Mereka berdua, Quinn dan Xavier terhampas dari lubang hitam yang tiba-tiba saja muncul. Wanita itu tidak merasakan sakit pada tubuhnya, tetapi, pria yang menyelamatkannya mengerang kesakitan. Quinn mengangkat kepalanya, dan membantu sang jenderal untuk bangun dari posisi mereka yang terbaring. "Ini sudah kedua kalinya kita tersedot dan terlempar dari lubang hitam.""Aku tidak ingin merasakannya untuk yang ketiga kali." ujar Quinn, memastikan tidak ada luka di tubuhnya. "Apa kau baik-baik saja?" tanya sang jenderal, melakukan hal sama dengannya."Tidak apa, hanya tanganku sedikit sakit karena terhimpit." Xavier meraih tangan kurus itu, mendesah berat setelah menemukan warna kemerahan di tangan Quinn. Quinn tidak menarik tangannya dari genggaman sang jenderal. Bond yang mereka miliki selalu menjadi obat penenang yang lebih mujarab dari semua obat yang telah ia gunakan selama belasan tahun. Perlahan, apapun rasa panik dan khawatir yang ia rasakan diawal, perlahan menghilang.Matanya yang
Keesokan paginya, Quinn terbangun dari tidur tanpa mimpi. Butuh untuk beberapa saat sebelum ia menyadari jika saat itu dirinya tidak berada di rumah, melainkan tersesat dan terdampar di sebuah planet tidak berpenghuni. Di luar, matahari sudah terbit, badai salju sudah berlalu tanpa meninggalkan jejak apapun. Sebuah keajaiban pesawat tempatnya berlindung sekarang belum tertimbun di dalam tumpukan salju.Keadaan sekitarnya sunyi, ia keluar dari dalam kamar mencari keberadaan Xavier. Ia menemukan sang jenderal masih dalam posisi yang sama dengan semalam, mencoba memperbaiki pesawat terbengkalai di tengah planet yang ditutupi salju. Quinn harus akui jika kegigihan sang jenderal patut untuk di apresiasi. "Kau masih di sini." sapa Quinn, sang jenderal melirik sekilas, matanya terlihat lelah namun tidak dengan semangatnya."Kau sudah bangun." Quinn duduk di dekat sang jenderal, memperhatikannya di saat dirinya sendiri tidak tahu apa yang harus ia lakukan."Apa kau mau segelas kopi?" tanya Xa
"Caramu mengatakannya, seolah aku sedang menggunakanmu." Ujar Xavier."Bukankah kau memang menggunakanku? Sejak awal hingga sekarang, kau sedang menggunakanku, bukan? Fakta bahwa aku memiliki darah peri pohon mengalir di tubuhku, bagaimaman kau bisa tahu semua itu ketika aku seperti orang bodoh terjebak di dalam kegelapan? Tidak tahu apapun."Ya, ucapan ratu beastman masih terngiang-ngiang di kepalanya. Ratu Beastman adalah makhluk legenda yang sudah hidup lama. Ia mengetahui banyak hal, bahkan rahasia planet lain yang tidak diketahui oleh orang lain. Itulah alasan tidak ada yang berani mengganggu Beast Planet meskipun perang berkecamuk di luar sana. Dia tetep berada di tengah tidak berpihak kepada siapapun, tidak membela siapapun.Setiap perkataan sang ratu juga adalah kebenaran, hingga ucapannya yang mengatakan jika Quinn adalah sang pelindung Sacret Tree, yang mereka panggil dengan darah peri pohon juga benar adanya. Bagaimana itu mungkin? Selama ini ia hidup seperti manusia biasa,
"Aku mulai berpikir bahwa kau memiliki garis keturunan peri pohon sejak hari dimana kau menyelamatkan nyawaku. Sebelum kehilangan kesadaran, aku seperti melihat cahaya bintang di matamu." "Benarkah?" "Hmm... mereka bilang keluarga kerajaan yang sesungguhnya memiliki bintang dimata mereka. Itu yang dikatakan buku kuno. Aku tidak menemukan satu bintang dari catatan atau poto dari raja dan ratu terdahulu, sehingga aku tidak bisa menyimpulkan raja yang sekarang bukanlah raja yang sebenarnya. Akan tetapi, setelah melihatnya secara langusng, aku paham apa maksud dari kalimat itu." mereka berdua duduk di tepi tempat tidur, memandang pada badai di luar sana. "Aku butuh waktu untuk pulih, dan ketika bertemu kembali, aku bertanya apakah saat itu aku berhalusinasi karena aku tidak melihat cahaya itu lagi dimatamu." Quinn tertawa, kecil, "tentu saja tidak ada, aku melihat bayangan diriku setiap hari dan tidak pernah melihat bintang atau cahaya apapun di dalamnya." di antara dinginnya malam di
Paginya, Quinn Flos, peserta pelathan 197 meninggalkan markas pelatihan unit K-101. Ia dijemput oleh kedua orangtuanya. Ayahnya, Edmund, merupakan bangsawan Flos yang cukup terkenal diantara para bangsawan lain, hanya saja, karena dia adalah satu-satunya kelaurga Flos yang tersisa dan sejak menikah dengan seorang putri angkat keluarga Dariel, Edmund tidak begitu banyak lagi muncul di publik."Ayah, ibu! Aku merindukan kalian berdua!" Q1 atau Quinn Flos yang sangat ditakuti, dikagumi serta menjadi kebanggaan para gurunya selama pelatihan, memperlihatkan sisi yang tidak pernah orang-orang lihat sebelumnya. Gadis itu terlihat sangat kuat, namun ketika bertemu dengan ayah dan ibunya, sifat manjanya keluar."Hei, kenapa putri kecil ayah semakin tinggi sekarang?""Tentus aja, aku sudah semakin besar! Sebentar lagi aku akan berusia enal belas tahun." Edmund mengusap puncak kepala putrinya dengan lembut, mengacak rambut hitam panjangnya yang diikat pony tail hingga berantakan."Quinn, meskipu
Quinn sudah tertidur sejak sampai di rumah, orangtuanyapun mengatakan tidak perlu menunggu pukul dua belas malam untuk menyaksikan Flowernya mekar, karena dengan istirahat yang cukup, maka bunganya akan tumbuh dengan baik. Quinn mengikuti perkataan orang tuanya. Lagipula, menurut buku yang ia baca saat Flower mekar rasanya cukup menyakitkan, dengan tidur, ia bisa mengabaikan rasa sakit itu. Di tengah malam, Quinn terbangun dari tidurnya setelah mendengar suara dari lantai bawah rumahnya. Gadis itu bangkit untuk melihat jam. Pukul sebelas lewat tiga belas menit. Lebih dari setengah jam sebelum tengah malam. Ia menunggu untuk beberapa saat, jika sesuatu terjadi, alarm akan berbunyi, ayah dan ibunya akan terbangun. Anehnya tidak ada satupun yang terjadi, suasana malam itu terlalu sunyi, terlalu hening padahal suara yang membangunkannya begiu keras. Gadis remaja itu turun dari kasurnya, dengan langkah yang sangat pelat dan berhati-hati. Rumah mereka tidak memiliki pelayan ataupun robot
"Ayah!!""Yo! mati satu!" sorak pria yang berkepala plontos. Ia tertawa seraya menendang tubuh Edmund yang sudah tidak bergerak."Kita bisa membunuhnya sejak awal jika kau tidak bermain-main." ujar rekannya, menghisap rokok yang mengepulkan asap. Malam itu, terlalu sunyi dan gelap sedangkan seluruh matanya hanya tertuju pada tubuh sang ayah yang sudah tergeletak tidak bernyawa.Helen menahan lengan putrinya yang hendak menghampiri jasad sang suami. Hatinya terluka, melihat suaminya yang sudah tidak bernyawa, tetapi ia tidak ingin putrinya bernasip sama."Quinn, kita harus pergi dari sini." Quinn menolak, mencoba melepaskan tangan sang ibu. Ia sudah berteriak sekuat tenaga dengan isak tangis yang memekakkan.Pria tinggi yang memegang puntung rokok melepaskan tembakan tepat ke arah kaki Quinn. "Kalian berdua, kalian bergerak dari sini, aku akan mengirim kalian ke neraka." ujarnya.Helen jatuh berlutut dan memehon, "aku mohon jangan lakukan apapun pada putriku. Kau boleh menyiksaku tetap
Quinn berada dalam posisi yang sama hingga pagi datang. Tubuhnya dingin, tangannya tidak berhenti menggenggam tangan kedua orang tuanya. Matanya yang cerah nampak kosong, memandang pada cahaya mentari yang terbit di kejauhan. Mungkin bagi sebagian orang, ini adalah pagi yang sama, hari yang sama, seperti yang sebelumnya, namun bagi gadis enam belas tahun itu, itu adalah pagi dimana ia menjadi pribadi yang berbeda. Pagi yang menjadi awalan dari mimpi buruknya yang tidak akan bisa ia lupakan hingga kapanpun. Jika bukan karena kedatangan Harries Dariel yang sedang mengunjungi kakak perempuannya dan ingin memberikan kejutan ulang tahun untuk ponakannya, mungkin mereka akan menemukan enam mayat tidak bernyawa di kediaman keluarga Knox. Sebab keadaan Quinn sudah sangat kritis. .... "Aku menghabiskan waktu berbulan-bulan di rumah sakit jiwa. Mereka mengurungku di dalam ruangan serba putih selama bertahun-tahun. Di tahun pertama, aku seperti kehilangan diriku, larut dalam mimpi yang sama,