagai kantornya dan aku adalah anak buahnya. Walaupun sebenarnya, aku berani bertaruh bahwa perusahaanku mungkin akan lebih maju jika dipimpin oleh wanita sepintar, setegas, dan secantik Mandy. “Wanita anggun bukanlah wanita yang tertawa begitu terbahak-bahak,” aku mencoba mengkritik caranya bersikap. Mimik wajahku sengaja kuatur datar. Sekali-sekali, aku ingin membuatnya insecure. “Memangnya, aku ingin disebut wanita anggun olehmu?” Mandy mengerlingkan mata. “Kau saja selalu mencariku untuk mendapatkan pertimbangan keuangan dan bisnis,” “Kau sendiri senang, kan, ditanya?” aku menaikkan alisku. “Meningkatkan self esteem,” aku mencoba menggodanya lagi dengan melahap
‘Kak, PPnya ganteng banget, deh! Hehehe,’ ‘Aku tadi dengerin podcast kakak loooh! Kereeeen!’ ‘Sebenarnya kak, pemerintah sudah mendukung seni dan budaya tanah air, tetapi terkadang inkonsistensi dari beberapa pihak yang bikin semangat seniman tanah air juga naik turun. Aku ngerasain banget waktu buka usaha tas anyaman bambu itu, Kak,’ ‘Tirandra likes your photo’ ‘Tirandra likes your photo’ ‘Tirandra reply your story’ ‘Tirandra commend your post’ ‘Tirandra likes your commend’ Baru saja aku membuka mata dari bangun tidur dan mengecek ponsel, beberapa notifikasi social media-ku masuk. Nama yang keluar begitu beragam. Namun, ada satu yang menarik perhatianku. Sebut saja dia, ‘Si Jari Manis Loyal’. Tirandra Dewy Leisnaldy…. Tiba-tiba, lamunanku beranjak ke peristiwa tujuh tahun silam. “Eh, name tag kamu jatuh, tuh!” percakapan pertama kami berlangsung pertama kali sekitar tujuh tahun lalu. Ketika itu, aku sedang menontoni para mahasiswa baru di fakultasku. Mereka sedang berlari-l
“Donburi Teriyaki is comiiiin’,” kutaruh nampan makananku dan Tira di atas meja. Tira yang sedang menggerak-gerakan dua ibu jarinya dikeyboardponsel jadi langsung menyembunyikangadget-nya itu di bawah meja. Kelihatannya, dia jadi salah tingkah terhadapaku. Aku sempat lihat tadi dari kejauhan bahwa dia sedang senyum-senyum sendirian di depan layar ponsel. Aku masih curiga jika dia sedang membicarakan topik yang sama dengan orang yang tadi dia telepon.“Ma….kasih banyak, Kak Cana,” kedua mata Tira memandangku dengan berbinar-binar, “Ini…., bener-bener ditraktir, Kak?”Aku menunjukkan ekspresi wajah seseorang yang sedang marah. Tentu saja pura-pura. “Enggak!” aku mengangkat daguku, “Kamu harus bayar dua kali lipat ke aku!” aku berkacak pinggang, bercanda jika dia yang berb
“Apa? Lo udah putus sama si cowok Korea itu?” mataku membelalak ketika mendengar curahan hati Gwen beberapa detik lalu. Aku tak mengira jika hubungan yang kelihatannya dijalin dengan begitu serius dan akan berakhir di gerbang pernikahan itu kandas di tengah jalan.Gwen menganggukan kepala, “Kita berdua ngerasa hubungannya udah nggak enak dijalanin sekitar seminggu lalu, tapi bener-bener putusnya itu semalam,”“Terus? Lo….nggak nangis?”Mendengar pertanyaanku, Gwen langsung menjentikkan jari, “Sama aja lo sama si Oppa mantan gue itu. Dia juga heran kenapa gue nggak nangis di zoom,”“Di mana?”“Di zoom,”“Zoom…?” aku mengernyitkan dahi.“Iya, Zoom. Aplikasi zoom, yang suka dipakek webinar orang-orang itu,” jelas Gwen.“Lah?! Lo diputusin via zoom? Via online? Via webinar?” aku menegakkan badanku. “Kok? M
Penulis yang konon tak terlalu suka dengan gelora cinta Aphrodite itu duduk dengan santai di hadapanku. Pandangan matanya yang biasanya menyorot tajam ke arahku, kini agak sayu dan mengandung harap. Aku jadi ingin tahu alasan Aubree kembali ingin memakaisound system-ku itu apa. Lalu, mengapa dia juga tampak putus asa begitu? “Can, gue nggak terlalu suka samasound systemmereka. Kualitasnya bagusan produk lo,” belum saja aku bertanya alasannya kembali ingin menggunakan produk perusahaanku, Aubree sudah melontarkannya sendiri, “Jadi, gue datang ke sini untuk meyakinkan lo,” lanjutnya. Aku suka dengan penampilan Aubree hari ini. Dia mengenakan topi pet berwarna cokelat kemerahan alias cokelat marun. Lalu, rambut lurus kecokelatannya menggantung rapi di atas pundak. Kemeja putih gombrong yang dimasukkan ke celana jins biru menunjukkan kesanandrogyneatau sedikit maskulin. Gesper kulitnya sama-sama berwarna cokelat kemerahan
Lesung pipi Aubree tampak jelas di refleksi kaca spion tengah mobil. Selama mengunjungi Cana di kantor, dia memakirkan mobilnya di gedung parkir yang agak gelap. Tak jarang untuk meminimalisir kegelapan, dia menyalakan lampu dalam mobil.Di bawah sorot cahaya lampu mobil yang berwarna kekuningan, Aubree menggerak-gerakan bibirnya, melebarkan senyum yang kelewat lebar. Dia biasa melakukan hal ini jika sedang dalam kondisi tak terlalu baik-baik saja. Wajahnya yang good looking sebenarnya tak bisa dikatakan selalu cantik, tetapi karena dirinya selalu merawat kecantikan kulit dan berolahraga, dia yang kini sudah berusia seperempat abad masih cocok saja mengenakan seragam putih abu-abu. Menurut Cana, wajah Aubree juga tak berubah sejak SMA.“Cana jadi agak sebel nggak, ya, gue plin-plan begini?” Aubree memukul-mukul setir mobil dengan jemari. Kedua matanya masih melirik kaca spion tengah. Dia cukup mengagumi warna lensa kontaknya yang unik. Jika diperhatikan dengan seksama, lensa kontak ber
Beberapa tahun kemudian:“Would you marry me?” tak terbayang olehku sebelumnya, sepanjang hidupku, bahwa suatu hari ini, aku akan mengajak seseorang untuk melangkah ke tahap baru dari fase kehidupan seorang manusia.Ketika aku melontarkan pertanyaan ini, aku juga tak tahu apakah suatu hari nanti, aku akan mengajukan pertanyaan ini lagi kepada seorang lain?Lika-liku kehidupan yang lebih kuanggap sebagai proses pencarian, bukan permainan. Mungkin caranya untuk sebagian besar orang dianggap permainan, tetapi tidak denganku.Hanya ada satu kata yang bisa kulontarkan kepada mereka yang menganggapnya sebagai suatu permainan.Aku sungguh tak bermaksud.Maka dari itu, aku lontarkan saja satu kata itu.Kata itu berarti adalah….Maaf….Tak mengapa pula jika tak dimaafkan...***The EndLima Jari Playboy….Selesai….
Kau kira aku adalah jalan pulang, sedangkan aku berpikir bahwa kau adalah persimpangan.Jangan sakit hati dulu dengan kata-kataku barusan!Bisa saja jalan pulang yang terbentang di hadapanmu itu panjang sekali. Sampai-sampai, waktu kita berbincang-bincang akan selalu ada dan bergulir. Kusarankan kau agar memanfaatkan semua kesempatan ini.Sebaliknya, bisa saja persimpangan yang tersaji di hadapanku mengandung jalan buntu di belokannya. Akhirnya, ujung-ujungnya, aku harus kembali lagi ke persimpangan.Asalkan kau sabar-sabar saja jika aku banyak menyapu pandang di persimpangan sana. Aku pasti akan terus memutar-mutarkan tubuhku, sehingga aku tahu apa saja yang ada di sekelilingku. Aku sendiri memberikanmu kebebasan akan itu, meskipun kau tak memanfaatkannya sama sekali.Tak bisa disalahkan juga.Kau terlalu mencintaiku.“Jasmine,” kusentuh pipi Jasmine yang sudah basah karena air mata, “bicara apa kamu barusan?”
Aku mengangkat badanku dari dalam kolam renang. Di hadapanku, masih ada Aubree, Jasmine, Mandy, Naomi, Tira, dan Gwen. Aku sempat menangkap beberapa ekspresi mereka kala aku mengangkat badanku dari dalam kolam renang. Sudah pasti badanku basah dan aku tak bisa merendahkan diri dengan mengatakan bahwa badanku kurang atletis.“Apa maksud kamu membawa mereka semua ke sini?” tanyaku kepada Aubree. Caraku bertanya masih tenang.“Aku tak membawa mereka ke sini, tetapi mereka yang mengikutiku,” tatap Aubree yang sepertinya tidak bohong.“Jadi, kalian semua mau apa ke sini? Mau mengeroyokku?” aku masih tak melontarkan kata-kata dengan kasar. Aku berpikir jika nada bicaraku meninggi sedikit, maka mereka bisa menjadikan satu sifat itu seperti bagian dari sumber kesalahanku.“Aku yang membawa mereka ke sini,” Mandy si Telunjuk mendekatiku seraya melipat kedua tangan di depan dadanya.“Un…tuk apa, ha
“Jadi, kurasa, obrolan kita hanya sampai sini saja,” aku beranjak dari kursi dan membuang pandangan pada Aubree. “Mengapa kamu tak berani mencobanya?”“Aku bukannya tak berani mencoba,” Aku memperhatikan anting bundar Aubree yang terombang-ambing selama Aubree menggerak-gerakan kepalanya kala berbicara denganku. Aku tak bisa memungkiri bahwa dirinya masih menempati posisi teratas bagi hatiku. Aku kelewat mencintainya.“Lantas?” aku betul-betul mengejar argumennya.“Aku belum yakin padamu, Cana,” ucapnya, “selama aku belum yakin denganmu, tetapi kau sudah begitu membutuhkan cinta, aku tak masalah jika kamu ingin mencobanya dengan wanita lain,”“Wanita lain itu siapa?” sepertinya, posisiku yang berdiri, sedangkan Aubree yang duduk cukup mencolok. Aku mendapati beberapa pasang mata dari meja lain, yang rata-rata juga dari sepasang kekasih jadi memperhatikan kami. Dikiranya mu
Waktu yang kunantikan akhirnya menghampiri juga. Di hadapanku, duduklah Aubree beserta dengannotesdan pulpennya. Dia mengatakan bahwa dirinya akan melanjutkan pembahasan mengenailaunchingnovel terbarunya. Tak hanya itu saja. Dia juga melanjutkan risetnya mengenai kisah-kisahku selama menjadiplayboyuntuk kepentingan novelnya tersebut. “Aubree! Jadi? Kamu hubungi aku lagi, karena kepentingan-kepentinganmu ini?” tempat yang dipilih Aubree untuk bicara empat mata denganku malam ini bukan di Cosmo King. Dia memilihkan sebuah café yang begitu tenang, sejuk, dan memperdengarkan lagu-lagu Jazz dispeaker-nya. Aubree mengaduk secangkir teh yang dipesannya dengan kayu manis. Dia belum menjawab pertanyaanku, tetapi senyum lebar terlanjur te
“Saya mau loakin novel-novel yang ditulis penulis Aphrodie. Bisa telepon tukang loak sekarang untuk ambil semuanya di apartemen saya?” Mandy si Telunjuk akhir-akhir ini jarang keluar apartemennya di bilangan Mega Kuningan. Dia sibuk merapikan rak bukunya dan membuang beberapa koleksi bacaannya yang menurutnya tak penting. Beberapa dari bacaan tak penting itu ternyata adalah novel-novel favorit Mandy yang ditulis oleh Aphrodie. Buku-buku itu siap diloakkan dan dia minta tolong asisten rumah tangganya untuk mengenyahkan buku-buku itu dari sini. Asal kau tahu, Aphrodie sesungguhnya adalah novelis kesukaan Mandy si Telunjuk. Menurutnya, Aphrodie tak hanya menuliskan cerita-cerita penuh romantisme dan puitis, tetapi juga nilai humaniora dan wawasan yang begitu luas. Mandy jarang menyukai novel fiksi bergenre romantis. Namun, jika yang menulis adalah Aphrodie, Mandy bisa menghabiskannya dalam waktu kurang lebih seminggu.
Mungkin kau melihatku tak lagi menemukan semarak yang biasanya kutemukan bersamamu di hari-hari yang telah lewat.Aku tak menampik bahwa kau benar.Namun, satu hal yang ingin aku sampaikan kepadamu adalah bahwa aku lebih baik tak lagi menemukan semarak itu dibandingkan harus memasukkanmu lagi di ruangku.Di hari terakhir perpisahan, kau mengatakan padaku bahwa kau akan menungguku sampai aku kembali membuka pintu kebersamaan denganmu lagi.Satu hal yang ingin aku sampaikan kepadamu adalah bahwa setidakenaknya aku di sini, aku tak akan pernah menghampirimu lagi.Jangankan menghampirimu, kau mengetuk pintuku saja mungkin akan tetap kubiarkan masuk, tetapi setelah itu kau punya pilihan untuk keluar lagi.Kau bukan pilihanku untuk mengemis pertolongan. Buat apa menerima kebaikanmu setinggi langit, tetapi setelah itu dihempaskan sampai inti bumi yang kelewat panas? Aku lebih baik berjinjit
“Siapa?! Emma?!” meski sedang berada di sebuahcoffee shopumum yang tentu saja tak akan ada seorang wanita bernama Emma, aku tetap merasa panik kala Gwen si Kelingking menyerukannya dalam nada bicara agak meninggi.Deg!Aku tak percaya jantungku berdetak kencang seketika. Hatiku sepertinya sedang tergantung di sosok bernama Emma yang kutemui semalam dalam pesta pernikahan kawanku. Bisa ditebak bahwa setelah aku ditunjukkan dirinya di pesta oleh temanku, tak ada sesuatu yang aku perbuat padanya. Aku hanya memandangnya dari jauh. Dia cukup cantik, menarik, dan tampaknya menyenangkan jika bisa lebih dekat dengannya. Namun, aku punya alasan hanya memandangnya dari jauh.Dalam kamus seorang laki-laki, ah tunggu! Mungkin bukan seorang laki-laki pada umumnya, melainkan segelintir orang dan salah satunya adalah aku, pada hakikatnya, cinta adalah sebuah sugesti yang dapat diciptakan sendiri oleh tiap insan.Lelaki yang dian
“Untuk Rinka dan Theo, hmm….., selamat menempuh hidup baru,” ucap salah seorang tamu di pertengahan sesi santap malam. “Kau dan aku tercipta oleh waktu. Hanya untuk saling mencintai,” lalu, wanita yang sepertinya adalah adik sepupu Theo itu mulai menyanyi di atas panggung musik. Adik sepupu Theo, si pengantin laki-laki, pada akhirnya mengucapkan selamat di atas panggung lantaran tadi mendapatkan bunga yang dilempar oleh kedua mempelai. Tadinya, aku yang dapat, tetapi karena reaksi orang di sekitarku tampak berlebihan, aku refleks melempar bunga lagi dan ditangkap oleh gadis ini. Sebenarnya, aku tak boleh melemparkannya lagi. Tentunya terkesan kurang menghargai acara. Namun, apa boleh buat? Aku sedang tak minat dengan yang namanya pernikahan. Jika tadi aku mendapatkan bunga itu, maka akan banyak orang yang mendoakanku ke arah sana. Untuk sekarang, aku aminkan saja dulu. Sambil menusukkanpopper cheesedan memasukkannya ke dalam mulut, pikirank