Mari memasuki hari pertama di mana Nia harus memikirkan soal tawaran Daren untuk menikah. Seperti yang telah dibicarakan kemarin, Daren tidak memberi kesempatan untuk mengatakan 'tidak'. Hanya ada "ya" atau "nanti".
Memikirkan hal ini saja, sudah membuat Nia menjadi pusing bukan kepalang.
Ia teringat masa itu, beberapa waktu lalu, ketika ia terpaksa menerima cinta Daren hanya karena permintaan papa. Hanya karena papa ingin membalas budi atas kebaikan lelaki itu selama ini, terhadap keluarganya. Entah kebaikan apa itu.
Namun, untuk menikah, Nia tentu saja tidak bisa memikirkan hal itu dengan buru-buru. Ini menyangkut masa depan yang akan Nia jalani.
Nia tidak mauㅡtidak mungkin mau hidup bersama lelaki yang tidak pas dengannya, di masa depan. Nia tidak bisa menghabiskan sisa hidup dengan lelaki yang tidak asyik bila diajak berbicara. Tidak memahami candaannya. Tak pandai bersenda gurau dengannya. Tidak mampu memahami dirinya.
Nia ingin mengakui bahwa sebetulnya, sejak awal, ia merasa Daren memang bukanlah orangnya. Daren bukan belahan jiwanya. Nia tahu itu.
Sekali lagi, semua perasaan, semua kenyamanan yang dipaksa, semua yang Nia terima selama ini ialah atas dasar cintanya terhadap papa. Namun, kapan papanya akan mengerti bahwa kondisi hati itu tak bisa dipaksakan.
Di hari pertama ini, Nia enggan berpikir banyak soal pernikahan. Terserah sajalah. Nia hanya ingin menghirup udara bebas sejenak saja. Sebelum ia ke lokasi syuting di waktu menjelang siang nanti. Ke manakah ia harus pergi pagi ini?
***
"Bro, lo ada kenalan cewek, nggak?" Pertanyaan Salim membuat sosok di hadapannya itu tercengang karena kaget.
Orang itu, Bara, lantas tergelak mendengarnya. "Kesambet apaan lu, Jon? Bisa tiba-tiba nanyain kenalan cewek. Kagak biasanya."
Salim menghela napas, mendengar nama panggilan yang biasa temannya itu lontarkan, 'Jon'. Ngomong-ngomong, temannya itu benar juga, inilah kali pertama ia membahas soal perempuan pada orang lain.
"Ya, sesekali gue gitu ngomongin cewek. Bosen gue dengerin curhat lo mulu tentang cewek."
Bara masih menyisakan tawanya. "Gue heran aja, biasanya lo emang gak begitu peduli kalo soal cinta-cintaan itu. Lo bilang, 'Masih jauh ... entar-entaran aja mikirin cinta!'. Gitu kata lo, kan?" Bara menggoda Salim yang sedang sibuk menahan tawanya.
"Nyokap gue itu yang nanya, ke mana calon mantunya. Lah gue belum ada calon buat jadi mantu doi ...." Salim mengadukan kegundahan hatinya pada sang sahabat. "Gue masih umur 25, masih banyak waktu buat melajang. Senang-senang. Gak pusing mikirin cewek yang bahkan belum pasti dia itu jodoh gue."
"Permisi ...." Bunyi itu terdengar dari pintu masuk kedai milik Salim. Kedua lelaki itu lantas menoleh ke arahnya.
Seberkas cahaya mulai memenuhi pintu masuk itu, seolah menyertai kedatangan sosok bidadari yang sempat hilang, lalu datang kembali. Bara mengedipkan mata berulang kali, ternyata memang benar 'dia'.
Lain halnya dengan Salim yang mulai merasakan kekakuan di sekujur tubuhnya. Bukan tanpa sebab, sebetulnya, Salim merasa ada yang janggal di sini. Bukan juga hanya sekali, Salim merasakan ini setiap kali melihat gadis itu. Anehnya, kekakuan itu hanya muncul di awal saja. Beberapa lama kemudian, ia mulai biasa saja.
"Nia! Apa kabar?" Bara beranjak dari tempat duduk lantas menyambut kedatangan 'mantan' pujaan hatinya dahulu. "Gak syuting?"
Nia tersenyum. "Ini mau sarapan dulu. Berhubung kedai Salim deket dari lokasi, gue mampir, deh, ke sini."
Tidak pernah ada yang tahu, kecuali Nia sendiri, bahwa ia ke mari hanya untuk bertemu Salim dan memperbincangkan sesuatu yang waktu itu sempat tertunda. Entah apa yang membawanya ke sini dan apa yang terpikirkan tentang seseorang yang berbincang dengan pria lain, bahkan di saat kekasihnya menanti jawaban untuk hal lebih serius.
Di satu sisi, Nia merasa aneh. Akan tetapi, di sisi lain, ia tetap merasa melakukan suatu hal yang benar.
"Lo sendiri, Bar, nggak syuting?" Nia bertanya seraya melirik arloji di tangannya.
Bara menyadari itu. "Gue harus berangkat sekarang, nih. Ah ... harusnya lo datang lebih awal, Ni. Gue kangen banget sama lo soalnya."
Ucapan Bara mengundang Nia untuk menyunggingkan senyum. Sementara Salim, lelaki itu terlihat sedang sibuk menyembunyikan sesuatu di balik kedua tangannya di sepanjang percakapan.
"Ya udah kalau gitu, gue pamit, yak! Baik-baik lo berdua." Bara menunjuk kedua temannya itu hingga melewati pintu kedai dan keluar dari sana.
Nia menghela napas begitu Bara pergi.
"Mau pesan apa?" Salim bertanya sembari membawa catatan kecil di tangannya. "Nasi uduk spesial?" tawarnya.
Nia mengangguk. "Itu boleh."
Salim mengangguk paham, lantas berpamit ke dapur sebentar untuk menyiapkan pesanan Nia pagi ini. Harus yang spesial karena ini untuk perempuan yang ... tunggu, spesial?
Sebuah pesan masuk tertera di layar ponsel Salim yang sedang diletakkan karena sedang di-charge. Nama Bara tertera di sana. Salim membuka pesan itu dan membaca dalam hati isinya, "Mungkin, ini pertama kalinya lo bakalan naksir cewek. Secara, dari dulu, gue akui bahwa sosok Nia emang sangat mudah untuk dicintai. Dia cantik, ramah, nggak sombong. Pantas banget untuk mengisi kekosongan hati ini. Cuma sayang, dia udah punya cowok sekarang. Ah, gue jadi nyesel karena pergi dari sana. Harusnya gue bisa lebih lama ngobrol sama Nia."
Salim menyunggingkan seringainya pada Bara melalui ponsel. Meski ia tahu itu tidak ada gunanya karena Bara tak mungkin melihat ekspresi wajahnya itu.
"Permisi lagi," ucap seorang gadis yang kepalanya sudah nongol di balik pintu. "Sorry, boleh gue masuk? Gue bosan duduk di luar."
Salim melongo. Ini kali pertama, ada orang asing yang memasuki area dapurnya. "Sebelumnya, belum pernah ada pelanggan yang diizinkan masuk ke area penuh privasi milik kedai ini," kata Salim dengan nada ragu.
Nia membelalak kaget. Ternyata, ia melakukan kesalahan!
"Ups! Sorry, Salim, gue nggak tau. Oke-oke, gue gak jadi ...."
"Dan lo adalah orang pertama yang kami izinkan. Selamat datang!" Salim melentangkan kedua tangannya dan menunjukkan seisi dapur yang begitu rapi dan bersih itu. "Nggak ada yang menarik di sini, tetapi kalau bisa menghilangkan rasa bosan di hati lo, ya, nggak apa-apa."
Nia tersenyum lantas melangkah maju dan mulai memasuki area dapur. "Lo mau bikin pesanan gue?"
Salim mengangguk mantap. "Lo bisa kelilingin dapur ini selagi nungguin gue menyiapkan pesanan lo."
Nia menggelengkan kepala, membuat Salim merasa heran akan dirinya. Nia pun mengucapkan sebuah permintaan, "Bisa, nggak, pesanan gue dibikinin sama karyawan lo aja?"
Salim memelongo mendengarnya. Ia yang awalnya bersemangat, kini seketika menghentikan aktivitasnya. Ia lantas meletakkan semua alat yang tadi berada anteng di genggaman tangannya. "Tapi kenapa?"
"Nasi uduk itu cuma alasan. Gue cuma butuh lo untuk mendengarkan cerita gue." Nia mengatakan itu dengan tatapan penuh harap. Penuh dengan ketulusan yang membuat Salim, tadinya agak membelalak karena kaget, kini tatapannya tersayu. Ia luluh. Mudah sekali.
Salim memanggil seorang karyawannya yang baru saja datang sambil memakai apron. Ia bicara pada lelaki itu sejenak kemudian menghampiri Nia dan berbisik, "Lo duluan aja ke mobil, nanti gue siapin sarapan yang simple buat lo. Tunggu aja di sana."
Nia tersenyum. Ia pun akhirnya mengikuti permintaan Salim untuk pergi ke mobil dan menunggu lelaki itu datang. Lagipula, waktu syuting dimulai masih cukup lama.
Tidak cukup sampai sepuluh menit Nia duduk di mobil, seseorang malah sudah datang dan mengetuk kaca mobil Nia. Lelaki itu menunjukkan satu porsi sandwich dan sebotol susu rasa stroberi yang kebetulan ia cukup sukai.
"Nggak jadi nasi uduk?" tanya Nia setelah membukakan pintu.
"Lain kali bisa. Kalau kali ini, tujuan lo bukan untuk makan nasi uduk, kan?" tanya Salim yang membuat Nia jadi merasa tidak enak. "Santai aja. Kedai gue akan selalu terbuka untuk lo, kok, meskipun tujuannya bukan untuk makan. Tapi untuk cerita."
Salim tertawa akan leluconnya sendiri, begitu juga yang dirasakan oleh Nia.
“Ini, Nia.” Papa menyodorkan laptop pada Nia ketika mereka berdua tengah asyik menyantap sarapan di meja makan. Sebentar lagi, Nia akan berangkat ke lokasi syuting dan ngomong-ngomong, ini adalah hari kedua ia harus berpikir soal jawabannya.“Maaf, butuh waktu yang sangat lama untuk papa mengetik kata-kata ini.”Nia tersenyum hangat. “It’s okay, Papa. Nanti malam, kita ngobrol, yuk!” ajaknya untuk membesarkan hati sang papa. “Udah lama kita nggak ngobrol lama, ya, Pa?”Papa mengangguk. Tangannya sambil berusaha tegap untuk mempaskan posisi bibir cangkir itu di mulutnya. Dengan sigap, Nia membantu sang papa untuk meminum susu hangat favoritnya.Nia menghela napasnya. Sebisa mungkin, ia menyembunyikan segala kekhawatiran yang hadir di kepalanya. Ia sedih melihat kondisi sang papa yang kian melemah. Bukan kritis, hanya saja, kekuatan yang dahulu selalu papa punya kini nyaris tak terlihat wu
“Gimana?” Jenis kata tanya yang nyaris berulang kali papa Nia ajukan kepada Daren siang itu. Sejak pagi, Daren mampir ke rumah sang calon mertua untuk membicarakan pasal pernikahan yang ia yakini akan terjadi itu. Namun, Virza mempertanyakan sesuatu yang bersifat meragukan. Ada begitu banyak pertanyaan yang apabila Daren tangkap, maksudnya hanya satu, “Siapkah Daren menerima Nia dengan segala sifat alaminya?” Berkali-kali, Daren mengatakan ya, ia menerima itu dengan sepenuh hati. Akan tetapi, selalu saja ada celah di mana Virza ragu akan jawaban Daren. Atau ia ragu, Daren akan menerima itu sampain kelak, sampai tua. Ia terlalu khawatir pria itu akan meninggalkan putrinya suatu saat nanti karena tidak tahan dengan sifatnya. “Apa yang ingin papa pastikan lagi?” “Kamu betul-betul menerimanya, bukan hanya menekannya agar mau menerirmamu.” Begitu jawaban Virza. Lama kelamaan, Daren sendiri yang meragu. “Sebaiknya kamu pikirkan dulu, biarkan putriku
“Better?” Salim bertanya setelah Nia sudah siap memasang sabuk pengaman. Mereka akan segera berangkat. Nia sudah duduk mantap di kursi kemudi, sementara Salim berdiri dari luar jendea mobil.“Sebenernya kalau lo masih butuh supir, gue bersedia, lho,” kata Salim lagi.Nia menggelengkan kepala tiga kali. “Enggak perlu, Salim, anaknya Nyonya Salma. Gue bisa nyetir sendiri dan tau jalan pulang, kok.”Salim menangkupkan kedua telapak tangannya lantas mengangguk. “Baik, Nona. Sampai jumpa dan hati-hati di jalan.”“Terima kasih, Abang.”Salim tertawa begitu mendengar gadis itu memanggilnya abang. Nia melenggang pergi menjauhi area perumahan tempat tinggal Salim. Mereka harus berpisah setelah beberapa menit bersama. Hari ini menyenangkan bagi keduanya.Namun, sayangnya, Nia sendiri tidak bisa memungkiri bahwa setelah hari ini, hanya tinggal kurang dari 30 jam waktunya memutuskan ak
Suasana sunyi, tetapi tetap terasa ramai di kepala Nia saat ini. Ia sudah dihadapkan dengan Virza yang menantinya untuk bicara. Kurang lebih dua puluh menit berlalu, tetapi tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Nia.Padahal, di telepon Nia berpesan bahwa ia akan membicarakan suatu hal yang penting pada sang papa.Seluruh benda di dalam ruangan, entah itu jam dinding, meja, kursi, bingkai foto, bahkan tembok yang senantiasa bisu itu seolah berteriak menyuruhnya bicara. Sementara di kepalanya, seluruh hal terngiang. Entah hal mana yang akan ia mulai."Apa ini tentang Daren?" Akhirnya, papa lah yang memulai percakapan kali ini.Nia menganggukkan kepalanya. "Itu salah satunya, Pa, tetapi aku akan mulai dengan satu yang paling penting dan yang paling keras berteriak di kepalaku."Virza menaikkan alis, tersirat sebuah tanya, "Apa itu?""Karirku, Pa." Nia menghela napas setelah bersusah payah mengatakan dua kata itu. Payah, padahal ia
Daren menghela napas waktu Nia mengungkap pernyataannya secara jujur—di depan kedua orang tuanya. Nia agak tidak menyangka begitu mengetahui respons mama dan papa Daren yang malah memeluk dan mendukung keputusannya. Mereka bilang, Daren memang keras kepala. Semua orang yakin bahwa bagi Nia, membuat keputusan untuk hidup bersama sungguh memerlukan waktu yang tidak sebentar. Setidaknya lebih dari tiga hari. Nia menatap Daren dengan perasaan tidak enak. Sebetulnya, ia merasa Daren tidak melakukan kesalahan dengan meminta waktu tiga hari untuk berpikir. Bagi Nia, ini bukan masalah waktu, tetapi perasaan. Nia tahu apa yang dia rasakan selama ini dan itu bukan cinta. Lebih lama menunggu jawaban yang ‘sudah pasti tidak’ itu akan lebih menyakitkan buat Daren. Nia menghampiri Daren yang terus menundukkan kepalanya sejak kata ‘tidak’ yang terlontar dari mulut Nia, beberapa menit yang lalu. “Akhirnya, aku bisa mengatakan ini semua, Daren. Maafin aku karena tidak
Nia sudah menyatakan ketidaksiapannya menerima kontrak baru di manajemen saat ini. Ia berkata bahwa ia masih membutuhkan waktu untuk beristirahat dari dunia entertain. Ia harap para pihak manajemen bisa memahami kondisinya. Sebetulnya, beberapa ada yang memihak pada Nia dan memaklumi. Akan tetapi, ada saja yang tidak berada di sandingnya saat ini dan malah berpikir bahwa Nia memiliki kemungkinan akan dilepas dari manajemen. Nia hanya mengatakan bahwa dia akan oke jika pihak manajemen melepasnya. Mungkin bukan lagi masanya. Ia juga bisa dan masih kuat untuk mencari penghasilan dengan cara yang lain. *** “Gue turut sedih atas batalnya pernikahan lo dengan Daren,” ucap Ali dan Kanya—kekasih Ali—yang saat itu sedang mampir ke lokasi syuting di hari terakhir. “Gak perlu sedih gitu, ah!” Nia menepuk bahu Kanya agak keras. Ali membalas Nia untuk Kanya. “Pernikahannya aja baru rencana. Nggak batal karena memang belum ada apa-apa.” Sebetulnya,
Ponsel Nia bergetar di saku dan gadis itu menyadarinya. Salim menyayangkan itu karena ini belum cukup lama untuk Nia beristirahat. Seharusnya, gadis itu diberi cukup waktu lagi. Salim berdeham saat Nia mengakhiri panggilan teleponnya dengan seseorang. “Kalau masih capek, kamu bisa tiduran lagi, Nia.” Nia mengangguk. Ia menyandarkan punggungnya dan menghadap ke sebelah kiri. “Kamu kalau bosan diam aja, sambil jalanin mobil juga gak apa-apa, Lim.” “Aku takut ganggu kamu istirahat, Nia.” Nia menggelengkan kepala. “Tidurku udah cukup. Sekarang, aku mau cerita.” Salim meng-oh pendek tanpa suara. Ia lantas menjalankan mobilnya ke arah yang sama sekali belum mereka tentukan. Nia meminta Salim mengecilkan volume lagu yang terputar di mobil. Salim melakukan apa yang diminta. Nia tak juga bicara, hanya menatap ke luar jendela. Entah kalimat apa yang sedang dirangkainya, tetapi Salim tahu itu adalah hal yang teramat penting dan menjadi satu-satun
“Mau es krim rasa apa, Nia?” Salim bertanya sembari turun dari mobil. Nia. Gadis itu masih saja diam sedari makan siang tadi. “Cokelat? Vanila? Bluberi?”“Samain sama kamu aja, Lim.” Hanya itu yang dikatakan Nia. Salim menutup pintu mobil dan pergi ke sana.Sungguh kebetulan yang luar biasa, ia berpapasan dengan Bara yang sedang makan es krim bersama seorang perempuan. Salim menghela napas, ia tahu siapa gadis itu. Seorang gadis yang diceritakan Bara hampir setiap kali mereka berjumpa. Bara yang selalu merasa disakiti oleh gadis itu.“Lim … baru aja gue mau hubungin lo. Mau ke kedai, nih. Makan.” Bara bicara sok asyik. Siapa yang tidak ingat bahwa sebulan yang lalu, lelaki itu merengek-rengek padanya karena merasa tidak diterima oleh si perempuan.Salim meng-oh pendek. “Gue lagi gak ke kedai, nih. Ada urusan dikit.”Bara mengangguk mengerti. Salim pun permisi karena ia sedikit mengk
“Aku bersyukur banget, temen-temen semua pada dukung web series Asmara Citra dan terima kasih atas antusiasnya. Aku bener-bener gak berekspektasi bakalan seramai ini, tapi aku percaya semua pada cinta sama Citra dan Bima. Kami berharap kita semua mendapatkan kepuasan ketika Asmara Citra season 2 ini tayang, eksklusif di aplikasi YouTivi.” Semua bertepuk tangan ketika Nia selesai menyampaikan pidato penutup singkatnya di hadapan para pers dan beberapa pengunjung mal lokasi mereka. Semua antusias begitu melihat Nia berfoto berdua dengan Ali. Semua mendukung hubungan keduanya, meski tidak sedikit yang tahu masing-masing dari mereka sudah memiliki kekasih. Nia tidak lagi. Nia diajak Ali berfoto berdua dengan latar belakang banner web series mereka. Para fans memfoto kedua sejoli itu dengan semarak yang membuncah. Keduanya menganggap mereka berdua betulan berpacaran, seperti dalam film. Keduanya merasa senang karena mer
“Lim, lusa kamu ada jadwal pergi gak?” Nia bertanya saat ia sengaja main ke kedai Salim untuk membeli makan siang. “Jadwal pergi, kamu kira aku artis, Nia?” Salim terkekeh sambil membungkus makan siang yang akan dibawa Nia ke rumah. “Ini keseharian aku, lho. Keliling kedai dari cabang ke cabang. Gitu aja.” “Sehari wajib mengunjungi semua cabang kedai kamu?” Salim menggeleng. “Ya enggaklah, Nia. Sesanggupnya aku. Se-mood aku juga. Kalo aku ada urusan keluarga atau aku lagi gak enak badan, ada kemungkinan aku gak mengunjungi kedai. Emangnya kenapa, Nia?” Nia menggumam sambil bertopang dagu. “Hanya untuk kepentingan sendiri dan keluarga ya?” tanyanya. “Tapi aku kan bukan keluargamu, Lim.” Salim mengernyitkan dahi dan tertawa di hadapan Nia. “Yang bilang gitu juga siapa, Nia?” “Kamu lah tadi.” “Ya, enggak harus itu sih. Kepentinganmu juga oke. Lusa mau dianterin ke mana?” Salim seakan tahu apa yang sejak tadi diko
“Mau es krim rasa apa, Nia?” Salim bertanya sembari turun dari mobil. Nia. Gadis itu masih saja diam sedari makan siang tadi. “Cokelat? Vanila? Bluberi?”“Samain sama kamu aja, Lim.” Hanya itu yang dikatakan Nia. Salim menutup pintu mobil dan pergi ke sana.Sungguh kebetulan yang luar biasa, ia berpapasan dengan Bara yang sedang makan es krim bersama seorang perempuan. Salim menghela napas, ia tahu siapa gadis itu. Seorang gadis yang diceritakan Bara hampir setiap kali mereka berjumpa. Bara yang selalu merasa disakiti oleh gadis itu.“Lim … baru aja gue mau hubungin lo. Mau ke kedai, nih. Makan.” Bara bicara sok asyik. Siapa yang tidak ingat bahwa sebulan yang lalu, lelaki itu merengek-rengek padanya karena merasa tidak diterima oleh si perempuan.Salim meng-oh pendek. “Gue lagi gak ke kedai, nih. Ada urusan dikit.”Bara mengangguk mengerti. Salim pun permisi karena ia sedikit mengk
Ponsel Nia bergetar di saku dan gadis itu menyadarinya. Salim menyayangkan itu karena ini belum cukup lama untuk Nia beristirahat. Seharusnya, gadis itu diberi cukup waktu lagi. Salim berdeham saat Nia mengakhiri panggilan teleponnya dengan seseorang. “Kalau masih capek, kamu bisa tiduran lagi, Nia.” Nia mengangguk. Ia menyandarkan punggungnya dan menghadap ke sebelah kiri. “Kamu kalau bosan diam aja, sambil jalanin mobil juga gak apa-apa, Lim.” “Aku takut ganggu kamu istirahat, Nia.” Nia menggelengkan kepala. “Tidurku udah cukup. Sekarang, aku mau cerita.” Salim meng-oh pendek tanpa suara. Ia lantas menjalankan mobilnya ke arah yang sama sekali belum mereka tentukan. Nia meminta Salim mengecilkan volume lagu yang terputar di mobil. Salim melakukan apa yang diminta. Nia tak juga bicara, hanya menatap ke luar jendela. Entah kalimat apa yang sedang dirangkainya, tetapi Salim tahu itu adalah hal yang teramat penting dan menjadi satu-satun
Nia sudah menyatakan ketidaksiapannya menerima kontrak baru di manajemen saat ini. Ia berkata bahwa ia masih membutuhkan waktu untuk beristirahat dari dunia entertain. Ia harap para pihak manajemen bisa memahami kondisinya. Sebetulnya, beberapa ada yang memihak pada Nia dan memaklumi. Akan tetapi, ada saja yang tidak berada di sandingnya saat ini dan malah berpikir bahwa Nia memiliki kemungkinan akan dilepas dari manajemen. Nia hanya mengatakan bahwa dia akan oke jika pihak manajemen melepasnya. Mungkin bukan lagi masanya. Ia juga bisa dan masih kuat untuk mencari penghasilan dengan cara yang lain. *** “Gue turut sedih atas batalnya pernikahan lo dengan Daren,” ucap Ali dan Kanya—kekasih Ali—yang saat itu sedang mampir ke lokasi syuting di hari terakhir. “Gak perlu sedih gitu, ah!” Nia menepuk bahu Kanya agak keras. Ali membalas Nia untuk Kanya. “Pernikahannya aja baru rencana. Nggak batal karena memang belum ada apa-apa.” Sebetulnya,
Daren menghela napas waktu Nia mengungkap pernyataannya secara jujur—di depan kedua orang tuanya. Nia agak tidak menyangka begitu mengetahui respons mama dan papa Daren yang malah memeluk dan mendukung keputusannya. Mereka bilang, Daren memang keras kepala. Semua orang yakin bahwa bagi Nia, membuat keputusan untuk hidup bersama sungguh memerlukan waktu yang tidak sebentar. Setidaknya lebih dari tiga hari. Nia menatap Daren dengan perasaan tidak enak. Sebetulnya, ia merasa Daren tidak melakukan kesalahan dengan meminta waktu tiga hari untuk berpikir. Bagi Nia, ini bukan masalah waktu, tetapi perasaan. Nia tahu apa yang dia rasakan selama ini dan itu bukan cinta. Lebih lama menunggu jawaban yang ‘sudah pasti tidak’ itu akan lebih menyakitkan buat Daren. Nia menghampiri Daren yang terus menundukkan kepalanya sejak kata ‘tidak’ yang terlontar dari mulut Nia, beberapa menit yang lalu. “Akhirnya, aku bisa mengatakan ini semua, Daren. Maafin aku karena tidak
Suasana sunyi, tetapi tetap terasa ramai di kepala Nia saat ini. Ia sudah dihadapkan dengan Virza yang menantinya untuk bicara. Kurang lebih dua puluh menit berlalu, tetapi tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Nia.Padahal, di telepon Nia berpesan bahwa ia akan membicarakan suatu hal yang penting pada sang papa.Seluruh benda di dalam ruangan, entah itu jam dinding, meja, kursi, bingkai foto, bahkan tembok yang senantiasa bisu itu seolah berteriak menyuruhnya bicara. Sementara di kepalanya, seluruh hal terngiang. Entah hal mana yang akan ia mulai."Apa ini tentang Daren?" Akhirnya, papa lah yang memulai percakapan kali ini.Nia menganggukkan kepalanya. "Itu salah satunya, Pa, tetapi aku akan mulai dengan satu yang paling penting dan yang paling keras berteriak di kepalaku."Virza menaikkan alis, tersirat sebuah tanya, "Apa itu?""Karirku, Pa." Nia menghela napas setelah bersusah payah mengatakan dua kata itu. Payah, padahal ia
“Better?” Salim bertanya setelah Nia sudah siap memasang sabuk pengaman. Mereka akan segera berangkat. Nia sudah duduk mantap di kursi kemudi, sementara Salim berdiri dari luar jendea mobil.“Sebenernya kalau lo masih butuh supir, gue bersedia, lho,” kata Salim lagi.Nia menggelengkan kepala tiga kali. “Enggak perlu, Salim, anaknya Nyonya Salma. Gue bisa nyetir sendiri dan tau jalan pulang, kok.”Salim menangkupkan kedua telapak tangannya lantas mengangguk. “Baik, Nona. Sampai jumpa dan hati-hati di jalan.”“Terima kasih, Abang.”Salim tertawa begitu mendengar gadis itu memanggilnya abang. Nia melenggang pergi menjauhi area perumahan tempat tinggal Salim. Mereka harus berpisah setelah beberapa menit bersama. Hari ini menyenangkan bagi keduanya.Namun, sayangnya, Nia sendiri tidak bisa memungkiri bahwa setelah hari ini, hanya tinggal kurang dari 30 jam waktunya memutuskan ak
“Gimana?” Jenis kata tanya yang nyaris berulang kali papa Nia ajukan kepada Daren siang itu. Sejak pagi, Daren mampir ke rumah sang calon mertua untuk membicarakan pasal pernikahan yang ia yakini akan terjadi itu. Namun, Virza mempertanyakan sesuatu yang bersifat meragukan. Ada begitu banyak pertanyaan yang apabila Daren tangkap, maksudnya hanya satu, “Siapkah Daren menerima Nia dengan segala sifat alaminya?” Berkali-kali, Daren mengatakan ya, ia menerima itu dengan sepenuh hati. Akan tetapi, selalu saja ada celah di mana Virza ragu akan jawaban Daren. Atau ia ragu, Daren akan menerima itu sampain kelak, sampai tua. Ia terlalu khawatir pria itu akan meninggalkan putrinya suatu saat nanti karena tidak tahan dengan sifatnya. “Apa yang ingin papa pastikan lagi?” “Kamu betul-betul menerimanya, bukan hanya menekannya agar mau menerirmamu.” Begitu jawaban Virza. Lama kelamaan, Daren sendiri yang meragu. “Sebaiknya kamu pikirkan dulu, biarkan putriku