“Non Nia, bangun … telepon Non bunyi ….”
Begitu cara halus Mbak Uli membangunkan Nia setiap pagi.
Terbayang betapa susahnya Nia terbangun karena suara Mbak Uli lebih mirip nada bicara seseorang yang menyuruh tidur. Padahal, Nia harus bangun saat itu juga.
“Non Nia ….” Mbak Uli membangunkan gadis yang sedang menikmati waktu ngebo-nya itu sekali lagi. Barulah ia terbangun ketika mendengar Mbak Uli menyebut nama Daren, kekasih hatinya.
“Non Nia, Mas Daren video call,” begitu katanya.
Tentu Nia langsung memelotot, tercengang. Daren? Menelepon pagi-pagi begini?
“Pagi, Sayang?” tanya Nia dengan nada lesu sehabis bangun tidur. “Kamu lagi di mana?”
Daren dengan senyuman manisnya itu menjawab, “Aku lagi di kamar, nih. Lagi ngonten. Dapet challenge disuruh nelepon cewek tersayang, ya, aku nelepon kamu.”
Barangkali, setiap gadis yang mendapatkan perlakuan seperti itu dari Daren, mereka akan melting. Merasa perlakuan Daren itu manis sekali. Ditambah lagi, wajah tampan nan epic yang dimilikinya sungguh menunjang tingkat kebaperan bagi siapapun yang mendengar gombalannya.
Akan tetapi, itu tidak berlaku bagi Nia, sang kekasih.
Tidak. Nia tidak mengharapkan perlakuan manis itu di depan kamera ataupun penonton setia kanal YouTube dengan nama Daren Sanjaya, lelaki Jawa yang dalam penamaannya, sang ibu terinspirasi dari film FTV dengan tokoh utama bernama Daren. Sanjaya adalah nama keluarga.
Nia sungguh tidak mengharapkan itu. Ia hanya ingin kesenangan sederhana yang Daren berikan padanya, tanpa harus ada yang mengetahui. Termasuk Darens, begitu nama fansbase-nya.
Daren mengernyit curiga. “Ih … kok, wajahnya ditekuk gitu? Lagi capek banget, ya, Sayang?”
Nia mengangguk. Dalam hati, ia ingin bilang bahwa ya, gue capek dengan semua perlakuan lo yang sok sweet itu. Ya, sebetulnya, Nia mengakui bahwa Daren adalah orang yang sangat baik dan cukup perhatian. Namun, seringnya lelaki itu bersikap tegas dan hampir layak disebut kasar, daripada bersikap manis seperti yang ditunjukkannya pada orang-orang di setiap konten.
Nia muak. Ia pun berujar, “Eh, udah, ya … aku mau mandi, mau berangkat shooting.”
Daren mengangguk. “Oke, kita lanjut nanti, ya, Sayang. Love you ….”
“Me too,” balasnya kemudian mematikan telepon video itu. Ia pun menyerahkan ponselnya pada Mbak Uli untuk di-charge selagi ia bergerak mandi dan bersiap berangkat ke lokasi shooting.
***
Seorang perempuan yang sedang berjalan terburu-buru di luar sebuah kedai minuman, tanpa sengaja menumpahkan minumannya hingga mengenai apron yang dikenakan oleh Salim. Namun, bukannya marah, lelaki itu malah tersenyum pada si pelaku. Ia lantas berkata, “Maaf, saya nggak sengaja menumpahkan minuman Kakak. Nanti saya ganti yang baru, ya.”
Namun, sebelum Salim melangkah ke dalam kedai, si pelaku menyetop lelaki itu. “Gak. It’s okay, ini bukan salah kamu. Aku yang lagi buru-buru, makanya gak lihat kamu lagi sibuk melayani pelanggan.”
Salim tersenyum. “Gak apa-apa, biar saya ganti, Kak.”
“Eh, gak usah. Nanti kamu diomelin atasanmu, lho. Gak apa-apa, biar saya nanti beli lagi aja,” kata perempuan itu menolak.
Salim mengangguk sopan. “Kalau memang Kakak sedang buru-buru, saya kasih voucher minum gratis aja, ya. Sebagai ganti minuman Kakak yang tumpah karena saya. Gak apa-apa, Kak, terima aja. Semoga Kakak senang membeli minuman di tempat kami,” katanya dengan suara khasnya yang terdengar manis itu.
Si perempuan pun mengangguk. “Oke, makasih, Mas. Nanti dan besok-besok, saya pasti mampir ke Ngopie,” ujar perempuan itu penuh antusias lalu pergi.
Benar, kedai itu bernama Ngopie. Tidak ada kepanjangan ataupun filosofi, kebetulan tercetus saja dalam pemikiran sang pendiri. Ngopie.
Salim kembali ke dalam kedai dan menemui seorang lelaki yang sebetulnya adalah pegawai di kedai. Ya, sebetulnya dia lah pemilik kedai yang sudah membuka empat cabang di Jakarta itu. Sayangnya, dengan penampilan sederhana dan apron yang kerap dipakainya setiap kali melayani pelanggan, orang-orang jadi banyak tidak tahu bahwa dia merupakan pendiri kedai.
“Jon, nanti gue ke kedai di Jaksel sampai malam. Lo rencana mau tutup jam berapa?”
Jon si pegawai yang ditanyai itu pun terkekeh. “Lo itu atasan paling aneh yang pernah gue temui, tau?”
Salim tidak mengerti maksud teman sekolahnya itu hanya menanggapi dengan pertanyaan, “Ngomong ape, sih, lo?”
“Di mana-mana, seorang atasan itu yang menentukan waktu buka dan tutup kedainya. Kami para pegawai tinggal nurut. Nah, elo nggak gitu, Bro. Lo justru nanya ke pegawai, mau nutup jam berapa. Kan aneh?!”
Kini giliran Salim yang terkekeh karena perkataan Jon. Ia hanya bergeleng kemudian berpamit pergi, tanpa menanggapi opini Jon tentang keanehan dirinya sebagai seorang atasan atau pemilik kedai.
Lagipula, itu hanya candaan Jon yang sebetulnya memang nyaman bekerja dengan seorang atasan yang sejatinya, sudah dikenalnya sejak lama. Jon meneruskan pekerjaannya membuat beberapa minuman pesanan pelanggan.
Seperti katanya tadi, Salim memang akan pergi ke salah satu cabang kedai yang ada di daerah Jakarta Selatan. Lelaki itu akan mengevaluasi pendapatan di kedai tersebut selama sebulan terakhir.
***
“Aku gak tau gimana harus ngejelasinnya ke kamu, Citra! Mama sudah tiada!” tegas seorang lelaki pada perempuannya yang terkulai lemas sehabis menangis histeris karena tidak terima kenyataan bahwa sang ibunda meninggal dunia.“Mama masih ada, Bim! Mama masih senyum ke aku semalam. Mama masih bicara sama aku sebelum tidur. Mama masih ada!” tegas Citra yang energinya seketika kembali untuk membantah tudingan Bima, sang kekasih.
“Ini sudah takdir, Citra … ini takdir. Kita gak bisa menentukan kehidupan. Apa yang terjadi, itu sudah ketentuan Tuhan!” Bima tak henti-hentinya mengingatkan Citra untuk mengikhlaskan kepergian mama.
“Kenapa kamu tega bohongin aku, sih, Bima? Mama itu masih ada. Jangan ngomong sembarangan, dong, tentang mama!” tegas Citra sekali lagi.
Bima memeluk sang kekasih dengan maksud menenangkan gadis itu. Ia tak sanggup jika melihat orang yang dicintainya hancur seperti ini. Semakin erat Bima mendekapnya seraya berujar, “Semua yang datang pastilah akan pergi, Citra. Jangan buat aku semakin sedih karena sikapmu yang seperti ini. Aku tak kuasa ….”
“Cut!” Sutradara menghentikan proses shooting di scene tersebut sambil bertepuk tangan. “Sungguh totalitas” katanya.
Nia sebagai Citra dan sang lawan main itu menghela napas lega setelah scene usai. Ali yang berperan sebagai Bima itu mencoba mengajak Nia yang sedang asyik menyanyi sambil berjalan ke tempat duduk.
“Nia,” sapanya.
Nia menoleh tentunya. Bertanya ada apa, berharap ada hal penting soal pekerjaan yang akan mereka balas saat ini. “Udah makan belum, lo? Makan dulu, yuk!”
Nia menatap arloji di tangannya. Kebetulan, jam menunjukkan pukul dua sore dan mereka belum makan siang. Bolehlah ia mengiakan ajakan Ali pergi mencari makan siang. Lagipula, scene mereka sudah selesai dan tidak ada tanda-tanda Daren akan menjemput. Ia pun setuju.
Ali membawa Nia ke sebuah kedai kopi. Nia tentu mengernyit. “Kenapa di sini? Lo ngajak gue makan atau ngopi, Li?” tanyanya.
Ali memberi kerutan di kening. “Hah? Jadi, lo gak tau kedai ini? Ya ampun, Nia … ke mana aja lo?”
Tembakan Ali begitu tepat sasaran. Ia tahu bahwa Nia tidak mengetahui kedai tersebut karena kalau tahu, tidak mungkin Nia menanyakan hal itu.
“Astaga, beneran belum pernah ke sini?” tanya Ali.
Nia menggeleng. “Emangnya enak?”
“Woi … ini kedai ngopi yang lagi tenar di kalangan artis. Masa lo gak tau, sih? Cowok lo gak pernah ngajak ngonten ke sini?” sindir Ali sambil bergegas turun dari mobilnya bersamaan dengan Nia.
Nia menyeringai. Beberapa hari berlalu sejak mereka shooting series bersama, Ali tahu mengenai hubungan Nia yang sebetulnya tidak semanis di media sosial. Ali sering memergoki Nia sedang menggerutu sendirian di ruang wardrobe, menggerutui pacarnya.
“Ngontennya di restoran kalo sama Daren, mah ….” Nia mengikuti alur sindiran Ali. “Lo tau cirri-ciri YouTuber kayak Daren.”
“Lo udah gak nyaman sama dia? Kenapa gak putus aja, sih?” Itu dia pertanyaan yang sangat ingin Ali ajukan sejak lama. Kenapa Nia tidak memilih putus saja?
“Orang udah cinta, Li. Gimana?” katanya sambil menyengir tidak keenakan.
Ali mewajarkan itu karena sedikit yang ia ketahui bahwa memang, Nia dan Daren sudah berpacaran sejak lama. Wajar kalau mereka sudah saling cinta sampai begitunya. Wajar juga, jika perhatian Daren memudar karena mereka sudah lama dan terbiasa bersama, mungkin?
“Mau pesan apa, Ni?” Ali menyodorkan buku menu.
Ada begitu beraneka makanan yang menarik untuk disantap saat makan siang. Salah satunya, Chicken Pok Pok dengan sambal merah. Nia langsung mengiler begitu melihat gambar menu itu. Ia pun memesannya.
“Saya gurame goreng crispy aja, sama sambelnya level tiga!” ujar Ali.
Nia melihat-lihat buku menu lalu berdecak kagum. Ali langsung tahu apa yang ada di pikiran gadis itu. Itu sebabnya ia berujar, “Menu di sini itu sederhana semua, tapi nikmatnya luar biasa. Minumannya juga didesain simple, tapi rasanya bikin kita gak nyangka, tau!” ungkapnya dengan penuh antusias.
Nia mengangguk. “Kok, gue gak tau ini kedai lagi tenar di kalangan artis?”
“Iya, lagi tenar soalnya ini rekomendasi Bara yang ngajakin kita-kita buat beli makanan dan minuman yang didiriin sama sahabatnya dia, tapi gue lupa namanya. Lo tau setenar apa Bara sekarang ini, kan? Makanya kedai ini lagi rame banget!” tutur Ali panjang lebar.
Nia hanya meng-oh pendek, bertepatan ketika ia melihat sosok lelaki yang sedang berdiri di depan pintu. Hendak masuk, tetapi terhenti karena lelaki itu sedang menelepon seseorang. Benar saja, ponsel Nia bergetar seketika.
Terbayang betapa jantung Nia berdegup seketika. Lelaki itu, Daren. Lelaki posesif yang tak suka melihat pacarnya jalan bareng pria lain, meski itu lawan mainnya ketika kerja. “Mati gue!” gumam Nia.
Ali mengernyit heran. “Kenapa lo, Ni?” tanyanya. Tentu saja ia bertanya.
“Ada Daren!” Nia menunjuk ke arah pintu.
“Ya, ajak ke sini, dong!” celetuk Ali dengan seenaknya.
“Ajak ke sini gundulmu!” umpat Nia. “Bisa marah dia kalo ngelihat gue makan bareng lo berdua,” terangnya sambil emosi.
“Ya elah … Daren pasti ngertilah … kita temen kerja, Ni.”
Nia menggeleng. Tidak percaya kata-kata Ali karena ia tahu pasti bahwa Daren tidak akan mau mengerti apapun selain apa yang ada di dalam pikirannya. “Pokoknya gue mau balik. Tolong lo bantu gue ngumpet dulu, jangan sampai dia ngelihat gue!” pintanya sambil berbisik.
Ali menghela napas. Ia pun membantu menutupi wajah dan tubuh Nia dari penglihatan Daren, sembari ia membantu Nia mengorder taksi online untuk pulang.
“Nanti makanan lo gue paketin ke rumah aja, ya.” Ali mengusul.
Nia manut. “Oke, entar duitnya gue ganti.”
Dari tempat persembunyiannya, Nia melihat Daren memasuki kedai dengan perasaan gelisah. Ia langsung ke meja pemesan dan bicara dengan pelayan. Nia meminta Ali membantunya berjalan keluar agar tak diketahui Daren.
Akhirnya, usaha kabur diam-diam itu pun berhasil. Huh. Pacaran dengan Daren benar-benar merepotkan!
Nia berdiri di halaman dekat gerbang kedai. Menanti mobil taksi yang akan menjemput lalu mengantarnya pulang. Pucuk dicinta ulam pun tiba, taksi online pesanan Ali sudah tiba dan berhenti di depan pagar, tempat Nia mencegatnya.
Nia mengetuk pintu tengah agar si supir cepat-cepat membukakan kunci pintu tengah mobil itu. Gadis itu hampir saja marah karena supir begitu lama menanggapi pintaannya. Setelah kunci terbuka, Nia langsung masuk, menyandarkan tubuhnya di jok lalu menghela napas lega. Sembari menutup pintu mobil, Nia berkata, “Sesuai aplikasi, ya, Mas!”
“Sesuai aplikasi, ya, Mas!” Nia berujar untuk yang kedua kalinya karena supir taksi tersebut tidak juga bergerak menginjak pedal gasnya.“Mas! Ayo, dong, cepetan! Ini saya lagi menghindari orang jahat, nih. Saya lagi dalam bahaya,” ujar Nia dengan suara tergesa-gesa. Berharap supir itu langsung mengerti dan membawa mobilnya pergi dari sana.Supir itu mengegas lurus. Ia tau, ada kesalahpahaman di sini. Akan tetapi, ia belum berani menanyakan hal itu karena ia merasa perempuan yang duduk di jok belakangnya itu sedang khawatir.Di tengah perjalanan, barulah Nia menyadari bahwa si supir taksinya ini membawanya ke jalan yang salah. Nia protes. “Mas, tau jalannya, nggak, sih?” tanyanya dengan nada kesal.“Maaf, Mbak, tapi saya ....”“Untung aja udah jauh dari kedai dan saya gak dilihat sama orang itu. Ya udah, sekarang jalan langsung ke tujuan aja!” perintah Nia sambil membuka kunci ponselnya da
“Sayang, hari ini aku gak bisa jemput kamu, ya. Ada meeting dadakan sama anak-anak YouTube, mau ngadain collab besar-besaran.”Nia yang mendengar itu langsung terperanjat, senang bukan main. Setelah berbulan-bulan, akhirnya ia bisa bebas keluar main, tanpa harus diikuti lelaki manipulatif itu. Ah, sepertinya bahasa Nia terlalu kasar.“Jangan lupa senang-senang, ya,” ucap Nia dengan nada yang tersendat-sendat, saking senangnya.“Wah … pacarku kayaknya ngambek.” Daren bicara seolah ada orang lain di dekatnya. Nia tau itu karena kalau tidak ada orang, sudah pasti nada bicaranya berbeda. “Gak jadi ngumpul, deh!”Yah, jangan gitu, dong! Baru juga Nia mau seneng.“Eh, aku gak marah ….” Nia bicara dengan nada memohon. Ya, memohon agar lelaki itu menyingkir biarpun hanya sehari.“He he … ya udah, ya, Sayang. Aku lagi di jalan sama anak-anak,
Semenjak kedatangan Bara ke kedai siang tadi, seketika pintu mulai dipenuhi orang-orang yang berlalu-lalang untuk membeli. Benar-benar keuntungan double buat Salim. Ya, meskipun kadang, Bara datang dengan membawa topik yang diulang-ulang dan terdengar membosankan, yakni tentang dirinya yang suka di-PHP-in cewek—kasihan ganteng-ganteng kena PHP, tetapi setidaknya, lelaki itu bersedia membayar lebih dan mendatangkan keuntungan lain lewat fans-fans yang modus mau ngelihat sosok artis yang lagi tenar itu sedang makan.“Bara … Bara, kagak bosen, ya, lo. Setiap kali ke sini, cerita topiknya sama melulu? Kuping gue, nih, aja udah hafal sampe titik, koma, tanda tanya cerita lo itu, tau!” Salim menggerutu sembari menyuguhkan minuman yang dipesan sahabatnya itu.Bara menghela napasnya. “Jahat banget lo, Lim. Sama sahabat sendiri begitu amat.”Salim terkekeh. Merasa kepanasan karena ledekan sahabatnya itu, Bara pun buru-buru me
Entah kesambet apa Daren malam ini. Lelaki itu membawa Nia ke apartemennya. Mengajaknya memasak makan malam untuk disantap berdua. Ketika Nia bertanya, Daren hanya menjawab, “Gak apa-apa, biar romantis.”Kedua sejoli itu telah menyelesaikan sesi masak berdua. Meski hanya spaghetti instan, tetapi itu akan merealisasikan makan malam romantis yang diniat-niatkan oleh Daren sejak siang tadi.Nia menyajikan spaghetti itu di piring miliknya dan milik Daren, sementara sang kekasih sibuk mempotret dirinya. Awalnya Nia curiga, ini hanya untuk konten. Akan tetapi, Daren berhasil menepis kecurigaannya dengan berkata, “Aku gak mau share foto ini ke medsos. Buat simpanan pribadi aja.”“What? Tumben?” Nia bertanya sambil mengembalikan peralatan masak itu ke tempat cuci piring.Tanpa Nia sadari, Daren mengikuti langkahnya dari belakang. Nia semakin merasa keheranan. Lelaki itu tersenyum padanya, senyuman yang begitu
Di perjalanan, hanya keheningan yang terjadi. Tidak ada lagi kalimat basa-basi antara dua sejoli itu. Hanya ada dentingan piano sebagai intro sebuah lagu yang akan terputar saat itu.Nia merasa bersalah begitu tahu bahwa Daren tahu tentang kegiatan sarapan itu. Sekaligus merasa tidak enak hati begitu memahami keromantisan yang sedang dijalani Daren adalah sebuah taktik, tujuannya apa, Nia tidak tahu.“Alenia ….” Daren memanggil seraya fokus menyetir.“Apa?”“Aku di sini sedang kamu anggap apa?”Tidak ada yang bisa Nia jawab untuk pertanyaan Daren barusan itu selain, “Hah?”Daren tersenyum dan menolehkan kepala. “Ya, aku ini kamu anggap apa sekarang? Pacar? Patung? Atau … supir taksi? Kok, dicuekin?”Nia meng-oh panjang. Ternyata itu maksudnya. Ah, semenjak ia menyelesaikan analisisnya terhadap perubahan sikap Daren akhir-akhir ini,
“Nia, mau pesan apa?” Ali menawarkan traktiran siang ini. Kebetulan, ia sedang mengadakan syukuran kecil-kecilan atas lahirnya keponakan pertama. Anak dari kakak perempuannya.“Untuk makan siang.” Ali menegaskannya kalau Nia tidak mengerti. “Gue traktir,” tambahnya.Nia meng-oh pendek. “Apa, ya? Geprek, deh!” katanya yang sebetulnya sudah bisa ditebak Ali. “Level rendah aja, lo tau gue sekuat apa.”Ali tersenyum. Ia beralih tempat untuk menawari teman-temannya yang lain.Satu jam kemudian, seseorang datang ke lokasi syuting dan membantu Ali membagikan kotak makan siang pesanan Ali. Nia sudah tidak asing dengan si pengantar pesanan, tentu saja ia ingat. Ia tak akan memanggilnya dengan nama yang salah untuk kedua kali.“Salim!” panggil Nia tanpa ragu.Orang yang kaget bukan Salim, melinkan Ali. Ia terkejut waktu tahu Nia sudah mengenal temannya, si pemilik kedai yang sedan
Mari memasuki hari pertama di mana Nia harus memikirkan soal tawaran Daren untuk menikah. Seperti yang telah dibicarakan kemarin, Daren tidak memberi kesempatan untuk mengatakan 'tidak'. Hanya ada "ya" atau "nanti".Memikirkan hal ini saja, sudah membuat Nia menjadi pusing bukan kepalang.Ia teringat masa itu, beberapa waktu lalu, ketika ia terpaksa menerima cinta Daren hanya karena permintaan papa. Hanya karena papa ingin membalas budi atas kebaikan lelaki itu selama ini, terhadap keluarganya. Entah kebaikan apa itu.Namun, untuk menikah, Nia tentu saja tidak bisa memikirkan hal itu dengan buru-buru. Ini menyangkut masa depan yang akan Nia jalani.Nia tidak mauㅡtidak mungkin mau hidup bersama lelaki yang tidak pas dengannya, di masa depan. Nia tidak bisa menghabiskan sisa hidup dengan lelaki yang tidak asyik bila diajak berbicara. Tidak memahami candaannya. Tak pandai bersenda gurau dengannya. Tidak mampu memahami dirinya.Nia ingin mengakui bahwa
“Ini, Nia.” Papa menyodorkan laptop pada Nia ketika mereka berdua tengah asyik menyantap sarapan di meja makan. Sebentar lagi, Nia akan berangkat ke lokasi syuting dan ngomong-ngomong, ini adalah hari kedua ia harus berpikir soal jawabannya.“Maaf, butuh waktu yang sangat lama untuk papa mengetik kata-kata ini.”Nia tersenyum hangat. “It’s okay, Papa. Nanti malam, kita ngobrol, yuk!” ajaknya untuk membesarkan hati sang papa. “Udah lama kita nggak ngobrol lama, ya, Pa?”Papa mengangguk. Tangannya sambil berusaha tegap untuk mempaskan posisi bibir cangkir itu di mulutnya. Dengan sigap, Nia membantu sang papa untuk meminum susu hangat favoritnya.Nia menghela napasnya. Sebisa mungkin, ia menyembunyikan segala kekhawatiran yang hadir di kepalanya. Ia sedih melihat kondisi sang papa yang kian melemah. Bukan kritis, hanya saja, kekuatan yang dahulu selalu papa punya kini nyaris tak terlihat wu
“Aku bersyukur banget, temen-temen semua pada dukung web series Asmara Citra dan terima kasih atas antusiasnya. Aku bener-bener gak berekspektasi bakalan seramai ini, tapi aku percaya semua pada cinta sama Citra dan Bima. Kami berharap kita semua mendapatkan kepuasan ketika Asmara Citra season 2 ini tayang, eksklusif di aplikasi YouTivi.” Semua bertepuk tangan ketika Nia selesai menyampaikan pidato penutup singkatnya di hadapan para pers dan beberapa pengunjung mal lokasi mereka. Semua antusias begitu melihat Nia berfoto berdua dengan Ali. Semua mendukung hubungan keduanya, meski tidak sedikit yang tahu masing-masing dari mereka sudah memiliki kekasih. Nia tidak lagi. Nia diajak Ali berfoto berdua dengan latar belakang banner web series mereka. Para fans memfoto kedua sejoli itu dengan semarak yang membuncah. Keduanya menganggap mereka berdua betulan berpacaran, seperti dalam film. Keduanya merasa senang karena mer
“Lim, lusa kamu ada jadwal pergi gak?” Nia bertanya saat ia sengaja main ke kedai Salim untuk membeli makan siang. “Jadwal pergi, kamu kira aku artis, Nia?” Salim terkekeh sambil membungkus makan siang yang akan dibawa Nia ke rumah. “Ini keseharian aku, lho. Keliling kedai dari cabang ke cabang. Gitu aja.” “Sehari wajib mengunjungi semua cabang kedai kamu?” Salim menggeleng. “Ya enggaklah, Nia. Sesanggupnya aku. Se-mood aku juga. Kalo aku ada urusan keluarga atau aku lagi gak enak badan, ada kemungkinan aku gak mengunjungi kedai. Emangnya kenapa, Nia?” Nia menggumam sambil bertopang dagu. “Hanya untuk kepentingan sendiri dan keluarga ya?” tanyanya. “Tapi aku kan bukan keluargamu, Lim.” Salim mengernyitkan dahi dan tertawa di hadapan Nia. “Yang bilang gitu juga siapa, Nia?” “Kamu lah tadi.” “Ya, enggak harus itu sih. Kepentinganmu juga oke. Lusa mau dianterin ke mana?” Salim seakan tahu apa yang sejak tadi diko
“Mau es krim rasa apa, Nia?” Salim bertanya sembari turun dari mobil. Nia. Gadis itu masih saja diam sedari makan siang tadi. “Cokelat? Vanila? Bluberi?”“Samain sama kamu aja, Lim.” Hanya itu yang dikatakan Nia. Salim menutup pintu mobil dan pergi ke sana.Sungguh kebetulan yang luar biasa, ia berpapasan dengan Bara yang sedang makan es krim bersama seorang perempuan. Salim menghela napas, ia tahu siapa gadis itu. Seorang gadis yang diceritakan Bara hampir setiap kali mereka berjumpa. Bara yang selalu merasa disakiti oleh gadis itu.“Lim … baru aja gue mau hubungin lo. Mau ke kedai, nih. Makan.” Bara bicara sok asyik. Siapa yang tidak ingat bahwa sebulan yang lalu, lelaki itu merengek-rengek padanya karena merasa tidak diterima oleh si perempuan.Salim meng-oh pendek. “Gue lagi gak ke kedai, nih. Ada urusan dikit.”Bara mengangguk mengerti. Salim pun permisi karena ia sedikit mengk
Ponsel Nia bergetar di saku dan gadis itu menyadarinya. Salim menyayangkan itu karena ini belum cukup lama untuk Nia beristirahat. Seharusnya, gadis itu diberi cukup waktu lagi. Salim berdeham saat Nia mengakhiri panggilan teleponnya dengan seseorang. “Kalau masih capek, kamu bisa tiduran lagi, Nia.” Nia mengangguk. Ia menyandarkan punggungnya dan menghadap ke sebelah kiri. “Kamu kalau bosan diam aja, sambil jalanin mobil juga gak apa-apa, Lim.” “Aku takut ganggu kamu istirahat, Nia.” Nia menggelengkan kepala. “Tidurku udah cukup. Sekarang, aku mau cerita.” Salim meng-oh pendek tanpa suara. Ia lantas menjalankan mobilnya ke arah yang sama sekali belum mereka tentukan. Nia meminta Salim mengecilkan volume lagu yang terputar di mobil. Salim melakukan apa yang diminta. Nia tak juga bicara, hanya menatap ke luar jendela. Entah kalimat apa yang sedang dirangkainya, tetapi Salim tahu itu adalah hal yang teramat penting dan menjadi satu-satun
Nia sudah menyatakan ketidaksiapannya menerima kontrak baru di manajemen saat ini. Ia berkata bahwa ia masih membutuhkan waktu untuk beristirahat dari dunia entertain. Ia harap para pihak manajemen bisa memahami kondisinya. Sebetulnya, beberapa ada yang memihak pada Nia dan memaklumi. Akan tetapi, ada saja yang tidak berada di sandingnya saat ini dan malah berpikir bahwa Nia memiliki kemungkinan akan dilepas dari manajemen. Nia hanya mengatakan bahwa dia akan oke jika pihak manajemen melepasnya. Mungkin bukan lagi masanya. Ia juga bisa dan masih kuat untuk mencari penghasilan dengan cara yang lain. *** “Gue turut sedih atas batalnya pernikahan lo dengan Daren,” ucap Ali dan Kanya—kekasih Ali—yang saat itu sedang mampir ke lokasi syuting di hari terakhir. “Gak perlu sedih gitu, ah!” Nia menepuk bahu Kanya agak keras. Ali membalas Nia untuk Kanya. “Pernikahannya aja baru rencana. Nggak batal karena memang belum ada apa-apa.” Sebetulnya,
Daren menghela napas waktu Nia mengungkap pernyataannya secara jujur—di depan kedua orang tuanya. Nia agak tidak menyangka begitu mengetahui respons mama dan papa Daren yang malah memeluk dan mendukung keputusannya. Mereka bilang, Daren memang keras kepala. Semua orang yakin bahwa bagi Nia, membuat keputusan untuk hidup bersama sungguh memerlukan waktu yang tidak sebentar. Setidaknya lebih dari tiga hari. Nia menatap Daren dengan perasaan tidak enak. Sebetulnya, ia merasa Daren tidak melakukan kesalahan dengan meminta waktu tiga hari untuk berpikir. Bagi Nia, ini bukan masalah waktu, tetapi perasaan. Nia tahu apa yang dia rasakan selama ini dan itu bukan cinta. Lebih lama menunggu jawaban yang ‘sudah pasti tidak’ itu akan lebih menyakitkan buat Daren. Nia menghampiri Daren yang terus menundukkan kepalanya sejak kata ‘tidak’ yang terlontar dari mulut Nia, beberapa menit yang lalu. “Akhirnya, aku bisa mengatakan ini semua, Daren. Maafin aku karena tidak
Suasana sunyi, tetapi tetap terasa ramai di kepala Nia saat ini. Ia sudah dihadapkan dengan Virza yang menantinya untuk bicara. Kurang lebih dua puluh menit berlalu, tetapi tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Nia.Padahal, di telepon Nia berpesan bahwa ia akan membicarakan suatu hal yang penting pada sang papa.Seluruh benda di dalam ruangan, entah itu jam dinding, meja, kursi, bingkai foto, bahkan tembok yang senantiasa bisu itu seolah berteriak menyuruhnya bicara. Sementara di kepalanya, seluruh hal terngiang. Entah hal mana yang akan ia mulai."Apa ini tentang Daren?" Akhirnya, papa lah yang memulai percakapan kali ini.Nia menganggukkan kepalanya. "Itu salah satunya, Pa, tetapi aku akan mulai dengan satu yang paling penting dan yang paling keras berteriak di kepalaku."Virza menaikkan alis, tersirat sebuah tanya, "Apa itu?""Karirku, Pa." Nia menghela napas setelah bersusah payah mengatakan dua kata itu. Payah, padahal ia
“Better?” Salim bertanya setelah Nia sudah siap memasang sabuk pengaman. Mereka akan segera berangkat. Nia sudah duduk mantap di kursi kemudi, sementara Salim berdiri dari luar jendea mobil.“Sebenernya kalau lo masih butuh supir, gue bersedia, lho,” kata Salim lagi.Nia menggelengkan kepala tiga kali. “Enggak perlu, Salim, anaknya Nyonya Salma. Gue bisa nyetir sendiri dan tau jalan pulang, kok.”Salim menangkupkan kedua telapak tangannya lantas mengangguk. “Baik, Nona. Sampai jumpa dan hati-hati di jalan.”“Terima kasih, Abang.”Salim tertawa begitu mendengar gadis itu memanggilnya abang. Nia melenggang pergi menjauhi area perumahan tempat tinggal Salim. Mereka harus berpisah setelah beberapa menit bersama. Hari ini menyenangkan bagi keduanya.Namun, sayangnya, Nia sendiri tidak bisa memungkiri bahwa setelah hari ini, hanya tinggal kurang dari 30 jam waktunya memutuskan ak
“Gimana?” Jenis kata tanya yang nyaris berulang kali papa Nia ajukan kepada Daren siang itu. Sejak pagi, Daren mampir ke rumah sang calon mertua untuk membicarakan pasal pernikahan yang ia yakini akan terjadi itu. Namun, Virza mempertanyakan sesuatu yang bersifat meragukan. Ada begitu banyak pertanyaan yang apabila Daren tangkap, maksudnya hanya satu, “Siapkah Daren menerima Nia dengan segala sifat alaminya?” Berkali-kali, Daren mengatakan ya, ia menerima itu dengan sepenuh hati. Akan tetapi, selalu saja ada celah di mana Virza ragu akan jawaban Daren. Atau ia ragu, Daren akan menerima itu sampain kelak, sampai tua. Ia terlalu khawatir pria itu akan meninggalkan putrinya suatu saat nanti karena tidak tahan dengan sifatnya. “Apa yang ingin papa pastikan lagi?” “Kamu betul-betul menerimanya, bukan hanya menekannya agar mau menerirmamu.” Begitu jawaban Virza. Lama kelamaan, Daren sendiri yang meragu. “Sebaiknya kamu pikirkan dulu, biarkan putriku