Azura menatap wajahnya pada cermin kecil yang terpajang di kamar mandi. Rambutnya dibiarkan basah tanpa dibalut dengan handuk. Sungguh, Azura merasa tubuhnya seperti cangkang kosong yang tak bernyawa.Selama beberapa hari, Azura terus mencoba fokus pada persidangan yang masih bergulir. Namun, pikirannya selalu pecah setiap kali Azura mengingat Gavin. Ada perih yang tak bisa disangkal, meski Azura sudah berusaha sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan perasaannya.Bulan demi bulan, persidangan terus berlanjut. Setiap harinya, Azura membawa harapan bahwa keadilan akan ditegakkan. Laura dengan profesionalismenya yang tinggi, terus berjuang untuk memenangkan kasus tersebut. Di balik rumitnya perihal perasaan, jujur saja Azura mengagumi kekuatan dan dedikasi Laura, dan Azura sangat berterima kasih soal ini.Suatu pagi, ketika Azura sedang duduk sendirian di flatnya, ponselnya berbunyi. Nama Laura muncul. Azura menatap layar ponselnya beberapa saat sebelum akhirnya mengangkat panggilan terseb
"Atas dasar bukti dan kesaksian yang ada, pengadilan memutuskan bahwa terdakwa dinyatakan bersalah."Suara hakim terdengar tegas dan lantang. Ketukan palu berhasil membuat setitik air mata haru menetes di pipi Azura. Akhirnya, momen yang dia tunggu-tunggu telah tiba.Riki dan keluarganya sejak tadi hanya bisa menundukkan kepala. Namun, Azura masih bisa melihat lirikan mata penuh amarah sesaat sebelum Riki keluar dari ruang persidangan. Azura tahu, masih ada satu langkah yang harus dia lewati. Setelah ini, Riki pasti akan mengajukan banding."Kita masih harus berjuang di sidang selanjutnya, Ra," ucap Laura.Azura mengangguk. "Ada hal yang harus aku persiapkan?""Nggak ada," balas Laura. "Sidang selanjutnya adalah ajuan banding dari pihak Riki. Dan tenang aja, karena aku udah punya berbagai bukti perlawanan untuk ajuan banding nanti."Ungkapan terima kasih seolah tak pernah habis Azura layangkan. Sejak pertemuannya dengan Laura, hidupnya berangsur menjadi lebih baik. Kini Azura percaya
Persidangan kembali dilangsungkan. Proses banding berjalan hanya dalam kurun waktu beberapa minggu. Ini adalah momen-momen yang sangat penting bagi Azura. Namun, selama beberapa kali sidang, Gavin tetap tidak kunjung datang.Ah, tapi biar saja. Ada atau tidak adanya Gavin, proses persidangan tetap akan berjalan lancar. Hidup Azura pun tetap bergulir dari pagi menuju petang."It's a big day, Ra," ucap Laura saat hakim membacakan banding yang Riki ajukan.Azura mengangguk. "Terima kasih telah mendampingi aku selama ini."Laura tersenyum hangat serta terus menggenggam tangan Azura. Sambil sama-sama menahan napas, mereka akhirnya mendengar dengan jelas saat hakim memutuskan untuk menolak banding. Dengan begitu, Azura dinyatakan menang dalam kasus ini.Azura menutup matanya sebagai ungkapan ekspresi kelegaan. Ini benar-benar menjadi puncak dari perjalanan hukumnya selama ini. Tak bisa dipungkiri, ini adalah hasil yang sejak awal Azura harapkan."Selamat, Ra. Selamat," ucap Laura. "Kamu ber
Selepas berakhirnya urusan hukum, Azura dan Laura tak lagi saling memberi kabar. Pun dengan Gavin yang sekarang entah di mana. Beberapa bulan berlalu, tak ada pertemuan, tak ada pesan, dan tak ada panggilan.Segala sesuatu tentang mereka berdua benar-benar seolah sudah sampai di titik paling akhir. Nama Laura dan Gavin tak ada lagi dalam keseharian Azura. Tepat saat Azura membuka lembar baru, dua nama itu benar-benar telah menjadi kenangan masa lalu."Saatnya melanjutkan hidup," ucap Azura.Tepat saat akhir pekan, Azura memutuskan untuk mengunjungi makam kedua orang tuanya. Ini bukanlah kali pertama. Sejak ancaman dari Riki dan keluarganya sudah tak pernah ada, Azura sudah datang ke tempat ini sebanyak belasan kali.Langit siang tampak biru tanpa adanya awan. Dalam hening, Azura menikmati betapa sejuk tiupan angin yang melewati celah pepohonan yang membuat daerah makam terasa rindang. Damai. Damai sekali.Sekelebat, ingatan Gavin kembali lewat. Namun, Azura sudah tak lagi merasa sesak
Sebuah tamparan keras mendarat tepat di pipi kiri Gavin. Mendengar perasaannya berbalas, tidak lantas membuat Azura bahagia. Pengakuan dari Gavin itu justru membuat Azura merasa dipermainkan."Apa kamu lupa kalau kamu itu tunangan Laura?" ucap Azura sinis."Aku tahu, tapi —"Sebelum Gavin sempat menyelesaikan ucapannya, sebuah tamparan lagi-lagi mendarat hingga berhasil membuat mulutnya bungkam. "Jadi begini caramu?" pungkas Azura.Sejak awal, Gavin seperti sudah sengaja bermain api. Meski sadar telah bertunangan dengan Laura, tapi dia memilih untuk menutupi semua itu. Gavin juga seperti sengaja membangun kedekatan dengan Azura, kedekatan yang lebih dari sekedar teman.Tak hanya merasa perasaannya dipermainkan, Azura juga merasa kalau Gavin juga sedang mempermainkan komitmennya dengan Laura. Kini, Azura tak hanya menanggung luka atas dirinya sendiri. Namun, Azura juga merasa terluka atas diri Laura yang saat ini sedang Gavin khianati."Tolong pergilah. Aku nggak mau terlibat dalam hub
Selama kepulangannya ke Skotlandia, Gavin telah berjuang dengan perasaannya. Dia banyak berpikir dan menimbang. Tak hanya beberapa minggu, tapi butuh berbulan-bulan. Gavin tahu bahwa dia sebenarnya mencintai Azura, tapi dia juga terjebak dalam komitmen yang sudah lama dia jalani dengan Laura.Tepat saat Gavin kembali ke Indonesia, dia akhirnya yakin untuk mengakhiri hubungannya dengan Laura. Tidak akan pernah ada perpisahan yang mudah. Namun, baginya, lebih baik menyudahi hubungan ini daripada harus menjalaninya dengan setengah hati."Kamu sudah nggak mencintaiku lagi?" tanya Laura saat itu."Tidak.""Vin, kamu serius?"Mungkin kejujuran akan sangat menyakitkan, tapi Gavin dengan tegas tetap berkata tidak. Gavin sudah menanyai hatinya ribuan kali, tapi cinta itu memang telah tiada. Bagi Laura, ini akan sangat terkesan jahat, tapi nyatanya hati Gavin sudah dimiliki oleh Azura sepenuhnya."Tapi kamu bilang kalau kamu hanya mencintaiku. Dan akan selalu begitu," ucap Laura."Bukankah oran
Sembilan derajat celcius. Azura belum terbiasa dengan suhu yang sedingin ini, tapi dia tetap memutuskan keluar tanpa baju tebal. Udara segar pagi hari di area pegunungan terlalu disayangkan untuk dilewatkan."Mbak, teh hangatnya diminum dulu," seru seorang wanita paruh baya.Azura menoleh, tersenyum, lalu mengangguk. "Makasih, Bu Afi."Untuk sementara waktu, Azura memutuskan untuk tinggal di villa peninggalan orang tuanya yang berada di area wisata dataran tinggi Dieng. Biasanya, tempat ini disewakan kepada para wisatawan. Namun, kali ini Azura memutuskan untuk sejenak menempatinya sendiri. Selain untuk mencari kehidupan baru, Azura juga ingin mengenang sedikit kenangan yang pernah terjadi bersama orang tuanya dulu.Beruntung, pekerjaannya tidak menuntut Azura untuk tinggal di satu tempat. Azura bisa bebas bekerja dari mana saja, dan kapan saja. Dia selalu disibukkan dengan proyek-proyek menulisnya, menerjemahkan dokumen, dan membuat konten untuk berbagai klien."Anak gadis, jangan me
Gavin duduk di kursi dekat jendela, memandangi hujan yang turun dengan derasnya. Tetes air seolah mewakili kedua mata yang sudah memerah. Gemuruh angin yang bercampur suara petir pun berhasil mencerminkan betapa kacau suasana di dalam hati.Sudah cukup lama sejak terakhir kali dia melihat Azura. Semakin hari, rasa rindunya pun bertambah semakin dalam. Gavin telah mencoba segala cara untuk menemukan dan menghubunginya, tetapi semua usahanya seolah sia-sia.Malam itu, Gavin membuka ponselnya dan menatap daftar pesan yang belum dibaca. Pesan-pesan itu berisi permintaan maaf, ungkapan cinta, dan harapan untuk bisa bertemu lagi. Sambil menghela napas panjang, Gavin harus kembali menemui kekecewaan saat menyadari bahwa pesan terakhirnya juga tidak mendapatkan balasan."Apa yang harus aku lakukan, Ra?" gumam Gavin, merasa frustrasi. "Kenapa kamu nggak mau mendengarku?"Gavin sudah mencoba berbagai cara untuk menemukan Azura. Dia juga sempat tak sengaja b