Azura terbaring di atas ranjang dengan mata yang menatap lurus ke arah langit-langit kamar. Benaknya terbang menuju mimpi yang entah mengapa terasa janggal. Di mimpi itu, ada Gavin, Laura, dan David.
"Aneh," ucap Azura.Sebenarnya, mimpi itu tidak terlalu jelas. Azura hanya bisa mengingat kepingan cerita yang sama sekali tidak berkesinambungan. Ada mimpi tentang pertemuannya lagi dengan Gavin, ada pula mimpi tentang Laura dan David. Pada satu adegan, Azura juga merasa seperti sedang bertemu dengan ketiga orang itu di waktu yang bersamaan.Tak ada yang spesial dari mimpi-mimpi itu. Namun, Azura mengingat betul tentang mimpi saat Laura mencarinya. Entah di mana dan entah bagaimana, tapi di mimpi itu, wajah Laura tampak jelas. Laura sedang berjalan kesana kemari untuk mencari Azura. Azura juga seperti melihat Laura yang tengah mengobrol dengan Rendi untuk menanyakan di mana tempat tinggal Azura.Sambil menyibak selimut dari tubuhnya, Azura lantas banSetelah membiarkan Laura pergi, Azura gegas menutup pintunya rapat-rapat. Dia seperti tak hanya menutup pintu itu secara fisik, tapi juga menutup segala cerita, drama, dan kenangan yang pernah ada. Bukan hanya tentang Laura, tapi juga mengenai Gavin dan segala masa lalu di antara mereka bertiga.Azura menganggap pertemuan kali ini bukan sebagai momen 'sampai jumpa lagi'. Ini lebih tepat dikatakan sebagai momen 'selamat tinggal'. Artinya, Azura sama sekali tidak menginginkan pertemuan selanjutnya. Semuanya telah tamat."Mbak," panggil Afi dari arah ruang tengah.Azura mendongak seraya sedikit mengangkat alis."Ada sesuatu? Mbak bisa cerita sama saya.""Nggak ada," balas Azura."Tapi dari tadi Mbak Azura nangis terus."Kelopak mata Azura lantas berkedip cepat. Sambil menggelengkan kepala, jemarinya buru-buru mengusap pipi yang ternyata memang basah. Sungguh, Azura sampai tidak sadar kalau sejak tadi dia sudah banyak membuang air mata."Dia tadi siapa?" tanya Afi."Pengacaraku dulu, Bu."
"Sampai kapan kamu akan mengencani seorang lelaki yang nggak nyata?" ucap Anna.Mendengar sahabatnya bicara, Azura memilih untuk tidak menjawab. Azura tahu kalau pembahasan ini hanya akan memicu perdebatan panjang. Meski begitu, Anna tetap belum puas membicarakan lelaki yang hanya datang di dalam mimpi."Setampan apa dia?" tanya Anna. "Sampai-sampai kamu hilang ketertarikan dengan lelaki yang selama ini ada di sekitarmu."Azura tertawa selama beberapa detik. "Jauh lebih tampan dari semua lelaki yang pernah kita lihat.""Dan kamu jatuh cinta hanya karena dia tampan?""Bukan cuma itu," sanggah Azura. "Dia manis, dia sangat mengerti aku, dan ... he's so fucking hot.""Tapi dia nggak nyata, Ra.""Well, buatku dia terasa nyata.""Oh, c'mon, Ra. Kita berdua sama-sama tahu kalau dia nggak ada di dunia ini."Azura yang semula sudah menutup dokumen kerjanya, kini memilih untuk membukanya lagi. Tak lupa, dia juga berpura-pura sibuk dengan sederet tulisan. Azura sudah bosan mendengar ceramah dar
Selama bertahun-tahun, Azura selalu bermimpi tentang hal yang membahagiakan. Sialnya, beberapa hari terakhir, yang terjadi justru sebaliknya. Azura kini menjadi sangat terganggu dengan mimpi yang ceritanya selalu menegangkan.Tiap kali terbangun, dahinya sudah dipenuhi dengan peluh. Napasnya memburu dengan tubuh yang seolah remuk. Bukannya mengembalikan tenaga, saat bangun tidur Azura justru merasa jauh lebih lemas."An, aku ada cerita penting," ucap Azura saat dia baru tiba di kantornya."Ada masalah dengan Pak Pemred?" Anna balik bertanya ketika melihat wajah Azura tampak lusuh."Bukan itu.""Terus?""Tentang Mars."Semula, kisah mengenai lelaki itu tidak pernah tidak menyenangkan. Segala sesuatu tentang Mars tidak pernah mengecewakan. Namun, tepat setelah Azura berulang tahun ke dua puluh enam, mimpinya tentang Mars berangsur menjadi mimpi buruk."Dia meninggalkanmu?" tanya Anna.Azura menggeleng. "Dia nggak pernah meninggalkan aku.""Lalu?""Aku nggak tau bagaimana menjelaskannya.
Pagi yang indah tidak menjamin kalau hari akan berakhir dengan indah juga. Buktinya, Azura yang pagi tadi masih bisa tertawa dengan Mulan, Beni, dan Anna, kini justru harus menangis sejadi-jadinya. Hidup Azura seolah benar-benar berbalik dalam satu kedipan mata."Yang kuat ya," ucap salah seorang dokter jaga.Azura hanya diam. Kedua bibirnya tidaklah bungkam. Namun, mulutnya tidak mengeluarkan suara apapun selain isak tangis yang memilukan.Malam ini menjadi kali pertama Beni dan Mulan tidak menepati janji. Sosok ayah yang juga merupakan cinta pertama Azura tidak datang membawakan macaroon kesukaannya. Ibunya juga ingkar saat berucap kalau mereka akan pulang larut malam. Nyatanya, hingga dini hari, mereka sama sekali belum kembali.Mmmm ralat, mereka TIDAK akan pernah kembali.Entah sudah berapa lama Azura larut dalam tangis. Dia sempat tak sadarkan diri, lalu bangun, menangis lagi, dan kembali pingsan lagi. Begitu seterusnya hingga malam berganti pagi.Saat cahaya matahari mulai masu
Semua orang pasti akan sibuk menyesap kesedihan saat menatap jenazah kedua orang tuanya dikebumikan. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Azura. Wanita muda itu justru tak punya banyak kesempatan untuk berduka.Gaun hitam yang cukup longgar berhasil menutupi tubuh Azura yang sedang gemetar. Kacamata berwarna gelap juga mampu menyamarkan sorot mata yang penuh dengan rasa gentar. Azura sadar, dirinya sedang dalam bahaya besar."Azura, turut berduka, ya. Kamu harus sabar, harus kuat, harus ikhlas."Puluhan orang berbaju hitam bergantian memberikan ucapan belasungkawa. Namun, Azura sama sekali tidak menanggapi. Dia terus berjongkok dengan telapak tangan bergerak meremas tanah dari dua pusara yang masih basah.Masih ada jutaan kesedihan saat melihat nama orang tuanya pada papan di atas makam. Meski begitu, jiwa Azura masih harus diterpa oleh rasa ketakutan. Sebab, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung dan sumber penghiburan, kini justru menjadi ancaman terbesar bagi hidup Azura."Bagaima
Mimpi yang berubah menjadi kenyataan tampak seperti bualan. Namun, Azura seperti benar-benar melihat Mars sesaat sebelum dia pingsan. Wajah lelaki itu sangat amat persis. Rasanya tidak mungkin kalau Azura hanya sekadar berhalusinasi."Mars." Sebelum sepenuhnya sadar, Azura sempat membisikkan nama itu beberapa kali.Perlahan, kelopak matanya mulai terbuka. Ada nyeri yang tajam di bagian kepala saat Azura mencoba menggerakkan badan. Alhasil, Azura hanya sedikit menoleh ke sebelah kanan.Pandangannya masih kabur. Namun, dia bisa merasakan kalau dirinya berada di tempat yang aman, rumah seseorang.Tubuh yang lemas masih berbaring pada sofa abu-abu dengan selimut berwarna senada. Setelah beberapa kali berkedip pelan, bayangan buram di hadapan Azura mulai terbentuk dengan jelas. Seorang lelaki tengah berdiri di dekat jendela sambil memandangnya dengan tatapan serius."Ah, kamu udah bangun." Suara lelaki itu terdengar lembut. Dia berbalik, lalu kembali mendekat sambil membawakan segelas air.
Azura menatap bingung saat Gavin berjongkok di hadapannya. Lelaki itu menunduk sambil membawa satu kantong es yang sudah dibalut dengan kain. Merasa tak nyaman dengan posisi seperti ini, Azura lantas bergerak sedikit mundur."Kamu mau apa?" tanya Azura.Gavin tersenyum tipis, seolah sudah langsung paham kalau Azura sedang sangat canggung. "Kakimu sedikit bengkak. Kamu sepertinya terkilir. Kalau nggak dikompres, bengkaknya bisa tambah parah."Mendengar penjelasan Gavin, Azura justru membisu dan membatu. Ada sedikit geliat aneh di hati saat mendapati perhatian kecil dari lelaki itu. Lagi-lagi, Gavin tampak semakin mirip seperti sosok Mars yang ada dalam mimpi."Kamu mau mengompresnya sendiri?" tanya Gavin.Tangan kanan Gavin sudah terangkat seraya menyodorkan gulungan kain. Namun, Azura masih mematung. Dalam diam, manik cokelatnya terus saja tertuju pada mata abu-abu terang yang sedikit bercampur dengan corak biru.'Mars,' batin Azura.Sungguh, Azura merasa seperti hidup dalam mimpi. Be
'Jika kamu bersikeras ingin hidup, maka kupastikan hidupmu tidak akan tenang. Dan jika kamu menginginkan ketenangan, aku bersedia membantu mewujudkannya dengan cara mengembalikan kamu kepada Tuhan.'Kalimat itu terngiang jelas saat Azura menatap tiap sudut kamar di hadapannya. Semakin lama berada di sini, Azura semakin ingat dengan sederet peristiwa yang dia alami di dalam mimpi. Tempat ini benar-benar sama persis."Are you ok?" tanya Gavin.Azura menoleh ke samping, lalu menganggukkan kepala."Duduklah dulu. Wajahmu pucat," ucap Gavin.Meski tidak menatap diri lewat cermin, tapi Azura merasa kalau dirinya memang tidak baik-baik saja. Terbukti dari munculnya beberapa titik keringat dingin pada dahi. Bahkan, Azura juga merasa kalau tarikan napasnya berubah semakin sesak."Aku merasa mereka sedang mencariku. Dan entah mengapa, aku merasa kalau mereka sangat dekat dengan rumah ini," ucap Azura."Jangan khawatir. Nggak akan ada yang bisa masuk ke rumah ini tanpa membuat janji dulu dengank