Hangat. Sangat hangat.
Azura tak bisa menyangkal betapa nyaman sebuah rengkuhan yang menyelimuti tubuhnya saat Azura masih terlelap. Dekapnya yang erat tak ayal membuat kedua mata Azura perlahan terbuka. Namun, Azura sama sekali tidak keberatan saat tidurnya harus terganggu oleh kemunculan seseorang."Aku merindukanmu."Suara bisikan tertangkap oleh pendengaran Azura. Embusan napas hangat pun menjalar dari leher hingga telinga. Saat Azura telah sepenuhnya membuka mata, barulah Azura sadari kalau tubuhnya sedang berada dalam pelukan seseorang."Gavin?" lirih Azura.Lelaki si pemilik nama itu hanya tersenyum. Kedua mata Gavin lantas tertutup, seperti sedang menikmati aroma mawar yang menguar dari rambut panjang Azura yang tergerai. Sesekali, wajah Gavin ditenggelamkan pada tengkuk dan sela-sela rambut.Semakin lama, Azura bisa merasakan pelukan Gavin yang semakin erat. Lengan yang melingkari pinggang dan perut mulai menarik tubuh A"Azura, aku tahu kalau kamu belum bisa mempercayaiku. Tapi tolong bagilah kesakitanmu dan kemarahanmu padaku agar aku tahu bagaimana mencintaimu dengan cara yang lebih baik lagi."Setiap kata yang keluar dari mulut Gavin berhasil menyumbang tetes air di kedua mata Azura. Lelaki itu memang terus menerus melayangkan ungkapan sayang. Namun, keseluruhan ucapannya justru sanggup menyayat hati yang sedari awal sudah terluka.Kini, Azura sudah yakin kalau dicintai oleh seseorang dengan begitu hebat, tidaklah selalu menyenangkan. Azura bisa membuktikan kalau ini semua justru terasa seperti beban dan kesakitan yang tak terelakkan. Terbukti, semakin Gavin menampakkan perasaan, hati Azura justru semakin terasa perih."Berhentilah, Vin." Akhirnya Azura berhasil mengeluarkan dua patah kata."Mengapa? Mengapa harus berhenti?""Karena aku nggak bisa bersamamu.""Kamu belum memaafkan aku?"Azura menarik napas, mencoba sedikit lebih tena
"Vin, kamu ada di dalam?" pekik seorang wanita dari balik pintu rumah Gavin.Alih-alih menjawab atau membukakan pintu, Gavin justru hanya diam di atas sofanya. Matanya menatap lurus ke depan, tapi pandangannya terlihat kosong. Wajahnya tampak kusut dengan kantong mata yang menghitam."Gavin," panggil wanita itu lagi.Gavin bukan tidak mendengar panggilan dan ketukan pintu yang terus berulang. Dia hanya sedang tidak ingin meladeni wanita yang Gavin yakin itu adalah Tania. Sejak beberapa waktu terakhir, Tania memang sering menghubunginya.Tania selalu beralasan kalau ada beberapa urusan kerja yang akan dia bicarakan. Namun, di balik semua itu, Gavin tahu kalau sebenarnya Tania menyimpan ketertarikan kepadanya. Sejak kabar tentang batalnya pertunangan Gavin dengan Laura sampai di telinganya, Tania memang menjadi sedikit lebih agresif."Vin, apa kamu sedang mengerjai aku? Ayolah buka pintu. It's me, Tania," ucap Tania dengan nada suara ceria
"Udah minum obat, Mbak?"Mendengar suara Afi, tubuh Azura lantas berbalik. Dia menoleh seraya menganggukkan kepala. Tak lupa, bibirnya juga tampak tersenyum tipis."Kalau masih sakit, jangan keluar-keluar dulu.""Nggak sakit," balas Azura. "Nggak sakit sama sekali."Selama dua hari terakhir, Azura memang mengalami demam. Kepalanya pusing luar biasa dengan tubuh yang berubah lemas. Beruntung, hari ini Azura sudah merasa jauh lebih baik."Mau ke kedainya Rendi?" Afi kembali bertanya."Iya, Bu." Azura membalas seraya meraih tas. "Ada banyak kerjaan.""Kan bisa dikerjakan di rumah."Azura terkekeh. "Di sana lebih enak. Siapa tahu ketemu jodoh.""Aamiin," timpal Afi dengan suara yang jauh lebih kencang.Hari demi hari, Azura mulai merasa lebih nyaman dengan keputusan besar yang telah dia ambil. Hatinya terasa sedikit lebih ringan, meski perasaan terhadap Gavin belum sepenuhnya hilang. Tentu ini tida
Kedua mata Azura nyaris tidak berkedip. Sejak tadi, dia terus menatap lurus ke arah sosok wanita yang dikenalnya dengan cukup baik. Laura, seorang pengacara yang sempat mendampinginya, teman berbagi selama kasus bergulir, sekaligus tunangan dari lelaki yang Azura cinta. Um, … ralat. Lebih tepatnya, mantan tunangan.Laura sedang duduk di sebuah meja yang tidak jauh darinya. Wajahnya masih secantik dulu, hanya saja pipinya sedikit berisi. Bibirnya yang merah muda terus melempar tersenyum ke arah David. Sesekali, Laura tampak mengusap perutnya yang buncit.Hingga lewat beberapa detik, rasa terkejut dalam diri Azura belum juga sirna. Sudah lama sejak dia terakhir kali melihat Laura, dan perubahan fisiknya membuat Azura tertegun. Laura sedang hamil besar, dan kalau ditaksir, mungkin sekitar tujuh atau delapan bulan."Ini nggak masuk akal," lirih Azura dengan mata yang belum terlepas dari sosok Laura.Azura merasa kehamilan itu sedikit janggal. Kasus hu
Azura terbaring di atas ranjang dengan mata yang menatap lurus ke arah langit-langit kamar. Benaknya terbang menuju mimpi yang entah mengapa terasa janggal. Di mimpi itu, ada Gavin, Laura, dan David."Aneh," ucap Azura.Sebenarnya, mimpi itu tidak terlalu jelas. Azura hanya bisa mengingat kepingan cerita yang sama sekali tidak berkesinambungan. Ada mimpi tentang pertemuannya lagi dengan Gavin, ada pula mimpi tentang Laura dan David. Pada satu adegan, Azura juga merasa seperti sedang bertemu dengan ketiga orang itu di waktu yang bersamaan.Tak ada yang spesial dari mimpi-mimpi itu. Namun, Azura mengingat betul tentang mimpi saat Laura mencarinya. Entah di mana dan entah bagaimana, tapi di mimpi itu, wajah Laura tampak jelas. Laura sedang berjalan kesana kemari untuk mencari Azura. Azura juga seperti melihat Laura yang tengah mengobrol dengan Rendi untuk menanyakan di mana tempat tinggal Azura.Sambil menyibak selimut dari tubuhnya, Azura lantas ban
Setelah membiarkan Laura pergi, Azura gegas menutup pintunya rapat-rapat. Dia seperti tak hanya menutup pintu itu secara fisik, tapi juga menutup segala cerita, drama, dan kenangan yang pernah ada. Bukan hanya tentang Laura, tapi juga mengenai Gavin dan segala masa lalu di antara mereka bertiga.Azura menganggap pertemuan kali ini bukan sebagai momen 'sampai jumpa lagi'. Ini lebih tepat dikatakan sebagai momen 'selamat tinggal'. Artinya, Azura sama sekali tidak menginginkan pertemuan selanjutnya. Semuanya telah tamat."Mbak," panggil Afi dari arah ruang tengah.Azura mendongak seraya sedikit mengangkat alis."Ada sesuatu? Mbak bisa cerita sama saya.""Nggak ada," balas Azura."Tapi dari tadi Mbak Azura nangis terus."Kelopak mata Azura lantas berkedip cepat. Sambil menggelengkan kepala, jemarinya buru-buru mengusap pipi yang ternyata memang basah. Sungguh, Azura sampai tidak sadar kalau sejak tadi dia sudah banyak membuang air mata."Dia tadi siapa?" tanya Afi."Pengacaraku dulu, Bu."
Semula, segala sesuatu tentang Gavin sama sekali tidak ingin Azura gubris. Namun, semakin hari, Azura justru semakin memikirkannya. Terlebih, saat Gavin kembali datang di mimpinya setiap malam."Apa dia baik-baik aja?" tanya Azura kepada dirinya sendiri.Mimpi yang muncul masih berupa potongan-potongan kejadian yang acak. Sialnya, keseluruhannya bukanlah mimpi yang indah. Tak hanya sekadar buruk, ini bahkan bisa dikatakan sebagai mimpi yang mengerikan.Beberapa kali Azura melihat kalau ada bahaya yang sedang mengancam Gavin. Ada kepingan mimpi saat lelaki itu sedang berada di bawah reruntuhan bangunan, dan ada pula setting di pemakaman. Tidak terlalu jelas bagaimana keseluruhan cerita mimpi itu berlangsung, tapi yang jelas, Azura selalu bangun dalam keadaan berderai air mata.Setiap pagi, Azura memulai harinya dengan perasaan cemas. Mimpi itu seperti membawa firasat buruk. Entah ini pertanda akan datangnya kabar tak baik, ataukah sebuah petunjuk untuk Azura agar bisa menyelamatkan Gav
> Gavin, ini aku, Azura. Tolong angkat teleponnya. Azura menatap nanar deret tulisan yang hanya menunjukkan centang satu. Jangankan mendapatkan balasan. Pesan dari Azura bahkan sama sekali tidak terkirim. "Ada apa denganmu," lirih Azura. Rasa panik terus menjalar dalam dirinya. Azura mencoba lagi, kali ini dengan lebih banyak kegelisahan. Setiap telepon yang gagal terhubung membuat pikirannya semakin dibanjiri dengan berbagai kemungkinan buruk. Azura tidak bisa duduk diam. Dia mengirimkan lebih banyak pesan, berharap setidaknya ada satu yang akan terkirim. Namun, tidak ada satu pun pesan yang berhasil mencapai diri Gavin. "Aku harus mengganti nomorku," titah Azura pada dirinya sendiri. Azura lantas mengaktifkan kembali nomor ponselnya yang lama. Dia pikir, dirinya akan bisa menemukan jawaban di sana. Barangkali Gavin memberi kabar penting, atau bisa jadi Gavin memiliki nomo
Azura berdiri di tengah lorong panjang yang suram. Dinding batu tua yang berlumut dan lembap mengapitnya. Cahaya remang menyorot ke arah jalanan licin. Bau tanah basah bercampur dengan bau sesuatu yang lebih tajam. Azura mengernyit sambil merapatkan jemari pada hidung. Ini seperti bau karat yang menyengat. Perutnya kemudian mendadak mual saat menyadari kalau yang dia cium adalah darah.Ingin menjerit, tapi suaranya tertahan. Azura tidak bisa berbicara, persis seperti seseorang yang sedang mengalami ketindihan. Alhasil, sambil menahan sesak, Azura hanya bisa mengamati sekitar.Matanya yang nanar berkedip beberapa kali demi menajamkan pandangan. Azura yakin belum pernah menginjak tempat ini. Dilihat dari bentuk bangunannya, ini bukanlah Yogyakarta, pun bukan Indonesia.Area sekitar yang semula buram, kini mulai tampak lebih jelas. Semakin lama mengamati, akhirnya Azura bisa mengenali tempat ini.Edinburgh.Sayangnya, ini bukan Edinburgh yang terang dengan kastil megah dan festival yang
Gavin telah pergi. Benar-benar pergi. Dan ini bukan mimpi.Pagi tadi, di bandara, Azura masih bisa merasakan genggaman tangan Gavin. Namun, kini, dia hanya bisa menggenggam udara. Rindu ini terlalu dini. Kesepian ini terlalu tajam untuk dirasakan.Hening menjadi lebih menusuk dari biasanya. Tidak ada suara langkah kaki Gavin, tidak ada pula suara khasnya yang selalu memanggil dengan berbagai sebutan sayang. Azura hanya bisa mendengar kekosongan yang bergaung di pikirannya sendiri.'Aku akan mengabari kamu setiap hari, Sayang.' Itu kata terakhir dari Gavin yang Azura jadikan sebagai penguat.Sejak Gavin pergi, waktu berjalan lebih lambat. Azura sudah mencoba menyibukkan diri. Mulai dari menulis, membaca buku, menonton film, dan bekerja hingga dini hari. Namun, pikirannya selalu kembali pada satu nama, Gavin.Mereka tentu selalu saling bertukar kabar. Meski hanya hal sederhana seperti keluhan Gavin mengenai Edinburgh yang terasa jauh lebih dingin, tapi hal itu sudah sedikit membuat Azur
Suara announcer menggema di langit-langit bandara. Derap langkah tergesa berpadu dengan percakapan yang menyesakkan. Gavin terus menggenggam tangan Azura erat, seolah enggan melepaskan."Sayang." Suara Gavin lebih pelan dari biasanya, hampir tertelan dalam hiruk-pikuk sekitar. Tatapannya penuh dengan sesuatu yang tidak terucapkan. Jika ditelisik lebih dalam, sorot mata itu menggambarkan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar perpisahan singkat.Azura menelan ludah, mencoba mengabaikan benak yang penat. "Kamu yakin nggak bisa menundanya?" tanya Azura, meski sudah tahu jawaban yang akan diterima.Gavin menggeleng, menyesap napas dalam. "Aku ingin tetap di sini, Azura. Kamu tahu itu," gumamnya. "Tapi ini sesuatu yang nggak bisa aku tunda. Pekerjaan ini sangat mendesak."Azura mengangguk kecil. Dia tahu Gavin tidak akan pergi jika tidak ada alasan yang benar-benar penting. Namun, tetap saja ada sesuatu yang mengganjal. Azura masih memiliki sederet pertanyaan yang menggantung tanpa jaw
"Mars," lirih Azura pelan.Gavin mengernyit, hampir terkejut. "Kamu bilang apa?""Mars," ucap Azura lagi.Hujan turun perlahan, menari di atas dedaunan dan menciptakan simfoni lembut yang mengisi udara. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi teh yang mengepul di antara jemari Azura. Dia bersandar pada Gavin, merasakan kehangatan tubuhnya yang kontras dengan udara dingin di sekeliling mereka."Dulu, saat aku masih kuliah, aku sering bermimpi seperti ini," ujar Azura. Suaranya terdengar seperti bisikan yang hampir tenggelam dalam suara hujan.Gavin menoleh, menatapnya dengan penuh minat. "Seperti ini?"Azura mengangguk pelan, matanya menerawang jauh ke masa lalu. "Menikmati hujan di Edinburgh, bersama Mars."Gavin terdiam. Ada sesuatu yang menghangat di dalam dadanya. Nama itu, Mars, adalah dirinya. Sebuah nama yang dulu Azura berikan kepada lelaki dalam mimpi-mimpinya, jauh sebelum mereka bertemu di dunia nyata."Jadi, kamu pernah membayangkan kita seperti ini?" Gavin bertanya, suara
Dua hari telah berlalu sejak kepergian Gavin. Langit di atas rumah kecil Azura tetap sama, burung gagak yang sempat datang juga tak lagi muncul di jendela. Tidak ada firasat buruk, tidak ada pula kabar mengejutkan.Dunia tetap berputar seperti biasa.Azura memandang ponselnya, jemarinya mengusap layar tanpa benar-benar mengetikkan pesan. Gavin sudah beberapa kali mengirim kabar, suara tenangnya di telepon pun selalu berhasil meredakan ketakutannya. Namun, tetap saja, ada sesuatu di dalam dirinya yang belum sepenuhnya percaya.Seakan mampu membaca kerisauan hati Azura, nama Gavin langsung tertera di layar.Azura tersenyum kecil sebelum mengangkatnya. “Hai.”“Kenapa suaramu seperti itu?” Gavin langsung bisa menebak. Suara Azura memang terdengar sedikit serak, tapi tetap penuh perhatian.“Seperti apa?”“Seperti seseorang yang nggak yakin kalau aku baik-baik saja.”Azura menghela napas. “Mungkin karena aku memang belum yakin.”Di seberang sana, Gavin tertawa kecil. “Maukah kamu percaya ka
Seharusnya ini adalah pagi yang indah. Seharusnya Azura merasa damai dengan hidupnya yang nyaris sempurna. Namun, Azura justru membuka mata dalam keadaan gelisah.Azura menggerakkan tubuhnya perlahan, berusaha menghilangkan semua perasaan aneh. Namun, saat dia menoleh ke jendela, badannya justru kian menegang. Di sana, di balik kaca yang berembun, Azura melihat seekor burung yang biasa disebut sebagai simbol kematian."Ya Tuhan," ucap Azura dengan napas tertahan.Gagak yang ukurannya cukup besar sedang bertengger di ujung jendela. Matanya yang hitam pekat menatap lurus ke arahnya. Sorotnya tajam, menusuk, seolah membawa pesan yang tidak bisa diabaikan.Azura tetap duduk, diam di tempat. Sedangkan burung itu tidak bergerak, tidak pula mengeluarkan suara. Dia hanya diam, menatap, seakan sedang mengawasi setiap pergerakan Azura."Azura?" Suara serak Gavin membuyarkan lamunannya. Laki-laki itu mengerjap beberapa kali sebelum menoleh ke arahnya. "Kamu kenapa?"Azura menoleh kembali ke jend
Langit berwarna kelabu, seakan menyimpan sesuatu yang pilu. Udara di tempat itu menusuk, bukan hanya karena dingin, tapi juga karena kehampaan yang entah datang dari mana. Jalanan yang basah oleh hujan seolah tak pernah benar-benar kering, dan aroma tanah bercampur kabut menambah kesan muram. Bangunan-bangunan tua berjejer di sepanjang jalan, jendelanya gelap seperti mata yang mengamati tanpa ekspresi.Azura berdiri di tengahnya, napasnya menghangatkan udara dingin yang mengelilinginya. Dia tidak tahu di mana ini, tapi setiap sudut terasa menyesakkan dada. Angin berembus kencang, menyapu dedaunan yang jatuh dari pepohonan di tepi jalan. Suasana hening, nyaris tidak ada suara selain desau angin yang berbisik di antara bangunan tua.Lalu, tiba-tiba..."Azura..."Suara itu.Suara Gavin.Azura berbalik, matanya menyapu sekeliling, tapi yang dia lihat hanyalah bayangan-bayangan samar di balik kabut. Langkahnya ingin maju, tapi entah kenapa tubuhnya terasa kaku. Dia mencoba mencari arah sua
Bukan dalam mimpi, bukan dalam ingatan yang samar, tapi malam ini Azura dan Gavin bisa benar-benar bersama dalam kenyataan. Keberadaan masing-masing tampak kasat mata dan lebih indah dari apa pun juga."Ra, aku masih nggak percaya akhirnya aku bisa ada di sini, bersama kamu."Azura menghela napas, mencoba menenangkan degup jantungnya yang masih belum terkendali. "Aku juga."Setelah sekian lama saling mencari, mereka akhirnya menemukan satu sama lain lagi. Tidak ada lagi kata-kata yang perlu diucapkan malam itu, hanya ada kebisuan yang nyaman dan kehangatan yang perlahan mengisi ruang. Dari sinilah kebahagiaan mereka perlahan mulai tumbuh kembali.Matahari terbit dan tenggelam, mengiringi hari-hari yang mereka jalani tanpa pernah benar-benar berpisah. Waktu berjalan tanpa terasa, berubah menjadi hari, lalu minggu. Tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak bersama. Tak hanya salah satu, tapi keduanya sama-sama takut kehilangan untuk kedua kalinya.Rutinitas pagi Azura adalah duduk bersil
"Vin, pelipismu berdarah," ucap Azura yang baru saja melepas pelukannya.Dahi Gavin sontak mengernyit. Dia sama sekali tidak menyadari ada luka di pelipisnya. Rasa sakit pun seolah tak pernah singgah. Sejak tadi, pikirannya hanya dipenuhi hal mendesak tentang Azura. Nyeri dan perih sama sekali tidak punya tempat untuk dirasakan."Apa yang terjadi?" Jemari tangan Azura menyentuh pelan luka yang tidak terlalu besar, tapi cukup kentara.Sisa darah yang telah mengering tampak samar di bawah lampu rumah. Cahaya tidak cukup terang, tapi memar membiru di dekat luka tetap berhasil menarik perhatian. Tatapan Azura yang semula sendu, seketika berubah menjadi penuh kekhawatiran.“Vin?” Suara Azura hampir bergetar. “Apa yang sebenarnya terjadi?”Gavin mencoba tersenyum, meski terasa kaku. "Aku baik-baik saja."Azura memiringkan kepala, jelas tidak percaya. Wajahnya kembali mendekat, menyisakan jarak yang hanya beberapa inci. Tangannya kembali terangkat ragu, kemudian mengusap perlahan di sekitar