Di perjalanan, hanya keheningan yang terjadi. Tidak ada lagi kalimat basa-basi antara dua sejoli itu. Hanya ada dentingan piano sebagai intro sebuah lagu yang akan terputar saat itu.
Nia merasa bersalah begitu tahu bahwa Daren tahu tentang kegiatan sarapan itu. Sekaligus merasa tidak enak hati begitu memahami keromantisan yang sedang dijalani Daren adalah sebuah taktik, tujuannya apa, Nia tidak tahu.
“Alenia ….” Daren memanggil seraya fokus menyetir.
“Apa?”
“Aku di sini sedang kamu anggap apa?”
Tidak ada yang bisa Nia jawab untuk pertanyaan Daren barusan itu selain, “Hah?”
Daren tersenyum dan menolehkan kepala. “Ya, aku ini kamu anggap apa sekarang? Pacar? Patung? Atau … supir taksi? Kok, dicuekin?”
Nia meng-oh panjang. Ternyata itu maksudnya. Ah, semenjak ia menyelesaikan analisisnya terhadap perubahan sikap Daren akhir-akhir ini, ia jadinya tidak bersemangat lagi. Namun, sebetulnya ini bisa jadi kesempatan untuk Nia untuk bertanya sesuatu pada Daren.
“Daren, dari mana kamu tau kalau aku sarapan di kedai milik temanku?” Pertanyaan itu mencelos begitu saja. Membuat Daren kesulitan mencerna dan mengatur jawabannya. Sekali lagi, Daren tidak ingin hal 'itu' terbongkar.
“Tau aja. Ada temenku cerita.”
“Dia cerita gimana?” Nia penasaran. Bahaya kalau teman Daren cerita yang macam-macam, mengingat bagaimana situasi di kedai Salim waktu itu.
“Ya, gitu. Dia bilang, Nia sedang makan bareng cowok, pemilik kedai. Aku, ya, diam aja. Gak peduli mau itu siapa karena yang jelas, aku percaya ke kamu. Kalian hanya berteman, aku tau.”
Nia mengangguk. Ia kira, Daren akan marah begitu mengetahui ini. Sepanjang pengetahuannya tentang Daren, lelaki itu adalah tipe orang yang suka iri dan cemburuan melihat Nia melakukan sesauatu bersama pria lain.
Namun, perbedaan itu membuat Nia jadi tidak nyaman dan curiga. Ia berusaha untuk terhanyut dan melupakan resahnya karena itu sangat tidak masuk akal. Namun, ia tetap tidak bisa.
“Kamu gak marah?”
Itulah pertanyaan selanjutnya. Pertanyaan yang sangat dihindari Daren karena itu yang menjadi alasan mengapa ia melakukan perubahan. Namun, ia terlalu gengsi mengakuinya.
“Enggak.”
“Tapi kenapa?”
“Memangnya kamu mau aku marah?”
Pertanyaan yang dilontarkan Daren dengan nada datar itu membuat Nia akhirnya menutup mulut dan memilih untuk menggeleng dengan cepat. Lelaki itu lantas tersenyum.
“Ngomong-ngomong, aku pengin ninggalin aktivitasku membuat vlog … dan mengerjakan sesuatu yang lebih berguna.”
Apa lagi itu? Nia sudah kehabisan akal untuk memahami jalan pikir lelaki itu. Kenapa tiba-tiba?
“How?” tanya Daren. “Kamu setuju?”
“Aku gak ada hak untuk setuju atau enggak setuju,” kata Nia. Dia benar, tetapi bukan itu jawaban yang ingin Daren dengar. Ia ingin melhat Nia senang dengan keputusan yang ia pilih, tetapi gadis itu tak menunjukkan tanda sama sekali.
Hingga tibalah mereka tepat di area lokasi syuting Nia. Ada satu pertanyaan yang tertahan di tenggorokan Nia, tak mungkin ia ajukan sekarang karena waktu sudah sangat mepet. Jika sempat, ia ingin bertanya, apa yang akan Daren kerjakan kelak setelah meninggalkan hobi--pekerjaannya?
Sejauh pengetahuan Nia, Daren meninggalkan semua pekerjaannya demi menjadi seorang vlogger. Demi menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan dan melakukan hal-hal yang membuang uang karena katanya, uang yang terbuang itu akan kembali mendatangi dompetnya.
Lalu bagaimana dengan karirnya?
“Gimana pendapat kamu soal niat aku?” Daren mengulangi pertanyaannya lagi sebelum Nia memilih turun dari mobil.
“Selama menurutmu itu baik, ya, lakuin aja.”
Nia membuka pintu mobil secara mandiri. Sementara ia melangkah turun, Daren memukul setir mobilnya sehingga suara klakson tanpa sengaja berbunyi dengan cukup keras, cukup mengagetkan. Nia tersentak.
“Kenapa tadi?”
Daren hanya memberi cengiran yang tidak menjawab apapun. Nia memutuskan untuk pergi.
***
“Hai, Citra … kesayangan semua orang!” Ali menyapa Nia dengan sebutan tokoh utama dalam film. Akan tetapi, Nia hanya membalasnya dengan seringai serta lambaian tangan.
Ali berlari dan lantas duduk di sofa yang kebetulan juga sedang diduduki Nia. “Ada apa, sih, Cit?”
“Citra lagi kesal!” Nia bicara sambil mendengus sebal. “Kesal sama Nia. Kenapa dia gak pernah bisa baca pikiran pacarnya?”
Suasana hati Nia semakin memburuk waktu melihat Ali yang bukannya bersimpati, tetapi malah menertawakannya. “Ah, udahlah! Bima emang nggak pernah peka!”
Ali mengernyit. “Ye … malah Bima disalahin!”
“Kan di cerita, Bima emang selalu salah,” kata Nia.
Tanpa Nia sadari, oleh karena ucapannya membuat mereka jadi tergelak bersama. Cukup melegakan dan bisa melipur perasaan gundah Nia yang disebabkan oleh Daren. Ralat, bukan Daren penyebabnya melainkan oleh sebab pemikirannya sendiri.
“Daren kenapa lagi, sih?” Setelah gelakan itu usai, Ali bertanya dengan penuh rasa tulus. Meski ia tak yakin bisa membantu Nia keluar dari masalahnya.
“Gak tau kenapa, tiba-tiba dia pengin berhenti nge-vlog.” Nia bercerita dengan suara serak, dia sedikit kurang minum.
Daren beranjak untuk mengambil sebotol air mineral dalam ranselnya lalu menyerahkannya pada Nia. “Gue kaget denger berita lo. Padahal, gue baru aja mau mulai bikin channel. Pengin ngajakin dia collab juga. Eh, malah mau udahan. Kenapa itu, Ni?”
Nia menggidikkan bahu, tidak tahu. “Dia cuma bilang, dia pengin berhenti dan malah minta persetujuan aku. Aku kan gak berhak untuk menyetujui atau tidak tentang pilihan hidupnya, ya?”
Lagi-lagi, Ali tertawa karenanya. Temannya satu ini benar-benar polos sampai tidak tahu apa maksud Daren mengajukan pertanyaan itu padanya. “Dia kan pacar lo, Ni. Ya, menurut gue wajar aja dia minta masukan dari lo sebagai partner. Itulah gunanya pacar.”
Nia menggeleng-gelengkan kepalanya. Pernyataan Ali terlalu membulat untuk membuatnya mengerti apa arti kekasih dalam hidup setiap manusia. Meski ia sering menerima perlakuan yang terkesan mengatur dan mengekang, tetapi ia tidak setuju dan tidak berkenan melakukan hal seperti itu pada orang lain.
“Huh ….” Nia hanya bisa menghela napas ketika memandangi skrip yang baru saja ia keluarkan dari dalam ransel merah muda kesayangannya. “Udah, ah! Gue mau ngehafalin skrip aja.”
***
Salim sedang mengorak-arik telur di atas teflon ketika ponsel yang ia letakkan di atas galon itu bergetar. Salim tak buru-buru mengangkatnya sebab harus memperhatikan telur itu agar tidak gosong.
Setelah matang, ia meletakkan telur orak-arik itu ke atas piring berisi nasi goreng yang ia buat dengan bumbu sesuai feeling. Begitu yang dahulu mamanya ajarkan sewaktu kecil. Kebetulan, ketika Salim memeriksa ponselnya, nama sang mama tertera di layar.
Tanpa menyadarinya, lelaki itu tersenyum seraya menggeser layar untuk mengangkat telepon itu. “Selamat pagi, Ibu Salma ….”
Terdengar suara kekehan seorang wanita di seberang telepon. “Apa kabar, Le?”
“Baik, Bu Salma ….” Salim memang kerap memanggil mamanya dengan sebutan Ibu Salma atau kadang-kadang Nyonya Salma, untuk bercanda. “Kangen sama Thole, ya, Bu?”
“Mama pengin ke rumah kamu besok, mau dibawain apa dari Jogja?”
“Apa aja yang penting masakan mama.” Ucapan Salim terdengar sangat tulus. Siapa pun yang mendengarnya, pastilah akan dibuat meleleh. Sama seperti perasaan sang mama di seberang telepon sana.
“Udah ada yang perlu mama temuin belum, nih?” tanya mama yang jujur saja, tidak bisa dimengerti Salim.
Lelaki itu memilih untuk berbicara sambil duduk dan menyantap sarapannya. “Maksud mama gimana?”
“Kura-kura dalam tempurung ….” Mama meledek lewat telepon sambil tertawa kecil.
“Perahu, Ma ….” Salim menyanggah, mama langsung meralat. “Salim beneran gak ngerti, kok. Emangnya mama mau nemuin siapa?”
“Calon mantu … he he he ….”
“Heh, belum ada lah!”
Setelah itu, obrolan tentang calon mantu terus berlanjut sampai jam dinding menunjuk angka sembilan tepat. Para karyawannya mengirim pesan meminta izin untuk membuka kedai. Ia pun berpamit pada sang mama untuk mengerjakan kegiatan sehari-harinya.
Mama memberi kecupan jarak jauh lewat telepon. Salim tanpa ragu membalas kiss bye mamanya sambil berkata, “I love you, Bu Salma.”
“I love me too.” Mama tertawa setelah membalas ucapan Salim.
“Ih, Mama mah … mama nggak sayang Salim apa?”
“Mama sayang papa.” Mendengar itu, Salim berdecak lesu. “Dan anaknya tentu saja.”
Salim jadi tersenyum begitu mendengar ucapan cinta dari mamanya. Meski Bu Salma sedikit menyebalkan, dalam artian suka iseng, wanita itu masih dan akan selalu menjadi satu-satunya cinta dalam hati Salim. Sebelum ia menemukan seorang perempuan yang mamanya begitu ingin temui.
Selamat membaca part 6 dan semoga masih tetap menyukai karyaku, teman-teman! Salam.
“Nia, mau pesan apa?” Ali menawarkan traktiran siang ini. Kebetulan, ia sedang mengadakan syukuran kecil-kecilan atas lahirnya keponakan pertama. Anak dari kakak perempuannya.“Untuk makan siang.” Ali menegaskannya kalau Nia tidak mengerti. “Gue traktir,” tambahnya.Nia meng-oh pendek. “Apa, ya? Geprek, deh!” katanya yang sebetulnya sudah bisa ditebak Ali. “Level rendah aja, lo tau gue sekuat apa.”Ali tersenyum. Ia beralih tempat untuk menawari teman-temannya yang lain.Satu jam kemudian, seseorang datang ke lokasi syuting dan membantu Ali membagikan kotak makan siang pesanan Ali. Nia sudah tidak asing dengan si pengantar pesanan, tentu saja ia ingat. Ia tak akan memanggilnya dengan nama yang salah untuk kedua kali.“Salim!” panggil Nia tanpa ragu.Orang yang kaget bukan Salim, melinkan Ali. Ia terkejut waktu tahu Nia sudah mengenal temannya, si pemilik kedai yang sedan
Mari memasuki hari pertama di mana Nia harus memikirkan soal tawaran Daren untuk menikah. Seperti yang telah dibicarakan kemarin, Daren tidak memberi kesempatan untuk mengatakan 'tidak'. Hanya ada "ya" atau "nanti".Memikirkan hal ini saja, sudah membuat Nia menjadi pusing bukan kepalang.Ia teringat masa itu, beberapa waktu lalu, ketika ia terpaksa menerima cinta Daren hanya karena permintaan papa. Hanya karena papa ingin membalas budi atas kebaikan lelaki itu selama ini, terhadap keluarganya. Entah kebaikan apa itu.Namun, untuk menikah, Nia tentu saja tidak bisa memikirkan hal itu dengan buru-buru. Ini menyangkut masa depan yang akan Nia jalani.Nia tidak mauㅡtidak mungkin mau hidup bersama lelaki yang tidak pas dengannya, di masa depan. Nia tidak bisa menghabiskan sisa hidup dengan lelaki yang tidak asyik bila diajak berbicara. Tidak memahami candaannya. Tak pandai bersenda gurau dengannya. Tidak mampu memahami dirinya.Nia ingin mengakui bahwa
“Ini, Nia.” Papa menyodorkan laptop pada Nia ketika mereka berdua tengah asyik menyantap sarapan di meja makan. Sebentar lagi, Nia akan berangkat ke lokasi syuting dan ngomong-ngomong, ini adalah hari kedua ia harus berpikir soal jawabannya.“Maaf, butuh waktu yang sangat lama untuk papa mengetik kata-kata ini.”Nia tersenyum hangat. “It’s okay, Papa. Nanti malam, kita ngobrol, yuk!” ajaknya untuk membesarkan hati sang papa. “Udah lama kita nggak ngobrol lama, ya, Pa?”Papa mengangguk. Tangannya sambil berusaha tegap untuk mempaskan posisi bibir cangkir itu di mulutnya. Dengan sigap, Nia membantu sang papa untuk meminum susu hangat favoritnya.Nia menghela napasnya. Sebisa mungkin, ia menyembunyikan segala kekhawatiran yang hadir di kepalanya. Ia sedih melihat kondisi sang papa yang kian melemah. Bukan kritis, hanya saja, kekuatan yang dahulu selalu papa punya kini nyaris tak terlihat wu
“Gimana?” Jenis kata tanya yang nyaris berulang kali papa Nia ajukan kepada Daren siang itu. Sejak pagi, Daren mampir ke rumah sang calon mertua untuk membicarakan pasal pernikahan yang ia yakini akan terjadi itu. Namun, Virza mempertanyakan sesuatu yang bersifat meragukan. Ada begitu banyak pertanyaan yang apabila Daren tangkap, maksudnya hanya satu, “Siapkah Daren menerima Nia dengan segala sifat alaminya?” Berkali-kali, Daren mengatakan ya, ia menerima itu dengan sepenuh hati. Akan tetapi, selalu saja ada celah di mana Virza ragu akan jawaban Daren. Atau ia ragu, Daren akan menerima itu sampain kelak, sampai tua. Ia terlalu khawatir pria itu akan meninggalkan putrinya suatu saat nanti karena tidak tahan dengan sifatnya. “Apa yang ingin papa pastikan lagi?” “Kamu betul-betul menerimanya, bukan hanya menekannya agar mau menerirmamu.” Begitu jawaban Virza. Lama kelamaan, Daren sendiri yang meragu. “Sebaiknya kamu pikirkan dulu, biarkan putriku
“Better?” Salim bertanya setelah Nia sudah siap memasang sabuk pengaman. Mereka akan segera berangkat. Nia sudah duduk mantap di kursi kemudi, sementara Salim berdiri dari luar jendea mobil.“Sebenernya kalau lo masih butuh supir, gue bersedia, lho,” kata Salim lagi.Nia menggelengkan kepala tiga kali. “Enggak perlu, Salim, anaknya Nyonya Salma. Gue bisa nyetir sendiri dan tau jalan pulang, kok.”Salim menangkupkan kedua telapak tangannya lantas mengangguk. “Baik, Nona. Sampai jumpa dan hati-hati di jalan.”“Terima kasih, Abang.”Salim tertawa begitu mendengar gadis itu memanggilnya abang. Nia melenggang pergi menjauhi area perumahan tempat tinggal Salim. Mereka harus berpisah setelah beberapa menit bersama. Hari ini menyenangkan bagi keduanya.Namun, sayangnya, Nia sendiri tidak bisa memungkiri bahwa setelah hari ini, hanya tinggal kurang dari 30 jam waktunya memutuskan ak
Suasana sunyi, tetapi tetap terasa ramai di kepala Nia saat ini. Ia sudah dihadapkan dengan Virza yang menantinya untuk bicara. Kurang lebih dua puluh menit berlalu, tetapi tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Nia.Padahal, di telepon Nia berpesan bahwa ia akan membicarakan suatu hal yang penting pada sang papa.Seluruh benda di dalam ruangan, entah itu jam dinding, meja, kursi, bingkai foto, bahkan tembok yang senantiasa bisu itu seolah berteriak menyuruhnya bicara. Sementara di kepalanya, seluruh hal terngiang. Entah hal mana yang akan ia mulai."Apa ini tentang Daren?" Akhirnya, papa lah yang memulai percakapan kali ini.Nia menganggukkan kepalanya. "Itu salah satunya, Pa, tetapi aku akan mulai dengan satu yang paling penting dan yang paling keras berteriak di kepalaku."Virza menaikkan alis, tersirat sebuah tanya, "Apa itu?""Karirku, Pa." Nia menghela napas setelah bersusah payah mengatakan dua kata itu. Payah, padahal ia
Daren menghela napas waktu Nia mengungkap pernyataannya secara jujur—di depan kedua orang tuanya. Nia agak tidak menyangka begitu mengetahui respons mama dan papa Daren yang malah memeluk dan mendukung keputusannya. Mereka bilang, Daren memang keras kepala. Semua orang yakin bahwa bagi Nia, membuat keputusan untuk hidup bersama sungguh memerlukan waktu yang tidak sebentar. Setidaknya lebih dari tiga hari. Nia menatap Daren dengan perasaan tidak enak. Sebetulnya, ia merasa Daren tidak melakukan kesalahan dengan meminta waktu tiga hari untuk berpikir. Bagi Nia, ini bukan masalah waktu, tetapi perasaan. Nia tahu apa yang dia rasakan selama ini dan itu bukan cinta. Lebih lama menunggu jawaban yang ‘sudah pasti tidak’ itu akan lebih menyakitkan buat Daren. Nia menghampiri Daren yang terus menundukkan kepalanya sejak kata ‘tidak’ yang terlontar dari mulut Nia, beberapa menit yang lalu. “Akhirnya, aku bisa mengatakan ini semua, Daren. Maafin aku karena tidak
Nia sudah menyatakan ketidaksiapannya menerima kontrak baru di manajemen saat ini. Ia berkata bahwa ia masih membutuhkan waktu untuk beristirahat dari dunia entertain. Ia harap para pihak manajemen bisa memahami kondisinya. Sebetulnya, beberapa ada yang memihak pada Nia dan memaklumi. Akan tetapi, ada saja yang tidak berada di sandingnya saat ini dan malah berpikir bahwa Nia memiliki kemungkinan akan dilepas dari manajemen. Nia hanya mengatakan bahwa dia akan oke jika pihak manajemen melepasnya. Mungkin bukan lagi masanya. Ia juga bisa dan masih kuat untuk mencari penghasilan dengan cara yang lain. *** “Gue turut sedih atas batalnya pernikahan lo dengan Daren,” ucap Ali dan Kanya—kekasih Ali—yang saat itu sedang mampir ke lokasi syuting di hari terakhir. “Gak perlu sedih gitu, ah!” Nia menepuk bahu Kanya agak keras. Ali membalas Nia untuk Kanya. “Pernikahannya aja baru rencana. Nggak batal karena memang belum ada apa-apa.” Sebetulnya,
“Aku bersyukur banget, temen-temen semua pada dukung web series Asmara Citra dan terima kasih atas antusiasnya. Aku bener-bener gak berekspektasi bakalan seramai ini, tapi aku percaya semua pada cinta sama Citra dan Bima. Kami berharap kita semua mendapatkan kepuasan ketika Asmara Citra season 2 ini tayang, eksklusif di aplikasi YouTivi.” Semua bertepuk tangan ketika Nia selesai menyampaikan pidato penutup singkatnya di hadapan para pers dan beberapa pengunjung mal lokasi mereka. Semua antusias begitu melihat Nia berfoto berdua dengan Ali. Semua mendukung hubungan keduanya, meski tidak sedikit yang tahu masing-masing dari mereka sudah memiliki kekasih. Nia tidak lagi. Nia diajak Ali berfoto berdua dengan latar belakang banner web series mereka. Para fans memfoto kedua sejoli itu dengan semarak yang membuncah. Keduanya menganggap mereka berdua betulan berpacaran, seperti dalam film. Keduanya merasa senang karena mer
“Lim, lusa kamu ada jadwal pergi gak?” Nia bertanya saat ia sengaja main ke kedai Salim untuk membeli makan siang. “Jadwal pergi, kamu kira aku artis, Nia?” Salim terkekeh sambil membungkus makan siang yang akan dibawa Nia ke rumah. “Ini keseharian aku, lho. Keliling kedai dari cabang ke cabang. Gitu aja.” “Sehari wajib mengunjungi semua cabang kedai kamu?” Salim menggeleng. “Ya enggaklah, Nia. Sesanggupnya aku. Se-mood aku juga. Kalo aku ada urusan keluarga atau aku lagi gak enak badan, ada kemungkinan aku gak mengunjungi kedai. Emangnya kenapa, Nia?” Nia menggumam sambil bertopang dagu. “Hanya untuk kepentingan sendiri dan keluarga ya?” tanyanya. “Tapi aku kan bukan keluargamu, Lim.” Salim mengernyitkan dahi dan tertawa di hadapan Nia. “Yang bilang gitu juga siapa, Nia?” “Kamu lah tadi.” “Ya, enggak harus itu sih. Kepentinganmu juga oke. Lusa mau dianterin ke mana?” Salim seakan tahu apa yang sejak tadi diko
“Mau es krim rasa apa, Nia?” Salim bertanya sembari turun dari mobil. Nia. Gadis itu masih saja diam sedari makan siang tadi. “Cokelat? Vanila? Bluberi?”“Samain sama kamu aja, Lim.” Hanya itu yang dikatakan Nia. Salim menutup pintu mobil dan pergi ke sana.Sungguh kebetulan yang luar biasa, ia berpapasan dengan Bara yang sedang makan es krim bersama seorang perempuan. Salim menghela napas, ia tahu siapa gadis itu. Seorang gadis yang diceritakan Bara hampir setiap kali mereka berjumpa. Bara yang selalu merasa disakiti oleh gadis itu.“Lim … baru aja gue mau hubungin lo. Mau ke kedai, nih. Makan.” Bara bicara sok asyik. Siapa yang tidak ingat bahwa sebulan yang lalu, lelaki itu merengek-rengek padanya karena merasa tidak diterima oleh si perempuan.Salim meng-oh pendek. “Gue lagi gak ke kedai, nih. Ada urusan dikit.”Bara mengangguk mengerti. Salim pun permisi karena ia sedikit mengk
Ponsel Nia bergetar di saku dan gadis itu menyadarinya. Salim menyayangkan itu karena ini belum cukup lama untuk Nia beristirahat. Seharusnya, gadis itu diberi cukup waktu lagi. Salim berdeham saat Nia mengakhiri panggilan teleponnya dengan seseorang. “Kalau masih capek, kamu bisa tiduran lagi, Nia.” Nia mengangguk. Ia menyandarkan punggungnya dan menghadap ke sebelah kiri. “Kamu kalau bosan diam aja, sambil jalanin mobil juga gak apa-apa, Lim.” “Aku takut ganggu kamu istirahat, Nia.” Nia menggelengkan kepala. “Tidurku udah cukup. Sekarang, aku mau cerita.” Salim meng-oh pendek tanpa suara. Ia lantas menjalankan mobilnya ke arah yang sama sekali belum mereka tentukan. Nia meminta Salim mengecilkan volume lagu yang terputar di mobil. Salim melakukan apa yang diminta. Nia tak juga bicara, hanya menatap ke luar jendela. Entah kalimat apa yang sedang dirangkainya, tetapi Salim tahu itu adalah hal yang teramat penting dan menjadi satu-satun
Nia sudah menyatakan ketidaksiapannya menerima kontrak baru di manajemen saat ini. Ia berkata bahwa ia masih membutuhkan waktu untuk beristirahat dari dunia entertain. Ia harap para pihak manajemen bisa memahami kondisinya. Sebetulnya, beberapa ada yang memihak pada Nia dan memaklumi. Akan tetapi, ada saja yang tidak berada di sandingnya saat ini dan malah berpikir bahwa Nia memiliki kemungkinan akan dilepas dari manajemen. Nia hanya mengatakan bahwa dia akan oke jika pihak manajemen melepasnya. Mungkin bukan lagi masanya. Ia juga bisa dan masih kuat untuk mencari penghasilan dengan cara yang lain. *** “Gue turut sedih atas batalnya pernikahan lo dengan Daren,” ucap Ali dan Kanya—kekasih Ali—yang saat itu sedang mampir ke lokasi syuting di hari terakhir. “Gak perlu sedih gitu, ah!” Nia menepuk bahu Kanya agak keras. Ali membalas Nia untuk Kanya. “Pernikahannya aja baru rencana. Nggak batal karena memang belum ada apa-apa.” Sebetulnya,
Daren menghela napas waktu Nia mengungkap pernyataannya secara jujur—di depan kedua orang tuanya. Nia agak tidak menyangka begitu mengetahui respons mama dan papa Daren yang malah memeluk dan mendukung keputusannya. Mereka bilang, Daren memang keras kepala. Semua orang yakin bahwa bagi Nia, membuat keputusan untuk hidup bersama sungguh memerlukan waktu yang tidak sebentar. Setidaknya lebih dari tiga hari. Nia menatap Daren dengan perasaan tidak enak. Sebetulnya, ia merasa Daren tidak melakukan kesalahan dengan meminta waktu tiga hari untuk berpikir. Bagi Nia, ini bukan masalah waktu, tetapi perasaan. Nia tahu apa yang dia rasakan selama ini dan itu bukan cinta. Lebih lama menunggu jawaban yang ‘sudah pasti tidak’ itu akan lebih menyakitkan buat Daren. Nia menghampiri Daren yang terus menundukkan kepalanya sejak kata ‘tidak’ yang terlontar dari mulut Nia, beberapa menit yang lalu. “Akhirnya, aku bisa mengatakan ini semua, Daren. Maafin aku karena tidak
Suasana sunyi, tetapi tetap terasa ramai di kepala Nia saat ini. Ia sudah dihadapkan dengan Virza yang menantinya untuk bicara. Kurang lebih dua puluh menit berlalu, tetapi tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Nia.Padahal, di telepon Nia berpesan bahwa ia akan membicarakan suatu hal yang penting pada sang papa.Seluruh benda di dalam ruangan, entah itu jam dinding, meja, kursi, bingkai foto, bahkan tembok yang senantiasa bisu itu seolah berteriak menyuruhnya bicara. Sementara di kepalanya, seluruh hal terngiang. Entah hal mana yang akan ia mulai."Apa ini tentang Daren?" Akhirnya, papa lah yang memulai percakapan kali ini.Nia menganggukkan kepalanya. "Itu salah satunya, Pa, tetapi aku akan mulai dengan satu yang paling penting dan yang paling keras berteriak di kepalaku."Virza menaikkan alis, tersirat sebuah tanya, "Apa itu?""Karirku, Pa." Nia menghela napas setelah bersusah payah mengatakan dua kata itu. Payah, padahal ia
“Better?” Salim bertanya setelah Nia sudah siap memasang sabuk pengaman. Mereka akan segera berangkat. Nia sudah duduk mantap di kursi kemudi, sementara Salim berdiri dari luar jendea mobil.“Sebenernya kalau lo masih butuh supir, gue bersedia, lho,” kata Salim lagi.Nia menggelengkan kepala tiga kali. “Enggak perlu, Salim, anaknya Nyonya Salma. Gue bisa nyetir sendiri dan tau jalan pulang, kok.”Salim menangkupkan kedua telapak tangannya lantas mengangguk. “Baik, Nona. Sampai jumpa dan hati-hati di jalan.”“Terima kasih, Abang.”Salim tertawa begitu mendengar gadis itu memanggilnya abang. Nia melenggang pergi menjauhi area perumahan tempat tinggal Salim. Mereka harus berpisah setelah beberapa menit bersama. Hari ini menyenangkan bagi keduanya.Namun, sayangnya, Nia sendiri tidak bisa memungkiri bahwa setelah hari ini, hanya tinggal kurang dari 30 jam waktunya memutuskan ak
“Gimana?” Jenis kata tanya yang nyaris berulang kali papa Nia ajukan kepada Daren siang itu. Sejak pagi, Daren mampir ke rumah sang calon mertua untuk membicarakan pasal pernikahan yang ia yakini akan terjadi itu. Namun, Virza mempertanyakan sesuatu yang bersifat meragukan. Ada begitu banyak pertanyaan yang apabila Daren tangkap, maksudnya hanya satu, “Siapkah Daren menerima Nia dengan segala sifat alaminya?” Berkali-kali, Daren mengatakan ya, ia menerima itu dengan sepenuh hati. Akan tetapi, selalu saja ada celah di mana Virza ragu akan jawaban Daren. Atau ia ragu, Daren akan menerima itu sampain kelak, sampai tua. Ia terlalu khawatir pria itu akan meninggalkan putrinya suatu saat nanti karena tidak tahan dengan sifatnya. “Apa yang ingin papa pastikan lagi?” “Kamu betul-betul menerimanya, bukan hanya menekannya agar mau menerirmamu.” Begitu jawaban Virza. Lama kelamaan, Daren sendiri yang meragu. “Sebaiknya kamu pikirkan dulu, biarkan putriku