Rasanya mendebarkan, tapi Azura sangat bersemangat saat pada akhirnya dia bisa keluar dari flat miliknya. Setelah berbulan-bulan bersembunyi, Azura akhirnya bisa menghirup udara bebas. Ya, bebas.Azura tak perlu lagi takut akan ancaman dari Riki dan keluarganya. Pra peradilan telah berjalan, dan mereka semua sudah diamankan. Ini benar-benar menjadi hari yang bersejarah bagi Azura. Keberanian dan tekad yang dia kumpulkan selama ini akhirnya membuahkan hasil."Papa, Mama, kita semakin dekat dengan keadilan," ucap Azura seraya menatap pantulan diri dari kaca.Perasaannya bercampur antara lega, bahagia, dan sedikit cemas. Namun, satu hal yang pasti, hidupnya terasa sedikit lebih ringan. Memang belum berhasil sepenuhnya. Masih ada proses persidangan yang akan berlangsung selama berbulan-bulan. Namun, setidaknya Azura sudah melepas sedikit beban yang dia tanggung."Ra, kita jadi ketemu?"Suara Gavin mengalun merdu saat Azura mengangkat telepon darinya. Biasanya mereka hanya bersua di dalam
Tidak biasanya wajah Gavin diselimuti mendung. Biasanya, lelaki itu selalu tampak bahagia saat menatap wajah Azura. Namun, kali ini Gavin cenderung terlihat murung."Ada sesuatu?" tanya Azura.Gavin menarik bibirnya untuk membentuk senyum tipis, senyum terpaksa."Maaf karena kemarin aku harus bertemu dengan Anna," lanjut Azura.Gavin mengangguk. "Bukan masalah.""So?"Lelaki itu lantas menatap lekat kedua mata Azura. Manik abu-abu yang biasanya bersinar, kini berubah redup. Butuh waktu sekian detik bagi Gavin untuk sekadar mengucapkan satu kata."Ra, maaf."Alis Azura sontak mengernyit. "Maaf? Untuk apa?""Untuk semuanya."Gelengan kepala lantas memberi tanda bahwa Azura tak mengerti apa yang Gavin maksud. Sejauh ini, Azura tidak merasa punya masalah apapun dengan lelaki itu. Cukup aneh jika tiba-tiba Gavin membahas hal yang sepertinya cukup serius."Aku salah, Ra." Kalimat yang Gavin lontarkan terdengar berat dan sulit terucap. "Aku nggak jujur sama kamu selama ini, dan aku minta maa
Azura duduk meringkuk pada kursi balkon. Matanya menyorot ke arah jendela dengan tatapan kosong. Ada semburat rasa cinta yang sialnya harus beradu dengan lara.Embusan angin yang menerpa wajahnya, seolah mengingatkan pada malam-malam panjang yang pernah dia habiskan bersama Gavin. Setiap sentuhan, setiap bisikan, dan setiap senyuman yang pernah terjadi di ruangan ini, kini hanya menyisakan kenangan yang menyakitkan."God dammit!" pekik Azura.Azura menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam gejolak di dadanya. Mengapa rasa itu begitu sulit dihapus? Mengapa setiap kali dia berusaha melupakan, bayangan Gavin selalu saja muncul di benaknya? Kedua mata Azura lantas dipejamkan sempurna. Dia berharap bisa menemukan kedamaian di dalam kegelapan. Namun, wajah Gavin justru semakin jelas tergambar. Gurat tampan dengan senyuman yang dulu begitu Azura cintai, kini mewujud menjadi sumber luka yang tak terperi.“Gavin,” bisiknya pelan, nyaris seperti doa. Azura sadar bahwa perasaan ini tidak akan
Azura menatap wajahnya pada cermin kecil yang terpajang di kamar mandi. Rambutnya dibiarkan basah tanpa dibalut dengan handuk. Sungguh, Azura merasa tubuhnya seperti cangkang kosong yang tak bernyawa.Selama beberapa hari, Azura terus mencoba fokus pada persidangan yang masih bergulir. Namun, pikirannya selalu pecah setiap kali Azura mengingat Gavin. Ada perih yang tak bisa disangkal, meski Azura sudah berusaha sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan perasaannya.Bulan demi bulan, persidangan terus berlanjut. Setiap harinya, Azura membawa harapan bahwa keadilan akan ditegakkan. Laura dengan profesionalismenya yang tinggi, terus berjuang untuk memenangkan kasus tersebut. Di balik rumitnya perihal perasaan, jujur saja Azura mengagumi kekuatan dan dedikasi Laura, dan Azura sangat berterima kasih soal ini.Suatu pagi, ketika Azura sedang duduk sendirian di flatnya, ponselnya berbunyi. Nama Laura muncul. Azura menatap layar ponselnya beberapa saat sebelum akhirnya mengangkat panggilan terseb
"Atas dasar bukti dan kesaksian yang ada, pengadilan memutuskan bahwa terdakwa dinyatakan bersalah."Suara hakim terdengar tegas dan lantang. Ketukan palu berhasil membuat setitik air mata haru menetes di pipi Azura. Akhirnya, momen yang dia tunggu-tunggu telah tiba.Riki dan keluarganya sejak tadi hanya bisa menundukkan kepala. Namun, Azura masih bisa melihat lirikan mata penuh amarah sesaat sebelum Riki keluar dari ruang persidangan. Azura tahu, masih ada satu langkah yang harus dia lewati. Setelah ini, Riki pasti akan mengajukan banding."Kita masih harus berjuang di sidang selanjutnya, Ra," ucap Laura.Azura mengangguk. "Ada hal yang harus aku persiapkan?""Nggak ada," balas Laura. "Sidang selanjutnya adalah ajuan banding dari pihak Riki. Dan tenang aja, karena aku udah punya berbagai bukti perlawanan untuk ajuan banding nanti."Ungkapan terima kasih seolah tak pernah habis Azura layangkan. Sejak pertemuannya dengan Laura, hidupnya berangsur menjadi lebih baik. Kini Azura percaya
Persidangan kembali dilangsungkan. Proses banding berjalan hanya dalam kurun waktu beberapa minggu. Ini adalah momen-momen yang sangat penting bagi Azura. Namun, selama beberapa kali sidang, Gavin tetap tidak kunjung datang.Ah, tapi biar saja. Ada atau tidak adanya Gavin, proses persidangan tetap akan berjalan lancar. Hidup Azura pun tetap bergulir dari pagi menuju petang."It's a big day, Ra," ucap Laura saat hakim membacakan banding yang Riki ajukan.Azura mengangguk. "Terima kasih telah mendampingi aku selama ini."Laura tersenyum hangat serta terus menggenggam tangan Azura. Sambil sama-sama menahan napas, mereka akhirnya mendengar dengan jelas saat hakim memutuskan untuk menolak banding. Dengan begitu, Azura dinyatakan menang dalam kasus ini.Azura menutup matanya sebagai ungkapan ekspresi kelegaan. Ini benar-benar menjadi puncak dari perjalanan hukumnya selama ini. Tak bisa dipungkiri, ini adalah hasil yang sejak awal Azura harapkan."Selamat, Ra. Selamat," ucap Laura. "Kamu ber
Selepas berakhirnya urusan hukum, Azura dan Laura tak lagi saling memberi kabar. Pun dengan Gavin yang sekarang entah di mana. Beberapa bulan berlalu, tak ada pertemuan, tak ada pesan, dan tak ada panggilan.Segala sesuatu tentang mereka berdua benar-benar seolah sudah sampai di titik paling akhir. Nama Laura dan Gavin tak ada lagi dalam keseharian Azura. Tepat saat Azura membuka lembar baru, dua nama itu benar-benar telah menjadi kenangan masa lalu."Saatnya melanjutkan hidup," ucap Azura.Tepat saat akhir pekan, Azura memutuskan untuk mengunjungi makam kedua orang tuanya. Ini bukanlah kali pertama. Sejak ancaman dari Riki dan keluarganya sudah tak pernah ada, Azura sudah datang ke tempat ini sebanyak belasan kali.Langit siang tampak biru tanpa adanya awan. Dalam hening, Azura menikmati betapa sejuk tiupan angin yang melewati celah pepohonan yang membuat daerah makam terasa rindang. Damai. Damai sekali.Sekelebat, ingatan Gavin kembali lewat. Namun, Azura sudah tak lagi merasa sesak
Sebuah tamparan keras mendarat tepat di pipi kiri Gavin. Mendengar perasaannya berbalas, tidak lantas membuat Azura bahagia. Pengakuan dari Gavin itu justru membuat Azura merasa dipermainkan."Apa kamu lupa kalau kamu itu tunangan Laura?" ucap Azura sinis."Aku tahu, tapi —"Sebelum Gavin sempat menyelesaikan ucapannya, sebuah tamparan lagi-lagi mendarat hingga berhasil membuat mulutnya bungkam. "Jadi begini caramu?" pungkas Azura.Sejak awal, Gavin seperti sudah sengaja bermain api. Meski sadar telah bertunangan dengan Laura, tapi dia memilih untuk menutupi semua itu. Gavin juga seperti sengaja membangun kedekatan dengan Azura, kedekatan yang lebih dari sekedar teman.Tak hanya merasa perasaannya dipermainkan, Azura juga merasa kalau Gavin juga sedang mempermainkan komitmennya dengan Laura. Kini, Azura tak hanya menanggung luka atas dirinya sendiri. Namun, Azura juga merasa terluka atas diri Laura yang saat ini sedang Gavin khianati."Tolong pergilah. Aku nggak mau terlibat dalam hub