Di sebuah ruangan besar dengan jendela-jendela lebar, Riki sedang berdiri memandangi jalanan kota. Dia tahu bahwa waktunya tidak banyak. Investigasi yang dipimpin Laura semakin menekan, dan bukti-bukti mulai terkuak ke permukaan. Dengan marah, dia memukul meja, membuat beberapa berkas terjatuh."Kita harus segera menemukan Azura." Riki berbicara dengan nada tegas kepada anak buahnya yang berkumpul di ruangan itu. "Jika dia berhasil bersaksi, kita semua akan habis."Dengan wajah tegang dan penuh rasa takut, anak buah Riki mengangguk. Mereka tahu bahwa bos mereka tidak main-main. Setiap perintah harus dilaksanakan dengan cepat dan tepat."Saya sudah menyebar orang-orang di beberapa tempat yang mungkin dia datangi," kata salah satu dari mereka. "Kami juga memantau setiap pergerakan yang mencurigakan.""Apa hasilnya?""Masih belum kami temukan." Dia menjawab seraya menundukkan kepala.Riki spontan melempar lembar kertas di hadapannya. Berkas laporan lokasi tidaklah berarti. Riki tak butuh
'Aku ingin kamu jujur sama Azura kalau kita berdua sudah bertunangan.'Satu-satunya permintaan dari Laura terus terngiang di kepala. Gavin mengerti kalau pengakuan ini pasti akan sangat terasa berat. Namun, sepertinya memang sudah saatnya bagi Gavin untuk mengambil keputusan."I'm so sorry, Azura," lirih Gavin seorang diri.Gavin sudah tidak nyaman dengan hatinya yang terus dilanda kegelisahan. Ketidakjujuran nyatanya benar-benar membuat semuanya kacau. Tak bisa lebih lama lagi menutupi hubungannya dengan Laura, Gavin akhirnya bertekad membuka semua kepada Azura.Mempertahankan hubungannya dengan Laura adalah keputusan yang mau tak mau harus Gavin ambil. Meski rasa sayangnya kepada Azura semakin terasa nyata, tapi Gavin tidak mungkin sanggup menyakiti Laura lebih banyak lagi. Sudah saatnya Azura tahu kalau Laura sebenarnya adalah wanita yang akan menjadi istrinya.Aku telah berdosa karena sempat berpikir kalau Azura akan memiliki masa depan denganku, ucap Gavin dalam hati.Jalanan mas
Rasanya mendebarkan, tapi Azura sangat bersemangat saat pada akhirnya dia bisa keluar dari flat miliknya. Setelah berbulan-bulan bersembunyi, Azura akhirnya bisa menghirup udara bebas. Ya, bebas.Azura tak perlu lagi takut akan ancaman dari Riki dan keluarganya. Pra peradilan telah berjalan, dan mereka semua sudah diamankan. Ini benar-benar menjadi hari yang bersejarah bagi Azura. Keberanian dan tekad yang dia kumpulkan selama ini akhirnya membuahkan hasil."Papa, Mama, kita semakin dekat dengan keadilan," ucap Azura seraya menatap pantulan diri dari kaca.Perasaannya bercampur antara lega, bahagia, dan sedikit cemas. Namun, satu hal yang pasti, hidupnya terasa sedikit lebih ringan. Memang belum berhasil sepenuhnya. Masih ada proses persidangan yang akan berlangsung selama berbulan-bulan. Namun, setidaknya Azura sudah melepas sedikit beban yang dia tanggung."Ra, kita jadi ketemu?"Suara Gavin mengalun merdu saat Azura mengangkat telepon darinya. Biasanya mereka hanya bersua di dalam
Tidak biasanya wajah Gavin diselimuti mendung. Biasanya, lelaki itu selalu tampak bahagia saat menatap wajah Azura. Namun, kali ini Gavin cenderung terlihat murung."Ada sesuatu?" tanya Azura.Gavin menarik bibirnya untuk membentuk senyum tipis, senyum terpaksa."Maaf karena kemarin aku harus bertemu dengan Anna," lanjut Azura.Gavin mengangguk. "Bukan masalah.""So?"Lelaki itu lantas menatap lekat kedua mata Azura. Manik abu-abu yang biasanya bersinar, kini berubah redup. Butuh waktu sekian detik bagi Gavin untuk sekadar mengucapkan satu kata."Ra, maaf."Alis Azura sontak mengernyit. "Maaf? Untuk apa?""Untuk semuanya."Gelengan kepala lantas memberi tanda bahwa Azura tak mengerti apa yang Gavin maksud. Sejauh ini, Azura tidak merasa punya masalah apapun dengan lelaki itu. Cukup aneh jika tiba-tiba Gavin membahas hal yang sepertinya cukup serius."Aku salah, Ra." Kalimat yang Gavin lontarkan terdengar berat dan sulit terucap. "Aku nggak jujur sama kamu selama ini, dan aku minta maa
Azura duduk meringkuk pada kursi balkon. Matanya menyorot ke arah jendela dengan tatapan kosong. Ada semburat rasa cinta yang sialnya harus beradu dengan lara.Embusan angin yang menerpa wajahnya, seolah mengingatkan pada malam-malam panjang yang pernah dia habiskan bersama Gavin. Setiap sentuhan, setiap bisikan, dan setiap senyuman yang pernah terjadi di ruangan ini, kini hanya menyisakan kenangan yang menyakitkan."God dammit!" pekik Azura.Azura menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam gejolak di dadanya. Mengapa rasa itu begitu sulit dihapus? Mengapa setiap kali dia berusaha melupakan, bayangan Gavin selalu saja muncul di benaknya? Kedua mata Azura lantas dipejamkan sempurna. Dia berharap bisa menemukan kedamaian di dalam kegelapan. Namun, wajah Gavin justru semakin jelas tergambar. Gurat tampan dengan senyuman yang dulu begitu Azura cintai, kini mewujud menjadi sumber luka yang tak terperi.“Gavin,” bisiknya pelan, nyaris seperti doa. Azura sadar bahwa perasaan ini tidak akan
Azura menatap wajahnya pada cermin kecil yang terpajang di kamar mandi. Rambutnya dibiarkan basah tanpa dibalut dengan handuk. Sungguh, Azura merasa tubuhnya seperti cangkang kosong yang tak bernyawa.Selama beberapa hari, Azura terus mencoba fokus pada persidangan yang masih bergulir. Namun, pikirannya selalu pecah setiap kali Azura mengingat Gavin. Ada perih yang tak bisa disangkal, meski Azura sudah berusaha sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan perasaannya.Bulan demi bulan, persidangan terus berlanjut. Setiap harinya, Azura membawa harapan bahwa keadilan akan ditegakkan. Laura dengan profesionalismenya yang tinggi, terus berjuang untuk memenangkan kasus tersebut. Di balik rumitnya perihal perasaan, jujur saja Azura mengagumi kekuatan dan dedikasi Laura, dan Azura sangat berterima kasih soal ini.Suatu pagi, ketika Azura sedang duduk sendirian di flatnya, ponselnya berbunyi. Nama Laura muncul. Azura menatap layar ponselnya beberapa saat sebelum akhirnya mengangkat panggilan terseb
"Atas dasar bukti dan kesaksian yang ada, pengadilan memutuskan bahwa terdakwa dinyatakan bersalah."Suara hakim terdengar tegas dan lantang. Ketukan palu berhasil membuat setitik air mata haru menetes di pipi Azura. Akhirnya, momen yang dia tunggu-tunggu telah tiba.Riki dan keluarganya sejak tadi hanya bisa menundukkan kepala. Namun, Azura masih bisa melihat lirikan mata penuh amarah sesaat sebelum Riki keluar dari ruang persidangan. Azura tahu, masih ada satu langkah yang harus dia lewati. Setelah ini, Riki pasti akan mengajukan banding."Kita masih harus berjuang di sidang selanjutnya, Ra," ucap Laura.Azura mengangguk. "Ada hal yang harus aku persiapkan?""Nggak ada," balas Laura. "Sidang selanjutnya adalah ajuan banding dari pihak Riki. Dan tenang aja, karena aku udah punya berbagai bukti perlawanan untuk ajuan banding nanti."Ungkapan terima kasih seolah tak pernah habis Azura layangkan. Sejak pertemuannya dengan Laura, hidupnya berangsur menjadi lebih baik. Kini Azura percaya
Persidangan kembali dilangsungkan. Proses banding berjalan hanya dalam kurun waktu beberapa minggu. Ini adalah momen-momen yang sangat penting bagi Azura. Namun, selama beberapa kali sidang, Gavin tetap tidak kunjung datang.Ah, tapi biar saja. Ada atau tidak adanya Gavin, proses persidangan tetap akan berjalan lancar. Hidup Azura pun tetap bergulir dari pagi menuju petang."It's a big day, Ra," ucap Laura saat hakim membacakan banding yang Riki ajukan.Azura mengangguk. "Terima kasih telah mendampingi aku selama ini."Laura tersenyum hangat serta terus menggenggam tangan Azura. Sambil sama-sama menahan napas, mereka akhirnya mendengar dengan jelas saat hakim memutuskan untuk menolak banding. Dengan begitu, Azura dinyatakan menang dalam kasus ini.Azura menutup matanya sebagai ungkapan ekspresi kelegaan. Ini benar-benar menjadi puncak dari perjalanan hukumnya selama ini. Tak bisa dipungkiri, ini adalah hasil yang sejak awal Azura harapkan."Selamat, Ra. Selamat," ucap Laura. "Kamu ber
Lobi kantor terlihat luas dengan pencahayaan hangat, kontras dengan area luar yang dingin dan cenderung abu-abu. Lantainya mengkilap, memantulkan bayangan tubuh Azura yang tampak kecil dan semakin kerdil. Udara di ruangan itu sejuk, tapi bukannya menenangkan, malah terasa asing dan tak bersahabat.Suara sepatu hak tinggi yang berdetak pelan di lantai marmer, suara ponsel yang bergetar, dan dentingan keyboard dari meja resepsionis membentuk simfoni kesibukan yang tidak berkesudahan. Tidak ada yang memedulikan Azura. Tidak ada yang memperhatikannya. Azura benar-benar hanyalah seorang pendatang tanpa identitas.Tenggorokannya terasa kering, kakinya sedikit gemetar, tapi tekad memaksa Azura untuk tetap tegak. Jemarinya mencengkeram tas, seolah mencari pegangan di tengah lautan ketidakpastian. Napasnya berat, tapi dia menolaknya menjadi tanda kelemahan. Dia sudah terlalu jauh untuk berbalik. Entah apa yang menantinya di depan, satu-satunya pilihan adalah melangkah."Permisi, saya mencari G
Warna langit begitu pekat, tanpa bintang, pun tanpa bulan. Hanya sayap pesawat yang sesekali berkilat terkena cahaya dari dalam kabin. Azura duduk diam, mencoba berpikir. Sialnya, dia seolah tidak diizinkan untuk memutar otak.Pesawat terus berguncang. Bahkan, lebih kencang dari sebelumnya. Azura menutup rapat kedua mata karena baru pertama kali mengalami turbulensi semengerikan ini. Napasnya tertahan di tenggorokan. Getaran itu merayap dari sandaran kursi hingga ke tulang belakang. Setiap gerak seolah sedang mengingatkan bahwa Azura sedang melayang di udara, menggantung di antara negara yang dia tinggalkan dan negara yang belum tentu menyambutnya.'Gila! Apa aku benar-benar sedang melakukan ini?' batin Azura dalan hati.Azura tidak tahu apakah kepergiannya ini merupakan keberanian atau kebodohan. Tidak ada yang bisa memastikan apakah Gavin masih di sana, apakah dia baik-baik saja, atau apakah dia benar-benar menginginkan Azura datang.Layar ponsel menampakkan itinerary yang dulu Gav
Langit tampak kelabu, tapi hati Azura jauh lebih suram dari warna di luar jendela. Dia duduk di tepi ranjang, meremas selimut dengan tangan gemetar. Dadanya terasa sesak, seakan ada sesuatu yang mendesak, menekannya untuk bertindak. Namun, harus ke mana? Azura bahkan tidak tahu akan memulai dari mana.Gavin masih menghilang. Sudah berapa lama? Azura tidak lagi bisa menghitung. Pesan-pesan yang dia kirim tetap tanpa balasan. Panggilan teleponnya selalu berujung pada nada sambung yang menyebalkan.Azura mencoba mencari tahu tentang Edinburgh, kota yang bahkan belum pernah dia injak. Namun, nihil. Dia tidak mengenal siapa pun di sana. Tidak ada satu pun nama atau alamat yang bisa membantunya menemukan Gavin."How did it come to this?" monolog Azura Matanya memanas, tapi dia berusaha menahan diri. Ini bukan saatnya untuk menangis. Dia harus melakukan sesuatu, apa pun itu.Memesan tiket ke Edinburgh tanpa tujuan jelas, lalu mencari Gavin tanpa petunjuk sama sekali, mungkin itu akan terden
Azura berdiri di tengah lorong panjang yang suram. Dinding batu tua yang berlumut dan lembap mengapitnya. Cahaya remang menyorot ke arah jalanan licin. Bau tanah basah bercampur dengan bau sesuatu yang lebih tajam. Azura mengernyit sambil merapatkan jemari pada hidung. Ini seperti bau karat yang menyengat. Perutnya kemudian mendadak mual saat menyadari kalau yang dia cium adalah darah.Ingin menjerit, tapi suaranya tertahan. Azura tidak bisa berbicara, persis seperti seseorang yang sedang mengalami ketindihan. Alhasil, sambil menahan sesak, Azura hanya bisa mengamati sekitar.Matanya yang nanar berkedip beberapa kali demi menajamkan pandangan. Azura yakin belum pernah menginjak tempat ini. Dilihat dari bentuk bangunannya, ini bukanlah Yogyakarta, pun bukan Indonesia.Area sekitar yang semula buram, kini mulai tampak lebih jelas. Semakin lama mengamati, akhirnya Azura bisa mengenali tempat ini.Edinburgh.Sayangnya, ini bukan Edinburgh yang terang dengan kastil megah dan festival yang
Gavin telah pergi. Benar-benar pergi. Dan ini bukan mimpi.Pagi tadi, di bandara, Azura masih bisa merasakan genggaman tangan Gavin. Namun, kini, dia hanya bisa menggenggam udara. Rindu ini terlalu dini. Kesepian ini terlalu tajam untuk dirasakan.Hening menjadi lebih menusuk dari biasanya. Tidak ada suara langkah kaki Gavin, tidak ada pula suara khasnya yang selalu memanggil dengan berbagai sebutan sayang. Azura hanya bisa mendengar kekosongan yang bergaung di pikirannya sendiri.'Aku akan mengabari kamu setiap hari, Sayang.' Itu kata terakhir dari Gavin yang Azura jadikan sebagai penguat.Sejak Gavin pergi, waktu berjalan lebih lambat. Azura sudah mencoba menyibukkan diri. Mulai dari menulis, membaca buku, menonton film, dan bekerja hingga dini hari. Namun, pikirannya selalu kembali pada satu nama, Gavin.Mereka tentu selalu saling bertukar kabar. Meski hanya hal sederhana seperti keluhan Gavin mengenai Edinburgh yang terasa jauh lebih dingin, tapi hal itu sudah sedikit membuat Azur
Suara announcer menggema di langit-langit bandara. Derap langkah tergesa berpadu dengan percakapan yang menyesakkan. Gavin terus menggenggam tangan Azura erat, seolah enggan melepaskan."Sayang." Suara Gavin lebih pelan dari biasanya, hampir tertelan dalam hiruk-pikuk sekitar. Tatapannya penuh dengan sesuatu yang tidak terucapkan. Jika ditelisik lebih dalam, sorot mata itu menggambarkan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar perpisahan singkat.Azura menelan ludah, mencoba mengabaikan benak yang penat. "Kamu yakin nggak bisa menundanya?" tanya Azura, meski sudah tahu jawaban yang akan diterima.Gavin menggeleng, menyesap napas dalam. "Aku ingin tetap di sini, Azura. Kamu tahu itu," gumamnya. "Tapi ini sesuatu yang nggak bisa aku tunda. Pekerjaan ini sangat mendesak."Azura mengangguk kecil. Dia tahu Gavin tidak akan pergi jika tidak ada alasan yang benar-benar penting. Namun, tetap saja ada sesuatu yang mengganjal. Azura masih memiliki sederet pertanyaan yang menggantung tanpa jaw
"Mars," lirih Azura pelan.Gavin mengernyit, hampir terkejut. "Kamu bilang apa?""Mars," ucap Azura lagi.Hujan turun perlahan, menari di atas dedaunan dan menciptakan simfoni lembut yang mengisi udara. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi teh yang mengepul di antara jemari Azura. Dia bersandar pada Gavin, merasakan kehangatan tubuhnya yang kontras dengan udara dingin di sekeliling mereka."Dulu, saat aku masih kuliah, aku sering bermimpi seperti ini," ujar Azura. Suaranya terdengar seperti bisikan yang hampir tenggelam dalam suara hujan.Gavin menoleh, menatapnya dengan penuh minat. "Seperti ini?"Azura mengangguk pelan, matanya menerawang jauh ke masa lalu. "Menikmati hujan di Edinburgh, bersama Mars."Gavin terdiam. Ada sesuatu yang menghangat di dalam dadanya. Nama itu, Mars, adalah dirinya. Sebuah nama yang dulu Azura berikan kepada lelaki dalam mimpi-mimpinya, jauh sebelum mereka bertemu di dunia nyata."Jadi, kamu pernah membayangkan kita seperti ini?" Gavin bertanya, suara
Dua hari telah berlalu sejak kepergian Gavin. Langit di atas rumah kecil Azura tetap sama, burung gagak yang sempat datang juga tak lagi muncul di jendela. Tidak ada firasat buruk, tidak ada pula kabar mengejutkan.Dunia tetap berputar seperti biasa.Azura memandang ponselnya, jemarinya mengusap layar tanpa benar-benar mengetikkan pesan. Gavin sudah beberapa kali mengirim kabar, suara tenangnya di telepon pun selalu berhasil meredakan ketakutannya. Namun, tetap saja, ada sesuatu di dalam dirinya yang belum sepenuhnya percaya.Seakan mampu membaca kerisauan hati Azura, nama Gavin langsung tertera di layar.Azura tersenyum kecil sebelum mengangkatnya. “Hai.”“Kenapa suaramu seperti itu?” Gavin langsung bisa menebak. Suara Azura memang terdengar sedikit serak, tapi tetap penuh perhatian.“Seperti apa?”“Seperti seseorang yang nggak yakin kalau aku baik-baik saja.”Azura menghela napas. “Mungkin karena aku memang belum yakin.”Di seberang sana, Gavin tertawa kecil. “Maukah kamu percaya ka
Seharusnya ini adalah pagi yang indah. Seharusnya Azura merasa damai dengan hidupnya yang nyaris sempurna. Namun, Azura justru membuka mata dalam keadaan gelisah.Azura menggerakkan tubuhnya perlahan, berusaha menghilangkan semua perasaan aneh. Namun, saat dia menoleh ke jendela, badannya justru kian menegang. Di sana, di balik kaca yang berembun, Azura melihat seekor burung yang biasa disebut sebagai simbol kematian."Ya Tuhan," ucap Azura dengan napas tertahan.Gagak yang ukurannya cukup besar sedang bertengger di ujung jendela. Matanya yang hitam pekat menatap lurus ke arahnya. Sorotnya tajam, menusuk, seolah membawa pesan yang tidak bisa diabaikan.Azura tetap duduk, diam di tempat. Sedangkan burung itu tidak bergerak, tidak pula mengeluarkan suara. Dia hanya diam, menatap, seakan sedang mengawasi setiap pergerakan Azura."Azura?" Suara serak Gavin membuyarkan lamunannya. Laki-laki itu mengerjap beberapa kali sebelum menoleh ke arahnya. "Kamu kenapa?"Azura menoleh kembali ke jend