Home / All / Lie of Life / Bara yang Selalu Tersakiti

Share

Bara yang Selalu Tersakiti

last update Last Updated: 2021-09-28 15:27:18

Semenjak kedatangan Bara ke kedai siang tadi, seketika pintu mulai dipenuhi orang-orang yang berlalu-lalang untuk membeli. Benar-benar keuntungan double buat Salim. Ya, meskipun kadang, Bara datang dengan membawa topik yang diulang-ulang dan terdengar membosankan, yakni tentang dirinya yang suka di-PHP-in cewek—kasihan ganteng-ganteng kena PHP, tetapi setidaknya, lelaki itu bersedia membayar lebih dan mendatangkan keuntungan lain lewat fans-fans yang modus mau ngelihat sosok artis yang lagi tenar itu sedang makan.

“Bara … Bara, kagak bosen, ya, lo. Setiap kali ke sini, cerita topiknya sama melulu? Kuping gue, nih, aja udah hafal sampe titik, koma, tanda tanya cerita lo itu, tau!” Salim menggerutu sembari menyuguhkan minuman yang dipesan sahabatnya itu.

Bara menghela napasnya. “Jahat banget lo, Lim. Sama sahabat sendiri begitu amat.”

Salim terkekeh. Merasa kepanasan karena ledekan sahabatnya itu, Bara pun buru-buru mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi Fotogram, salah satu media yang menjadi tempat orang-orang membagikan momen berupa foto dan video. Ia mencari nama akun media sosial sang idaman hati lalu menunjukkannya pada Salim.

“Tuh, lihat postingan doi yang ini. Lihat komentarnya!” Bara menunjukkan sebuah komentar berupa emotikon berbentuk hati yang dikirim oleh seorang lelaki yang tidak ia kenali. “Berarti, sia-sia usaha gue ngedeketin dia selama enam bulan ini, Man! Sakit banget hati gue. Tahu-tahu dia udah sama yang lain.”

Salim malah semakin tergelak sambil men-scroll beranda milik Tsani, seorang model yang sedang digebet Bara itu. Sambil asyik scrolling, Salim bertanya, “Jadi, udah fiks pacaran ini?”

Bara cemberut melihat Salim yang tersenyum meledeknya. Salim begitu karena ia betul-betul sudah bosan mendengar opini Bara yang nyaris tidak pernah menjadi kenyataan itu. Bara selalu bilang, “Tsani pasti udah jadian sama yang lain!”

Padahal, lelaki itu sebenarnya tak pernah tahu dan bertanya apakah Tsani masih sendiri atau sudah memiliki kekasih.

“Lagian, udah gue bilangin dari dulu, langsung tembak aja itu anak pasti terima, dah! Secara, lo ganteng, berbakat, setia, mana mungkin ada cewek yang nolak pesona lo, Bro?” Salim masih asyik memeriksa foto-foto di akun I*******m Tsani.

Sampai ketika ia terhenti di sebuah foto.

“Waktu itu aja gue ditolak cewek.” Bara menyeletuk, kebetulan ia melihat foto yang saat ini terpampang di layar ponselnya. Sebuah foto yang sedang Salim amati sedikit lebih lama daripada foto-foto lainnya. “Nah, ini foto pas lawan main gue si Nia. Waktu itu Tsani dateng, tuh.”

“Iya, gue tau dia.” Salim masih fokus dengan wajah Nia yang tersenyum penuh antusias di depan kamera itu. Di dalam foto, ada sosok lelaki yang asyik merangkul mesra pinggang Nia. Ia yakin, lelaki itu pastilah kekasihnya.

“Nah, waktu itu cowok Nia juga dateng. Akhirnya, gue tau alesan Nia nolak gue apa.”

“Nia nolak lo?” Salim melongo tidak percaya. Bukan karena Nia menolak Bara, melainkan tidak percaya bahwa sahabatnya itu ternyata pernah nembak cewek sebelumnya. “Lo pernah nembak Nia? Kok, lo gak cerita?!”

Bara mengangguk. “Dua bulan sebelum gue dipasangin dalam film sama itu anak, gue nembak dia, tapi ditolak. Katanya, dia gak suka hubungan yang terlalu terburu-buru dan dipaksakan. Setahu gue, cowoknya sekarang emang sahabatnya dari kecil. Dan … gue gak cerita ke lo itu karena gue gengsi, takut ditolak terus lo ledekin akhirnya.”

Mendengar alasan Bara, Salim tertawa lagi. Ujung-ujungnya diledekin juga, kan?

“Oh … jadi, gara-gara lo ditolak karena katanya Nia gak suka hubungan yang terburu-buru, makanya lo ngegantungin Tsani karena takut ditolak dengan alasan yang sama kayak waktu lo nembak Nia?” Salim mencoba mengutarakan opininya berdasarkan cerita Bara.

Bara mengangguk mantap. Akhirnya, ia betulan merasa sedang berkonsultasi dengan pakar cinta. Biasanya, mah Salim kalo di-curhat-in kerjaannya menggerutu saja. “Pinter!” kata Bara sambil mengacungkan ibu jari.

“Iya, emang gue pinter. Elo yang bego!” Salim menjitak kepala Bara setelah mengunci ponsel milik sahabatnya itu. “Cewek itu beda-beda, Bara! Gak semuanya suka lama-lama dan gak semuanya mau nungguin digantung lama-lama, Man! Bego banget, sih, kenapa lo ngukur semua cewek sama kayak Nia. Jelas-jelas Nia itu beda!”

Ups! Salim keceplosan. Ia tanpa sengaja berucap sesuatu yang mungkin terdengar ambigu. Namun, untungnya Bara tidak pandai menganalisis. Jadi, sepertinya, sahabat Salim itu tidak akan menyadari kalimat Salim barusan.

“Beda apanya, ya, Lim?”

Salim tertegun. Begitu tahu ternyata Bara merasakan ada yang janggal dalam kalimat Salim. “Beda … beda, ya, beda itu, Bar! Jelas, bedalah! Orang mana ada yang sama, Bar?”

Bisa juga Salim mengeles. Meski cara bicaranya jadi gagu, beruntungnya Bara tidak menyadari itu. Sebetulnya, Salim juga tidak tahu apa yang membuat sosok gadis bernama Alenia itu terlihat berbeda di matanya. Semacam, suatu ketertarikan akan sesuatu tanpa disertai alasan tertentu.

“Iya, sih, tapi ngomong-ngomong, Nia sekarang mesra banget sama cowoknya. Jadi envy deh. Harusnya, kan dia mesra-mesraan gitu sama gue. Andaikata waktu itu gue diterima.”

Mendengar curhat colongan Bara, Salim lagi-lagi menjitak kepala sahabatnya itu.

***

“Hachim!” Nia tiba-tiba bersin ketika sedang menyantap nasi kotaknya di lokasi syuting. Ali menyodorkan sekotak tisu untuk mengusap hidung gadis itu. “Aduh … ada yang ngerumpiin gue, nih, pasti.”

Ali terkekeh sambil menyeruput es tehnya. “Gede rasa amat lo jadi manusia.”

“Ya, bukannya gitu. Kata mbak gue, Li, kalo kita bersin tiba-tiba waktu gak ada angin gak ada hujan, itu tandanya ada yang ngerumpiin kita di belakang.” Nia bicara seolah yakin dengan pemikiran mitologinya itu.

Ali hanya mencibir sambil melanjutkan makan siangnya. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya sosok pria bertopi yang sepertinya kebingungan mencari seseorang, Ali tahu siapa dia. Itu sebabnya, Ali menyeletuk, “Ini yang disebut gak ada angin gak ada hujan, main dateng aja. Mengacaukan suasana, deh!”

Nia mengernyit. “Siapa yang dateng?”

Ali menunjuk ke belakang tubuh Nia. “Itu!”

Nia menoleh ke belakang. Dilihatnya, Daren sedang memandangi sekeliling lokasi. Nia menjitak kepala Ali lalu berkata, “Sembarangan lo! Cowok gue itu.”

Tanpa menanti tanggapan Ali, Nia beranjak menemui sang kekasih yang tersenyum hangat padanya. Nia bertanya dalam hati, “Tumben?”

Akan tetapi, ketika itu, sesungguhnya pertanyaan Nia yang ia tujukan pada Daren ialah, “Kok, udah ke sini? Acaranya sudah selesai?”

“Kok, nanya gitu? Gak kangen emangnya?” Daren bertanya dengan ekspresi sok imut, membuat Nia gemas secara tidak sadar.

“Kangen, dong!” Nia berkata sambil tersenyum penuh antusias.

Daren melentangkan kedua tangannya lalu berkata, “Peluklah!”

Padahal, baru beberapa jam mereka tak berjumpa, Daren tiba-tiba berubah sebegitu romantisnya. Nia tak melihat Daren memegang kamera atau mikrofon. Ia juga tak membawa asisten atau kameramennya ke lokasi.

Tanpa basa-basi, Nia menghambur ke dalam pelukan lelaki itu. Meski dengan perasaan setengah tidak percaya, juga hati yang bertanya-tanya. Ada apa dengan Daren sebenarnya?

Namun, tak apalah. Setidaknya, Nia jadi merasa benar-benar memiliki seorang kekasih. Akhirnya ia menemukan sosok lelaki yang perhatian dan romantis padanya. Hal yang sangat Nia impikan sejak sebelum berpacaran dengan Daren.

I love you,” bisik Daren.

Nia mengangguk sembari membalas bisikannya, “Ya … me too.”

Related chapters

  • Lie of Life   Daren Ingin Membuktikan

    Entah kesambet apa Daren malam ini. Lelaki itu membawa Nia ke apartemennya. Mengajaknya memasak makan malam untuk disantap berdua. Ketika Nia bertanya, Daren hanya menjawab, “Gak apa-apa, biar romantis.”Kedua sejoli itu telah menyelesaikan sesi masak berdua. Meski hanya spaghetti instan, tetapi itu akan merealisasikan makan malam romantis yang diniat-niatkan oleh Daren sejak siang tadi.Nia menyajikan spaghetti itu di piring miliknya dan milik Daren, sementara sang kekasih sibuk mempotret dirinya. Awalnya Nia curiga, ini hanya untuk konten. Akan tetapi, Daren berhasil menepis kecurigaannya dengan berkata, “Aku gak mau share foto ini ke medsos. Buat simpanan pribadi aja.”“What? Tumben?” Nia bertanya sambil mengembalikan peralatan masak itu ke tempat cuci piring.Tanpa Nia sadari, Daren mengikuti langkahnya dari belakang. Nia semakin merasa keheranan. Lelaki itu tersenyum padanya, senyuman yang begitu

    Last Updated : 2021-09-28
  • Lie of Life   Ada Apa dengan Daren?

    Di perjalanan, hanya keheningan yang terjadi. Tidak ada lagi kalimat basa-basi antara dua sejoli itu. Hanya ada dentingan piano sebagai intro sebuah lagu yang akan terputar saat itu.Nia merasa bersalah begitu tahu bahwa Daren tahu tentang kegiatan sarapan itu. Sekaligus merasa tidak enak hati begitu memahami keromantisan yang sedang dijalani Daren adalah sebuah taktik, tujuannya apa, Nia tidak tahu.“Alenia ….” Daren memanggil seraya fokus menyetir.“Apa?”“Aku di sini sedang kamu anggap apa?”Tidak ada yang bisa Nia jawab untuk pertanyaan Daren barusan itu selain, “Hah?”Daren tersenyum dan menolehkan kepala. “Ya, aku ini kamu anggap apa sekarang? Pacar? Patung? Atau … supir taksi? Kok, dicuekin?”Nia meng-oh panjang. Ternyata itu maksudnya. Ah, semenjak ia menyelesaikan analisisnya terhadap perubahan sikap Daren akhir-akhir ini,

    Last Updated : 2021-12-01
  • Lie of Life   Menikah?

    “Nia, mau pesan apa?” Ali menawarkan traktiran siang ini. Kebetulan, ia sedang mengadakan syukuran kecil-kecilan atas lahirnya keponakan pertama. Anak dari kakak perempuannya.“Untuk makan siang.” Ali menegaskannya kalau Nia tidak mengerti. “Gue traktir,” tambahnya.Nia meng-oh pendek. “Apa, ya? Geprek, deh!” katanya yang sebetulnya sudah bisa ditebak Ali. “Level rendah aja, lo tau gue sekuat apa.”Ali tersenyum. Ia beralih tempat untuk menawari teman-temannya yang lain.Satu jam kemudian, seseorang datang ke lokasi syuting dan membantu Ali membagikan kotak makan siang pesanan Ali. Nia sudah tidak asing dengan si pengantar pesanan, tentu saja ia ingat. Ia tak akan memanggilnya dengan nama yang salah untuk kedua kali.“Salim!” panggil Nia tanpa ragu.Orang yang kaget bukan Salim, melinkan Ali. Ia terkejut waktu tahu Nia sudah mengenal temannya, si pemilik kedai yang sedan

    Last Updated : 2021-12-02
  • Lie of Life   Nasi Uduk Spesial

    Mari memasuki hari pertama di mana Nia harus memikirkan soal tawaran Daren untuk menikah. Seperti yang telah dibicarakan kemarin, Daren tidak memberi kesempatan untuk mengatakan 'tidak'. Hanya ada "ya" atau "nanti".Memikirkan hal ini saja, sudah membuat Nia menjadi pusing bukan kepalang.Ia teringat masa itu, beberapa waktu lalu, ketika ia terpaksa menerima cinta Daren hanya karena permintaan papa. Hanya karena papa ingin membalas budi atas kebaikan lelaki itu selama ini, terhadap keluarganya. Entah kebaikan apa itu.Namun, untuk menikah, Nia tentu saja tidak bisa memikirkan hal itu dengan buru-buru. Ini menyangkut masa depan yang akan Nia jalani.Nia tidak mauㅡtidak mungkin mau hidup bersama lelaki yang tidak pas dengannya, di masa depan. Nia tidak bisa menghabiskan sisa hidup dengan lelaki yang tidak asyik bila diajak berbicara. Tidak memahami candaannya. Tak pandai bersenda gurau dengannya. Tidak mampu memahami dirinya.Nia ingin mengakui bahwa

    Last Updated : 2021-12-03
  • Lie of Life   Tulisan Papa

    “Ini, Nia.” Papa menyodorkan laptop pada Nia ketika mereka berdua tengah asyik menyantap sarapan di meja makan. Sebentar lagi, Nia akan berangkat ke lokasi syuting dan ngomong-ngomong, ini adalah hari kedua ia harus berpikir soal jawabannya.“Maaf, butuh waktu yang sangat lama untuk papa mengetik kata-kata ini.”Nia tersenyum hangat. “It’s okay, Papa. Nanti malam, kita ngobrol, yuk!” ajaknya untuk membesarkan hati sang papa. “Udah lama kita nggak ngobrol lama, ya, Pa?”Papa mengangguk. Tangannya sambil berusaha tegap untuk mempaskan posisi bibir cangkir itu di mulutnya. Dengan sigap, Nia membantu sang papa untuk meminum susu hangat favoritnya.Nia menghela napasnya. Sebisa mungkin, ia menyembunyikan segala kekhawatiran yang hadir di kepalanya. Ia sedih melihat kondisi sang papa yang kian melemah. Bukan kritis, hanya saja, kekuatan yang dahulu selalu papa punya kini nyaris tak terlihat wu

    Last Updated : 2021-12-03
  • Lie of Life   Jika Nia Tidak Menerima

    “Gimana?” Jenis kata tanya yang nyaris berulang kali papa Nia ajukan kepada Daren siang itu. Sejak pagi, Daren mampir ke rumah sang calon mertua untuk membicarakan pasal pernikahan yang ia yakini akan terjadi itu. Namun, Virza mempertanyakan sesuatu yang bersifat meragukan. Ada begitu banyak pertanyaan yang apabila Daren tangkap, maksudnya hanya satu, “Siapkah Daren menerima Nia dengan segala sifat alaminya?” Berkali-kali, Daren mengatakan ya, ia menerima itu dengan sepenuh hati. Akan tetapi, selalu saja ada celah di mana Virza ragu akan jawaban Daren. Atau ia ragu, Daren akan menerima itu sampain kelak, sampai tua. Ia terlalu khawatir pria itu akan meninggalkan putrinya suatu saat nanti karena tidak tahan dengan sifatnya. “Apa yang ingin papa pastikan lagi?” “Kamu betul-betul menerimanya, bukan hanya menekannya agar mau menerirmamu.” Begitu jawaban Virza. Lama kelamaan, Daren sendiri yang meragu. “Sebaiknya kamu pikirkan dulu, biarkan putriku

    Last Updated : 2021-12-04
  • Lie of Life   Positif & Negatif

    “Better?” Salim bertanya setelah Nia sudah siap memasang sabuk pengaman. Mereka akan segera berangkat. Nia sudah duduk mantap di kursi kemudi, sementara Salim berdiri dari luar jendea mobil.“Sebenernya kalau lo masih butuh supir, gue bersedia, lho,” kata Salim lagi.Nia menggelengkan kepala tiga kali. “Enggak perlu, Salim, anaknya Nyonya Salma. Gue bisa nyetir sendiri dan tau jalan pulang, kok.”Salim menangkupkan kedua telapak tangannya lantas mengangguk. “Baik, Nona. Sampai jumpa dan hati-hati di jalan.”“Terima kasih, Abang.”Salim tertawa begitu mendengar gadis itu memanggilnya abang. Nia melenggang pergi menjauhi area perumahan tempat tinggal Salim. Mereka harus berpisah setelah beberapa menit bersama. Hari ini menyenangkan bagi keduanya.Namun, sayangnya, Nia sendiri tidak bisa memungkiri bahwa setelah hari ini, hanya tinggal kurang dari 30 jam waktunya memutuskan ak

    Last Updated : 2021-12-05
  • Lie of Life   Deeptalk

    Suasana sunyi, tetapi tetap terasa ramai di kepala Nia saat ini. Ia sudah dihadapkan dengan Virza yang menantinya untuk bicara. Kurang lebih dua puluh menit berlalu, tetapi tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Nia.Padahal, di telepon Nia berpesan bahwa ia akan membicarakan suatu hal yang penting pada sang papa.Seluruh benda di dalam ruangan, entah itu jam dinding, meja, kursi, bingkai foto, bahkan tembok yang senantiasa bisu itu seolah berteriak menyuruhnya bicara. Sementara di kepalanya, seluruh hal terngiang. Entah hal mana yang akan ia mulai."Apa ini tentang Daren?" Akhirnya, papa lah yang memulai percakapan kali ini.Nia menganggukkan kepalanya. "Itu salah satunya, Pa, tetapi aku akan mulai dengan satu yang paling penting dan yang paling keras berteriak di kepalaku."Virza menaikkan alis, tersirat sebuah tanya, "Apa itu?""Karirku, Pa." Nia menghela napas setelah bersusah payah mengatakan dua kata itu. Payah, padahal ia

    Last Updated : 2021-12-06

Latest chapter

  • Lie of Life   Asmara Citra VS Asmara Nia

    “Aku bersyukur banget, temen-temen semua pada dukung web series Asmara Citra dan terima kasih atas antusiasnya. Aku bener-bener gak berekspektasi bakalan seramai ini, tapi aku percaya semua pada cinta sama Citra dan Bima. Kami berharap kita semua mendapatkan kepuasan ketika Asmara Citra season 2 ini tayang, eksklusif di aplikasi YouTivi.” Semua bertepuk tangan ketika Nia selesai menyampaikan pidato penutup singkatnya di hadapan para pers dan beberapa pengunjung mal lokasi mereka. Semua antusias begitu melihat Nia berfoto berdua dengan Ali. Semua mendukung hubungan keduanya, meski tidak sedikit yang tahu masing-masing dari mereka sudah memiliki kekasih. Nia tidak lagi. Nia diajak Ali berfoto berdua dengan latar belakang banner web series mereka. Para fans memfoto kedua sejoli itu dengan semarak yang membuncah. Keduanya menganggap mereka berdua betulan berpacaran, seperti dalam film. Keduanya merasa senang karena mer

  • Lie of Life   Stefi

    “Lim, lusa kamu ada jadwal pergi gak?” Nia bertanya saat ia sengaja main ke kedai Salim untuk membeli makan siang. “Jadwal pergi, kamu kira aku artis, Nia?” Salim terkekeh sambil membungkus makan siang yang akan dibawa Nia ke rumah. “Ini keseharian aku, lho. Keliling kedai dari cabang ke cabang. Gitu aja.” “Sehari wajib mengunjungi semua cabang kedai kamu?” Salim menggeleng. “Ya enggaklah, Nia. Sesanggupnya aku. Se-mood aku juga. Kalo aku ada urusan keluarga atau aku lagi gak enak badan, ada kemungkinan aku gak mengunjungi kedai. Emangnya kenapa, Nia?” Nia menggumam sambil bertopang dagu. “Hanya untuk kepentingan sendiri dan keluarga ya?” tanyanya. “Tapi aku kan bukan keluargamu, Lim.” Salim mengernyitkan dahi dan tertawa di hadapan Nia. “Yang bilang gitu juga siapa, Nia?” “Kamu lah tadi.” “Ya, enggak harus itu sih. Kepentinganmu juga oke. Lusa mau dianterin ke mana?” Salim seakan tahu apa yang sejak tadi diko

  • Lie of Life   Rencana Berbisnis

    “Mau es krim rasa apa, Nia?” Salim bertanya sembari turun dari mobil. Nia. Gadis itu masih saja diam sedari makan siang tadi. “Cokelat? Vanila? Bluberi?”“Samain sama kamu aja, Lim.” Hanya itu yang dikatakan Nia. Salim menutup pintu mobil dan pergi ke sana.Sungguh kebetulan yang luar biasa, ia berpapasan dengan Bara yang sedang makan es krim bersama seorang perempuan. Salim menghela napas, ia tahu siapa gadis itu. Seorang gadis yang diceritakan Bara hampir setiap kali mereka berjumpa. Bara yang selalu merasa disakiti oleh gadis itu.“Lim … baru aja gue mau hubungin lo. Mau ke kedai, nih. Makan.” Bara bicara sok asyik. Siapa yang tidak ingat bahwa sebulan yang lalu, lelaki itu merengek-rengek padanya karena merasa tidak diterima oleh si perempuan.Salim meng-oh pendek. “Gue lagi gak ke kedai, nih. Ada urusan dikit.”Bara mengangguk mengerti. Salim pun permisi karena ia sedikit mengk

  • Lie of Life   Klarifikasi Nia

    Ponsel Nia bergetar di saku dan gadis itu menyadarinya. Salim menyayangkan itu karena ini belum cukup lama untuk Nia beristirahat. Seharusnya, gadis itu diberi cukup waktu lagi. Salim berdeham saat Nia mengakhiri panggilan teleponnya dengan seseorang. “Kalau masih capek, kamu bisa tiduran lagi, Nia.” Nia mengangguk. Ia menyandarkan punggungnya dan menghadap ke sebelah kiri. “Kamu kalau bosan diam aja, sambil jalanin mobil juga gak apa-apa, Lim.” “Aku takut ganggu kamu istirahat, Nia.” Nia menggelengkan kepala. “Tidurku udah cukup. Sekarang, aku mau cerita.” Salim meng-oh pendek tanpa suara. Ia lantas menjalankan mobilnya ke arah yang sama sekali belum mereka tentukan. Nia meminta Salim mengecilkan volume lagu yang terputar di mobil. Salim melakukan apa yang diminta. Nia tak juga bicara, hanya menatap ke luar jendela. Entah kalimat apa yang sedang dirangkainya, tetapi Salim tahu itu adalah hal yang teramat penting dan menjadi satu-satun

  • Lie of Life   Video Baru Daren

    Nia sudah menyatakan ketidaksiapannya menerima kontrak baru di manajemen saat ini. Ia berkata bahwa ia masih membutuhkan waktu untuk beristirahat dari dunia entertain. Ia harap para pihak manajemen bisa memahami kondisinya. Sebetulnya, beberapa ada yang memihak pada Nia dan memaklumi. Akan tetapi, ada saja yang tidak berada di sandingnya saat ini dan malah berpikir bahwa Nia memiliki kemungkinan akan dilepas dari manajemen. Nia hanya mengatakan bahwa dia akan oke jika pihak manajemen melepasnya. Mungkin bukan lagi masanya. Ia juga bisa dan masih kuat untuk mencari penghasilan dengan cara yang lain. *** “Gue turut sedih atas batalnya pernikahan lo dengan Daren,” ucap Ali dan Kanya—kekasih Ali—yang saat itu sedang mampir ke lokasi syuting di hari terakhir. “Gak perlu sedih gitu, ah!” Nia menepuk bahu Kanya agak keras. Ali membalas Nia untuk Kanya. “Pernikahannya aja baru rencana. Nggak batal karena memang belum ada apa-apa.” Sebetulnya,

  • Lie of Life   Akhirnya

    Daren menghela napas waktu Nia mengungkap pernyataannya secara jujur—di depan kedua orang tuanya. Nia agak tidak menyangka begitu mengetahui respons mama dan papa Daren yang malah memeluk dan mendukung keputusannya. Mereka bilang, Daren memang keras kepala. Semua orang yakin bahwa bagi Nia, membuat keputusan untuk hidup bersama sungguh memerlukan waktu yang tidak sebentar. Setidaknya lebih dari tiga hari. Nia menatap Daren dengan perasaan tidak enak. Sebetulnya, ia merasa Daren tidak melakukan kesalahan dengan meminta waktu tiga hari untuk berpikir. Bagi Nia, ini bukan masalah waktu, tetapi perasaan. Nia tahu apa yang dia rasakan selama ini dan itu bukan cinta. Lebih lama menunggu jawaban yang ‘sudah pasti tidak’ itu akan lebih menyakitkan buat Daren. Nia menghampiri Daren yang terus menundukkan kepalanya sejak kata ‘tidak’ yang terlontar dari mulut Nia, beberapa menit yang lalu. “Akhirnya, aku bisa mengatakan ini semua, Daren. Maafin aku karena tidak

  • Lie of Life   Deeptalk

    Suasana sunyi, tetapi tetap terasa ramai di kepala Nia saat ini. Ia sudah dihadapkan dengan Virza yang menantinya untuk bicara. Kurang lebih dua puluh menit berlalu, tetapi tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Nia.Padahal, di telepon Nia berpesan bahwa ia akan membicarakan suatu hal yang penting pada sang papa.Seluruh benda di dalam ruangan, entah itu jam dinding, meja, kursi, bingkai foto, bahkan tembok yang senantiasa bisu itu seolah berteriak menyuruhnya bicara. Sementara di kepalanya, seluruh hal terngiang. Entah hal mana yang akan ia mulai."Apa ini tentang Daren?" Akhirnya, papa lah yang memulai percakapan kali ini.Nia menganggukkan kepalanya. "Itu salah satunya, Pa, tetapi aku akan mulai dengan satu yang paling penting dan yang paling keras berteriak di kepalaku."Virza menaikkan alis, tersirat sebuah tanya, "Apa itu?""Karirku, Pa." Nia menghela napas setelah bersusah payah mengatakan dua kata itu. Payah, padahal ia

  • Lie of Life   Positif & Negatif

    “Better?” Salim bertanya setelah Nia sudah siap memasang sabuk pengaman. Mereka akan segera berangkat. Nia sudah duduk mantap di kursi kemudi, sementara Salim berdiri dari luar jendea mobil.“Sebenernya kalau lo masih butuh supir, gue bersedia, lho,” kata Salim lagi.Nia menggelengkan kepala tiga kali. “Enggak perlu, Salim, anaknya Nyonya Salma. Gue bisa nyetir sendiri dan tau jalan pulang, kok.”Salim menangkupkan kedua telapak tangannya lantas mengangguk. “Baik, Nona. Sampai jumpa dan hati-hati di jalan.”“Terima kasih, Abang.”Salim tertawa begitu mendengar gadis itu memanggilnya abang. Nia melenggang pergi menjauhi area perumahan tempat tinggal Salim. Mereka harus berpisah setelah beberapa menit bersama. Hari ini menyenangkan bagi keduanya.Namun, sayangnya, Nia sendiri tidak bisa memungkiri bahwa setelah hari ini, hanya tinggal kurang dari 30 jam waktunya memutuskan ak

  • Lie of Life   Jika Nia Tidak Menerima

    “Gimana?” Jenis kata tanya yang nyaris berulang kali papa Nia ajukan kepada Daren siang itu. Sejak pagi, Daren mampir ke rumah sang calon mertua untuk membicarakan pasal pernikahan yang ia yakini akan terjadi itu. Namun, Virza mempertanyakan sesuatu yang bersifat meragukan. Ada begitu banyak pertanyaan yang apabila Daren tangkap, maksudnya hanya satu, “Siapkah Daren menerima Nia dengan segala sifat alaminya?” Berkali-kali, Daren mengatakan ya, ia menerima itu dengan sepenuh hati. Akan tetapi, selalu saja ada celah di mana Virza ragu akan jawaban Daren. Atau ia ragu, Daren akan menerima itu sampain kelak, sampai tua. Ia terlalu khawatir pria itu akan meninggalkan putrinya suatu saat nanti karena tidak tahan dengan sifatnya. “Apa yang ingin papa pastikan lagi?” “Kamu betul-betul menerimanya, bukan hanya menekannya agar mau menerirmamu.” Begitu jawaban Virza. Lama kelamaan, Daren sendiri yang meragu. “Sebaiknya kamu pikirkan dulu, biarkan putriku

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status