Jantung ini bagai tersengat ribuan volt tegangan listrik saat pandangannya beradu dengan tatapanku. Langkahku terayun setengah sadar mendekat ke arahnya. Paras yang sama, sorot mata yang sama, dengan kemasannya yang berbeda. Rambut panjangnya yang indah sekarang sudah tertutup hijab panjang. Lekuk tubuhnya yang dulu selalu kupuja, sekarang sudah terbalut gamis longgar, yang entah mengapa membuatnya terlihat semakin anggun di mataku. Aku yakin dia adalah Amaraku yang telah kucari dua tahun terakhir.
“Aku hampir tidak mengenalimu,” ucapku saat hanya tersisa beberapa langkah di depannya. Dari gerak bibirnya bisa terbaca, Amara menyebut namaku walaupun terlampau pelan untuk terdengar. Terlalu banyak yang ingin kusampaikan padanya, tetapi tak satu pun yang terucap hingga Amara begitu saja berlalu dari hadapanku. Kuikuti terus langkahnya yang tergesa. Jika tidak khawatir akan terjadi keributan, ingin rasanya kutarik lengan itu untuk berhenti sebentar. Amara terlihat sangat gugup dan terburu-buru membayar di meja kasir tanpa menyadari ia telah menjatuhkan kunci mobilnya sendiri. Ia sempat hilang dari pandanganku saat kupungut benda itu. Ada sesuatu yang menusuk saat melihat ukiran berwarna perak yang terkait pada bagian atas kunci. Amara bahkan masih menyimpannya, gantungan kunci yang kuhadiahkan untuknya pada saat bulan madu kami bertahun lalu. Sebuah harapan terbit di hatiku, bahwa Amara masih menyimpanku. Kususul ia dengan tergesa hingga mataku menangkap sosoknya yang sedang kebingungan mencari sesuatu di dalam tas. Langkahku melambat saat lagi-lagi pandangan kami bertemu. Amara diam terpaku saat kuulurkan kunci tersebut, juga saat kubantu memasukkan barang belanjanya ke bagasi. Kupandangi mobil itu menjauh tanpa berusaha berbuat apa pun. Bodoh, Radit! Harusnya kau tanyakan nomor kontaknya, atau paling tidak kau titipkan saja nomor teleponmu padanya. Amara sudah di depan mata, dan kau melepasnya begitu saja? Ternyata setelah bertahun-tahun kau tetaplah lelaki bodoh yang sama. Kuremas rambut dengan kesal yang membuncah. Sekarang harus kupikirkan cara untuk menemukannya kembali. Paling tidak aku tahu ia masih tinggal di kota ini. *** Zein. Jadi Amara memberinya nama Zein. Bocah lelaki kecil yang langsung mencuri perhatianku saat mendengarnya menyapa untuk pertama kali. Paras Amara tercetak jelas di wajah Zein yang mampu aku ingat. Caranya tertawa dan tersenyum mengingatkanku pada ibunya, senyum yang puluhan bulan kurindukan dan kerap hadir di mimpi-mimpi burukku tentang perpisahan kami. Zein sudah sebesar itu sekarang. Aku bahkan tidak sempat memberinya nama saat kutinggalkan mereka berdua. Keputusan yang sangat kusesali, saat egoku mengalahkan segalanya dan jiwa pengecutku mengikuti kemudian. Harusnya kubawa serta Amara dan bayi kecil kami, bukan malah mengabaikan dan mencari pelarian. Aku memang pantas dihukum dengan sebentuk rasa bersalah yang terus menghantui hingga saat ini. Kucoba memejamkan mata, tetapi akhirnya terbuka kembali. Pikiranku tidak bisa terlepas dari Amara dan juga Zein. Otakku berpikir keras mengumpulkan cara agar aku bisa kembali menemukannya. Hingga saat rasa kantuk mulai menguasai, aku teringat akan perbincanganku dengan Zein. Bocah kecil itu sempat menyebutkan nama sekolahnya. Tak ada salahnya besok kujumpai mereka di sana. Semoga takdir kembali berpihak padaku kali ini. *** Hampir satu jam kuhabiskan menunggu hingga satu per satu siswa berseragam sekolah mulai terlihat berhamburan keluar. Bergegas kudekati gerbang sekolah untuk mencari Zein di antara ramainya anak-anak yang sebayanya dengannya. Ternyata sungguh sulit membedakan, ditambah aku pun tak terlalu hafal akan wajahnya, sampai kemudian lengan kemejaku terasa seperti ditarik beberapa kali. “Om yang kemarin ketemu di supermarket ‘kan?” Suara kecil itu menyapa ramah. “Mau ngapain di sekolahku?” Kurendahkan posisi tubuh untuk menyamai tingginya. “Kebetulan lewat, Om mau nanyain obeng yang dibeli bisa dipakai enggak?” Ia mengangguk riang sambil menceritakan pedal sepedanya yang sudah berhasil diperbaiki, juga beberapa mainan yang menurutnya rusak juga sudah ia reparasi dengan aneka obeng itu. Minat Zein pada beragam perkakas mengingatkanku pada diri sendiri yang gemar membongkar pasang sesuatu. Caranya berceloteh sangat mirip Amara, terutama pada sepasang mata yang selalu ekspresif mengikuti setiap gerak bibirnya. “Biasanya siapa yang jemput?” Kulanjutkan bertanya. “Bunda, Om. Tapi kalo Bunda sibuk, aku harus nunggu agak lama.” “Ayah?” “Kata Bunda, ayahku kerja di tempat yang jauh. Ayah belum pernah pulang sampai sekarang,” gumamnya sedih. Seperti ada seribu pedang yang menusuk jantungku saat Zein selesai membicarakan sang ayah. Meskipun di sisi lain, hatiku berteriak lega mengetahui bahwa selama ini Amara tidak menggantikanku dengan lelaki lain. Aku masih punya harapan itu. “Om kerja di mana?” Zein memandangku ingin tahu. “Di perusahaan mobil, kantornya dekat dari sini,” jawabku menuntaskan penasarannya. “Oh, kalo bundaku kerjanya bikin kue,” ujarnya sebelum aku sempat bertanya. “Tokonya ada di rumah.” Rasa bersalah yang teramat sangat memenuhi dadaku. Jika Amara sampai berjualan makanan, pastilah ada sesuatu hal yang terjadi pada bisnis keluarganya, hingga ia mencari jalan lain untuk menafkahi Zein. Kumaki diri sendiri atas seluruh kelalaianku pada dua orang yang sangat kucintai ini. Aku sudah bersumpah, kali ini tak akan kusia-siakan kesempatan untuk membahagiakan darah dagingku serta jantung hatiku. “Om, itu Bunda udah jemput.” Suara nyaring Zein membuyarkan lamunanku. Mataku mengikuti arah jemarinya yang menunjuk pada sebuah mobil yang berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Zein hendak berlari, tetapi cepat kutahan lengannya agar ia tetap berdiri di sampingku. Bunyi klakson antrian kenderaan di belakang mobil tersebut membuat sang pengendara membuka kaca jendela. Ia separuh berteriak memanggil Zein. Sebuah raut kesal muncul saat melihatku tidak mengijinkan Zein menaiki mobilnya. “Nanti Bunda marah, lho, Om.” Zein memandang cemas saat Amara memutuskan untuk memarkirkan mobilnya. Aku sebenarnya juga tak kalah cemas. Jika Amara ingin meributkan hal ini, sekuriti sekolah sejak tadi memang sudah beberapa kali melirik curiga padaku. Mereka pasti memindai wajah-wajah asing yang jarang terlihat. “Biar Bunda parkir mobil dulu. Ada yang Om ingin bilang sama Bunda,” jelasku pada Zein. “Om kenal sama Bunda?” Ini pertanyaan sama yang Zein ajukan pada Amara kemarin. Kemampuannya membaca situasi cukup baik. Aku tidak boleh salah bicara, khawatir bocah kecil akan semakin penasaran. Kutunggu langkah Amara mendekat dengan jantung yang berdetak cukup kencang. Jelas raut wajahnya terlihat tidak bersahabat. Aku berusaha tersenyum, tetapi tidak sedikit pun Amara membalas tatapanku. “Zein, ayo kita pulang,” ucapnya saat telah berdiri di depanku dan Zein. “Bunda sibuk hari ini.” Jelas ia mengabaikanku. Aku harus cukup pintar memanfaatkan situasi ini. Tak akan berhasil jika memaksa Amara. Ide itu muncul begitu saja saat melihat wajah polos Zein. “Sebelum pulang gimana kalo kita makan dulu?” usulku spontan saja sambil memandang Zein dan Amara bergantian. Syukurlah trik yang kupakai lumayan jitu, karena Zein langsung tertawa girang seraya menyebutkan ia lapar dan ingin makan ayam goreng. Amara memandangku kali ini, dengan sorot mata dipenuhi emosi yang siap meluap. Namun, aku kenal baik sifat wanita ini. Sebisa mungkin ia tidak bertengkar dengan siapa pun di depan umum. Ia seperti biasa akan mengalah dan mengikuti saranku. “Banyak yang ingin aku bicarakan denganmu, Ra,” pintaku dengan nada memohon saat pandangannya melunak. “Nggak ada yang perlu dibicarakan,” sahutnya datar. “Satu kali saja. Setelah ini kita tidak perlu bertemu lagi kalau kamu keberatan.” Amara membuang muka saat kucoba terus mencari tatapannya. Aku tak boleh menyerah. Jika bukan sekarang, aku tidak yakin akan mendapat kesempatan emas ini lagi. Mataku beralih pada Zein yang sedang memandangiku dan Amara dengan bingung. Amara hanya diam, sementara aku juga tak tahu harus mengucapkan apa. “Kita jadi pergi makan nggak, sih, Om? Perutku udah bunyi ini, Bun,” protesnya dengan tangan terlipat di depan dada. “Jadi, dong.” Kutunjukkan senyum pada Zein, lalu mengulurkan sebelah tangan pada Amara. “Kuncinya, Ra,” ujarku. Amara memandangi bergantian wajah dan telapak tanganku yang terbuka. Sedetik kemudian kepalanya menggeleng saat mengetahui apa yang kumaksud. “Let me drive, Ra, please. Aku nggak akan sebodoh kemarin membiarkan kalian pergi begitu saja,” jelasku. Amara terlihat bimbang. Sesaat kemudian, ketika kunci mobil dengan gantungan perak itu akhirnya berpindah ke tanganku, aku tahu telah ada sedikit ruang maaf di hatinya yang disisakan Amara untuk menebus kesalahanku. “Thank you,” ucapku pelan. Kuabaikan helaan napas Amara yang terdengar masih kesal, meskipun dengan menurut ia ikut masuk ke dalam mobil. Senyum simpul terbit di bibirku. Kupastikan ini tak akan berlangsung lama, karena aku masih ingat cara membujuknya. Sejelas aku mengingat tangisnya saat malam itu kami bersiteru dan dengan begitu pengecutnya kuputuskan untuk meninggalkannya.Zein langsung menyelinap di kursi depan saat aku masih berdiri ragu di depan pintu mobil yang dibukakan Radit. Dengan percaya diri bocah kecil itu memasang sabuk pengaman dan segera berbincang akrab layaknya kerabat yang sudah saling mengenal. Syukurlah, paling tidak untuk kali ini Zein telah menyelamatkanku dari keharusan berbasa-basi hal yang tidak perlu dengan ayahnya.“Di mana restoran fried chicken yang paling dekat?” Radit bertanya saat mobil mulai melaju, sepertinya ditujukan padaku.“Sebelum arah ke sekolahku, Om.” Zein lebih dulu menimpali.“Jadi sekarang kita putar balik?” tanya Radit lagi.“Putar balik, ya, Bun?” Zein yang tidak terlalu hafal rutenya, ikut-ikutan bertanya padaku.Keduanya serempak menoleh ke belakang untuk meminta jawaban. Namun, saat melihat aku tidak mengatakan apa pun, Radit melekatkan ponselnya pada phone-holder dan segera membuka aplikasi penunjuk jalan.“Biar yang lebih tahu yang ngarahin,” ucapnya santai, seolah menyindir sikapku yang tetap dingin se
Ternyata aku masih lelaki yang sama, yang tetap tertegun saat melihat tetesan air mata mengalir di pipi Amara. Ia seketika menutup wajah dengan telapak tangan, berusaha menahan agar suara isaknya tidak terdengar. Hanya bahunya yang sedikit berguncang, menandakan emosi yang mendera begitu hebat. Beberapa detik setelah terdiam, kuulurkan padanya selembar tisu di atas meja yang tidak digunakan Zein.“Ra, jangan nangis,” hiburku. “Nanti kalau Zein lihat, dia akan mengira kita bertengkar.”Amara mengusap wajahnya dan membersihkan sisa air mata dengan tisu yang kuberikan. Ia menoleh sebentar ke arah area bermain, memastikan Zein masih asik dengan aktivitasnya. Pandangannya lalu beralih padaku, untuk kemudian menunduk pada jarinya yang bertaut.“Zein sering menanyakanmu,” gumam Amara. “Aku hampir kehabisan alasan untuk terus berbohong.”Aku ikut menunduk dengan rasa malu dan perih yang bertubi. Ketangguhan Amara dalam menghadapi situasi sulit selama ini terbayang jelas. Zein anak yang cerdas
Aku tidak bisa berbohong bahwa masih ada getar di hatiku yang tersisa untuk Radit. Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu, tidak dapat kupungkiri betapa rasa cinta itu bergulat dengan tumpukan benci saat aku memandangnya. Sejak kakiku melangkah keluar melewati pintu kaca restoran cepat saji itu, kuupayakan sekuat tenaga agar tidak menoleh ke belakang. Meskipun begitu, tetap harus dengan sabar kutunggu langkah kecil Zein yang masih bersemangat melambaikan tangan pada sosok lelaki yang belum ia ketahui status aslinya.“Om yang tadi baik banget, ya, Bun.” Zein kembali berceloteh setelah mobil meninggalkan area parkir. “Dia temannya Bunda?”“Ya,” jawabku ragu. “Teman lama.” Akhirnya itu yang kukatakan setelah sebentar mempertimbangkan.“Tadi di sekolahku, Om itu nanyain, apa obeng yang kemarin kita beli bisa dipakai.” Zein lanjut bercerita. “Aku bilang bisa. Om itu juga bilang aku anak hebat karena bisa memperbaiki sepeda sendiri.”Ada rasa haru menyusup di hatiku saat mendengarkan Zein be
Sudah lima belas menit aku berdiri di depan pagar sekolah Zein, menanti dengan sabar hingga bel pulang berbunyi. Tak kuhiraukan terik matahari yang sedikit membasahi kerah kemeja kerjaku. Isi kepalaku telah dipenuhi dengan senyum dan tawa Zein saat ia melihat apa yang aku bawakan untuknya hari ini.Sore kemarin sepulang kerja, kusempatkan singgah ke sebuah toko buku untuk mencari krayon warna yang diinginkan Zein. Semoga saja Amara belum sempat membelikannya untuk Zein. Semoga juga Amara terlambat datang menjemput siang ini, agar aku punya banyak waktu untuk mengobrol dengan anak lelakiku itu.Jika ada satu hal yang bisa kulakukan untuk menebus kembali tahun-tahun yang terlewat, pasti akan kuusahakan mati-matian. Ayah macam apa yang meninggalkan darah dagingnya tumbuh hanya dengan asuhan seorang ibu. Aku memang pecundang kelas kakap dulu. Namun, sekarang akan kubuktikan sekuat tenaga bahwa aku juga bisa menjadi suami yang diandalkan dan tentunya ayah yang dapat dibanggakan.“Om ngapai
Entah bagaimana caranya untuk tetap disiplin waktu setiap berbelanja ke toko bahan kue langgananku. Mataku seperti berwisata di antara pernak-pernik dan beragam perkakas memasak yang ditawarkan sang pemilik toko. Beberapa obrolan beliau juga sangat menarik, hingga akhirnya aku lupa waktu bahwa harus menjemput Zein menjelang tengah hari.Tinggal satu belokan lagi untuk mencapai lokasi sekolah saat aku menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan mobilku. Aku baru ingat bahwa sejak kemarin sore kondisi salah satu ban belakang memang kekurangan tekanan. Aku seharusnya tidak lupa untuk singgah ke kios pompa ban terdekat. Pasti Zein akan cemberut jika aku lagi-lagi terlambat menjemputnya.Dan, benar dugaanku. Kondisi ban sudah benar-benar kehabisan angin. Kucoba mencari lokasi bengkel di sekitar pada aplikasi penunjuk arah. Sialnya bengkel terdekat berada sejauh tiga kilometer dari posisiku saat ini, dan kondisi ban tidak memungkinkan untuk dibawa berkendara lebih jauh. Sepertinya aku meman
Seharian ini aku bertingkah seperti orang yang sedang kasmaran. Hanya duduk diam di belakang meja, memandangi isi aplikasi percakapan sambil berharap tiba-tiba akan masuk sebuah pesan untukku dari Amara. Ah, aku memang terlalu jauh berangan-angan. Perempuan itu tidak memblokir nomor kontakku saja sudah merupakah anugerah tak terkira bagiku. Satu-satunya yang bisa kupandangi untuk melepas rindu adalah foto Amara berdua Zein yang ia pasang sebagai profil. Gambar-gambar produk makanan yang ia tayangkan di kolom status secara bergantian juga kulahap semua tanpa sisa, berharap terselip satu atau dua foto aktivitasnya dengan Zein yang bisa kuikuti.Ide untuk mengirimi Amara pesan terlebih dahulu muncul berkali-kali di kepalaku. Namun, aku tahu betul sifat Amara. Perempuan itu akan mengambil seribu langkah menjauh jika ada yang mengejarnya terang-terangan. Aku sudah merasakan itu bertahun-tahun lalu saat pertama kali berkenalan dengannya di kampus tempat kami menuntut ilmu. Butuh satu tahun
Siang ini adalah yang paling terik di separuh bulan menuju akhir April. Antrian di depan gerbang sekolah terlihat mengular. Penjemput yang biasa menggunakan sepeda motor, hari ini memilih mengendarai roda empat mereka untuk menghindari intensitas sinar matahari yang terasa menggigit.Kulirik sekilas arloji di tangan kiri. Sudah terlambat tiga puluh menit dari jadwal biasa. Zein pasti sudah menunggu dengan cemberut di balik pagar. Lelaki kecilku itu memang paling tepat waktu dalam segala hal. Berbanding terbalik denganku, ibunya yang selalu tergopoh-gopoh di menit terakhir.Aku sedang memikirkan beberapa cara untuk membujuknya jika ia merajuk saat pintu mobil terdengar terbuka. Zein membalas senyumku tidak dengan bibir yang mengerucut seperti dugaanku, tetapi dengan wajah cerah dan tawa semringah yang seketika membawa kesejukan yang sejak tadi tak dapat dipenuhi oleh pendingin udara di dalam mobil.“Maaf, Zein. Bunda terlambat siang ini.” Kupindahkan persneling saat sudah berhasil kelu