Abizam benar-benar keterlaluan dan tak berperasaan. Bagaimana mungkin ia sampai hati meminta kembali sesuatu yang telah ia berikan kepada istri dan anaknya?Claretta mengeritkan gigi, tapi demi mempertahankan harga diri, ia melepaskan juga perhiasan yang melekat di tubuhnya. Ia bahkan melepas paksa perhiasan milik Miranda, walaupun anak gadisnya itu memberontak. Tak rela.Dengan gerakan kasar ia membanting perhiasan yang telah dilucutinya kepada Abizam."Kembalikan juga semua kartu yang kalian pegang!""Kamu?! Benar-benar jahat!" Claretta menggeram."Masih untung aku tidak menagih semua biaya hidupmu dan anak harammu itu selama lebih dari dua puluh tahun." Mata Abizam menyipit. "Kembalikan! Kalau kau bersikeras untuk membawanya, aku tidak akan segan-segan melaporkanmu dengan tuduhan pencurian!"Darah Claretta mendidih. Ingin rasanya ia mencabik-cabik mulut Abizam. Lelaki yang dulu selalu berkata lembut dan memujanya bak seorang ratu, dalam sekejap telah berubah menjadi monster yang me
Terseok-seok Miranda dan Claretta menyeret langkah. Tumit Miranda bahkan lecet."Mom, sampai kapan kita akan terus berjalan? Aku capek, Mom! Lihat nih! Kakiku lecet semua."Claretta berhenti, memperhatikan kaki putrinya yang mengeluarkan darah. Hatinya pun ikut berdarah-darah.Sedari kecil Miranda terbiasa manja, tapi sekarang menderita. Bermandikan peluh, menyusuri jalanan yang mulai gelap."Mom, aku takut," rengek Miranda, merapatkan tubuh pada Claretta. "Mommy masih punya uang tunai, kan? Ayo ke hotel, Mom. Aku tidak tahan lagi. Banyak nyamuk di sini."Claretta mengeluarkan dompet. Gara-gara terus memikirkan nasibnya yang malang, ia melangkah tanpa tujuan. Lupa bahwa anak gadisnya tidak terbiasa hidup susah."Sebentar! Mommy cek dulu!"Grep!Sedang asyik-asyiknya dia menghitung lembar demi lembar dari uang yang tersisa, sebuah tangan menyambar dompet yang dipegangnya dari atas motor berkecepatan tinggi."Jambreeet! Tolooog!"Claretta dan Miranda berteriak panik.Claretta memukul ke
"Miranda, Miranda!"Claretta mengguncang badan Miranda.Hosh! Hosh!Miranda membuka mata. Terduduk lemas dengan napas ngos-ngosan. Ternyata cuma mimpi.Ini pasti gara-gara pengalaman perdananya makan di warung kecil sampai-sampai terbawa mimpi.Mengerikan sekali! Miranda tak sanggup membayangkan lelaki itu sungguh mengukir wajah cantiknya dengan sebilah belati."Mom, aku mau pulang." Miranda tergugu di pelukan Claretta."Sabar, Sayang. Mom—"Byuuur!Seember air mengguyur Claretta dan Miranda."Pergi kalian dari sini! Toko ini mau buka!" Seorang lelaki berkulit gelap dengan kumisnya yang tebal melotot pada Claretta dan Miranda.Namun, setelah mengamati penampilan keduanya, matanya yang mengobarkan api kemarahan berubah menjadi tatapan buas, penuh nafsu."Cantik! Boleh juga!" Lelaki itu mengelus dagu. Menyeringai seperti seekor singa yang kelaparan.Claretta merasakan aliran sedingin es menjalari pembuluh darahnya."B–baik. Kami akan pergi," ujar Claretta, membantu Miranda berdiri, "Ayo
"Aduh! Sakit!"Miranda meringis, meraba pipinya yang terasa perih. Kilatan benci memancar dari bola matanya untuk Claretta.Wanita yang telah melahirkannya itu tega mencakar wajah mulusnya.Claretta balas mendelik. Setali tiga uang dengan Miranda, ia juga kesal pipinya tergores kuku tajam milik Miranda."Sudah! Malu dilihat orang! Kalian ini ibu dan anak. Masa gontok-gontokan di jalanan." Gallen mematahkan semangat saling serang yang mulai memunculkan tunas baru di hati Claretta dan Miranda."Ayo kutraktir makan! Kalian pasti lapar, kan?"Claretta dan Miranda saling menatap sinis, lalu sama-sama membuang muka. Keduanya saling mendahului untuk tiba di mobil Gallen."Eit, tunggu!" kejar Gallen, masih belum membuka pintu. "Kalian harus berdamai sebelum ikut denganku."Claretta dan Miranda sama-sama jual mahal."Ya sudah! Kalau tidak mau, silakan lanjutkan perkelahian kalian. Banyak urusan penting yang harus kuselesaikan!"Gallen berjalan ke pintu mobil pada sisi roda kemudi.Takut akan di
Uhuk!Gallen tersedak.Yang benar saja! Dari mana Claretta mendapatkan kepercayaan diri yang begitu tinggi? Narsis.Dia mengincar tubuh Miranda? Ya Tuhan! Tertarik pun tidak. Miranda bukan tipenya."Astagfirullah! Nyonya, tidak semua laki-laki di dunia ini berpikiran kotor dan hanya memburu kepuasan di bawah pusat!""Tidak?" Claretta menyipitkan mata, tak percaya.Putrinya sangat cantik dan seksi. Lelaki mana yang tidak akan tergoda dengan kemolekan tubuh sintalnya. Jika ada, lelaki itu pasti bermasalah.Gallen mengeluarkan buku cek. Menuliskan sejumlah angka, kemudian merobeknya."Untuk sementara, kalian bisa hidup dengan mengandalkan uang ini. Tapi, bantuanku hanya sekali. Kalian harus bekerja jika ingin terus hidup," ujar Gallen, meletakkan sehelai cek yang telah ditandatanganinya di dekat kunci rumah yang belum disentuh oleh Claretta."Cih! Kamu pikir aku akan mudah tertipu dengan perhatian dan kebaikan palsumu itu? Mana ada orang yang bersedia memberi tanpa mengharapkan balasan!"
Deg!Detak jantung Gallen bertalu-talu."Umm, itu ... tolong jangan salah paham! Aku tidak mungkin melakukan sesuatu yang melukai perasaanmu.""Huh? Sekarang aku jadi mencurigaimu." Tatapan Grizelle semakin dalam.Ya Tuhan! Apa dia salah bicara lagi? Gallen tak habis pikir kenapa setiap kali ia berusaha untuk menjauhkan Grizelle dari prasangka buruk terhadapnya, yang terjadi justru sebaliknya.Untuk menghindari agar Grizelle tak melihat kegugupannya, Gallen melangkah cepat menuju kursi kebesarannya."Kamu tidak ingin mengatakan sesuatu?" Grizelle balik badan menghadap Gallen, tegak menunggu penjelasan."Tentang apa?""Kamu lupa? Atau pura-pura lupa?" selisik Grizelle, melayangkan tatapan mematikan pada Gallen. "Tentu saja tentang setengah jammu yang naik tiga kali lipat.""Ya ampun, Greeze!" Gallen tertawa sumbang, berusaha menenangkan degup jantungnya. "Kukira tentang apa."Padahal, yang sesungguhnya, Gallen ragu untuk menceritakan pertemuannya dengan Claretta dan Miranda kepada Griz
Harga diri seorang lelaki tergantung pada seberapa mampu ia menyelaraskan perkataan dengan perbuatan.Dan lelaki sejati adalah lelaki yang memegang teguh omongannya. Hanya pecundang yang menjanjikan A, tapi melakukan B.Gallen bukan pecundang. Sesuai janjinya pada Claretta, ia langsung meluncur ke sana sepulang kerja. Tentu saja setelah berhasil meyakinkan Grizelle.Gallen memencet bel. Tidak lama kemudian, Claretta membukakan pintu."Silakan masuk, Tuan Muda Kyler!" sambut Claretta, tersenyum ramah.Apa matahari terbit dari Barat? Gallen terkesima dengan perubahan sikap Claretta. Biasanya wanita itu selalu memandangnya sebelah mata dan memanggil dirinya dengan sebutan yang bikin sakit hati. Kenapa sekarang Claretta bersikap sangat sopan dan menyapanya dengan sapaan formal?"Tidak perlu terlalu sungkan, Nyonya. Aku tidak akan berlama-lama.""Astaga! Kamu sangat tidak sabaran rupanya," goda Claretta, mengedipkan sebelah mata."Nyonya kelilipan?"Claretta nyaris muntah darah mendengar pe
"Miranda sudah pergi, Tuan Muda. Apa yang ingin Anda bicarakan?"Nada bicara Claretta terdengar manja. Ia menyisipkan rambut ke belakang telinga. Ekspresi wajahnya tampak malu-malu, seperti seorang dara yang berhadapan dengan kekasih hati.Gallen mengernyit melihat keanehan sikap Claretta, tapi cepat ditepisnya keheranan itu.Gallen memindahkan map dari pangkuannya ke atas meja. Ia memberi penawaran kepada Claretta."Ini adalah sertifikat kepemilikan rumah," ujar Gallen. "Rumah ini bisa menjadi milik Anda bila Anda bersedia bekerja sama denganku."Claretta mendongak kaget. Roman muka tersipunya raib tersaput keseriusan."Maksud, Tuan Muda?""Anda bisa membalik nama kepemilikan rumah ini atas nama Anda atau Miranda asal Anda menjawab pertanyaanku dengan jujur.""Tunggu! Jadi, dari awal Anda memang tidak mengincar Miranda?""Tentu saja tidak. Aku, pria yang sudah beristri. Untuk apa aku menginginkan putri Anda? Anda salah kaprah, Nyonya. Aku, tipe lelaki yang setia pada satu wanita."Cl
"Nyonya Bellona Hopkins?!" seru Gallen, kaget. "Tidak. Anda datang pada waktu yang tepat. Mari bergabung bersama keluargaku!""Iya, Nyonya. Ayo duduk sini!" Kimi menjemput Bellona."Terima kasih!" Bellona merasa terharu dengan sambutan Gallen dan keluarganya. "Sebenarnya, aku ke sini ingin minta maaf pada Gallen atas namaku dan juga Atha. Aku terlalu serakah dan mementingkan anakku.""Seorang ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Itu bisa dimaklumi, Nyonya," sahut Gallen. "Kami juga minta maaf karena telah melaporkan Anda dengan beberapa tindak kejahatan yang tidak Anda lakukan."Wajah Gallen kecut, merasa bersalah."Itu bukan kesalahanmu sepenuhnya. Wanita berhati iblis itu yang sangat pandai menipu orang." Muka Bellona menggelap. "Kalau aku tahu Bibi Rose menggunakan wajahku untuk berbuat jahat, aku pasti telah lebih dulu menyeretnya ke penjara. Dia benar-benar licik!""Dia pasti mempelajari keterampilan make-up saat berada di Korea Selatan," timpal Kimi."Betul. Itu ar
Gallen melangkah gontai memasuki rumah. Ia melewati Grizelle yang duduk santai di ruang tengah begitu saja.Namun, ketika sudut matanya menangkap bayang Grizelle saat hendak menaiki tangga, ia berbalik.Tanpa malu-malu ia merebahkan diri dan meletakkan kepala di pangkuan Grizelle yang duduk berjuntai di atas sofa.Grizelle mengelus rambut Gallen yang jatuh ke kening."Kamu dari mana saja? Aku sangat khawatir. Teleponmu tidak aktif."Gallen merogoh saku, mengeluarkan ponsel. "Ck! Baterainya habis.""Sini! Kubantu mengisikan dayanya.""Nanti saja! Aku masih mau seperti ini." Gallen menaruh ponsel di atas meja, lalu melingkarkan lengan pada pinggang Grizelle.Saat hatinya sedang galau dan pikiran kacau, berbaring di pangkuan Grizelle bikin nyaman.Wangi vanila berpadu dengan aroma alami tubuh Grizelle menghadirkan perasaan tenang di hati Gallen.Setelah cukup lama menikmati kehangatan pangkuan Grizelle, Gallen bangkit. Mengecup kening Grizelle."Terima kasih. Bersamamu, aku selalu merasa
"Kenapa? Kaget? Hahaha ...."Wanita itu tak peduli dengan keberadaan polisi dan tangannya yang terbogol. Ia tertawa, seperti telah kehilangan kewarasannya.Gallen bukan hanya kaget, tapi syok. Tak menyangka orang yang selama ini dikenalnya begitu baik dan berada di pihaknya, ternyata merupakan dalang dari segala kemalangan yang menimpa keluarganya."Bibi Rose, katakan bahwa ini tidak benar!""Hahaha ... sayangnya, inilah kenyataannya."Gallen menggeleng-geleng. Masih sulit memercayai kebenaran yang terpampang di depan mata."Kenapa, Bi? Bukankah nenekku selalu memperlakukan Bibi dengan baik?"Gallen masih ingat, walaupun samar, neneknya tidak pernah memperlakukan Bibi Rose dengan kasar.Rianna bahkan memercayai Bibi Rose menjadi pelayan pribadinya. Neneknya bahkan tak pernah perhitungan dalam membelikan pakaian dan memenuhi kebutuhan Bibi Rose.Tapi lihat balasan yang diberikan wanita itu! Hanya pengkhianatan terhadap keluarganya."Baik? Cih! Nenekmu bahkan lebih licik dari seekor rub
"Bro, target memasuki perangkap. Kau ingin melihat langsung?""Aku sudah berada di lokasi. Di mana kau?"Gallen berdiri di belakang sebuah tiang besar, mengawasi seorang wanita yang baru saja turun dari mobil.Wanita itu memakai setelan tunik dan celana panjang yang terlihat modis. Sehelai masker dan kacamata hitam berbingkai lebar menutupi wajahnya yang lonjong.Sebuah topi bulat dengan hiasan sekuntum bunga teratai mekar meneduhi wajahnya yang tersembunyi dari terik matahari."Arah jam sembilan."Gallen mengerling ke titik yang disebutkan. Tampak bayangan Regan duduk di belakang roda kemudi, berlagak sedang membersihkan dashboard. Namun, matanya sering kali mengerling ke pintu gerbang."Aku pada titik jam satu."Pandangan keduanya segera bertemu begitu Gallen menutup panggilan telepon.Regan tersenyum seraya mengangguk ringan.Wanita itu telah memasuki lobi hotel. Regan mengikuti dari belakang layaknya juga seorang pengunjung.Gallen berjalan memutar. Memasuki hotel lewat pintu khusu
"Laura, memaafkan dan kembali bersama adalah dua hal yang berbeda! Jangan mengharapkan lebih dari apa yang dapat kuberikan dan pantas untuk kau dapatkan!"Binar di mata Laura sirna seketika. Tatapannya luruh ke tanah."Tapi aku masih sangat mencintaimu, Gallen! Tak bisakah kamu menceraikan istrimu dan kembali padaku?""Laura, rumah tangga bukan hanya tentang rasa cinta, tapi tentang komitmen dan saling percaya."Cinta adalah ungkapan rasa hati. Dan asal kau tahu, hati itu sangat rapuh. Mudah sekali terbolak-balik, seperti musim yang terus berganti."Sementara komitmen adalah keteguhan hati dalam memegang janji suci. Tak peduli sekuat apa semesta mengguncangnya, ia tak akan berubah. Tetap setia melewati berbagai cobaan dan rintangan."Namun, sekali komitmen itu hancur, maka yang tersisa hanyalah serpihan tak berwujud, dan tak akan pernah bisa kembali utuh seperti semula."Kau bukan hanya telah menghancurkan komitmen cintamu denganku, Laura, tapi juga telah membuangnya. Apa lagi yang bi
Hening!Orang itu tak menyahuti perkataan Gallen. Ia sama sekali tak membantah tuduhan Gallen."Siapa kau?"Gallen menekan beberapa titik di punggung orang itu dengan gerakan cepat. Mengunci tubuhnya agar tak bisa melarikan diri."Kamu apakan badanku, hah?! Lepaskan aku!"Gallen terkesiap. Ternyata sosok yang bersembunyi di balik coat panjang dengan kepala tertutup hoodie lebar itu adalah seorang perempuan."Kau tidak akan ke mana-mana sebelum aku mendapatkan apa yang kuinginkan darimu," bisik Gallen, dengan nada penuh penekanan.Beberapa pasang mata, dari orang-orang yang melintas hendak keluar masuk Rumah Sakit, mengerling curiga pada Gallen.Gallen pindah ke hadapan wanita itu. Tegak dengan sebelah tangan bersembunyi dalam saku celana.Posisi mereka seperti dua orang kenalan yang saling bercengkerama.Keinginan wanita itu untuk kabur dari Gallen melebihi kuatnya terjangan ombak yang mengempas batu karang. Sayang, sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan."Tolong, lepaskan aku! Aku janj
"Ada apa ini? Kenapa semua terlihat canggung?" tanya Grizelle, merasa tak enak hati karena masuk tanpa mengetuk pintu."Ah, itu hanya perasaanmu saja!"Gallen menyongsong Grizelle, mengambil alih tas berukuran kecil, yang berisi pakaian Kimi."Instingku tak pernah salah," bisik Grizelle. "Aura ruangan ini agak aneh."Gallen tersenyum simpul. Ia akui Grizelle memiliki kepekaan yang luar biasa. Pantas saja ia tak pernah gagal dalam menyelidiki kasus kliennya."God! Ayah juga di sini?" seru Grizelle, bergegas menyalami Grath. "Huh! Sekarang aku tahu kenapa ruangan ini terasa aneh. Ternyata Adam dan Hawa bertemu kembali setelah terlempar dari surga ke belahan dunia yang berbeda.""Greeze, apa yang kamu katakan?" Pipi Kimi merona merah.Perumpamaan yang disematkan Grizelle pada dirinya dan Grath menurutnya terlalu berlebihan."Wah, Ayah juga sudah sembuh? Luar biasa! Memang ya ... lelaki akan melupakan segala rasa sakit dan kesedihannya begitu melihat senyum menawan sang istri," imbuh Griz
"Penjahat seperti David Kyler tidak akan mampu menyentuhku, Bu. Ibu tidak perlu mencemaskan aku. Pikirkan saja kesehatan Ibu! Ibu harus segera sembuh.""Kamu juga tidak perlu mengkhawatirkan aku secara berlebihan."Gallen meraih jemari Kimi. "Bu, aku takut. Jika terjadi sesuatu yang buruk pada Ibu, aku akan merasa bersalah seumur hidup. Aku akan dihantui perasaan menyesal.""Gallen, tidak ada yang perlu disesali dari sebuah takdir. Cepat atau lambat, kita semua akan meninggalkan dunia ini.""Aku tahu, Bu. Tapi aku akan menyesal karena aku belum sempat mempertemukan Ibu dengan ayah.""Kamu tidak perlu melakukan itu, Gallen." Kimi melengos. Matanya terasa panas."Kenapa? Apa Ibu tak lagi mencintai ayah?""Bukan. Bukan karena itu. Seumur hidupku, aku hanya mencintai satu orang pria. Dan Pria itu adalah ayahmu."Aku tidak pernah mencintai lelaki lain, dan tidak akan pernah bisa.""Tapi, kenapa Ibu tidak mau bertemu dengan ayah? Selama ini ayah juga menderita, Bu."Kimi berusaha untuk dudu
Bugh!Tendangan Gallen melempar David hingga menghantam dinding dan menyebabkan dinding itu jebol."Bawa dia!" titah Gallen pada dua orang anak buah Kenzie yang menonton aksinya."S–siap, Komandan!"Mereka gugup melihat kehebatan Gallen. Tak terbayang jika mereka yang berada di posisi David. Mengerikan.Cepat-cepat mereka mengangkat sosok David yang tergeletak di tanah.Suara dering ponsel memecah kesunyian di kamar isolasi Grath.Thomas meninggalkan komputer yang memuat laporan perkembangan kesehatan Grath. Berjalan sedikit menjauh setelah membaca nama Gallen pada layar monitor."Firasatku tidak enak menerima panggilan telepon darimu pagi-pagi begini," ujar Thomas dengan suara lirih."Apa istriku bersama Kakek? Aku tidak bisa menghubunginya.""Tidak. Ada apa?""Kek, kalau Grizelle datang menemui Kakek, tolong minta dia untuk ke rumah ibuku, mengambil baju. Ibuku dirawat di Rumah Sakit.""Ibumu dirawat?! Apa yang terjadi? Apa dia baik-baik saja?""Ceritanya panjang, Kek. Aku masih ada