“Sesuai aplikasi, ya, Mas!” Nia berujar untuk yang kedua kalinya karena supir taksi tersebut tidak juga bergerak menginjak pedal gasnya.
“Mas! Ayo, dong, cepetan! Ini saya lagi menghindari orang jahat, nih. Saya lagi dalam bahaya,” ujar Nia dengan suara tergesa-gesa. Berharap supir itu langsung mengerti dan membawa mobilnya pergi dari sana.
Supir itu mengegas lurus. Ia tau, ada kesalahpahaman di sini. Akan tetapi, ia belum berani menanyakan hal itu karena ia merasa perempuan yang duduk di jok belakangnya itu sedang khawatir.
Di tengah perjalanan, barulah Nia menyadari bahwa si supir taksinya ini membawanya ke jalan yang salah. Nia protes. “Mas, tau jalannya, nggak, sih?” tanyanya dengan nada kesal.
“Maaf, Mbak, tapi saya ....”
“Untung aja udah jauh dari kedai dan saya gak dilihat sama orang itu. Ya udah, sekarang jalan langsung ke tujuan aja!” perintah Nia sambil membuka kunci ponselnya dan mendapati delapan panggilan tak terjawab dari Daren.
Dan satu panggilan dari Ali.
“Halo, Li? Kenapa? Daren lihat lo?” tembaknya selepas mengangkat telepon.
“Enggak. Lo di mana, sih, udah dipesenin taksi bukannya naik malah minggat. Supirnya nungguin, nih!” Ali menggerutu di seberang telepon.
Ha? Taksi? Ini Nia sudah duduk aman di jok mobil taksi.
“Ini gue udah naik,” ucapnya.
“Hah? Lo naik taksi mana?” Ali bertanya kaget.
Nia memelotot. “Jadi, maksud lo gue salah naik taksi?” tanyanya. Ia langsung tahu karena tak mungkin Ali bicara begitu kalau keadaannya aman-aman saja. Nia pun memutuskan sambungan telepon dengan Ali.
“Mas,” sapa Nia dari belakang. “Mas tukang taksi online bukan, ya?”
Mendengar pertanyaan Nia yang bernada ragu itu, si supir tertawa. Hanya tertawa sambil memfokuskan pandangannya ke jalan raya.
“Mas, jawab, dong! Malah ketawa,” gerutu Nia.
Bukannya menjawab pertanyaan Nia, lelaki itu malah berkata, “Sekarang, kamu kasih tau dulu ke mana tujuanmu itu. Nanti saya kasih tau siapa saya.”
Nia menggeleng dan menyuruh supir tersebut untuk setop. “Kamu kalo tau saya salah naik, ya, ngomong, dong! Malah bawa saya ke mana ini, gak tau. Setop!”
Lelaki itu menepikan mobilnya di depan minimarket pinggir jalan. Mengunci mobilnya ketika Nia hendak keluar. “Tunggu dulu, kamu sudah menganggap saya supir taksi, bayar biayanya dulu sebelum pergi!” katanya.
Nia mengembuskan napasnya kemudian merogoh tas, mencari beberapa lembar uang cash untuk membayar biaya taksi tersebut. Namun, lagi-lagi lelaki itu tertawa. “Saya cuma bercanda. Saya berniat mengantar kamu ke tempat tujuan karena tanggung, saya sudah melenggang jauh dari tempat tujuan saya sebelumnya.”
Nia diam. Ia kembali memasukkan uang ke dalam tas dan menutupnya kembali. “Mau ke rumah.”
“Kasih tahu saya alamatmu, biar saya antar.”
“Boleh gak kalau ngomongnya lo-gue aja? Gak biasa gue ngobrol pakai saya-kamu.” Nia berujar dengan nada seenaknya. “Kalau gak bisa, ya, udah ... rumah saya—”
“Bisa. Sebutin aja!”
Nia menyebutkan alamat rumahnya dengan tepat dan lelaki itu menyanggupi. Akhirnya mereka pergi ke tempat yang disebut Nia, dengan santai asalkan sampai. Ya, sudah sampai.
Nia berterimakasih dan bermaksud mengajak lelaki itu singgah. Mbak Uli pasti sudah menyiapkan sesuatu untuk makan siang. Namun, begitu ia turun, sebuah mobil juga kebetulan tiba dengan seorang supir yang turun dan menyerahkan paket makan siang yang tadi dipesannya bersama Ali. Ia berterimakasih lalu memberi supir itu tip.
Sementara lelaki yang menyetir mobil tadi ikut turun dan entah mengapa malah menghampiri Nia. Perasaan, Nia belum bicara mengenai tawaran makan siang, deh.
“Pesan makan di Ngopie, ya?” Lelaki itu bertanya sambil menunjuk kantong kresek yang dipegang Nia.
“Iya.”
“Suka makan di sana?”
Nia diam sambil bergidik bahu. “Em ... belum bisa jawab, sih. Soalnya baru pertama kali makan.”
Lelaki itu meng-oh panjang. Barulah ia teringat bahwa mereka belum saling mengenal satu sama lain. Lelaki itu menyodorkan tangan kanannya dan berujar, “Gue Salim.”
Nia mengangguk dan menjabat tangan lelaki di hadapannya itu. “Ya, salam kenal, Salim.”
“Dan lo?”
Nia mengernyit begitu mendengar Salim menanyakan namanya. “Mohon maaf, nih. Emangnya, lo gak kenal gue? Gak pernah lewat gitu di TV atau Media Sosial lo?” tanyanya merasa aneh.
Masa ada yang tidak mengenal namanya?
Alenia Firta Anjaya. Nia, lho!
Salim tertawa kecil melihat kebingungan di wajah gadis itu. “Bercanda ... tau, kok. Pemain, kan?”
Maksudnya, pemain film. Nia mengangguk lega.
“Siapa, sih, yang gak kenal Alenia yang lagi viral series-nya?” goda Salim. Nia tersipu.
“Kali aja lo gak tau.”
“Tau lah ... lo pernah jadi lawan mainnya sahabat gue.” Salim bicara sambil menyandarkan tubuhnya di pintu mobil. “Si Bara.”
Mulut Nia membulat seketika. “Oh, astaga ... lo pemilik kedai Ngopie?” Nia memastikan apakah ucapan Ali tadi benar dan dapat dipercaya atau tidak. “Malah gue kira supir taksi!”
Salim malah mengernyit keheranan. “Kenapa lo bisa tau kalau gue ....”
“Dari Ali.”
Salim tak heran akan hal itu. Semenjak Bara mempromosikan dagangannya, kedainya jadi viral seketika di kalangan artis. Ini keuntungan buat Salim dan ia sangat bersyukur karena hal itu. “Makasih sudah pesan di kedai Ngopie,” ucap Salim.
Nia mengangguk. “Makasihnya ke Ali, gue aja masih ngutang duit dia soalnya tadi buru-buru.”
Salim hanya mengiakan lalu segera pamit pulang. Ia tak tahan mendengar permintaan maaf dari Nia yang berterusan gara-gara mengira dirinya adalah supir taksi. Di sepanjang perjalanan meninggalkan rumah gadis itu, Salim hanya bisa tertawa sendiri. Tertawa karena memang lucu.
Dari awal, dari ketika gadis itu memasuki mobil dan bertingkah selayaknya seorang bos memerintah bawahannya. Selanjutnya sewaktu gadis itu menyadari bahwa dirinya salah, dan berulangkali meminta maaf meski disertai rasa gengsi. Hal itu terasa lucu jika ditayang ulang di kepala Salim.
Akan tetapi, kira-kira hal apa yang membuat gadis itu terlihat khawatir dan ingin buru-buru pergi?
***
Mobil Daren tiba di rumah Nia yang artinya akan ada bencana terjadi di kamar gadis itu. Daren akan marah karena teleponnya tidak diangkat. Daren akan mengamuk karena Nia tidak pulang bersamanya.Seperti biasa, sesampainya di rumah, Daren menyapa papa Nia yang sedang melamun di teras. Berjemur meski waktunya tak sesuai.
“Pa,” sapanya.
Firza Adinata, papa Nia yang sedang terduduk kaku di kursi itu hanya bisa tersenyum lega. Melihat sosok yang sudah dianggapnya seperti putra sendiri itu tiba, meluangkan waktu bersama putri kandungnya. Putri kesayangannya.
“Izin ngobrol sama Nia, ya, Pa.”
Firza mengangguk.
Daren melangkah. Mengetuk kamar Nia, menunggu gadis itu entah melakukan apa hingga harus menghabiskan waktu lama untuk membukakan pintu.
Nia nongol. “Sabar, sih ....”
“Kenapa bukanya lama?” Daren bertanya sambil memperhatikan sekeliling kamar Nia. “Nyembunyiin apa dari aku?”
“Gila kamu! Curigaan mulu sama aku,” celetuk Nia sambil berjalan mundur. Ia duduk dan kembali membuka laptopnya yang tadi ia tinggal untuk pergi ke toilet. “Dari toilet aku.”
Daren meng-oh pendek. “Kenapa pulang duluan? Pulang sama siapa?”
“Taksi online.”
“Supirnya cewek atau cowok?”
Nia mengernyit keheranan sekaligus tidak percaya dengan pertanyaan Daren itu. “Astaga, Sayang. Itu hanya supir taksi ....”
Daren menggidikkan bahu. “Aku gak peduli. Kalo dia cowok, ya, gak boleh. Kamu, kan pacarku.”
Nia mengembuskan napasnya kasar lalu bergumam dengan suara kecil, “Ya, kalo bukan atas permintaan papa juga aku gak mau jadi pacar kamu.”
Daren menata sebuah meja di salah satu dinding Nia yang kosong. Tempat yang sering dijadikan background oleh Daren untuk video di kanal YouTube-nya. Ya, Nia sudah hafal, jika Daren melakukan itu pasti untuk membuat konten.
Konten yang itu-itu saja.
“Ngonten apa?” tanya Nia dengan nada malas.
“QnA,” jawab Daren sambil tersenyum seenaknya. Ia merapikan beberapa bingkai foto Nia yang dapat terlihat di belakang punggungnya.
“Lagi?!” Nia membelalak.
Daren mengangguk. “Iya lah. Kamu gak lihat InstaStory aku? Banyak banget pertanyaan buat QnA. Mereka suka aku bikin QnA bareng kamu.”
“Dan sekarang bareng aku lagi?” Nia bertanya enggan.
“Iya, dong! Tapi kamu gak nongol di kamera juga gak apa-apa. Kamu kayaknya lagi badmood, ya?” Daren bicara seolah melihat ekspresi Nia padahal lelaki itu sedang sibuk menata kamera.
“Hmm ....” Nia hanya berdeham.
“It’s okay ... penontonku bakalan tetep lega, deh, soalnya aku bikin video di rumah kamu. Walaupun kamu gak ikut.”
Nia hanya memutar bola matanya. Malas menanggapi tingkah Daren. Lelaki itu pun ber-opening.
“Hello, Guys! Welcome back to my channel. Gue Daren Sanjaya dan hari ini, gue akan jawab pertanyaan-pertanyaan yang udah kalian ajuin di Question Box di Instastory gue.”
Diam-diam, Nia mencibir kekasihnya itu.
“Seperti yang kalian tau, gue lagi ada di rumah pacar gue. Alenia. Mau lihat dia? Anaknya lagi badmood, tuh!” Daren memutar kameranya dan menyoroti Nia yang sedang menatap layar laptop sambil cemberut. “Lagi ngambek, kayaknya, tapi tetep ngegemesin, kan? Iyalah, pacar gue gitu, lho.”
Nia rasanya ingin muntah. Bulshit sekali si Daren itu!
“Sayang, hari ini aku gak bisa jemput kamu, ya. Ada meeting dadakan sama anak-anak YouTube, mau ngadain collab besar-besaran.”Nia yang mendengar itu langsung terperanjat, senang bukan main. Setelah berbulan-bulan, akhirnya ia bisa bebas keluar main, tanpa harus diikuti lelaki manipulatif itu. Ah, sepertinya bahasa Nia terlalu kasar.“Jangan lupa senang-senang, ya,” ucap Nia dengan nada yang tersendat-sendat, saking senangnya.“Wah … pacarku kayaknya ngambek.” Daren bicara seolah ada orang lain di dekatnya. Nia tau itu karena kalau tidak ada orang, sudah pasti nada bicaranya berbeda. “Gak jadi ngumpul, deh!”Yah, jangan gitu, dong! Baru juga Nia mau seneng.“Eh, aku gak marah ….” Nia bicara dengan nada memohon. Ya, memohon agar lelaki itu menyingkir biarpun hanya sehari.“He he … ya udah, ya, Sayang. Aku lagi di jalan sama anak-anak,
Semenjak kedatangan Bara ke kedai siang tadi, seketika pintu mulai dipenuhi orang-orang yang berlalu-lalang untuk membeli. Benar-benar keuntungan double buat Salim. Ya, meskipun kadang, Bara datang dengan membawa topik yang diulang-ulang dan terdengar membosankan, yakni tentang dirinya yang suka di-PHP-in cewek—kasihan ganteng-ganteng kena PHP, tetapi setidaknya, lelaki itu bersedia membayar lebih dan mendatangkan keuntungan lain lewat fans-fans yang modus mau ngelihat sosok artis yang lagi tenar itu sedang makan.“Bara … Bara, kagak bosen, ya, lo. Setiap kali ke sini, cerita topiknya sama melulu? Kuping gue, nih, aja udah hafal sampe titik, koma, tanda tanya cerita lo itu, tau!” Salim menggerutu sembari menyuguhkan minuman yang dipesan sahabatnya itu.Bara menghela napasnya. “Jahat banget lo, Lim. Sama sahabat sendiri begitu amat.”Salim terkekeh. Merasa kepanasan karena ledekan sahabatnya itu, Bara pun buru-buru me
Entah kesambet apa Daren malam ini. Lelaki itu membawa Nia ke apartemennya. Mengajaknya memasak makan malam untuk disantap berdua. Ketika Nia bertanya, Daren hanya menjawab, “Gak apa-apa, biar romantis.”Kedua sejoli itu telah menyelesaikan sesi masak berdua. Meski hanya spaghetti instan, tetapi itu akan merealisasikan makan malam romantis yang diniat-niatkan oleh Daren sejak siang tadi.Nia menyajikan spaghetti itu di piring miliknya dan milik Daren, sementara sang kekasih sibuk mempotret dirinya. Awalnya Nia curiga, ini hanya untuk konten. Akan tetapi, Daren berhasil menepis kecurigaannya dengan berkata, “Aku gak mau share foto ini ke medsos. Buat simpanan pribadi aja.”“What? Tumben?” Nia bertanya sambil mengembalikan peralatan masak itu ke tempat cuci piring.Tanpa Nia sadari, Daren mengikuti langkahnya dari belakang. Nia semakin merasa keheranan. Lelaki itu tersenyum padanya, senyuman yang begitu
Di perjalanan, hanya keheningan yang terjadi. Tidak ada lagi kalimat basa-basi antara dua sejoli itu. Hanya ada dentingan piano sebagai intro sebuah lagu yang akan terputar saat itu.Nia merasa bersalah begitu tahu bahwa Daren tahu tentang kegiatan sarapan itu. Sekaligus merasa tidak enak hati begitu memahami keromantisan yang sedang dijalani Daren adalah sebuah taktik, tujuannya apa, Nia tidak tahu.“Alenia ….” Daren memanggil seraya fokus menyetir.“Apa?”“Aku di sini sedang kamu anggap apa?”Tidak ada yang bisa Nia jawab untuk pertanyaan Daren barusan itu selain, “Hah?”Daren tersenyum dan menolehkan kepala. “Ya, aku ini kamu anggap apa sekarang? Pacar? Patung? Atau … supir taksi? Kok, dicuekin?”Nia meng-oh panjang. Ternyata itu maksudnya. Ah, semenjak ia menyelesaikan analisisnya terhadap perubahan sikap Daren akhir-akhir ini,
“Nia, mau pesan apa?” Ali menawarkan traktiran siang ini. Kebetulan, ia sedang mengadakan syukuran kecil-kecilan atas lahirnya keponakan pertama. Anak dari kakak perempuannya.“Untuk makan siang.” Ali menegaskannya kalau Nia tidak mengerti. “Gue traktir,” tambahnya.Nia meng-oh pendek. “Apa, ya? Geprek, deh!” katanya yang sebetulnya sudah bisa ditebak Ali. “Level rendah aja, lo tau gue sekuat apa.”Ali tersenyum. Ia beralih tempat untuk menawari teman-temannya yang lain.Satu jam kemudian, seseorang datang ke lokasi syuting dan membantu Ali membagikan kotak makan siang pesanan Ali. Nia sudah tidak asing dengan si pengantar pesanan, tentu saja ia ingat. Ia tak akan memanggilnya dengan nama yang salah untuk kedua kali.“Salim!” panggil Nia tanpa ragu.Orang yang kaget bukan Salim, melinkan Ali. Ia terkejut waktu tahu Nia sudah mengenal temannya, si pemilik kedai yang sedan
Mari memasuki hari pertama di mana Nia harus memikirkan soal tawaran Daren untuk menikah. Seperti yang telah dibicarakan kemarin, Daren tidak memberi kesempatan untuk mengatakan 'tidak'. Hanya ada "ya" atau "nanti".Memikirkan hal ini saja, sudah membuat Nia menjadi pusing bukan kepalang.Ia teringat masa itu, beberapa waktu lalu, ketika ia terpaksa menerima cinta Daren hanya karena permintaan papa. Hanya karena papa ingin membalas budi atas kebaikan lelaki itu selama ini, terhadap keluarganya. Entah kebaikan apa itu.Namun, untuk menikah, Nia tentu saja tidak bisa memikirkan hal itu dengan buru-buru. Ini menyangkut masa depan yang akan Nia jalani.Nia tidak mauㅡtidak mungkin mau hidup bersama lelaki yang tidak pas dengannya, di masa depan. Nia tidak bisa menghabiskan sisa hidup dengan lelaki yang tidak asyik bila diajak berbicara. Tidak memahami candaannya. Tak pandai bersenda gurau dengannya. Tidak mampu memahami dirinya.Nia ingin mengakui bahwa
“Ini, Nia.” Papa menyodorkan laptop pada Nia ketika mereka berdua tengah asyik menyantap sarapan di meja makan. Sebentar lagi, Nia akan berangkat ke lokasi syuting dan ngomong-ngomong, ini adalah hari kedua ia harus berpikir soal jawabannya.“Maaf, butuh waktu yang sangat lama untuk papa mengetik kata-kata ini.”Nia tersenyum hangat. “It’s okay, Papa. Nanti malam, kita ngobrol, yuk!” ajaknya untuk membesarkan hati sang papa. “Udah lama kita nggak ngobrol lama, ya, Pa?”Papa mengangguk. Tangannya sambil berusaha tegap untuk mempaskan posisi bibir cangkir itu di mulutnya. Dengan sigap, Nia membantu sang papa untuk meminum susu hangat favoritnya.Nia menghela napasnya. Sebisa mungkin, ia menyembunyikan segala kekhawatiran yang hadir di kepalanya. Ia sedih melihat kondisi sang papa yang kian melemah. Bukan kritis, hanya saja, kekuatan yang dahulu selalu papa punya kini nyaris tak terlihat wu
“Gimana?” Jenis kata tanya yang nyaris berulang kali papa Nia ajukan kepada Daren siang itu. Sejak pagi, Daren mampir ke rumah sang calon mertua untuk membicarakan pasal pernikahan yang ia yakini akan terjadi itu. Namun, Virza mempertanyakan sesuatu yang bersifat meragukan. Ada begitu banyak pertanyaan yang apabila Daren tangkap, maksudnya hanya satu, “Siapkah Daren menerima Nia dengan segala sifat alaminya?” Berkali-kali, Daren mengatakan ya, ia menerima itu dengan sepenuh hati. Akan tetapi, selalu saja ada celah di mana Virza ragu akan jawaban Daren. Atau ia ragu, Daren akan menerima itu sampain kelak, sampai tua. Ia terlalu khawatir pria itu akan meninggalkan putrinya suatu saat nanti karena tidak tahan dengan sifatnya. “Apa yang ingin papa pastikan lagi?” “Kamu betul-betul menerimanya, bukan hanya menekannya agar mau menerirmamu.” Begitu jawaban Virza. Lama kelamaan, Daren sendiri yang meragu. “Sebaiknya kamu pikirkan dulu, biarkan putriku
“Aku bersyukur banget, temen-temen semua pada dukung web series Asmara Citra dan terima kasih atas antusiasnya. Aku bener-bener gak berekspektasi bakalan seramai ini, tapi aku percaya semua pada cinta sama Citra dan Bima. Kami berharap kita semua mendapatkan kepuasan ketika Asmara Citra season 2 ini tayang, eksklusif di aplikasi YouTivi.” Semua bertepuk tangan ketika Nia selesai menyampaikan pidato penutup singkatnya di hadapan para pers dan beberapa pengunjung mal lokasi mereka. Semua antusias begitu melihat Nia berfoto berdua dengan Ali. Semua mendukung hubungan keduanya, meski tidak sedikit yang tahu masing-masing dari mereka sudah memiliki kekasih. Nia tidak lagi. Nia diajak Ali berfoto berdua dengan latar belakang banner web series mereka. Para fans memfoto kedua sejoli itu dengan semarak yang membuncah. Keduanya menganggap mereka berdua betulan berpacaran, seperti dalam film. Keduanya merasa senang karena mer
“Lim, lusa kamu ada jadwal pergi gak?” Nia bertanya saat ia sengaja main ke kedai Salim untuk membeli makan siang. “Jadwal pergi, kamu kira aku artis, Nia?” Salim terkekeh sambil membungkus makan siang yang akan dibawa Nia ke rumah. “Ini keseharian aku, lho. Keliling kedai dari cabang ke cabang. Gitu aja.” “Sehari wajib mengunjungi semua cabang kedai kamu?” Salim menggeleng. “Ya enggaklah, Nia. Sesanggupnya aku. Se-mood aku juga. Kalo aku ada urusan keluarga atau aku lagi gak enak badan, ada kemungkinan aku gak mengunjungi kedai. Emangnya kenapa, Nia?” Nia menggumam sambil bertopang dagu. “Hanya untuk kepentingan sendiri dan keluarga ya?” tanyanya. “Tapi aku kan bukan keluargamu, Lim.” Salim mengernyitkan dahi dan tertawa di hadapan Nia. “Yang bilang gitu juga siapa, Nia?” “Kamu lah tadi.” “Ya, enggak harus itu sih. Kepentinganmu juga oke. Lusa mau dianterin ke mana?” Salim seakan tahu apa yang sejak tadi diko
“Mau es krim rasa apa, Nia?” Salim bertanya sembari turun dari mobil. Nia. Gadis itu masih saja diam sedari makan siang tadi. “Cokelat? Vanila? Bluberi?”“Samain sama kamu aja, Lim.” Hanya itu yang dikatakan Nia. Salim menutup pintu mobil dan pergi ke sana.Sungguh kebetulan yang luar biasa, ia berpapasan dengan Bara yang sedang makan es krim bersama seorang perempuan. Salim menghela napas, ia tahu siapa gadis itu. Seorang gadis yang diceritakan Bara hampir setiap kali mereka berjumpa. Bara yang selalu merasa disakiti oleh gadis itu.“Lim … baru aja gue mau hubungin lo. Mau ke kedai, nih. Makan.” Bara bicara sok asyik. Siapa yang tidak ingat bahwa sebulan yang lalu, lelaki itu merengek-rengek padanya karena merasa tidak diterima oleh si perempuan.Salim meng-oh pendek. “Gue lagi gak ke kedai, nih. Ada urusan dikit.”Bara mengangguk mengerti. Salim pun permisi karena ia sedikit mengk
Ponsel Nia bergetar di saku dan gadis itu menyadarinya. Salim menyayangkan itu karena ini belum cukup lama untuk Nia beristirahat. Seharusnya, gadis itu diberi cukup waktu lagi. Salim berdeham saat Nia mengakhiri panggilan teleponnya dengan seseorang. “Kalau masih capek, kamu bisa tiduran lagi, Nia.” Nia mengangguk. Ia menyandarkan punggungnya dan menghadap ke sebelah kiri. “Kamu kalau bosan diam aja, sambil jalanin mobil juga gak apa-apa, Lim.” “Aku takut ganggu kamu istirahat, Nia.” Nia menggelengkan kepala. “Tidurku udah cukup. Sekarang, aku mau cerita.” Salim meng-oh pendek tanpa suara. Ia lantas menjalankan mobilnya ke arah yang sama sekali belum mereka tentukan. Nia meminta Salim mengecilkan volume lagu yang terputar di mobil. Salim melakukan apa yang diminta. Nia tak juga bicara, hanya menatap ke luar jendela. Entah kalimat apa yang sedang dirangkainya, tetapi Salim tahu itu adalah hal yang teramat penting dan menjadi satu-satun
Nia sudah menyatakan ketidaksiapannya menerima kontrak baru di manajemen saat ini. Ia berkata bahwa ia masih membutuhkan waktu untuk beristirahat dari dunia entertain. Ia harap para pihak manajemen bisa memahami kondisinya. Sebetulnya, beberapa ada yang memihak pada Nia dan memaklumi. Akan tetapi, ada saja yang tidak berada di sandingnya saat ini dan malah berpikir bahwa Nia memiliki kemungkinan akan dilepas dari manajemen. Nia hanya mengatakan bahwa dia akan oke jika pihak manajemen melepasnya. Mungkin bukan lagi masanya. Ia juga bisa dan masih kuat untuk mencari penghasilan dengan cara yang lain. *** “Gue turut sedih atas batalnya pernikahan lo dengan Daren,” ucap Ali dan Kanya—kekasih Ali—yang saat itu sedang mampir ke lokasi syuting di hari terakhir. “Gak perlu sedih gitu, ah!” Nia menepuk bahu Kanya agak keras. Ali membalas Nia untuk Kanya. “Pernikahannya aja baru rencana. Nggak batal karena memang belum ada apa-apa.” Sebetulnya,
Daren menghela napas waktu Nia mengungkap pernyataannya secara jujur—di depan kedua orang tuanya. Nia agak tidak menyangka begitu mengetahui respons mama dan papa Daren yang malah memeluk dan mendukung keputusannya. Mereka bilang, Daren memang keras kepala. Semua orang yakin bahwa bagi Nia, membuat keputusan untuk hidup bersama sungguh memerlukan waktu yang tidak sebentar. Setidaknya lebih dari tiga hari. Nia menatap Daren dengan perasaan tidak enak. Sebetulnya, ia merasa Daren tidak melakukan kesalahan dengan meminta waktu tiga hari untuk berpikir. Bagi Nia, ini bukan masalah waktu, tetapi perasaan. Nia tahu apa yang dia rasakan selama ini dan itu bukan cinta. Lebih lama menunggu jawaban yang ‘sudah pasti tidak’ itu akan lebih menyakitkan buat Daren. Nia menghampiri Daren yang terus menundukkan kepalanya sejak kata ‘tidak’ yang terlontar dari mulut Nia, beberapa menit yang lalu. “Akhirnya, aku bisa mengatakan ini semua, Daren. Maafin aku karena tidak
Suasana sunyi, tetapi tetap terasa ramai di kepala Nia saat ini. Ia sudah dihadapkan dengan Virza yang menantinya untuk bicara. Kurang lebih dua puluh menit berlalu, tetapi tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Nia.Padahal, di telepon Nia berpesan bahwa ia akan membicarakan suatu hal yang penting pada sang papa.Seluruh benda di dalam ruangan, entah itu jam dinding, meja, kursi, bingkai foto, bahkan tembok yang senantiasa bisu itu seolah berteriak menyuruhnya bicara. Sementara di kepalanya, seluruh hal terngiang. Entah hal mana yang akan ia mulai."Apa ini tentang Daren?" Akhirnya, papa lah yang memulai percakapan kali ini.Nia menganggukkan kepalanya. "Itu salah satunya, Pa, tetapi aku akan mulai dengan satu yang paling penting dan yang paling keras berteriak di kepalaku."Virza menaikkan alis, tersirat sebuah tanya, "Apa itu?""Karirku, Pa." Nia menghela napas setelah bersusah payah mengatakan dua kata itu. Payah, padahal ia
“Better?” Salim bertanya setelah Nia sudah siap memasang sabuk pengaman. Mereka akan segera berangkat. Nia sudah duduk mantap di kursi kemudi, sementara Salim berdiri dari luar jendea mobil.“Sebenernya kalau lo masih butuh supir, gue bersedia, lho,” kata Salim lagi.Nia menggelengkan kepala tiga kali. “Enggak perlu, Salim, anaknya Nyonya Salma. Gue bisa nyetir sendiri dan tau jalan pulang, kok.”Salim menangkupkan kedua telapak tangannya lantas mengangguk. “Baik, Nona. Sampai jumpa dan hati-hati di jalan.”“Terima kasih, Abang.”Salim tertawa begitu mendengar gadis itu memanggilnya abang. Nia melenggang pergi menjauhi area perumahan tempat tinggal Salim. Mereka harus berpisah setelah beberapa menit bersama. Hari ini menyenangkan bagi keduanya.Namun, sayangnya, Nia sendiri tidak bisa memungkiri bahwa setelah hari ini, hanya tinggal kurang dari 30 jam waktunya memutuskan ak
“Gimana?” Jenis kata tanya yang nyaris berulang kali papa Nia ajukan kepada Daren siang itu. Sejak pagi, Daren mampir ke rumah sang calon mertua untuk membicarakan pasal pernikahan yang ia yakini akan terjadi itu. Namun, Virza mempertanyakan sesuatu yang bersifat meragukan. Ada begitu banyak pertanyaan yang apabila Daren tangkap, maksudnya hanya satu, “Siapkah Daren menerima Nia dengan segala sifat alaminya?” Berkali-kali, Daren mengatakan ya, ia menerima itu dengan sepenuh hati. Akan tetapi, selalu saja ada celah di mana Virza ragu akan jawaban Daren. Atau ia ragu, Daren akan menerima itu sampain kelak, sampai tua. Ia terlalu khawatir pria itu akan meninggalkan putrinya suatu saat nanti karena tidak tahan dengan sifatnya. “Apa yang ingin papa pastikan lagi?” “Kamu betul-betul menerimanya, bukan hanya menekannya agar mau menerirmamu.” Begitu jawaban Virza. Lama kelamaan, Daren sendiri yang meragu. “Sebaiknya kamu pikirkan dulu, biarkan putriku