"Dokter bilang kanu kecapekan, kekurangan darah," ujar Feri lagi.Gina mengangguk, menghela nafas panjang. "Makasih, Mas, udH nolong aku," ucap Gina.Feri mengangguk. "Sama-sama. Ngomong-ngomong dokter bilang kamu udah boleh keluar dari rumah sakit, mau aku antar pulang?""Enggak usah, Mas. Nanti merepotkan." Gina menggelengkan kepalanya. Fia bangkit berdiri dari tempat tidur. Tubuhnya tidak lagi terasa lemas, pusing di kepalanya juga sudah mereda."Enggak merepotkan, kok, Gin. Ayo, aku antar kamu. Sekalian aku pengen ketemu sama anak-anak, udah lama banget, kan, aku enggak ketemu sama mereka."Gina akhirnya setuju untuk pulang diantar oleh Feri. Pria itu menggunakan sebuah motor, Gina duduk di belakangnya, lengannya memegang erat pakaian di pinggang Feri. Motor Feri melaju membelah jalan raya yang ramai akan pengendara. Beberapa menit kemudian, Feri memberhentikan motornya di depan rumah Gina."Makasih, ya, Mas," ucap Gina sambil turun dari motor. "Mau mampir? Katanya pengen ketemu a
Mengapa orang-orang di desa sangat bodoh? Bukankah tempo hari Bagas sudah mengatakan bahwa dokter Serly dan dirinya tidak memiliki hubungan apa pun? Akan tetapi beberapa hari kemudian mereka dengan cepat lupa dan ketika Serly curhat bahwa Bagas, sebagai calon suaminya, lebih perhatian pada Gina, mereka percaya."Bu dokter jangan diem aja, nanti keenakan si Gina di deketin terus sama pak Bagas, nanti dia ngiranya pak Bagas pengen balikan lagi."Gosip di desa berkembang dengan sangat cepat, ibu-ibu berbicara dari mulut ke mulut betapa menyedihkannya dokter Serly dan betapa kejam dan genitnya Gina karena menggoda mantan suaminya yang sudah memiliki istri.Keesokan harinya Gina pergi untuk membeli sayuran di tempat biasa. Di sana sudah banyak ibu-ibu berkumpul sambil memilah-milah sayuran."Pagi, Bu!" sapa Gina ketika tiba di sana.Wanita-wanita setengah baya itu tampak canggung karena kedatangan Gina. Mereka menatap Gina dengan serba salah dan membalas sapaannya, "Pagi, Bu Gina."Gina ter
Gina termenung, bingung apakah dia harus menerimanya atau tidak."Kalau kamu mau, aku bisa kabarin temenku biar kamu masuk ke sana. Gajinya lumayan, loh, Gin, kerjanya juga cuka nganter minuman doang." Sari terus membujuk Gina."Aku pikirin dulu, deh, Sar. Soalnya aku takut kalau kerja kaya gitu. Besok aku kasih tau, yah," ujar Gina sambil tersenyum."Oh, ya udah, deh. Tapi besok langsung jawab, yah, takutnya nanti keburu ada yang gantikan."Gina menganggukkan kepalanya pelan. Keduanya kembali mengobrol seputar hal-hal biasa. Ketika sore hari tiba, Sari pamit pulang karena dia belum membuat makanan untuk suaminya yang akan pulang dari pekerjaan.Gina juga masuk ke dalam rumah, anak-anaknya sedang bermain di luar, Gavin yang sudah melepaskan jahitan di kepalanya juga ikut bermain.***"Dua hari lagi kita akan melakukan penangkapan. Tempatnya sudah di konfirmasi, di sebuah club malam, hanya 2 kilometer dari kampung yang bapak tempati sekarang." Itu adalah suara seorang pria yang duduk di
''Aku enggak ngerti apa maksud kamu, Aku enggak pernah pergi-'' Tiba-tiba Bagas teringat bahwa tadi pagi dia pergi bersama Serly dan anak-anaknya mengatakan bahwa mereka melihat. Apa Gina juga melihatnya?''Lepasin!'' titah Gina dengan kesal.''Aku pergi sama dokter Serly karena ada urusan pekerjaan, bukan apa yang kamu pikirkan.'' Bagas menjelaskan.''Itu bukan urusan aku, kita bukan siapa-siapa,'' balas Gina.Bagas terdiam, seolah menyadari bahwa keduanya memang tidak memiliki hubungan apa pun. ''Kalau gitu kenapa kamu marah?'' tanya Bagas lagi.''Mas, bisa tolong lepas?'' kali ini Gina bertanya dengan suara dingin.Pengangan tangan Bagas seketika terlepas dari pintu Gina. Gina memalinhkan wajah, masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Bagas menatap dengan hampa Gina yang menghilang di balik pintu tertutup, rasa sesak menyebar dengan cepat di hatinya mendengar nada dingin Gina saat bicara padanya.***Gina duduk di sudut tepi tepat tidur, memegang sebuah kartu ATM yang Bagas berikan
Gina tersenyum, menganguk dengan kaku. ''Terimakasih-pak?'' Gina tidak tahu harus menyebut pria kemayu di hadapannya dengan sebutan apa.''Panggil aja saya Mis Vion.'' pria itu meralat panggilan Gina untuknya.Pria yang ingin di panggil 'mis Vion' itu berjalan menuju sebuah meja dan duduk di atasnya.''Siapa nama kamu?'' tanya Mis Vion.''Nama saya Gina, Mis.'' Lidah Gina sedikit tidak nyaman karena menyebut seorang pria 'mis'. ''Apa ada persyaratan yang perlu saya penuhi?'' tanya Gina.Mis Vion menatap Gina dengan intens. Tatapannya tidak jauh beda dari satpam yang menatapnya tadi. Gina merasa canggung dan risi kala manik mata mis Vion berkeliaran di tubuhnya. Setelah itu mis Vion tiba-tiba menganggukkan kepalanya dan bergumam pelan, ''Lumayan juga.'' Pria kemayu itu puas dengan tubuh yang Gina miliki. Meskipun sedikit kurus, akan tetapi Gina memiliki dada dan bokong besar. Sangat cocok dengan kriteria pegawai di sini.Mis Vion membuka sebuah lemari, mengambil sesuatu di dalam sana
Gina buru-buru berjalan mengikuti mis Vion. Mereka melewati kerumunan orang yang sedang berjingkrak-jingkrak menggoyangkan badannya dengan sangat panas diiringi musik DJ yang mengalun memekikkan telinga.Sedari tadi Gina berjalan sambil menutupi dadanya yang sedikit terekspos.Tiba di sebuah pintu berwarna coklat, mis Vion membukanya, menoleh pada Gina. "Ayo Masuk! Kamu melayani di ruangan ini mulai sekarang!"Mengangguk, Gina masuk ke dalam ruangan. Ruangan baru itu dan ruangan yang baru saja Gina lewati tidak jauh berbeda, banyak pria-pria berjas beserta wanita penghibur di diamnya. Bedanya adalah jumlah orang di ruangan itu tidak sebanyak yang sebelumnya, lagi DJ juga mengalun lembut di ruangan itu.Mis Vion meninggalkan Gina di sana. Wanita itu berdiri kaku di ambang pintu, tidak tahu harus melakukan apa. Melihat adegan-adegan vulgar di sana membuat Gina ingin pergi dari tempat itu. Dia agak sedikit menyesal sekarang."Hei! Sini." Seo
Gemetar, rasa takut membuat kepala wanita itu semakin pusing. Tubuhnya tiba-tiba terasa sangat panas, bagian bawahnya entah mengapa terasa gatal dan basah. Gina duduk gelisah di tempatnya, ingin cepat pulang dan menyelesaikan birahi yang tiba-tiba saja datang. Gina tidak mengerti bagaimana bisa di situasi seperti itu dia bisa terangsang. Apakah ada yang salah dengan minuman yang dia minum? Gina tidak tahu.Di sisi lain, Bagas dan rekan-rekan menangkap orang-orang yang terlibat dalam transaksi narkoba yang mereka lakukan. Untuk memastikan bahwa tidak ada yang lolos, mereka juga mengamankan para pelanggan yang datang serta pegawai.Tatapan Bagas mengedar sambil mendengar laporan dari bawahannya. Tatapannya tiba-tiba jatuh pada seorang wanita yang terus menunduk dengan rambut tergerai yang menutupi wajahnya. Kening Bagas berkerut, merasa bahwa wanita itu tidak asing. Kakinya melangkah mendekat dengan langkah lebar.Gina yang mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya semakin menciut
"Panas..." Gina bergumam dengan suara pelan, suara Bagas hampir hanya terdengar seperti dengungan di telinganya. Dadanya yang setengah terbuka naik turun dengan tempo cepat, Gina mencondongkan tubuhnya berusaha mencium Bagas.Bagas tentu saja menghindar, dia merasa ada gang aneh dengan tubuh Gina. Apa yang wanita itu makan hingga bisa menjadi seperti itu. "Ayo kita ke rumah sakit!" ajak Bagas.Gina menggeleng, merasa malu jika dokter melihatnya terangsang begini. "Panas, Mas. Gatel," rengek Gina pada Bagas."Apanya yang gatel? Biar aku bantu garuk," ucap Bagas dengan tidak berdaya. Dia mengira rasa gatal yang Gina sebutkan padanya adalah di bagian kulit punggung atau tangan, tapi siapa tahu Gina akan membimbing tangannya ke arah itu.Lagi dan lagi Bagas di buat tercengang oleh apa yang Gina lakukan. Kepalanya berdenyut perih, bahkan kepala bawah miliknya juga ikut berdenyut sejak Gina menyentuhnya di balik celana tadi."Mas, tolong aku!" Gina terus merengek, memohon pada Bagas.Wanita