Home / Romansa / Lima Jari Playboy / Bab III Si Telunjuk Mengagumkan

Share

Bab III Si Telunjuk Mengagumkan

Author: Silvarani
last update Last Updated: 2021-06-03 02:46:41

Aku menyalakan playlist lagu dari aplikasi ponsel dan kusambungkan ke tape mobil. Sebelum aku menancap gas, aku sempat mendapatkan beberapa notifikasi sosial media dan membukanya. Aku sekilas melihat Jasmine baru saja men-upload video singkat yang menunjukkan dia sedang mendengarkan lagu-lagu penuh cinta. Dia tambahkan caption: ‘Thinking about you’. Lalu, aku refleks memberikan komentar, “Who?

Perasaan cinta Jasmine yang kutangkap begitu meletup-meletup tak kuanggap memberikan refleksi bagi hatiku. Aku justru merasa energi itu begitu mengancamku. Dalam waktu dekat, mungkin aku harus menjaga jarak dengannya. Tarik ulur adalah seni menjaga rasa.

Aku kembali mendapati notifikasi. Kali ini dari aplikasi chat. Kunamakan dia ‘Si Telunjuk 1’.

Si Telunjuk 1: 15 minutes…..

“Ah, damn!” membaca chat-nya yang singkat, aku tahu jika dia alias ‘Si Telunjuk’ itu marah. Dia mengabarkan jika dia sudah berada di ruang meeting selama lima belas menit. Saking lamanya melepas Si Jempol Jasmine, aku sampai lelet seperti ini. Aku harus segera melaju menuju kantor.

‘I love you’

Baru saja aku menancap gas, aku melihat notifikasi aplikasi social media muncul di beranda layar ponselku. Ucapan cinta itu dari Jasmine. Rasanya, perasaan senangku karena tadi dia mengecupku tertinggal di rumah. Dalam perjalanan menuju kantor ini, aku malah kesal karena Jasmine-lah yang membuatku kini terancam datang ke kantor dalam keadaan terlambat.

Aku menarik rem tangan karena mobil sedan automatic-ku kini berada di depan lampu merah. Aku baru sadar jika mentari begitu terik. Aku segera mengenakan sunglasses merek Gucci yang kutaruh di laci dashboard mobil. Aku jadi rindu dengan ‘Si Telunjuk Imel’. Dialah yang membelikanku sunglasses ini sewaktu jalan-jalan ke Itali.

Namun, bukan Imel yang akan kutemui hari ini. Notaris itu sedang punya pacar baru selama tiga bulan ini. Sejak saat itu, dia jadi jarang mengajakku ngopi, apalagi dibelikan oleh-oleh dari perjalanan keliling dunianya. Tak masalah. Aku malah senang jika wanita-wanita di sekitarku memiliki kekasih. Aku juga merasa senang dan bangga karena sempat mengisi kekosongan hati wanita-wanita mengagumkan ini. Aku namakan wanita-wanita seperti ini dengan ‘Si Telunjuk’.

“Sebelum sampai kantor, kayaknya gue mampir ke tempat ngopi favoritnya Mandy buat beliin quiche, deh,” batinku dalam hati. Mandy adalah nama asli dari ‘Si Telunjuk ‘, wanita cantik, tinggi semampai, pernah menjadi cover majalah Forbes sebagai wanita yang sukses sebelum usia 30 tahun, dan cerdas yang akan kutemui hari ini. Di antara para wanita yang kuanggap ke dalam kategori ‘Telunjuk’, Mandy adalah wanita terlama yang menjalani hubungan denganku.

Makna dari ‘hubungan’ itu sendiri bukanlah hubungan serius yang kujalani seperti bersama Jasmine atau wanita-wanita ‘Si Jempol sempurna’ lainnya. Tipe hubungan yang kujalani bersama ‘Si Telunjuk’ adalah Hubungan Tanpa Status, Teman Tapi Mesra, atau Kakak-Adek. Uniknya, dalam hal ini, posisiku bukan sebagai ‘kakak’nya, melainkan ‘adik’nya. Si Telunjuk rata-rata adalah sosok wanita cantik, sukses, pintar, mandiri, tetapi sedang tak menjalani hubungan dengan pria manapun. Banyak di antara mereka sebenarnya kesepian dan memerlukan sosok yang membuat hari-harinya berwarna. Di sinilah, aku menawarkan warna itu. Hanya mengagumi dan mengikuti obrolan cerdasnya, mereka akan memberikan hadiah yang menunjang penampilanku sebagai seorang laki-laki menawan. Tak hanya berupa fashion item yang menempel di fisik, tetapi juga saran menjadi seorang pria dewasa yang dikagumi banyak wanita.

Tak seperti ‘Si Jempol’ yang tampak menunjukkan banyak tuntutan dalam hubungan, aku sendiri tak pernah takut menerima semua pemberian para ‘Si Telunjuk’ ini karena mereka hanya butuh didengar, disanjung, dan ditemani. Aku sendiri bangga bersandar dengan wanita-wanita membanggakan ini. Link-ku soal pekerjaan juga meluas karena peran wanita-wanita ‘lebih’ ini. Mengapa kukatakan ‘lebih’? Karena biasanya, ‘Si Telunjuk’ ini lebih tua, sukses, pintar, kaya, atau lebih populer dibandingkan aku. Untuk beberapa ‘Si Jempol’, termasuk Jasmine tak menaruh cemburu karena aku selalu menyebut para ‘Si Telunjuk’ ini dengan sebutan partner kerjaan. Para ‘Si Telunjuk’ ini juga tak pernah menaruh cemburu kepadaku karena mereka memang tak bermimpi atau mempunyai tujuan untuk menjalani hubungan serius denganku.

Seharusnya begitu.

Seharusnya.

Jika aku menangkap ada sesuatu yang ‘tak biasa’ dari diri ‘Si Telunjuk’, biasanya aku mulai mundur perlahan. Sama halnya dengan ‘Si Jempol’. Aku belum terpikirkan untuk menjalani suatu hubungan yang mengarah ke pernikahan. Jika bersama ‘Si Jempol’, aku merasa dipenuhi rasa cinta di hati, sedangkan bersama ‘Si Telunjuk’, aku merasa lebih percaya diri menjadi seorang laki-laki yang menarik. Karena, bagi wanita-wanita sibuk macam ‘Si Telunjuk’, mereka tentu saja hanya ingin berkawan dengan orang-orang berkualitas dan tak membuang-buang waktu mereka. Apalagi, lawan jenis.

Lampu lalu lintas menyala hijau. Lama juga tadi aku berhenti dan menunggu lampu merah berganti warna hijau. Memang kondisi jalanan di ibukota tak dapat diprediksikan. Aku sendiri saat ini tak langsung sampai ke kantor, tetapi harus mampir ke toko kue dulu untuk membeli quiche. Semoga saja, Mandy tak marah jika aku terlambat sekitar empat puluh menit.

Sehabis perempatan lampu merah, aku langsung membelokkan kemudi mobil ke kiri. Di jalanan kecil itu terdapat sederet pastry, bakery, atau coffee shop. Salah satunya adalah pastry favorit Mandy.

Sedan hitamku segera kumasukkan ke halaman depan toko. Seorang juru parkir mengangkat tangan. Karena sudah berlangganan datang ke sini, aku sudah akrab dengan orang-orang di sekitar sini.

“Tumben Pak Cana sendirian,” sapa si juru parkir.

Kuberikan selembar uang berwarna hijau kepadanya, “Ada yang lagi ngambek dan minta quiche,” ucapku.

“Apa? Kiss?” si juru parkir tentu saja menggodaku.

“Gue tarik lagi nih duitnya,” aku pura-pura batal memberikan selembar hijau yang tentu saja besar sekali nilainya hanya untuk parkir beberapa menit membeli quiche saja.

“Hahaha! Bercanda, Pak!”

“Hahaha!” Aku pun menepuk pundak juru parkir itu dan memberikan lembaran uang itu. “Buat rokok, nih,”

“Wah! Banyak banget Pak Cana! Terima kasih, Pak,”

“Ah! Elo kayak baru pertama kali aja gue kasih segitu,”

“Hahaha! Makasih, ya, Pak!” senyumnya semringah. Senyum yang diberikan juru parkir itu kuanggap sebagai bentuk penghargaan. Berkali-kali aku memberikan ‘uang rokok’ padanya setiap kali mampir ke toko ini. Lalu, berkali-kali pulalah, dia mengucapkan terima kasih banyak. Sepintas, aku merasa dihargai. Jadi, aku tak berhenti memberikan. Ternyata, benar apa kata Mandy. Wanita mengagumkan yang usianya lebih tua empat tahun dariku itu mengatakan bahwa hati akan lebih puas jika seseorang itu memberikan, bukan menerima.

Sebentar, aku jadi berpikir, apakah perasaan senang Mandy memberikanku ilmu bisnis sama sifatnya dengan perasaan senangku memberikan uang kepada juru parkir ini? Entahlah! Suatu hal yang pasti adalah, aku senang dekat dengan wanita cantik seperti Mandy. Sekitar lima tahun lalu, dia masuk finalis Putri Cantik Indonesia.

Begitu aku membuka pintu, lonceng klasik yang tergantung pada pintu toko terguncang dan mengeluarkan bunyi.

Welcome to the Appetit,” Nama toko yang baru kumasuki ini adalah Appetit. Menu favorit di sini adalah spinach quiche, lemon pie, blueberry puff, tuna croissant, dan red velvet union. Aku sendiri pernah mencicipi semuanya. Awalnya, Mandy yang memperkenalkannya.

“Welcome..,” aku membalas senyum seorang pelayan toko.

“Tumben sendiri, Mas?” tanya si mbak pelayan. Rupanya, kehadiranku ke sini memang begitu identik dengan Mandy. Bahkan mungkin, pelayan sampai juru parkir di sini berpikir bahwa aku dan Mandy adalah sepasang kekasih.

“Iya, nih,” aku mengangkat alis, “malah sekarang mau beliin buat dia,”

“Oh, spinach quiche, ya, Mas?” tampaknya si pelayan sudah tahu apa yang akan kupesan untuk Mandy.

Aku menganggukan kepala, “Lima, ya, Mbak. Sama lemon pie, blueberry puff, tuna croissant, dan red velvet union-nya satu.”

“Baik, Mas. Mau sekalian menu baru?” tanya si pelayan. “Hmm, ada diskon untuk total pembelian kalau mas beli menu barunya,”

“Apa menu barunya?” aku memiringkan kepalaku.

Si pelayan perempuan itu tersipu malu. Aku tak mengerti mengapa. Apakah karena aku memiringkan kepalaku? Aku sama sekali tak bermaksud menggodanya. “Salmon en Croute, mas,” jawabnya sembari menatap mataku.

“Bo..leh. Diskon berapa persen?”

“Dua puluh persen, Mas,”

“Oh, kirain dua empat puluh persen,” aku menaikkan alis dan menunjukkan ekspresi wajah konyol.

“Ah…eng…gak, Mas. Hihihi,” si pelayan pun menahan tawa, dan pada akhirnya cekikikan dan masih tersipu malu. Padahal, jika aku datang ke toko ini bersama Mandy, seingatku pelayan ini tak menunjukkan ekspresi apa-apa.

Biarlah! Kelihatannya pelayan ini lebih muda dariku. Namanya berdiri di depan kue-kue berjam-jam. Wajar jika seseorang bosan dan membutuhkan hiburan atau interaksi atraktif dengan para pembelinya. Salah satunya, mungkin aku.

Aku sengaja membeli beberapa kue untuk dimakan pada saat meeting. Mandy yang tadinya kesal mungkin akan luluh dengan beberapa hidangan kecil kesukaannya. Ditambah permohonan maaf dan senyuman manis dariku, aku yakin dia akan semangat kembali melanjutkan meeting.

“Totalnya setelah dipotong dua puluh persen jadi tiga ratus enam belas ribu rupiah, Mas,” ucap si pelayan seraya memencet tombol mesin kasir.

Aku pun memberikan uang tunai sebanyak tiga ratus lima puluh ribu rupiah, “Kembaliannya ambil aja,”

Pelayan itu membelalakkan mata, “Hah?”

“Udah ambil aja,” tanpa menunggu apa-apa lagi, aku meraih kantong kresek daur ulang berisi kotak kue. Lalu, aku menyunggingkan senyum dan berbalik.

“Te…rima kasih, Mas Ca…na,” meski ragu, pelayan itu menyebutkan namaku. Seingatku, aku sendiri tak pernah memperkenalkan diri. Ah, mungkin dia pernah mendengar Mandy memanggilku.

Setelah melangkah keluar dari toko kue, aku menyalakan alarm mobil dan membuka pintu. Begitu aku menyalakan mesin mobil, aku lihat dari spion kanan jika juru parkir berlari ke arahku. Karena sudah memberikan ‘uang rokok’ di awal pertemuan, juru parkir hanya mengaba-aba mobilku keluar parkiran, lalu aku pun memberi klakson sebagai ungkapan terima kasih.

Dalam perjalanan menuju kantor, aku bersyukur karena kemacetan tak separah yang kubayangkan. Sesampainya di gedung kantor, aku segera meminta tolong salah satu anak buahku untuk memarkirkan mobil. Perusahaan kami terletak di lantai enam, selantai dengan stasiun Metropolitan FM yang salah satu penyiar wanitanya pernah terang-terangan menyebutkan namaku di siarannya. Dia mengatakan ingin menitip salam dan mengirimkan lagu kepadaku. Bukan suatu hal yang patut dibanggakan, tetapi dia memberikanku lagu Britney Spears yang berjudul Womanizer. Sebenarnya lagu itu sudah lama sekali. Entah mengapa dia mengirimkannya kepadaku? Apakah aku identik dengan lagu itu?

Setelah menempelkan kartu ID di dinding sensor lift, pintu lift pun terbuka. Tak ada orang. Aku pun memasuki lift dan memencet tombol lima belas.

Pintu lift tertutup. Hanya sendirian di lift jadi aku manfaatkan untuk bercermin. Tak ada yang perlu dirapikan dari diriku. Sudah sempurna menurutku.

Pintu lift terbuka dan tak kuduga jika aku berpapasan dengan Mandy.

“CANA! KAMU INI KE MANA DARI TADI?!” begitu menyadari kehadiranku, Mandy tak ragu untuk berteriak.

“Sssst!” aku menempelkan jemariku di bibir, malu dengan beberapa orang yang berdiri di belakang Mandy dan hendak memasuki lift. “Kamu mau ke mana?” aku melangkah ke luar, menghalanginya untuk memasuki lift.

“Yaaa, mau beli cemilan aja di bawah,” ucapnya.

Aku mengangkat kantong kresek berisi kotak kue favoritnya, “Lihat, aku bawa apa? Maafin aku datang terlambat, ya. Tadi pagi kepalaku pusing. Jadi, aku bangun terlambat,”

“Kamu nih….,” aku tahu jika Mandy sebenarnya masih kesal, tetapi dia tahu jika dirinya melanjutkan amarahnya, dia akan kehilangan momen untuk menikmati quiche yang kubawa. Kemudian, dia berbalik, “Ya udah, kita meeting cepet, deh,”

“Maafin aku, ya,” aku mengerlingkan mata dan merangkulnya.

“Heeeey,” Mandy seketika mencermatiku dari ujung kaki ke ujung kepala, “hari ini kok kamu lebih ganteng?” malah dia yang menggodaku duluan. Aku tak perlu capek-capek membuat kekesalannya berakhir.

Aku mengerlingkan mata dan berbalik menggodanya. Suaraku yang nge-bass sengaja aku pelankan dan sedikit mendesah, “Soalnya, mau ketemu Mandy,”

“Hahahaaaa!” tawa serak khasnya menghiasi pendengaranku kembali. Mungkin ini refleks dari suara lirihku yang mendalam barusan. Begitu seksi respons yang dia berikan. “Katanya, kalau proyek ini goal, kita bakal bikin beberapa event lagi di Bali. Kita kan bisa sekalian liburan bareng,”

“Hooo, makanya kamu pengin banget kita nggak kelepasan projek ini, ya?” aku memincingkan mata, masih menggodanya.

Tanpa terasa, aku dan Mandy sudah sampai di depan pintu meeting. Dia siap mendorong knop pintu dan mengibaskan rambut bergelombang cokelatnya. Kemudian, dia berkata, “Aku kangen ngobrol-ngobrol tuker pikiran sama kamu sambil jalan kaki sepanjang sanur,”

“Terus kalau kaki kamu pegel, jadi bisa minta tolong seseorang gendong kamu, kan?”

“Yang penting aku nggak mabok,” bisiknya.

“Padahal, aku nunggu kamu mabok,” aku pura-pura melihat langit-langit.

“Hahaha!” Mandy menampar kecil pipiku. Aku yakin jika dia sudah tahu bahwa aku hanya bercanda, tak berniat sama sekali menggodanya. Memang inilah menyenangkannya berkawan dengan ‘Si Telunjuk’. Hasrat ingin merayuku tersalurkan, tetapi tak Mandy telan bulat-bulat rayuanku itu. Biarlah gombalanku itu menguar di udara, tetapi membuat kami berdua semakin akrab dan percaya diri.

Pintu kayu tebal ruang meeting itu dibuka oleh Mandy. Tampak beberapa lelaki berpakaian rapi menoleh ke arah pintu.

“Maaf, ya, anak buah saya terlambat,” ucap Mandy seraya menunjukku. Sial, apanya yang anak buah? Bukannya aku selaku pemilik usaha dan Mandy yang menjadi pencari klien memiliki posisi yang setara? Bisa-bisanya dia mengatakan bahwa aku adalah anak buahnya, tetapi menariknya, adrenalinku terasa memuncak. Kuakui hal ini mungkin kekuranganku. Aku merasa tertantang sekaligus senang jika diremehkan oleh Mandy. Tunggu saja suatu hari nanti! Aku akan membuatnya terpukau. “Perkenalkan, ini Cana, CEO perusahaan The Chain of Sound. Cana ini yang akan menyulap pulau Dewata nanti jadi semarak dengan sound system dan lighting yang bombastis,”

“Maaf guys, saya terlambat,” aku turuti permainan peran Mandy sebagai anak buahnya. Aku merunduk dan mengeluarkan kotak kue dari kantong kresek, “Silakan, untuk menemani teh dan kopi mas-mas semua di sini,” kuhitung beberapa orang yang ada di hadapanku. Semuanya ada enam orang.

“Tapi, sisakan dua spinach quiche-nya buat saya, ya,” mandy menepuk bahuku.

“Tentu, boss,” aku mengerlingkan mata, “apa perlu saya pisahkan quiche punya boss di piring kecil?”

“Ah, tidak perlu,” Mandy menarik kursi dan siap untuk duduk di salah satu kursi, “saya rasa semua orang sudah mendengar untuk menyisakan dua spinach quiche,”

“Banyak juga anda makan. Satu quiche saja sudah membuat kenyang,” selak salah satu peserta meeting.

“Saya kan tak bilang kalau dua-duanya untuk saya,” Mandy melirikku.

Ehem,” sekelabat bayangan memakan quiche di Appetit muncul di benakku. Setiap kali duduk-duduk berdua dengan Mandy di sana, kami memang memesan dua spinach quiche dalam satu piring. Sebenarnya, awalnya adalah ideku untuk menghemat piring. Nyatanya, Mandy menyukainya.

Aku jadi ingin meeting selesai cepat-cepat. Pasti nanti, aku dan Mandy akan banyak berbincang sampai larut di ruangan ini. Tenang saja, tak ada hal apapun yang kami lakukan. Jendela kaca yang menyuguhkan pemandangan langit metropolitan tetap kami buka. Biasanya, topik obrolan akan lebih menarik kala langit ibukota beringsut jingga dan senja pun menghilang di ufuk barat.

“Bisa kita mulai rapatnya?” Mandy menyalakan infocus dan seorang lelaki berpakaian kaos hitam bertuliskan ‘Glow in the dark’ segera berdiri. Kelihatannya, dia akan memulai presentasi.

“Silakan,” anggukku.

Seorang berjam apple sport berdiri di samping layar proyektor. Aku baru menyadari bahwa aku belum mengetahui nama mereka satu per satu. Mungkin karena aku terlambat. Tak masalah, aku akan memperbaikinya nanti.

“Perkenalkan, saya Hans, saya perwakilan dari Galaxy Music Event,” lelaki itu melirik ke arahku. Bisa saja iseng atau karena aku satu-satunya orang yang tak tahu namanya atau bisa juga karena aku yang paling menarik di ruangan ini.

“Silakan, Mas Hans,” Mandy mempersilahkan Hans untuk memaparkan penjelasannya.

Semilir angin AC beraroma apel hijau membuat suasana rapat menjadi segar dan bersemangat. Lelaki bernama Hans ini menjelaskan bahwa tahun ini perusahaannya akan mengadakan lima event musik dan film di Pulau Dewata. Tentu saja dalam event itu memerlukan sound effect dan lighting yang super megah. Oleh karena itu, mereka meminta Mandy selaku EO memintaku untuk bekerja sama dalam soal penata suara dan visual. Menariknya, lima event tersebut memiliki tipe yang berbeda. Event musik yang pertama adalah jazz, lalu EDM, Rock, tradisional, dan Festival Musik klasik dalam bagian Festival Film Asia Tenggara. Lalu, jika tak ada halangan dan rintangan, dia mengatakan bahwa akan mengadakan event untuk para Youtuber dan Tiktokers di pulau yang sama. Jika dua event ini jadi, maka total event yang akan dikerjakan sekitar tujuh.

“Kebetulan, salah satu adik saya adalah penari Bali yang akan mengisi event kami yang keempat, yaitu traditional dance festival,” ucap Hans.

Sorry, Hans, tapi, apakah kamu yakin jika kita dapat mengerjakan tujuh event tahun ini?” Mandy bertanya kepada Hans, tetapi mata lentik berlensa kontak cokelatnya melirikku.

“Anda yakin?” Hans malah melempar pertanyaan Mandy kepadaku.

“Hah? Aku?” aku menunjuk diriku sendiri.

“Kalau Cana, pasti yakin,” Mandy mengerlingkan mata kepadaku.

Tanpa menimang-nimang lagi, aku menganggukan kepala. Sekali lagi, mungkin inilah salah satu kekuranganku di hadapan si Telunjuk Mandy. Aku lebih sering memercayai perkataannya dibandingkan mengintropeksi kepada diri sendiri. Contohnya seperti sekarang ini. Aku malah main menganggukan kepala.

Namun, biarlah, nyatanya aku memang percaya pada diriku sendiri.

***

“Aku excited dengan event-event kita di Pulau Dewata,” selepas meeting, sudah dapat ditebak. Tinggal aku dan Mandy yang masih berada di ruang rapat. Kami berdua menikmati sisa kue sambil menyeruput teh. Tentu saja, sepiring berdua dengan kedua mata terkadang memandangi matahari terbenam dari jendela. “Aku sendiri tak masalah kalau sambil menunggu jarak event satu dengan event lainnya, kita berdua menghabiskan waktu di Pulau Dewata,”

Air mukaku seketika agak berubah. Sepintas, aku memikirkan Jasmine kembali. Rasanya tak mungkin jika aku harus berbulan-bulan berada di Pulau Dewata. Jasmine pasti akan mengecekku terus-terusan, atau bahkan pergi ke Pulau Dewata.

“Sepertinya, aku tak bisa jika harus berbulan-bulan hidup di Pulau Dewata,” sergahku seketika.

“Loh? Kenapa?” Mandy yang hendak menyendokkan spinach quiche ke dalam mulutnya segera meletakkan garpu kecilnya lagi.

Aku memilih untuk menunduk, tanpa meledek lagi.

“Banyak yang harus kulakukan di ibukota,”

“Apakah salah satunya menemui kekasihmu?” selak Mandy yang membuatku hampir tersedak

“Aku tak punya kekasih,” tentu saja aku lagi-lagi berbohong.

“Aku tak percaya, Bohong!”

“Yah, terserah kau,” aku kembali menusukkan quiche dengan garpu kecil yang kugenggam, “Buka mulutnya dulu! Aku suapin kamu, nih,” dia masih begitu curiga dengan jawabanku. Dia memincingkan mata, menyelidiku.

“Jawab dulu, siapa pacarmu?” Mandy berpangku tangan di atas meja.

“Kamu!” kujawab saja begini sembari melahap potongan quiche yang tadi hampir kusendokkan kepadanya. Aku sekalian ingin menguji, apakah ‘Si Telunjuk’ mudah takluk lantaran gombalan tak berartiku barusan?

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
metrohydra
waduh... crystal clear elaboration of 5 fingers.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Lima Jari Playboy   Bab IV Si Jari Tengah Menggoda

    “HAHAHAHAHA!” gelak tawa meledak seantereo ruang meeting. Suara Mandy yang menggelegar sempat membuatku menoleh beberapa kali ke arah pintu, takut-takut menarik perhatian para anak buahku atau office boy. Yaaa… kenyatannya, ruang rapat ini memang bagian dari kantorku. Tentu saja tadi Mandy bercanda dengan mengatakannya sebagai kantornya dan aku adalah anak buahnya. Walaupun sebenarnya, aku berani bertaruh bahwa perusahaanku mungkin akan lebih maju jika dipimpin oleh wanita sepintar, setegas, dan secantik Mandy. “Wanita anggun bukanlah wanita yang tertawa begitu terbahak-bahak,” aku mencoba mengkritik caranya bersikap. Mimik wajahku sengaja kuatur datar. Sekali-sekali, aku ingin membuatnya insecure. “Memangnya, aku ingin disebut wanita anggun olehmu?” Mandy mengerlingkan mata. “Kau saja selalu mencariku untuk mendapatkan pertimbangan keuangan dan bisnis,” “Kau sendiri senang, kan, ditanya?” aku menaikkan alisku. “Meningkatkan self esteem,” aku mencoba menggodanya lagi dengan melahap

    Last Updated : 2021-06-04
  • Lima Jari Playboy   Bab V Keloyalan Si Jari Manis

    ‘Kak, PPnya ganteng banget, deh! Hehehe,’ ‘Aku tadi dengerin podcast kakak loooh! Kereeeen!’ ‘Sebenarnya kak, pemerintah sudah mendukung seni dan budaya tanah air, tetapi terkadang inkonsistensi dari beberapa pihak yang bikin semangat seniman tanah air juga naik turun. Aku ngerasain banget waktu buka usaha tas anyaman bambu itu, Kak,’ ‘Tirandra likes your photo’ ‘Tirandra likes your photo’ ‘Tirandra reply your story’ ‘Tirandra commend your post’ ‘Tirandra likes your commend’ Baru saja aku membuka mata dari bangun tidur dan mengecek ponsel, beberapa notifikasi social media-ku masuk. Nama yang keluar begitu beragam. Namun, ada satu yang menarik perhatianku. Sebut saja dia, ‘Si Jari Manis Loyal’. Tirandra Dewy Leisnaldy…. Tiba-tiba, lamunanku beranjak ke peristiwa tujuh tahun silam. “Eh, name tag kamu jatuh, tuh!” percakapan pertama kami berlangsung pertama kali sekitar tujuh tahun lalu. Ketika itu, aku sedang menontoni para mahasiswa baru di fakultasku. Mereka sedang berlari-l

    Last Updated : 2021-09-04
  • Lima Jari Playboy   Bab VI: Si Kelingking Sobat Sejati

    “Donburi Teriyaki is comiiiin’,” kutaruh nampan makananku dan Tira di atas meja. Tira yang sedang menggerak-gerakan dua ibu jarinya dikeyboardponsel jadi langsung menyembunyikangadget-nya itu di bawah meja. Kelihatannya, dia jadi salah tingkah terhadapaku. Aku sempat lihat tadi dari kejauhan bahwa dia sedang senyum-senyum sendirian di depan layar ponsel. Aku masih curiga jika dia sedang membicarakan topik yang sama dengan orang yang tadi dia telepon.“Ma….kasih banyak, Kak Cana,” kedua mata Tira memandangku dengan berbinar-binar, “Ini…., bener-bener ditraktir, Kak?”Aku menunjukkan ekspresi wajah seseorang yang sedang marah. Tentu saja pura-pura. “Enggak!” aku mengangkat daguku, “Kamu harus bayar dua kali lipat ke aku!” aku berkacak pinggang, bercanda jika dia yang berb

    Last Updated : 2021-09-07
  • Lima Jari Playboy   Bab VII : Si 'Kuku' Alien

    “Apa? Lo udah putus sama si cowok Korea itu?” mataku membelalak ketika mendengar curahan hati Gwen beberapa detik lalu. Aku tak mengira jika hubungan yang kelihatannya dijalin dengan begitu serius dan akan berakhir di gerbang pernikahan itu kandas di tengah jalan.Gwen menganggukan kepala, “Kita berdua ngerasa hubungannya udah nggak enak dijalanin sekitar seminggu lalu, tapi bener-bener putusnya itu semalam,”“Terus? Lo….nggak nangis?”Mendengar pertanyaanku, Gwen langsung menjentikkan jari, “Sama aja lo sama si Oppa mantan gue itu. Dia juga heran kenapa gue nggak nangis di zoom,”“Di mana?”“Di zoom,”“Zoom…?” aku mengernyitkan dahi.“Iya, Zoom. Aplikasi zoom, yang suka dipakek webinar orang-orang itu,” jelas Gwen.“Lah?! Lo diputusin via zoom? Via online? Via webinar?” aku menegakkan badanku. “Kok? M

    Last Updated : 2021-09-08
  • Lima Jari Playboy   Bab VIII : Ruang Hati yang Kosong

    Penulis yang konon tak terlalu suka dengan gelora cinta Aphrodite itu duduk dengan santai di hadapanku. Pandangan matanya yang biasanya menyorot tajam ke arahku, kini agak sayu dan mengandung harap. Aku jadi ingin tahu alasan Aubree kembali ingin memakaisound system­-ku itu apa. Lalu, mengapa dia juga tampak putus asa begitu? “Can, gue nggak terlalu suka samasound systemmereka. Kualitasnya bagusan produk lo,” belum saja aku bertanya alasannya kembali ingin menggunakan produk perusahaanku, Aubree sudah melontarkannya sendiri, “Jadi, gue datang ke sini untuk meyakinkan lo,” lanjutnya. Aku suka dengan penampilan Aubree hari ini. Dia mengenakan topi pet berwarna cokelat kemerahan alias cokelat marun. Lalu, rambut lurus kecokelatannya menggantung rapi di atas pundak. Kemeja putih gombrong yang dimasukkan ke celana jins biru menunjukkan kesanandrogyneatau sedikit maskulin. Gesper kulitnya sama-sama berwarna cokelat kemerahan

    Last Updated : 2021-09-11
  • Lima Jari Playboy   Bab IX: Ancaman Rindu Si Jempol

    Lesung pipi Aubree tampak jelas di refleksi kaca spion tengah mobil. Selama mengunjungi Cana di kantor, dia memakirkan mobilnya di gedung parkir yang agak gelap. Tak jarang untuk meminimalisir kegelapan, dia menyalakan lampu dalam mobil.Di bawah sorot cahaya lampu mobil yang berwarna kekuningan, Aubree menggerak-gerakan bibirnya, melebarkan senyum yang kelewat lebar. Dia biasa melakukan hal ini jika sedang dalam kondisi tak terlalu baik-baik saja. Wajahnya yang good looking sebenarnya tak bisa dikatakan selalu cantik, tetapi karena dirinya selalu merawat kecantikan kulit dan berolahraga, dia yang kini sudah berusia seperempat abad masih cocok saja mengenakan seragam putih abu-abu. Menurut Cana, wajah Aubree juga tak berubah sejak SMA.“Cana jadi agak sebel nggak, ya, gue plin-plan begini?” Aubree memukul-mukul setir mobil dengan jemari. Kedua matanya masih melirik kaca spion tengah. Dia cukup mengagumi warna lensa kontaknya yang unik. Jika diperhatikan dengan seksama, lensa kontak ber

    Last Updated : 2021-09-16
  • Lima Jari Playboy   Bab X: Cemburu yang Melemahkan Si Telunjuk

    Aubree menggigit bibir bawah ketika tak sengaja pandanganku masih tertuju ke sana. Aku sendiri tak berani menebak apakah dirinya menyadari arah pandangku saat ini atau tidak. Kalau pun menyadari, aku rasa Aubree tak protes. Mungkin sebagai penulis novel, dia malah mendapatkan inspirasi baru karena aku kedapatan tertarik dengan bibirnya. “Duduk dulu, yuk, Can. Lo mau pesen minum atau makanan apa?” Aubree menoleh ke kiri dan ke kanan, kemudian mengangkat tangannya untuk memanggil seorang pramusaji. “Minta menunya, ya, Mbak?” senyumnya membuat lesung pipinya terlihat. Kalau tadi aku memperhatikan bibirnya, kini pandanganku beralih ke lesung pipitnya. Seharusnya aku berpendapat biasa saja karena aku sendiri juga tak terlalu berkesan setiap kali bertemu dengan seorang yang berlesung pipit. Namun, bolehkah aku sampaikan bahwa sungguh berbeda jika seorang berlesung pipit itu adalah Aubree? Dibandingkan semasa SMA, lesung pipitnya lebih jelas saat ini. Apakah dia operasi plastik? Entahlah, s

    Last Updated : 2021-09-17
  • Lima Jari Playboy   Bab XI: Kuku Lentik Si Jari Telunjuk

    “Kenapa niiiiih, kamu nanya-nanya tentang Aphrodie?” nada suaraku kuusahakan terdengar agak manja. Tidak apa-apa pikirku. Mandy juga sudah paham jika aku akan mengeluarkan suara kekanak-kanakanku di saat menggodanya. Karena pada tingkatan usiaku yang lebih muda daripadanya, aku bisa merengek semauku. Aku pernah pura-pura tak ingin bicara padanya ketika kami makan siang bersama dan dia lupa mengatakan kepada pramusaji bahwa aku tak suka tingkat kematangan medium rare. Ketika Mandy menawarkan untuk menukar atau memesan ulang, aku pura-pura mengangguk dengan sedikit ogah-ogahan. Sebenarnya, dia bisa marah karena jengkel dengan kelakuanku, tetapi tampaknya dia lebih takut jika aku tak akan lagi menemaninya ke mana-mana lagi.“Kamu nggak cerita-cerita kalau lagi dekat dengan Aphrodie?” pertanyaan Mandy di seberang sana lagi-lagi kuanalisis sebagai bentuk interogasi.“Apakah aku harus cerita-cerita? Aku nggak pernah minta kamu untuk cerita tentang teman yang lagi dekat sama kamu?” Pertanyaan

    Last Updated : 2021-10-06

Latest chapter

  • Lima Jari Playboy   Final Epilog

    Beberapa tahun kemudian:“Would you marry me?” tak terbayang olehku sebelumnya, sepanjang hidupku, bahwa suatu hari ini, aku akan mengajak seseorang untuk melangkah ke tahap baru dari fase kehidupan seorang manusia.Ketika aku melontarkan pertanyaan ini, aku juga tak tahu apakah suatu hari nanti, aku akan mengajukan pertanyaan ini lagi kepada seorang lain?Lika-liku kehidupan yang lebih kuanggap sebagai proses pencarian, bukan permainan. Mungkin caranya untuk sebagian besar orang dianggap permainan, tetapi tidak denganku.Hanya ada satu kata yang bisa kulontarkan kepada mereka yang menganggapnya sebagai suatu permainan.Aku sungguh tak bermaksud.Maka dari itu, aku lontarkan saja satu kata itu.Kata itu berarti adalah….Maaf….Tak mengapa pula jika tak dimaafkan...***The EndLima Jari Playboy….Selesai….

  • Lima Jari Playboy   Epilog : Dicintai Sebelum Mencintai

    Kau kira aku adalah jalan pulang, sedangkan aku berpikir bahwa kau adalah persimpangan.Jangan sakit hati dulu dengan kata-kataku barusan!Bisa saja jalan pulang yang terbentang di hadapanmu itu panjang sekali. Sampai-sampai, waktu kita berbincang-bincang akan selalu ada dan bergulir. Kusarankan kau agar memanfaatkan semua kesempatan ini.Sebaliknya, bisa saja persimpangan yang tersaji di hadapanku mengandung jalan buntu di belokannya. Akhirnya, ujung-ujungnya, aku harus kembali lagi ke persimpangan.Asalkan kau sabar-sabar saja jika aku banyak menyapu pandang di persimpangan sana. Aku pasti akan terus memutar-mutarkan tubuhku, sehingga aku tahu apa saja yang ada di sekelilingku. Aku sendiri memberikanmu kebebasan akan itu, meskipun kau tak memanfaatkannya sama sekali.Tak bisa disalahkan juga.Kau terlalu mencintaiku.“Jasmine,” kusentuh pipi Jasmine yang sudah basah karena air mata, “bicara apa kamu barusan?”

  • Lima Jari Playboy   Bab XXXXI: Wanita Terakhir

    Aku mengangkat badanku dari dalam kolam renang. Di hadapanku, masih ada Aubree, Jasmine, Mandy, Naomi, Tira, dan Gwen. Aku sempat menangkap beberapa ekspresi mereka kala aku mengangkat badanku dari dalam kolam renang. Sudah pasti badanku basah dan aku tak bisa merendahkan diri dengan mengatakan bahwa badanku kurang atletis.“Apa maksud kamu membawa mereka semua ke sini?” tanyaku kepada Aubree. Caraku bertanya masih tenang.“Aku tak membawa mereka ke sini, tetapi mereka yang mengikutiku,” tatap Aubree yang sepertinya tidak bohong.“Jadi, kalian semua mau apa ke sini? Mau mengeroyokku?” aku masih tak melontarkan kata-kata dengan kasar. Aku berpikir jika nada bicaraku meninggi sedikit, maka mereka bisa menjadikan satu sifat itu seperti bagian dari sumber kesalahanku.“Aku yang membawa mereka ke sini,” Mandy si Telunjuk mendekatiku seraya melipat kedua tangan di depan dadanya.“Un…tuk apa, ha

  • Lima Jari Playboy   Bab XXXX: Semua Berkumpul

    “Jadi, kurasa, obrolan kita hanya sampai sini saja,” aku beranjak dari kursi dan membuang pandangan pada Aubree. “Mengapa kamu tak berani mencobanya?”“Aku bukannya tak berani mencoba,” Aku memperhatikan anting bundar Aubree yang terombang-ambing selama Aubree menggerak-gerakan kepalanya kala berbicara denganku. Aku tak bisa memungkiri bahwa dirinya masih menempati posisi teratas bagi hatiku. Aku kelewat mencintainya.“Lantas?” aku betul-betul mengejar argumennya.“Aku belum yakin padamu, Cana,” ucapnya, “selama aku belum yakin denganmu, tetapi kau sudah begitu membutuhkan cinta, aku tak masalah jika kamu ingin mencobanya dengan wanita lain,”“Wanita lain itu siapa?” sepertinya, posisiku yang berdiri, sedangkan Aubree yang duduk cukup mencolok. Aku mendapati beberapa pasang mata dari meja lain, yang rata-rata juga dari sepasang kekasih jadi memperhatikan kami. Dikiranya mu

  • Lima Jari Playboy   Bab XXXIX: Labirin Aphrodite

    Waktu yang kunantikan akhirnya menghampiri juga. Di hadapanku, duduklah Aubree beserta dengannotesdan pulpennya. Dia mengatakan bahwa dirinya akan melanjutkan pembahasan mengenailaunchingnovel terbarunya. Tak hanya itu saja. Dia juga melanjutkan risetnya mengenai kisah-kisahku selama menjadiplayboyuntuk kepentingan novelnya tersebut. “Aubree! Jadi? Kamu hubungi aku lagi, karena kepentingan-kepentinganmu ini?” tempat yang dipilih Aubree untuk bicara empat mata denganku malam ini bukan di Cosmo King. Dia memilihkan sebuah café yang begitu tenang, sejuk, dan memperdengarkan lagu-lagu Jazz dispeaker-nya. Aubree mengaduk secangkir teh yang dipesannya dengan kayu manis. Dia belum menjawab pertanyaanku, tetapi senyum lebar terlanjur te

  • Lima Jari Playboy   Bab XXXVIII: Mencinta Benci

    “Saya mau loakin novel-novel yang ditulis penulis Aphrodie. Bisa telepon tukang loak sekarang untuk ambil semuanya di apartemen saya?” Mandy si Telunjuk akhir-akhir ini jarang keluar apartemennya di bilangan Mega Kuningan. Dia sibuk merapikan rak bukunya dan membuang beberapa koleksi bacaannya yang menurutnya tak penting. Beberapa dari bacaan tak penting itu ternyata adalah novel-novel favorit Mandy yang ditulis oleh Aphrodie. Buku-buku itu siap diloakkan dan dia minta tolong asisten rumah tangganya untuk mengenyahkan buku-buku itu dari sini. Asal kau tahu, Aphrodie sesungguhnya adalah novelis kesukaan Mandy si Telunjuk. Menurutnya, Aphrodie tak hanya menuliskan cerita-cerita penuh romantisme dan puitis, tetapi juga nilai humaniora dan wawasan yang begitu luas. Mandy jarang menyukai novel fiksi bergenre romantis. Namun, jika yang menulis adalah Aphrodie, Mandy bisa menghabiskannya dalam waktu kurang lebih seminggu.

  • Lima Jari Playboy   Bab XXXVII: Kembalinya si Kuku Alien

    Mungkin kau melihatku tak lagi menemukan semarak yang biasanya kutemukan bersamamu di hari-hari yang telah lewat.Aku tak menampik bahwa kau benar.Namun, satu hal yang ingin aku sampaikan kepadamu adalah bahwa aku lebih baik tak lagi menemukan semarak itu dibandingkan harus memasukkanmu lagi di ruangku.Di hari terakhir perpisahan, kau mengatakan padaku bahwa kau akan menungguku sampai aku kembali membuka pintu kebersamaan denganmu lagi.Satu hal yang ingin aku sampaikan kepadamu adalah bahwa setidakenaknya aku di sini, aku tak akan pernah menghampirimu lagi.Jangankan menghampirimu, kau mengetuk pintuku saja mungkin akan tetap kubiarkan masuk, tetapi setelah itu kau punya pilihan untuk keluar lagi.Kau bukan pilihanku untuk mengemis pertolongan. Buat apa menerima kebaikanmu setinggi langit, tetapi setelah itu dihempaskan sampai inti bumi yang kelewat panas? Aku lebih baik berjinjit

  • Lima Jari Playboy   Bab XXXVI: Melengking Bersama si Kelingking

    “Siapa?! Emma?!” meski sedang berada di sebuahcoffee shopumum yang tentu saja tak akan ada seorang wanita bernama Emma, aku tetap merasa panik kala Gwen si Kelingking menyerukannya dalam nada bicara agak meninggi.Deg!Aku tak percaya jantungku berdetak kencang seketika. Hatiku sepertinya sedang tergantung di sosok bernama Emma yang kutemui semalam dalam pesta pernikahan kawanku. Bisa ditebak bahwa setelah aku ditunjukkan dirinya di pesta oleh temanku, tak ada sesuatu yang aku perbuat padanya. Aku hanya memandangnya dari jauh. Dia cukup cantik, menarik, dan tampaknya menyenangkan jika bisa lebih dekat dengannya. Namun, aku punya alasan hanya memandangnya dari jauh.Dalam kamus seorang laki-laki, ah tunggu! Mungkin bukan seorang laki-laki pada umumnya, melainkan segelintir orang dan salah satunya adalah aku, pada hakikatnya, cinta adalah sebuah sugesti yang dapat diciptakan sendiri oleh tiap insan.Lelaki yang dian

  • Lima Jari Playboy   Bab XXXV: Telunjuk dan Jari Tengah Baru

    “Untuk Rinka dan Theo, hmm….., selamat menempuh hidup baru,” ucap salah seorang tamu di pertengahan sesi santap malam. “Kau dan aku tercipta oleh waktu. Hanya untuk saling mencintai,” lalu, wanita yang sepertinya adalah adik sepupu Theo itu mulai menyanyi di atas panggung musik. Adik sepupu Theo, si pengantin laki-laki, pada akhirnya mengucapkan selamat di atas panggung lantaran tadi mendapatkan bunga yang dilempar oleh kedua mempelai. Tadinya, aku yang dapat, tetapi karena reaksi orang di sekitarku tampak berlebihan, aku refleks melempar bunga lagi dan ditangkap oleh gadis ini. Sebenarnya, aku tak boleh melemparkannya lagi. Tentunya terkesan kurang menghargai acara. Namun, apa boleh buat? Aku sedang tak minat dengan yang namanya pernikahan. Jika tadi aku mendapatkan bunga itu, maka akan banyak orang yang mendoakanku ke arah sana. Untuk sekarang, aku aminkan saja dulu. Sambil menusukkanpopper cheesedan memasukkannya ke dalam mulut, pikirank

DMCA.com Protection Status