Gavin duduk di kursi dekat jendela, memandangi hujan yang turun dengan derasnya. Tetes air seolah mewakili kedua mata yang sudah memerah. Gemuruh angin yang bercampur suara petir pun berhasil mencerminkan betapa kacau suasana di dalam hati.Sudah cukup lama sejak terakhir kali dia melihat Azura. Semakin hari, rasa rindunya pun bertambah semakin dalam. Gavin telah mencoba segala cara untuk menemukan dan menghubunginya, tetapi semua usahanya seolah sia-sia.Malam itu, Gavin membuka ponselnya dan menatap daftar pesan yang belum dibaca. Pesan-pesan itu berisi permintaan maaf, ungkapan cinta, dan harapan untuk bisa bertemu lagi. Sambil menghela napas panjang, Gavin harus kembali menemui kekecewaan saat menyadari bahwa pesan terakhirnya juga tidak mendapatkan balasan."Apa yang harus aku lakukan, Ra?" gumam Gavin, merasa frustrasi. "Kenapa kamu nggak mau mendengarku?"Gavin sudah mencoba berbagai cara untuk menemukan Azura. Dia juga sempat tak sengaja b
Hangat. Sangat hangat.Azura tak bisa menyangkal betapa nyaman sebuah rengkuhan yang menyelimuti tubuhnya saat Azura masih terlelap. Dekapnya yang erat tak ayal membuat kedua mata Azura perlahan terbuka. Namun, Azura sama sekali tidak keberatan saat tidurnya harus terganggu oleh kemunculan seseorang."Aku merindukanmu."Suara bisikan tertangkap oleh pendengaran Azura. Embusan napas hangat pun menjalar dari leher hingga telinga. Saat Azura telah sepenuhnya membuka mata, barulah Azura sadari kalau tubuhnya sedang berada dalam pelukan seseorang."Gavin?" lirih Azura.Lelaki si pemilik nama itu hanya tersenyum. Kedua mata Gavin lantas tertutup, seperti sedang menikmati aroma mawar yang menguar dari rambut panjang Azura yang tergerai. Sesekali, wajah Gavin ditenggelamkan pada tengkuk dan sela-sela rambut.Semakin lama, Azura bisa merasakan pelukan Gavin yang semakin erat. Lengan yang melingkari pinggang dan perut mulai menarik tubuh A
"Azura, aku tahu kalau kamu belum bisa mempercayaiku. Tapi tolong bagilah kesakitanmu dan kemarahanmu padaku agar aku tahu bagaimana mencintaimu dengan cara yang lebih baik lagi."Setiap kata yang keluar dari mulut Gavin berhasil menyumbang tetes air di kedua mata Azura. Lelaki itu memang terus menerus melayangkan ungkapan sayang. Namun, keseluruhan ucapannya justru sanggup menyayat hati yang sedari awal sudah terluka.Kini, Azura sudah yakin kalau dicintai oleh seseorang dengan begitu hebat, tidaklah selalu menyenangkan. Azura bisa membuktikan kalau ini semua justru terasa seperti beban dan kesakitan yang tak terelakkan. Terbukti, semakin Gavin menampakkan perasaan, hati Azura justru semakin terasa perih."Berhentilah, Vin." Akhirnya Azura berhasil mengeluarkan dua patah kata."Mengapa? Mengapa harus berhenti?""Karena aku nggak bisa bersamamu.""Kamu belum memaafkan aku?"Azura menarik napas, mencoba sedikit lebih tena
"Vin, kamu ada di dalam?" pekik seorang wanita dari balik pintu rumah Gavin.Alih-alih menjawab atau membukakan pintu, Gavin justru hanya diam di atas sofanya. Matanya menatap lurus ke depan, tapi pandangannya terlihat kosong. Wajahnya tampak kusut dengan kantong mata yang menghitam."Gavin," panggil wanita itu lagi.Gavin bukan tidak mendengar panggilan dan ketukan pintu yang terus berulang. Dia hanya sedang tidak ingin meladeni wanita yang Gavin yakin itu adalah Tania. Sejak beberapa waktu terakhir, Tania memang sering menghubunginya.Tania selalu beralasan kalau ada beberapa urusan kerja yang akan dia bicarakan. Namun, di balik semua itu, Gavin tahu kalau sebenarnya Tania menyimpan ketertarikan kepadanya. Sejak kabar tentang batalnya pertunangan Gavin dengan Laura sampai di telinganya, Tania memang menjadi sedikit lebih agresif."Vin, apa kamu sedang mengerjai aku? Ayolah buka pintu. It's me, Tania," ucap Tania dengan nada suara ceria
"Udah minum obat, Mbak?"Mendengar suara Afi, tubuh Azura lantas berbalik. Dia menoleh seraya menganggukkan kepala. Tak lupa, bibirnya juga tampak tersenyum tipis."Kalau masih sakit, jangan keluar-keluar dulu.""Nggak sakit," balas Azura. "Nggak sakit sama sekali."Selama dua hari terakhir, Azura memang mengalami demam. Kepalanya pusing luar biasa dengan tubuh yang berubah lemas. Beruntung, hari ini Azura sudah merasa jauh lebih baik."Mau ke kedainya Rendi?" Afi kembali bertanya."Iya, Bu." Azura membalas seraya meraih tas. "Ada banyak kerjaan.""Kan bisa dikerjakan di rumah."Azura terkekeh. "Di sana lebih enak. Siapa tahu ketemu jodoh.""Aamiin," timpal Afi dengan suara yang jauh lebih kencang.Hari demi hari, Azura mulai merasa lebih nyaman dengan keputusan besar yang telah dia ambil. Hatinya terasa sedikit lebih ringan, meski perasaan terhadap Gavin belum sepenuhnya hilang. Tentu ini tida
Kedua mata Azura nyaris tidak berkedip. Sejak tadi, dia terus menatap lurus ke arah sosok wanita yang dikenalnya dengan cukup baik. Laura, seorang pengacara yang sempat mendampinginya, teman berbagi selama kasus bergulir, sekaligus tunangan dari lelaki yang Azura cinta. Um, … ralat. Lebih tepatnya, mantan tunangan.Laura sedang duduk di sebuah meja yang tidak jauh darinya. Wajahnya masih secantik dulu, hanya saja pipinya sedikit berisi. Bibirnya yang merah muda terus melempar tersenyum ke arah David. Sesekali, Laura tampak mengusap perutnya yang buncit.Hingga lewat beberapa detik, rasa terkejut dalam diri Azura belum juga sirna. Sudah lama sejak dia terakhir kali melihat Laura, dan perubahan fisiknya membuat Azura tertegun. Laura sedang hamil besar, dan kalau ditaksir, mungkin sekitar tujuh atau delapan bulan."Ini nggak masuk akal," lirih Azura dengan mata yang belum terlepas dari sosok Laura.Azura merasa kehamilan itu sedikit janggal. Kasus hu
Azura terbaring di atas ranjang dengan mata yang menatap lurus ke arah langit-langit kamar. Benaknya terbang menuju mimpi yang entah mengapa terasa janggal. Di mimpi itu, ada Gavin, Laura, dan David."Aneh," ucap Azura.Sebenarnya, mimpi itu tidak terlalu jelas. Azura hanya bisa mengingat kepingan cerita yang sama sekali tidak berkesinambungan. Ada mimpi tentang pertemuannya lagi dengan Gavin, ada pula mimpi tentang Laura dan David. Pada satu adegan, Azura juga merasa seperti sedang bertemu dengan ketiga orang itu di waktu yang bersamaan.Tak ada yang spesial dari mimpi-mimpi itu. Namun, Azura mengingat betul tentang mimpi saat Laura mencarinya. Entah di mana dan entah bagaimana, tapi di mimpi itu, wajah Laura tampak jelas. Laura sedang berjalan kesana kemari untuk mencari Azura. Azura juga seperti melihat Laura yang tengah mengobrol dengan Rendi untuk menanyakan di mana tempat tinggal Azura.Sambil menyibak selimut dari tubuhnya, Azura lantas ban
Setelah membiarkan Laura pergi, Azura gegas menutup pintunya rapat-rapat. Dia seperti tak hanya menutup pintu itu secara fisik, tapi juga menutup segala cerita, drama, dan kenangan yang pernah ada. Bukan hanya tentang Laura, tapi juga mengenai Gavin dan segala masa lalu di antara mereka bertiga.Azura menganggap pertemuan kali ini bukan sebagai momen 'sampai jumpa lagi'. Ini lebih tepat dikatakan sebagai momen 'selamat tinggal'. Artinya, Azura sama sekali tidak menginginkan pertemuan selanjutnya. Semuanya telah tamat."Mbak," panggil Afi dari arah ruang tengah.Azura mendongak seraya sedikit mengangkat alis."Ada sesuatu? Mbak bisa cerita sama saya.""Nggak ada," balas Azura."Tapi dari tadi Mbak Azura nangis terus."Kelopak mata Azura lantas berkedip cepat. Sambil menggelengkan kepala, jemarinya buru-buru mengusap pipi yang ternyata memang basah. Sungguh, Azura sampai tidak sadar kalau sejak tadi dia sudah banyak membuang air mata."Dia tadi siapa?" tanya Afi."Pengacaraku dulu, Bu."
Lobi kantor terlihat luas dengan pencahayaan hangat, kontras dengan area luar yang dingin dan cenderung abu-abu. Lantainya mengkilap, memantulkan bayangan tubuh Azura yang tampak kecil dan semakin kerdil. Udara di ruangan itu sejuk, tapi bukannya menenangkan, malah terasa asing dan tak bersahabat.Suara sepatu hak tinggi yang berdetak pelan di lantai marmer, suara ponsel yang bergetar, dan dentingan keyboard dari meja resepsionis membentuk simfoni kesibukan yang tidak berkesudahan. Tidak ada yang memedulikan Azura. Tidak ada yang memperhatikannya. Azura benar-benar hanyalah seorang pendatang tanpa identitas.Tenggorokannya terasa kering, kakinya sedikit gemetar, tapi tekad memaksa Azura untuk tetap tegak. Jemarinya mencengkeram tas, seolah mencari pegangan di tengah lautan ketidakpastian. Napasnya berat, tapi dia menolaknya menjadi tanda kelemahan. Dia sudah terlalu jauh untuk berbalik. Entah apa yang menantinya di depan, satu-satunya pilihan adalah melangkah."Permisi, saya mencari G
Warna langit begitu pekat, tanpa bintang, pun tanpa bulan. Hanya sayap pesawat yang sesekali berkilat terkena cahaya dari dalam kabin. Azura duduk diam, mencoba berpikir. Sialnya, dia seolah tidak diizinkan untuk memutar otak.Pesawat terus berguncang. Bahkan, lebih kencang dari sebelumnya. Azura menutup rapat kedua mata karena baru pertama kali mengalami turbulensi semengerikan ini. Napasnya tertahan di tenggorokan. Getaran itu merayap dari sandaran kursi hingga ke tulang belakang. Setiap gerak seolah sedang mengingatkan bahwa Azura sedang melayang di udara, menggantung di antara negara yang dia tinggalkan dan negara yang belum tentu menyambutnya.'Gila! Apa aku benar-benar sedang melakukan ini?' batin Azura dalan hati.Azura tidak tahu apakah kepergiannya ini merupakan keberanian atau kebodohan. Tidak ada yang bisa memastikan apakah Gavin masih di sana, apakah dia baik-baik saja, atau apakah dia benar-benar menginginkan Azura datang.Layar ponsel menampakkan itinerary yang dulu Gav
Langit tampak kelabu, tapi hati Azura jauh lebih suram dari warna di luar jendela. Dia duduk di tepi ranjang, meremas selimut dengan tangan gemetar. Dadanya terasa sesak, seakan ada sesuatu yang mendesak, menekannya untuk bertindak. Namun, harus ke mana? Azura bahkan tidak tahu akan memulai dari mana.Gavin masih menghilang. Sudah berapa lama? Azura tidak lagi bisa menghitung. Pesan-pesan yang dia kirim tetap tanpa balasan. Panggilan teleponnya selalu berujung pada nada sambung yang menyebalkan.Azura mencoba mencari tahu tentang Edinburgh, kota yang bahkan belum pernah dia injak. Namun, nihil. Dia tidak mengenal siapa pun di sana. Tidak ada satu pun nama atau alamat yang bisa membantunya menemukan Gavin."How did it come to this?" monolog Azura Matanya memanas, tapi dia berusaha menahan diri. Ini bukan saatnya untuk menangis. Dia harus melakukan sesuatu, apa pun itu.Memesan tiket ke Edinburgh tanpa tujuan jelas, lalu mencari Gavin tanpa petunjuk sama sekali, mungkin itu akan terden
Azura berdiri di tengah lorong panjang yang suram. Dinding batu tua yang berlumut dan lembap mengapitnya. Cahaya remang menyorot ke arah jalanan licin. Bau tanah basah bercampur dengan bau sesuatu yang lebih tajam. Azura mengernyit sambil merapatkan jemari pada hidung. Ini seperti bau karat yang menyengat. Perutnya kemudian mendadak mual saat menyadari kalau yang dia cium adalah darah.Ingin menjerit, tapi suaranya tertahan. Azura tidak bisa berbicara, persis seperti seseorang yang sedang mengalami ketindihan. Alhasil, sambil menahan sesak, Azura hanya bisa mengamati sekitar.Matanya yang nanar berkedip beberapa kali demi menajamkan pandangan. Azura yakin belum pernah menginjak tempat ini. Dilihat dari bentuk bangunannya, ini bukanlah Yogyakarta, pun bukan Indonesia.Area sekitar yang semula buram, kini mulai tampak lebih jelas. Semakin lama mengamati, akhirnya Azura bisa mengenali tempat ini.Edinburgh.Sayangnya, ini bukan Edinburgh yang terang dengan kastil megah dan festival yang
Gavin telah pergi. Benar-benar pergi. Dan ini bukan mimpi.Pagi tadi, di bandara, Azura masih bisa merasakan genggaman tangan Gavin. Namun, kini, dia hanya bisa menggenggam udara. Rindu ini terlalu dini. Kesepian ini terlalu tajam untuk dirasakan.Hening menjadi lebih menusuk dari biasanya. Tidak ada suara langkah kaki Gavin, tidak ada pula suara khasnya yang selalu memanggil dengan berbagai sebutan sayang. Azura hanya bisa mendengar kekosongan yang bergaung di pikirannya sendiri.'Aku akan mengabari kamu setiap hari, Sayang.' Itu kata terakhir dari Gavin yang Azura jadikan sebagai penguat.Sejak Gavin pergi, waktu berjalan lebih lambat. Azura sudah mencoba menyibukkan diri. Mulai dari menulis, membaca buku, menonton film, dan bekerja hingga dini hari. Namun, pikirannya selalu kembali pada satu nama, Gavin.Mereka tentu selalu saling bertukar kabar. Meski hanya hal sederhana seperti keluhan Gavin mengenai Edinburgh yang terasa jauh lebih dingin, tapi hal itu sudah sedikit membuat Azur
Suara announcer menggema di langit-langit bandara. Derap langkah tergesa berpadu dengan percakapan yang menyesakkan. Gavin terus menggenggam tangan Azura erat, seolah enggan melepaskan."Sayang." Suara Gavin lebih pelan dari biasanya, hampir tertelan dalam hiruk-pikuk sekitar. Tatapannya penuh dengan sesuatu yang tidak terucapkan. Jika ditelisik lebih dalam, sorot mata itu menggambarkan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar perpisahan singkat.Azura menelan ludah, mencoba mengabaikan benak yang penat. "Kamu yakin nggak bisa menundanya?" tanya Azura, meski sudah tahu jawaban yang akan diterima.Gavin menggeleng, menyesap napas dalam. "Aku ingin tetap di sini, Azura. Kamu tahu itu," gumamnya. "Tapi ini sesuatu yang nggak bisa aku tunda. Pekerjaan ini sangat mendesak."Azura mengangguk kecil. Dia tahu Gavin tidak akan pergi jika tidak ada alasan yang benar-benar penting. Namun, tetap saja ada sesuatu yang mengganjal. Azura masih memiliki sederet pertanyaan yang menggantung tanpa jaw
"Mars," lirih Azura pelan.Gavin mengernyit, hampir terkejut. "Kamu bilang apa?""Mars," ucap Azura lagi.Hujan turun perlahan, menari di atas dedaunan dan menciptakan simfoni lembut yang mengisi udara. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi teh yang mengepul di antara jemari Azura. Dia bersandar pada Gavin, merasakan kehangatan tubuhnya yang kontras dengan udara dingin di sekeliling mereka."Dulu, saat aku masih kuliah, aku sering bermimpi seperti ini," ujar Azura. Suaranya terdengar seperti bisikan yang hampir tenggelam dalam suara hujan.Gavin menoleh, menatapnya dengan penuh minat. "Seperti ini?"Azura mengangguk pelan, matanya menerawang jauh ke masa lalu. "Menikmati hujan di Edinburgh, bersama Mars."Gavin terdiam. Ada sesuatu yang menghangat di dalam dadanya. Nama itu, Mars, adalah dirinya. Sebuah nama yang dulu Azura berikan kepada lelaki dalam mimpi-mimpinya, jauh sebelum mereka bertemu di dunia nyata."Jadi, kamu pernah membayangkan kita seperti ini?" Gavin bertanya, suara
Dua hari telah berlalu sejak kepergian Gavin. Langit di atas rumah kecil Azura tetap sama, burung gagak yang sempat datang juga tak lagi muncul di jendela. Tidak ada firasat buruk, tidak ada pula kabar mengejutkan.Dunia tetap berputar seperti biasa.Azura memandang ponselnya, jemarinya mengusap layar tanpa benar-benar mengetikkan pesan. Gavin sudah beberapa kali mengirim kabar, suara tenangnya di telepon pun selalu berhasil meredakan ketakutannya. Namun, tetap saja, ada sesuatu di dalam dirinya yang belum sepenuhnya percaya.Seakan mampu membaca kerisauan hati Azura, nama Gavin langsung tertera di layar.Azura tersenyum kecil sebelum mengangkatnya. “Hai.”“Kenapa suaramu seperti itu?” Gavin langsung bisa menebak. Suara Azura memang terdengar sedikit serak, tapi tetap penuh perhatian.“Seperti apa?”“Seperti seseorang yang nggak yakin kalau aku baik-baik saja.”Azura menghela napas. “Mungkin karena aku memang belum yakin.”Di seberang sana, Gavin tertawa kecil. “Maukah kamu percaya ka
Seharusnya ini adalah pagi yang indah. Seharusnya Azura merasa damai dengan hidupnya yang nyaris sempurna. Namun, Azura justru membuka mata dalam keadaan gelisah.Azura menggerakkan tubuhnya perlahan, berusaha menghilangkan semua perasaan aneh. Namun, saat dia menoleh ke jendela, badannya justru kian menegang. Di sana, di balik kaca yang berembun, Azura melihat seekor burung yang biasa disebut sebagai simbol kematian."Ya Tuhan," ucap Azura dengan napas tertahan.Gagak yang ukurannya cukup besar sedang bertengger di ujung jendela. Matanya yang hitam pekat menatap lurus ke arahnya. Sorotnya tajam, menusuk, seolah membawa pesan yang tidak bisa diabaikan.Azura tetap duduk, diam di tempat. Sedangkan burung itu tidak bergerak, tidak pula mengeluarkan suara. Dia hanya diam, menatap, seakan sedang mengawasi setiap pergerakan Azura."Azura?" Suara serak Gavin membuyarkan lamunannya. Laki-laki itu mengerjap beberapa kali sebelum menoleh ke arahnya. "Kamu kenapa?"Azura menoleh kembali ke jend