Jantung ini bagai tersengat ribuan volt tegangan listrik saat pandangannya beradu dengan tatapanku. Langkahku terayun setengah sadar mendekat ke arahnya. Paras yang sama, sorot mata yang sama, dengan kemasannya yang berbeda. Rambut panjangnya yang indah sekarang sudah tertutup hijab panjang. Lekuk tubuhnya yang dulu selalu kupuja, sekarang sudah terbalut gamis longgar, yang entah mengapa membuatnya terlihat semakin anggun di mataku. Aku yakin dia adalah Amaraku yang telah kucari dua tahun terakhir.
“Aku hampir tidak mengenalimu,” ucapku saat hanya tersisa beberapa langkah di depannya. Dari gerak bibirnya bisa terbaca, Amara menyebut namaku walaupun terlampau pelan untuk terdengar. Terlalu banyak yang ingin kusampaikan padanya, tetapi tak satu pun yang terucap hingga Amara begitu saja berlalu dari hadapanku. Kuikuti terus langkahnya yang tergesa. Jika tidak khawatir akan terjadi keributan, ingin rasanya kutarik lengan itu untuk berhenti sebentar. Amara terlihat sangat gugup dan terburu-buru membayar di meja kasir tanpa menyadari ia telah menjatuhkan kunci mobilnya sendiri. Ia sempat hilang dari pandanganku saat kupungut benda itu. Ada sesuatu yang menusuk saat melihat ukiran berwarna perak yang terkait pada bagian atas kunci. Amara bahkan masih menyimpannya, gantungan kunci yang kuhadiahkan untuknya pada saat bulan madu kami bertahun lalu. Sebuah harapan terbit di hatiku, bahwa Amara masih menyimpanku. Kususul ia dengan tergesa hingga mataku menangkap sosoknya yang sedang kebingungan mencari sesuatu di dalam tas. Langkahku melambat saat lagi-lagi pandangan kami bertemu. Amara diam terpaku saat kuulurkan kunci tersebut, juga saat kubantu memasukkan barang belanjanya ke bagasi. Kupandangi mobil itu menjauh tanpa berusaha berbuat apa pun. Bodoh, Radit! Harusnya kau tanyakan nomor kontaknya, atau paling tidak kau titipkan saja nomor teleponmu padanya. Amara sudah di depan mata, dan kau melepasnya begitu saja? Ternyata setelah bertahun-tahun kau tetaplah lelaki bodoh yang sama. Kuremas rambut dengan kesal yang membuncah. Sekarang harus kupikirkan cara untuk menemukannya kembali. Paling tidak aku tahu ia masih tinggal di kota ini. *** Zein. Jadi Amara memberinya nama Zein. Bocah lelaki kecil yang langsung mencuri perhatianku saat mendengarnya menyapa untuk pertama kali. Paras Amara tercetak jelas di wajah Zein yang mampu aku ingat. Caranya tertawa dan tersenyum mengingatkanku pada ibunya, senyum yang puluhan bulan kurindukan dan kerap hadir di mimpi-mimpi burukku tentang perpisahan kami. Zein sudah sebesar itu sekarang. Aku bahkan tidak sempat memberinya nama saat kutinggalkan mereka berdua. Keputusan yang sangat kusesali, saat egoku mengalahkan segalanya dan jiwa pengecutku mengikuti kemudian. Harusnya kubawa serta Amara dan bayi kecil kami, bukan malah mengabaikan dan mencari pelarian. Aku memang pantas dihukum dengan sebentuk rasa bersalah yang terus menghantui hingga saat ini. Kucoba memejamkan mata, tetapi akhirnya terbuka kembali. Pikiranku tidak bisa terlepas dari Amara dan juga Zein. Otakku berpikir keras mengumpulkan cara agar aku bisa kembali menemukannya. Hingga saat rasa kantuk mulai menguasai, aku teringat akan perbincanganku dengan Zein. Bocah kecil itu sempat menyebutkan nama sekolahnya. Tak ada salahnya besok kujumpai mereka di sana. Semoga takdir kembali berpihak padaku kali ini. *** Hampir satu jam kuhabiskan menunggu hingga satu per satu siswa berseragam sekolah mulai terlihat berhamburan keluar. Bergegas kudekati gerbang sekolah untuk mencari Zein di antara ramainya anak-anak yang sebayanya dengannya. Ternyata sungguh sulit membedakan, ditambah aku pun tak terlalu hafal akan wajahnya, sampai kemudian lengan kemejaku terasa seperti ditarik beberapa kali. “Om yang kemarin ketemu di supermarket ‘kan?” Suara kecil itu menyapa ramah. “Mau ngapain di sekolahku?” Kurendahkan posisi tubuh untuk menyamai tingginya. “Kebetulan lewat, Om mau nanyain obeng yang dibeli bisa dipakai enggak?” Ia mengangguk riang sambil menceritakan pedal sepedanya yang sudah berhasil diperbaiki, juga beberapa mainan yang menurutnya rusak juga sudah ia reparasi dengan aneka obeng itu. Minat Zein pada beragam perkakas mengingatkanku pada diri sendiri yang gemar membongkar pasang sesuatu. Caranya berceloteh sangat mirip Amara, terutama pada sepasang mata yang selalu ekspresif mengikuti setiap gerak bibirnya. “Biasanya siapa yang jemput?” Kulanjutkan bertanya. “Bunda, Om. Tapi kalo Bunda sibuk, aku harus nunggu agak lama.” “Ayah?” “Kata Bunda, ayahku kerja di tempat yang jauh. Ayah belum pernah pulang sampai sekarang,” gumamnya sedih. Seperti ada seribu pedang yang menusuk jantungku saat Zein selesai membicarakan sang ayah. Meskipun di sisi lain, hatiku berteriak lega mengetahui bahwa selama ini Amara tidak menggantikanku dengan lelaki lain. Aku masih punya harapan itu. “Om kerja di mana?” Zein memandangku ingin tahu. “Di perusahaan mobil, kantornya dekat dari sini,” jawabku menuntaskan penasarannya. “Oh, kalo bundaku kerjanya bikin kue,” ujarnya sebelum aku sempat bertanya. “Tokonya ada di rumah.” Rasa bersalah yang teramat sangat memenuhi dadaku. Jika Amara sampai berjualan makanan, pastilah ada sesuatu hal yang terjadi pada bisnis keluarganya, hingga ia mencari jalan lain untuk menafkahi Zein. Kumaki diri sendiri atas seluruh kelalaianku pada dua orang yang sangat kucintai ini. Aku sudah bersumpah, kali ini tak akan kusia-siakan kesempatan untuk membahagiakan darah dagingku serta jantung hatiku. “Om, itu Bunda udah jemput.” Suara nyaring Zein membuyarkan lamunanku. Mataku mengikuti arah jemarinya yang menunjuk pada sebuah mobil yang berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Zein hendak berlari, tetapi cepat kutahan lengannya agar ia tetap berdiri di sampingku. Bunyi klakson antrian kenderaan di belakang mobil tersebut membuat sang pengendara membuka kaca jendela. Ia separuh berteriak memanggil Zein. Sebuah raut kesal muncul saat melihatku tidak mengijinkan Zein menaiki mobilnya. “Nanti Bunda marah, lho, Om.” Zein memandang cemas saat Amara memutuskan untuk memarkirkan mobilnya. Aku sebenarnya juga tak kalah cemas. Jika Amara ingin meributkan hal ini, sekuriti sekolah sejak tadi memang sudah beberapa kali melirik curiga padaku. Mereka pasti memindai wajah-wajah asing yang jarang terlihat. “Biar Bunda parkir mobil dulu. Ada yang Om ingin bilang sama Bunda,” jelasku pada Zein. “Om kenal sama Bunda?” Ini pertanyaan sama yang Zein ajukan pada Amara kemarin. Kemampuannya membaca situasi cukup baik. Aku tidak boleh salah bicara, khawatir bocah kecil akan semakin penasaran. Kutunggu langkah Amara mendekat dengan jantung yang berdetak cukup kencang. Jelas raut wajahnya terlihat tidak bersahabat. Aku berusaha tersenyum, tetapi tidak sedikit pun Amara membalas tatapanku. “Zein, ayo kita pulang,” ucapnya saat telah berdiri di depanku dan Zein. “Bunda sibuk hari ini.” Jelas ia mengabaikanku. Aku harus cukup pintar memanfaatkan situasi ini. Tak akan berhasil jika memaksa Amara. Ide itu muncul begitu saja saat melihat wajah polos Zein. “Sebelum pulang gimana kalo kita makan dulu?” usulku spontan saja sambil memandang Zein dan Amara bergantian. Syukurlah trik yang kupakai lumayan jitu, karena Zein langsung tertawa girang seraya menyebutkan ia lapar dan ingin makan ayam goreng. Amara memandangku kali ini, dengan sorot mata dipenuhi emosi yang siap meluap. Namun, aku kenal baik sifat wanita ini. Sebisa mungkin ia tidak bertengkar dengan siapa pun di depan umum. Ia seperti biasa akan mengalah dan mengikuti saranku. “Banyak yang ingin aku bicarakan denganmu, Ra,” pintaku dengan nada memohon saat pandangannya melunak. “Nggak ada yang perlu dibicarakan,” sahutnya datar. “Satu kali saja. Setelah ini kita tidak perlu bertemu lagi kalau kamu keberatan.” Amara membuang muka saat kucoba terus mencari tatapannya. Aku tak boleh menyerah. Jika bukan sekarang, aku tidak yakin akan mendapat kesempatan emas ini lagi. Mataku beralih pada Zein yang sedang memandangiku dan Amara dengan bingung. Amara hanya diam, sementara aku juga tak tahu harus mengucapkan apa. “Kita jadi pergi makan nggak, sih, Om? Perutku udah bunyi ini, Bun,” protesnya dengan tangan terlipat di depan dada. “Jadi, dong.” Kutunjukkan senyum pada Zein, lalu mengulurkan sebelah tangan pada Amara. “Kuncinya, Ra,” ujarku. Amara memandangi bergantian wajah dan telapak tanganku yang terbuka. Sedetik kemudian kepalanya menggeleng saat mengetahui apa yang kumaksud. “Let me drive, Ra, please. Aku nggak akan sebodoh kemarin membiarkan kalian pergi begitu saja,” jelasku. Amara terlihat bimbang. Sesaat kemudian, ketika kunci mobil dengan gantungan perak itu akhirnya berpindah ke tanganku, aku tahu telah ada sedikit ruang maaf di hatinya yang disisakan Amara untuk menebus kesalahanku. “Thank you,” ucapku pelan. Kuabaikan helaan napas Amara yang terdengar masih kesal, meskipun dengan menurut ia ikut masuk ke dalam mobil. Senyum simpul terbit di bibirku. Kupastikan ini tak akan berlangsung lama, karena aku masih ingat cara membujuknya. Sejelas aku mengingat tangisnya saat malam itu kami bersiteru dan dengan begitu pengecutnya kuputuskan untuk meninggalkannya.Zein langsung menyelinap di kursi depan saat aku masih berdiri ragu di depan pintu mobil yang dibukakan Radit. Dengan percaya diri bocah kecil itu memasang sabuk pengaman dan segera berbincang akrab layaknya kerabat yang sudah saling mengenal. Syukurlah, paling tidak untuk kali ini Zein telah menyelamatkanku dari keharusan berbasa-basi hal yang tidak perlu dengan ayahnya.“Di mana restoran fried chicken yang paling dekat?” Radit bertanya saat mobil mulai melaju, sepertinya ditujukan padaku.“Sebelum arah ke sekolahku, Om.” Zein lebih dulu menimpali.“Jadi sekarang kita putar balik?” tanya Radit lagi.“Putar balik, ya, Bun?” Zein yang tidak terlalu hafal rutenya, ikut-ikutan bertanya padaku.Keduanya serempak menoleh ke belakang untuk meminta jawaban. Namun, saat melihat aku tidak mengatakan apa pun, Radit melekatkan ponselnya pada phone-holder dan segera membuka aplikasi penunjuk jalan.“Biar yang lebih tahu yang ngarahin,” ucapnya santai, seolah menyindir sikapku yang tetap dingin se
Ternyata aku masih lelaki yang sama, yang tetap tertegun saat melihat tetesan air mata mengalir di pipi Amara. Ia seketika menutup wajah dengan telapak tangan, berusaha menahan agar suara isaknya tidak terdengar. Hanya bahunya yang sedikit berguncang, menandakan emosi yang mendera begitu hebat. Beberapa detik setelah terdiam, kuulurkan padanya selembar tisu di atas meja yang tidak digunakan Zein.“Ra, jangan nangis,” hiburku. “Nanti kalau Zein lihat, dia akan mengira kita bertengkar.”Amara mengusap wajahnya dan membersihkan sisa air mata dengan tisu yang kuberikan. Ia menoleh sebentar ke arah area bermain, memastikan Zein masih asik dengan aktivitasnya. Pandangannya lalu beralih padaku, untuk kemudian menunduk pada jarinya yang bertaut.“Zein sering menanyakanmu,” gumam Amara. “Aku hampir kehabisan alasan untuk terus berbohong.”Aku ikut menunduk dengan rasa malu dan perih yang bertubi. Ketangguhan Amara dalam menghadapi situasi sulit selama ini terbayang jelas. Zein anak yang cerdas
Aku tidak bisa berbohong bahwa masih ada getar di hatiku yang tersisa untuk Radit. Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu, tidak dapat kupungkiri betapa rasa cinta itu bergulat dengan tumpukan benci saat aku memandangnya. Sejak kakiku melangkah keluar melewati pintu kaca restoran cepat saji itu, kuupayakan sekuat tenaga agar tidak menoleh ke belakang. Meskipun begitu, tetap harus dengan sabar kutunggu langkah kecil Zein yang masih bersemangat melambaikan tangan pada sosok lelaki yang belum ia ketahui status aslinya.“Om yang tadi baik banget, ya, Bun.” Zein kembali berceloteh setelah mobil meninggalkan area parkir. “Dia temannya Bunda?”“Ya,” jawabku ragu. “Teman lama.” Akhirnya itu yang kukatakan setelah sebentar mempertimbangkan.“Tadi di sekolahku, Om itu nanyain, apa obeng yang kemarin kita beli bisa dipakai.” Zein lanjut bercerita. “Aku bilang bisa. Om itu juga bilang aku anak hebat karena bisa memperbaiki sepeda sendiri.”Ada rasa haru menyusup di hatiku saat mendengarkan Zein be
Sudah lima belas menit aku berdiri di depan pagar sekolah Zein, menanti dengan sabar hingga bel pulang berbunyi. Tak kuhiraukan terik matahari yang sedikit membasahi kerah kemeja kerjaku. Isi kepalaku telah dipenuhi dengan senyum dan tawa Zein saat ia melihat apa yang aku bawakan untuknya hari ini.Sore kemarin sepulang kerja, kusempatkan singgah ke sebuah toko buku untuk mencari krayon warna yang diinginkan Zein. Semoga saja Amara belum sempat membelikannya untuk Zein. Semoga juga Amara terlambat datang menjemput siang ini, agar aku punya banyak waktu untuk mengobrol dengan anak lelakiku itu.Jika ada satu hal yang bisa kulakukan untuk menebus kembali tahun-tahun yang terlewat, pasti akan kuusahakan mati-matian. Ayah macam apa yang meninggalkan darah dagingnya tumbuh hanya dengan asuhan seorang ibu. Aku memang pecundang kelas kakap dulu. Namun, sekarang akan kubuktikan sekuat tenaga bahwa aku juga bisa menjadi suami yang diandalkan dan tentunya ayah yang dapat dibanggakan.“Om ngapai
Entah bagaimana caranya untuk tetap disiplin waktu setiap berbelanja ke toko bahan kue langgananku. Mataku seperti berwisata di antara pernak-pernik dan beragam perkakas memasak yang ditawarkan sang pemilik toko. Beberapa obrolan beliau juga sangat menarik, hingga akhirnya aku lupa waktu bahwa harus menjemput Zein menjelang tengah hari.Tinggal satu belokan lagi untuk mencapai lokasi sekolah saat aku menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan mobilku. Aku baru ingat bahwa sejak kemarin sore kondisi salah satu ban belakang memang kekurangan tekanan. Aku seharusnya tidak lupa untuk singgah ke kios pompa ban terdekat. Pasti Zein akan cemberut jika aku lagi-lagi terlambat menjemputnya.Dan, benar dugaanku. Kondisi ban sudah benar-benar kehabisan angin. Kucoba mencari lokasi bengkel di sekitar pada aplikasi penunjuk arah. Sialnya bengkel terdekat berada sejauh tiga kilometer dari posisiku saat ini, dan kondisi ban tidak memungkinkan untuk dibawa berkendara lebih jauh. Sepertinya aku meman
Seharian ini aku bertingkah seperti orang yang sedang kasmaran. Hanya duduk diam di belakang meja, memandangi isi aplikasi percakapan sambil berharap tiba-tiba akan masuk sebuah pesan untukku dari Amara. Ah, aku memang terlalu jauh berangan-angan. Perempuan itu tidak memblokir nomor kontakku saja sudah merupakah anugerah tak terkira bagiku. Satu-satunya yang bisa kupandangi untuk melepas rindu adalah foto Amara berdua Zein yang ia pasang sebagai profil. Gambar-gambar produk makanan yang ia tayangkan di kolom status secara bergantian juga kulahap semua tanpa sisa, berharap terselip satu atau dua foto aktivitasnya dengan Zein yang bisa kuikuti.Ide untuk mengirimi Amara pesan terlebih dahulu muncul berkali-kali di kepalaku. Namun, aku tahu betul sifat Amara. Perempuan itu akan mengambil seribu langkah menjauh jika ada yang mengejarnya terang-terangan. Aku sudah merasakan itu bertahun-tahun lalu saat pertama kali berkenalan dengannya di kampus tempat kami menuntut ilmu. Butuh satu tahun
Arjuna kecilku sudah hampir menjelang tidur ketika kudengar bibirnya masih sempat berceloteh. Setelah puas menghabiskan aneka menu buka puasa di hari pertama, dan pergi tarawih dengan bersemangat bersama teman-teman sebayanya, kuharap tidak ada perbincangan rutin lagi mengenai perihal ayahnya seperti biasa. Benar, Zein tidak menanyakan hal itu kali ini. Adahal lain yang lebih menarik perhatiannya. Sepanjang ia pernah berkenalan dengan kolega atau kerabatku yang berjenis kelamin laki-laki, Zein tidak pernah seantusias ini menanyakan seluk beluknya.“Om Radit itu teman Bunda dari mana?” Zein membuka kembali matanya yang sudah memejam setelah membaca doa menjelang tidur. “Teman sekolah?”“Om Radit itu dulu teman kuliah Bunda,” jelasku dengan mata yang sudah tertutup.Beberapa pesanan makanan untuk berbuka dari pelanggan setia membuatku agak letih hari ini. Sebenarnya aku ingin menolak menerima pesanan di hari puasa pertama, tetapi aku tidak bisa memungkiri saat ini masih butuh biaya lebi
Bangun sahur di hari pertama Ramadan dilalui Zein dengan bersemangat. Bocah kecil itu ikut terjaga saat alarm yang kuatur untuk bangun memasak menu, berdering pada pukul tiga dini hari. Zein duduk di depan televisi menonton tayangan kartun kesayangannya. Baru beranjak bangkit saat kupanggil ke meja makan untuk menyantap sahur. Bude Asih tidak menginap, beliau minta izin untuk menghabiskan waktu bersama keluarga sampai menjelang syawal. Meskipun di pagi hari esoknya beliau tetap datang untuk membantuku menyiapkan pesanan penganan berbuka puasa.Entah apa yang merasuki pikiranku sampai-sampai aku bermimpi tentang Radit tadi malam. Hanya sedikit yang bisa kuingat. Yang pasti kami bertiga ada di sana. Aku, Radit, dan Zein melangkah di tengah-tengah padang ilalang. Radit dan Zein berjalan beberapa langkah lebih dulu di depanku. Zein melompat-lompat dengan riang gembira. Radit bahkan sampai harus berlari saat Zein menarik tangannya. Lelaki itu kemudian berbalik arah mendatangiku untuk menye
Pagi ini aku terpaksa berangkat kerja lebih awal dari biasanya. Sebelum ke kantor, aku harus terlebih dahulu singgah di rumah untuk mengganti pakaian kerja. Sebelumnya, tentu saja aku harus mengantar sekolah bocah kecil yang menggemaskan ini yang sejak tadi tak berhenti bernyanyi riang sejak mobil mulai bergerak.Berselingan dengan lamunanku yang sedang mencari alasan untuk dapat menjemput Zein dari sekolahnya nanti, sebuah mobil yang terlihat familiar dari arah berlawanan memaksaku sedikit memutar kemudi ke kiri karena posisinya yang terlalu rapat. Aku tidak mungkin salah lihat. Mobil yang baru saja berpapasan di depan jalan menuju rumah Amara adalah milik Pandu. Aku kenal bagian depannya yang tertempel stiker lambang kedokteran.Mau apa laki-laki itu bertandang sepagi ini? Apa karena tidak kuizinkan menjenguk Amara tadi malam?"Om."Apakah ia berniat memeriksa kondisi Amara seperti kemarin?"Om Radit."Atau mungkin saja ia hendak mencari tahu tentang aku dari Amara?"Om!" Sebuah tan
Zein bersemangat sekali pagi ini. Hari pertama ia masuk sekolah kembali setelah satu minggu libur menyambut puasa. Zein bilang ia rindu teman-temannya. Namun, tanpa dikatakan pun aku tahu semangat Zein itu tumbuh karena Radit yang akan mengantarnya kali ini.Aku tahu Radit kecewa saat kukatakan ia tak lagi perlu menginap malam ini. Lagi pula memang aku tak pernah mengundangnya. Radit sendiri yang berinisiatif datang. Sialnya mengapa aku sampai hilang kendali dan larut dalam pelukannya saat menangis. Pasti Radit sekarang merasa di atas angin.Sejujurnya aku belum benar-benar pulih. Tulang belakangku masih nyeri dan perutku masih terasa kembung. Tak mengapa sebenarnya, hari ini ada Bude Asih yang bisa membantu. Jika sampai sore nanti tak kunjung mereda, akan kusempatkan singgah di praktek Pandu untuk memeriksakan diri.Sekilas aku teringat bahwa semalam Pandu berjanji untuk datang kembali melihat keadaanku. Mungkin pasiennya terlampau ramai dan ia harus bertugas sampai jauh malam. Pandu
Aku baru saja tersentak dari mimpi yang benar-benar buruk. Dadaku berdebar kencang. Aku seperti hampir kehabisan nafas karena berlari terlalu jauh dalam mimpiku. Lalu aku duduk dengan cepat saat menyadari bukan sedang berada di perbukitan luas yang tinggi. Aku masih berada di rumah Amara, masih berada di sofa yang sama tempat aku dan Zein jatuh tertidur."Setengah satu," jawab Amara saat kutanya jam berapa sekarang. "Zein sudah aku pindahkan ke kamar."Kemeja yang kupakai basah oleh peluh. Bagaimana tidak. Dalam mimpiku itu aku berlari mengejar Zein hingga berakhir jatuh ke dalam sebuah jurang yang dalam. Aku baru terjaga ketika tubuhku hampir menghantam batu karang di pinggir lautan luas. Entah apa maknanya. Atau mungkin sekadar ketakutanku saja akan ada pihak lain yang berniat merebut Zein dan Amara dariku. Apa karena pertemuanku dengan Pandu malam tadi terlalu merasuk ke hati?Amara berdiri di depanku memandangku heran. Kuambil barang yang ia sodorkan setelah sempat tertegun bebera
Di balik rasa gundahku yang masih menggunung, sejujurnya aku bersyukur Radit menyempatkan singgah. Benar kata Pandu, tidak mungkin aku bisa mengurus Zein dalam keadaan sakit seperti ini. Jangankan mengurus Zein, membawa diriku sendiri ke kamar mandi saja harus meminta bantuan orang lain. Radit memesankanku soto bening agar selera makanku pulih. Aku menolak saat ia menawarkan untuk menyuapi. Meskipun kepala masih terasa berat, kupaksakan untuk duduk dan menghabiskan makanan itu perlahan. Aku harus bisa menunjukkan pada Radit bahwa Amara adalah seorang perempuan yang kuat. Kembalinya seorang Radit tidak serta merta membuatnya manja.Aku kembali tertidur setelah menghabiskan makan malam. Hanya terjaga sebentar saat Zein masuk untuk berpamitan berangkat tarawih. Bocah itu mencium keningku lama, meraba leherku seperti yang sering kulakukan padanya saat ia demam. "Bunda tidur, badannya sudah tidak panas." Kira-kira begitu laporan Zein pada Radit yang sepertinya hanya menunggu di luar kama
Tak bisa kupungkiri bahwa Radit menguasai pikiranku belakangan ini. Malam-malam yang kulalui setelah ia muncul kembali, pasti terselip sosoknya dalam potongan mimpiku. Radit mengacaukan ritme hidupku. Aku menyukai dan membenci itu secara bersamaan.Hari ini entah mengapa lambungku terasa sedikit perih, pelipisku berdenyut, dan tulang belakangku agak nyeri saat digerakkan. Bude Asih meminta izin libur, jadi semua pesanan kukerjakan sendiri. Untung ada Zein yang ikut membantu menempel stiker dan menyusun air mineral ke dalam kotak.Tadinya aku berniat menuntaskan puasa hari ini dan pergi ke dokter setelah maghrib. Namun, perih di lambungku semakin parah. Kuminta Zein mengambil segelas air hangat untuk meredakan nyerinya. Setengah jam tak juga mereda, kuputuskan untuk menelepon Pandu agar datang."Maaf, Ndu. Aku nggak sanggup harus nyetir ke praktek kamu," sesalku saat Pandu selesai memeriksa. Lelaki itu hanya tersenyum tipis sambil menyiapkan jarum untuk injeksi."Disuntik, ya?" tanyaku
Lokasi masjid yang akan aku tuju bersama Zein tidak terlalu jauh dari rumah Amara. Sepanjang jalan, Zein terus bercerita tentang beberapa temannya yang terlalu ingin tahu di mana keberadaan ayahnya. Malam ini Zein sengaja mengajakku menemaninya salat tarawih agar teman-temannya itu tidak lagi usil bertanya."Om pura-pura jadi ayahku, mau?" pintanya dengan wajah sungguh-sungguh.Aku tersenyum miris, lalu kurangkul pundak kecil itu merapat. Mengapa harus pura-pura jika sebenarnya kita bisa terus terang, Zein? Ayahmu ini tinggal menunggu isyarat ibumu kapan saat yang tepat untuk mengaku. Tak mengapa meskipun setelah itu aku bakal kau hujani ribuan pertanyaan mengapa aku meninggalkanmu dan dirinya selama bertahun-tahun."Om mau pura-pura jadi ayahnya Zein, tapi ada syaratnya." Tiba-tiba sebuah ide melintas di kepalaku. Siapa tahu cara ini bisa membuat sikap Amara sedikit melunak."Apa syaratnya?" Zein bertanya."Zein janji mau telepon Om tiap hari, ya. Kirim kabar pada Om apa saja yang Ze
Aku sedang menuang air putih hangat untuk minuman berbuka Radit, saat Zein dengan polosnya bertanya kenapa Bude Asih juga sudah mengenal pria itu padahal baru saja bertemu. Kulihat Bude Asih dan Radit terdiam sesaat. Cepat kupanggil ke dapur perempuan paruh baya itu sebelum terucap darinya fakta tentang Radit."Kenal, dong, Le. Om Radit ini-- ""Bude Asih tolong bantu siapkan es timunnya, dulu, ya. Sudah hampir azan maghrib." Sengaja kualihkan kalimat Bude Asih. "Zein, ayo ajak Om Radit duduk."Keempat buah kursi yang mengelilingi meja makan, sore ini dihuni penuh. Bude Asih yang tadinya akan berbuka puasa di rumahnya, akhirnya menurut saat kuminta menginap malam ini. Terus terang aku segan jika harus bertiga saja di rumah dengan Radit. Jika tidak melihat Zein yang begitu bersemangat tadi, lebih baik tidak kuundang Radit masuk untuk berbuka puasa bersama.Zein membaca doa dengan lantang sesaat setelah azan berkumandang. Bocah itu mencoba satu per satu makanan yang dibawakan Radit. Ber
Regional online meeting siang ini terasa sangat membosankan bagiku. Berkali-kali harus kupalingkan wajah dari layar laptop karena terpaksa harus menguap. Memang setelah sahur tadi aku tidak kembali tidur. Pikiranku selalu melayang pada Amara dan Zein dan apa yang sedang mereka lakukan di sana. Lokasi rumah Amara yang dengan suka rela diberikan oleh kurir semalam, seakan memanggil-manggilku untuk segera berkendara ke sana."Suntuk banget, sih, Bos." Arga, salah satu stafku memberikan lirikan ingin tahu saat aku keluar dari ruangan setelah rapat selesai. "Target lagi?""Bukan suntuk," ralatku. "Ngantuk doang saya.""Begadang kayaknya, Pak?" timpal Nalita yang duduk di samping Arga."Begadangan masak sahur, Bos?" celetuk Arga lagi dengan nada bercanda. "Makanya buruan punya istri, biar sahur dan buka ada yang masakin.""Memang sekarang saya lagi nyari istri," sahutku spontan. Bukankah benar selama ini aku setengah mati mencari keberadaan Amara. "Untunglah sekarang-- ""Nggak perlu jauh-j
Meski terlahir dari rahim yang sama, karakterku dan Alia, adik bungsuku sungguh jauh berbeda. Aku cenderung pendiam meskipun sesungguhnya tertanam jiwa pemberontak di dalam. Alia sejak kecil terkenal lebih ceria, tetapi jauh lebih penurut bila menyangkut urusan internal keluarga. Alia menurut saat Mama memilihkan fakultas kedokteran untuknya, Alia menurut saat Papa memintanya menikah setelah lulus, termasuk menuruti untuk menikah dengan lelaki pilihan keluarga yang sejatinya dulu dijodohkan denganku.Di malam Radit pergi meninggalkanku dan Zein, Mama menuangkan semua sumpah serapahnya pada lelaki itu, juga seluruh kekesalannya padaku atas sikap pembangkangku. Andai aku tidak menolak menikah dengan lelaki pilihan Mama, pasti hidupku tidak akan sengsara seperti ini menurut beliau.Aku tidak membantah karena Mama tidak sepenuhnya salah. Sikapku saat melarikan diri bersama Radit juga tidak bisa dikatakan benar. Aku bahkan sempat merasa bersalah mencebloskan Radit dalam keruwetan keluargak