Persidangan kembali dilangsungkan. Proses banding berjalan hanya dalam kurun waktu beberapa minggu. Ini adalah momen-momen yang sangat penting bagi Azura. Namun, selama beberapa kali sidang, Gavin tetap tidak kunjung datang.Ah, tapi biar saja. Ada atau tidak adanya Gavin, proses persidangan tetap akan berjalan lancar. Hidup Azura pun tetap bergulir dari pagi menuju petang."It's a big day, Ra," ucap Laura saat hakim membacakan banding yang Riki ajukan.Azura mengangguk. "Terima kasih telah mendampingi aku selama ini."Laura tersenyum hangat serta terus menggenggam tangan Azura. Sambil sama-sama menahan napas, mereka akhirnya mendengar dengan jelas saat hakim memutuskan untuk menolak banding. Dengan begitu, Azura dinyatakan menang dalam kasus ini.Azura menutup matanya sebagai ungkapan ekspresi kelegaan. Ini benar-benar menjadi puncak dari perjalanan hukumnya selama ini. Tak bisa dipungkiri, ini adalah hasil yang sejak awal Azura harapkan."Selamat, Ra. Selamat," ucap Laura. "Kamu ber
Selepas berakhirnya urusan hukum, Azura dan Laura tak lagi saling memberi kabar. Pun dengan Gavin yang sekarang entah di mana. Beberapa bulan berlalu, tak ada pertemuan, tak ada pesan, dan tak ada panggilan.Segala sesuatu tentang mereka berdua benar-benar seolah sudah sampai di titik paling akhir. Nama Laura dan Gavin tak ada lagi dalam keseharian Azura. Tepat saat Azura membuka lembar baru, dua nama itu benar-benar telah menjadi kenangan masa lalu."Saatnya melanjutkan hidup," ucap Azura.Tepat saat akhir pekan, Azura memutuskan untuk mengunjungi makam kedua orang tuanya. Ini bukanlah kali pertama. Sejak ancaman dari Riki dan keluarganya sudah tak pernah ada, Azura sudah datang ke tempat ini sebanyak belasan kali.Langit siang tampak biru tanpa adanya awan. Dalam hening, Azura menikmati betapa sejuk tiupan angin yang melewati celah pepohonan yang membuat daerah makam terasa rindang. Damai. Damai sekali.Sekelebat, ingatan Gavin kembali lewat. Namun, Azura sudah tak lagi merasa sesak
Sebuah tamparan keras mendarat tepat di pipi kiri Gavin. Mendengar perasaannya berbalas, tidak lantas membuat Azura bahagia. Pengakuan dari Gavin itu justru membuat Azura merasa dipermainkan."Apa kamu lupa kalau kamu itu tunangan Laura?" ucap Azura sinis."Aku tahu, tapi —"Sebelum Gavin sempat menyelesaikan ucapannya, sebuah tamparan lagi-lagi mendarat hingga berhasil membuat mulutnya bungkam. "Jadi begini caramu?" pungkas Azura.Sejak awal, Gavin seperti sudah sengaja bermain api. Meski sadar telah bertunangan dengan Laura, tapi dia memilih untuk menutupi semua itu. Gavin juga seperti sengaja membangun kedekatan dengan Azura, kedekatan yang lebih dari sekedar teman.Tak hanya merasa perasaannya dipermainkan, Azura juga merasa kalau Gavin juga sedang mempermainkan komitmennya dengan Laura. Kini, Azura tak hanya menanggung luka atas dirinya sendiri. Namun, Azura juga merasa terluka atas diri Laura yang saat ini sedang Gavin khianati."Tolong pergilah. Aku nggak mau terlibat dalam hub
Selama kepulangannya ke Skotlandia, Gavin telah berjuang dengan perasaannya. Dia banyak berpikir dan menimbang. Tak hanya beberapa minggu, tapi butuh berbulan-bulan. Gavin tahu bahwa dia sebenarnya mencintai Azura, tapi dia juga terjebak dalam komitmen yang sudah lama dia jalani dengan Laura.Tepat saat Gavin kembali ke Indonesia, dia akhirnya yakin untuk mengakhiri hubungannya dengan Laura. Tidak akan pernah ada perpisahan yang mudah. Namun, baginya, lebih baik menyudahi hubungan ini daripada harus menjalaninya dengan setengah hati."Kamu sudah nggak mencintaiku lagi?" tanya Laura saat itu."Tidak.""Vin, kamu serius?"Mungkin kejujuran akan sangat menyakitkan, tapi Gavin dengan tegas tetap berkata tidak. Gavin sudah menanyai hatinya ribuan kali, tapi cinta itu memang telah tiada. Bagi Laura, ini akan sangat terkesan jahat, tapi nyatanya hati Gavin sudah dimiliki oleh Azura sepenuhnya."Tapi kamu bilang kalau kamu hanya mencintaiku. Dan akan selalu begitu," ucap Laura."Bukankah oran
Sembilan derajat celcius. Azura belum terbiasa dengan suhu yang sedingin ini, tapi dia tetap memutuskan keluar tanpa baju tebal. Udara segar pagi hari di area pegunungan terlalu disayangkan untuk dilewatkan."Mbak, teh hangatnya diminum dulu," seru seorang wanita paruh baya.Azura menoleh, tersenyum, lalu mengangguk. "Makasih, Bu Afi."Untuk sementara waktu, Azura memutuskan untuk tinggal di villa peninggalan orang tuanya yang berada di area wisata dataran tinggi Dieng. Biasanya, tempat ini disewakan kepada para wisatawan. Namun, kali ini Azura memutuskan untuk sejenak menempatinya sendiri. Selain untuk mencari kehidupan baru, Azura juga ingin mengenang sedikit kenangan yang pernah terjadi bersama orang tuanya dulu.Beruntung, pekerjaannya tidak menuntut Azura untuk tinggal di satu tempat. Azura bisa bebas bekerja dari mana saja, dan kapan saja. Dia selalu disibukkan dengan proyek-proyek menulisnya, menerjemahkan dokumen, dan membuat konten untuk berbagai klien."Anak gadis, jangan me
Gavin duduk di kursi dekat jendela, memandangi hujan yang turun dengan derasnya. Tetes air seolah mewakili kedua mata yang sudah memerah. Gemuruh angin yang bercampur suara petir pun berhasil mencerminkan betapa kacau suasana di dalam hati.Sudah cukup lama sejak terakhir kali dia melihat Azura. Semakin hari, rasa rindunya pun bertambah semakin dalam. Gavin telah mencoba segala cara untuk menemukan dan menghubunginya, tetapi semua usahanya seolah sia-sia.Malam itu, Gavin membuka ponselnya dan menatap daftar pesan yang belum dibaca. Pesan-pesan itu berisi permintaan maaf, ungkapan cinta, dan harapan untuk bisa bertemu lagi. Sambil menghela napas panjang, Gavin harus kembali menemui kekecewaan saat menyadari bahwa pesan terakhirnya juga tidak mendapatkan balasan."Apa yang harus aku lakukan, Ra?" gumam Gavin, merasa frustrasi. "Kenapa kamu nggak mau mendengarku?"Gavin sudah mencoba berbagai cara untuk menemukan Azura. Dia juga sempat tak sengaja b
Hangat. Sangat hangat.Azura tak bisa menyangkal betapa nyaman sebuah rengkuhan yang menyelimuti tubuhnya saat Azura masih terlelap. Dekapnya yang erat tak ayal membuat kedua mata Azura perlahan terbuka. Namun, Azura sama sekali tidak keberatan saat tidurnya harus terganggu oleh kemunculan seseorang."Aku merindukanmu."Suara bisikan tertangkap oleh pendengaran Azura. Embusan napas hangat pun menjalar dari leher hingga telinga. Saat Azura telah sepenuhnya membuka mata, barulah Azura sadari kalau tubuhnya sedang berada dalam pelukan seseorang."Gavin?" lirih Azura.Lelaki si pemilik nama itu hanya tersenyum. Kedua mata Gavin lantas tertutup, seperti sedang menikmati aroma mawar yang menguar dari rambut panjang Azura yang tergerai. Sesekali, wajah Gavin ditenggelamkan pada tengkuk dan sela-sela rambut.Semakin lama, Azura bisa merasakan pelukan Gavin yang semakin erat. Lengan yang melingkari pinggang dan perut mulai menarik tubuh A
"Azura, aku tahu kalau kamu belum bisa mempercayaiku. Tapi tolong bagilah kesakitanmu dan kemarahanmu padaku agar aku tahu bagaimana mencintaimu dengan cara yang lebih baik lagi."Setiap kata yang keluar dari mulut Gavin berhasil menyumbang tetes air di kedua mata Azura. Lelaki itu memang terus menerus melayangkan ungkapan sayang. Namun, keseluruhan ucapannya justru sanggup menyayat hati yang sedari awal sudah terluka.Kini, Azura sudah yakin kalau dicintai oleh seseorang dengan begitu hebat, tidaklah selalu menyenangkan. Azura bisa membuktikan kalau ini semua justru terasa seperti beban dan kesakitan yang tak terelakkan. Terbukti, semakin Gavin menampakkan perasaan, hati Azura justru semakin terasa perih."Berhentilah, Vin." Akhirnya Azura berhasil mengeluarkan dua patah kata."Mengapa? Mengapa harus berhenti?""Karena aku nggak bisa bersamamu.""Kamu belum memaafkan aku?"Azura menarik napas, mencoba sedikit lebih tena