Zein langsung menyelinap di kursi depan saat aku masih berdiri ragu di depan pintu mobil yang dibukakan Radit. Dengan percaya diri bocah kecil itu memasang sabuk pengaman dan segera berbincang akrab layaknya kerabat yang sudah saling mengenal. Syukurlah, paling tidak untuk kali ini Zein telah menyelamatkanku dari keharusan berbasa-basi hal yang tidak perlu dengan ayahnya.
“Di mana restoran fried chicken yang paling dekat?” Radit bertanya saat mobil mulai melaju, sepertinya ditujukan padaku. “Sebelum arah ke sekolahku, Om.” Zein lebih dulu menimpali. “Jadi sekarang kita putar balik?” tanya Radit lagi. “Putar balik, ya, Bun?” Zein yang tidak terlalu hafal rutenya, ikut-ikutan bertanya padaku. Keduanya serempak menoleh ke belakang untuk meminta jawaban. Namun, saat melihat aku tidak mengatakan apa pun, Radit melekatkan ponselnya pada phone-holder dan segera membuka aplikasi penunjuk jalan. “Biar yang lebih tahu yang ngarahin,” ucapnya santai, seolah menyindir sikapku yang tetap dingin sejak tadi. Kondisi jalanan yang padat membuat waktu tempuh menjadi dua kali lipat lebih lama. Zein dengan bersemangat menceritakan apa saja pada Radit. Satu kalimat tanya dari Radit akan dijawab dengan sederet penjelasan oleh bocah kecil itu. Mulai dari teman-teman sekolahnya, aktivitas favoritnya, hingga beberapa kebiasaan kami di rumah yang juga dilontarkan Zein atas pancingan Radit. Situasi ini benar-benar tidak nyaman untukku. Andai tadi Zein tidak terlalu antusias menanggapi ajakan Radit, aku akan memilih pulang dan mengabaikannya. Hatiku sebenarnya bersimpangan. Di satu sisi, aku sangat benci melihatnya muncul dengan tiba-tiba dan mencoba meraih hatiku kembali, tetapi di sisi lain aku tak bisa memungkiri bahwa ada pertalian darah antara ia dan Zein yang juga sah secara hukum. Di sela obrolannya dengan Zein, aku tahu Radit berusaha mencari tatapanku melalui kaca spion. Kuputuskan untuk melempar pandangan keluar lewat jendela, melihat apa saja yang bisa mengalihkanku agar tidak terjebak percakapan dengan mereka. Sesekali kudengar keduanya tertawa atas celoteh Zein atau pun lelucon ringan yang dilontarkan Radit. Sampai akhirnya perbincangan itu ternyata membahas jadwal puasa yang tinggal dua hari lagi. “Puasa, dong.” Ucapan Zein membuyarkan lamunanku. “Aku, kan, udah besar.” “Keren, ah.” Radit memuji. “Biasanya buka puasa pakai apa?” “Bunda yang bikin, aku sukanya es alpukat pakai susu,” sahut Zein. “Aku juga suka pisang goreng pakai keju.” Aku mendengarkan dengan miris percakapan sederhana itu. Andai pertengkaran di antara kami tak pernah terjadi, seperti inilah gambaran kehidupan yang aku dan Zein akan jalani bertiga Radit. Mungkin saja berempat, atau bahkan berlima dengan adik-adik Zein dalam khayalanku. Hatiku terasa nyeri saat membayangkan itu. “Buka puasanya sama siapa saja?” Pertanyaan Radit kali ini berhasil menyita perhatianku. Aku yakin ia sengaja menanyakan itu. Radit pasti sedang mencari celah untuk mengetahui statusku selama ia tinggalkan. “Berdua sama Bunda, kadang-kadang bertiga sama Bude Asih,” sahut Zein. “Ayah nggak ikut?” Radit lanjut bertanya. Jelas sudah bahwa Radit sedang terang-terangan mengorek informasi. Aku hendak mencegah Zein berbicara lebih banyak, tetapi dengan polosnya bocah kecil itu sudah lebih dulu mengutarakan isi hatinya. “Om lupa? Ayahku belum pulang kerja. Tadi, kan, aku udah kasih tahu Om waktu kita di sekolah.” Kali ini ada perih yang begitu nyata tergambar dalam tatapan Radit saat beradu denganku lewat spion mobil. Aku yakin, semua luka ini juga menyakiti dirinya sama dalamnya. Namun, bukan berarti ia bisa semudah itu mengucap maaf dan membalikkan keadaan. Aku ragu kehadiran Radit akan mampu menjadikan hidupku lengkap. Yang Zein dan aku miliki saat ini sudah lebih dari sempurna. *** Duduk di hadapan Radit seperti ini sangat membuatku salah tingkah. Zein tak lagi memperdulikan apa pun lagi setelah menghabiskan menu yang ia pesan. Aneka permainan di sudut restoran ini lebih menarik perhatiannya. Tanpa berdosa ia meninggalkanku berdua Radit yang sejak tadi hanya saling diam tanpa tahu harus berbicara apa. “Zein persis kamu.” Suara Radit akhirnya terdengar lebih dulu. “Selalu ekspresif saat bercerita.” Aku hanya menunduk, memandangi gelas minuman yang esnya sudah separuh mencair. Berusaha sekuat tenaga untuk tidak mencari tahu apa pun tentang Radit dan kehidupannya, meskipun di dalam otakku sudah berbaris ribuan kalimat yang ingin aku tanyakan padanya. “Boleh aku tahu kabar kalian?” Aku menengadah kali ini. Yang Radit tanyakan pastilah tidak hanya sekedar kabar. Aku harus cerdas memilih jawaban agar tidak membuka celah lebih dalam lagi untuknya. “Seperti yang kamu lihat. Aku dan Zein baik-baik saja.” Sengaja kutekankan itu. “Syukurlah.” Radit memandangku dengan rasa bersalah. “Aku minta maaf.” Permohonan maafnya yang terlihat tulus malah memancing tawaku. Tawa getir diiringi sakit hati yang sudah bertahun terpendam, tidak akan segampang itu luluh dengan tiba-tiba. Aku masih punya harga diri untuk tidak bersikap murahan. “Kamu masih sendiri?” Radit terlihat sangat bingung saat ingin mengkonfirmasi statusku. ”Maksudku saat ini–“ “Sudah dengar dari Zein, bukan? Aku yakin kamu sudah paham.” Lekas kupotong kalimatnya. Radit mengangguk, tetapi rasa penasarannya tidak berhenti sampai di situ. Yang ia tanyakan selanjutnya justru lebih lugas dari sebelumnya. “Apa selama aku pergi, kamu pernah menikah?” Kuberi Radit tatapan tajam atas pertanyaannya barusan. Bagaimana mungkin ia sempat mempertanyakan itu, sementara selama ia tidak ada aku berusaha keras membesarkan Zein seorang diri. Tidak adakah sedikit empatinya menanyakan kesulitanku? “Fokusku saat ini hanya Zein,” jawabku singkat. Aku berharap kalimat itu mampu menjelaskan bahwa aku sedang tidak ingin menjalin hubungan apa pun dengan siapa pun saat ini. Termasuk dirinya. Status kami dahulu tidak akan mengubah pertimbanganku. “Aku terus mencari kamu dua tahun terakhir,” gumam Radit tanpa memandang ke arahku. “Aku kira kamu pindah ke kota lain.” “Untuk apa?” Ini adalah kalimat tanya pertama dariku untuk Radit sejak bertemu kembali. “Untuk menebus semua salahku sama kamu, Ra,” jawabnya. “Harusnya dulu aku juga bawa kamu dan Zein, bukan malah pergi sendiri.” Kelebat kenangan buruk itu hadir kembali seiring Radit mengungkapkan penyesalannya. Malam itu aku berteriak memanggilnya, menahannya agar tidak pergi, berulangkali hingga kudengar Zein menangis dari dalam rumah. Ia bahkan tidak menoleh ke belakang saat sepeda motor itu membawa sosoknya semakin menjauh dan hilang dari pandangan. Aku menunggunya kembali, berhari-hari, sampai rasa jemu itu menetapkan bahwa ia tidak akan mungkin pulang. “Aku nggak bisa bilang sudah maafin kamu,” tuturku setelah beberapa saat. “Yang pasti sekarang aku sudah berdamai dengan hatiku.” Radit mengangguk cepat. Jemarinya jadi sering bergerak. Sesekali terlihat bertaut, kemudian terlepas untuk menumpu dagu. Aku melihatnya sekilas dari sudut mataku. Reaksinya saat resah kadang seperti itu. “Aku mengerti. Sampai kemarin aku masih bisa terima kalau ini akan jadi alasan kamu untuk menolakku,” ujarnya. “Tapi siang tadi, sewaktu aku dengar Zein cerita tentang ayahnya, aku pikir ini bukan hanya soal kita berdua.” Aku mulai bisa menebak ke arah mana Radit membawa perbincangan ini. Ia pasti mengira jika itu menyangkut Zein, aku akan dengan sangat mudah berubah pikiran tentang hubungan kami. “Jangan pernah manfaatin Zein,” ucapku tegas. “Apa kamu pernah mengajukan cerai, Ra?” tanya Radit lagi, seolah tidak mempedulikan ucapanku sebelumnya. Aku enggan menjawab. Biar saja Radit mengartikan sendiri sikap diamku. Bertahun lelah menunggunya pulang, aku sudah menganggapnya hilang. Sejak itu pula tidak pernah sedetik pun terbersit di hatiku untuk menjalin hubungan dengan lelaki lain. “Aku juga nggak pernah ceraikan kamu,” tuturnya pelan. “Artinya kita masih pasangan yang sah secara hukum.” Radit benar. Kami masih berstatus suami istri dalam catatan negara. Namun, bukan berarti ia bisa seenaknya masuk ke dalam hidupku begitu saja. Aku sudah menatanya demikian rapi agar tidak ada celah bagi sebentuk kepedihan untuk kembali hadir mengobrak-abrik susunannya. “Apa yang kamu mau dari aku dan Zein?” “Sebuah keluarga yang utuh, Ra.” “Aku akan atur agar kamu bisa rutin ketemu Zein.” “Yang tinggal dalam satu rumah.” “Aku bahagia hanya dengan Zein.” “Apa kamu pernah berpikir bahwa Zein juga bahagia?” Perdebatan itu berhenti begitu saja. Aku menatapnya lama. Pintar sekali ia menggunakan buah hati kami sebagai alasan. Apakah Zein bahagia? Apakah cukup bagi Zein hidup hanya berdua denganku? Beragam kebimbangan merasuki pikiranku dari segala arah, hingga akhirnya semua bongkahan yang mengganjal di dalam kepala terwakilkan dalam tetesan air mata. Untuk pertama kali setelah sekian lama, aku kembali kalah dan menangisi Radit.Ternyata aku masih lelaki yang sama, yang tetap tertegun saat melihat tetesan air mata mengalir di pipi Amara. Ia seketika menutup wajah dengan telapak tangan, berusaha menahan agar suara isaknya tidak terdengar. Hanya bahunya yang sedikit berguncang, menandakan emosi yang mendera begitu hebat. Beberapa detik setelah terdiam, kuulurkan padanya selembar tisu di atas meja yang tidak digunakan Zein.“Ra, jangan nangis,” hiburku. “Nanti kalau Zein lihat, dia akan mengira kita bertengkar.”Amara mengusap wajahnya dan membersihkan sisa air mata dengan tisu yang kuberikan. Ia menoleh sebentar ke arah area bermain, memastikan Zein masih asik dengan aktivitasnya. Pandangannya lalu beralih padaku, untuk kemudian menunduk pada jarinya yang bertaut.“Zein sering menanyakanmu,” gumam Amara. “Aku hampir kehabisan alasan untuk terus berbohong.”Aku ikut menunduk dengan rasa malu dan perih yang bertubi. Ketangguhan Amara dalam menghadapi situasi sulit selama ini terbayang jelas. Zein anak yang cerdas
Aku tidak bisa berbohong bahwa masih ada getar di hatiku yang tersisa untuk Radit. Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu, tidak dapat kupungkiri betapa rasa cinta itu bergulat dengan tumpukan benci saat aku memandangnya. Sejak kakiku melangkah keluar melewati pintu kaca restoran cepat saji itu, kuupayakan sekuat tenaga agar tidak menoleh ke belakang. Meskipun begitu, tetap harus dengan sabar kutunggu langkah kecil Zein yang masih bersemangat melambaikan tangan pada sosok lelaki yang belum ia ketahui status aslinya.“Om yang tadi baik banget, ya, Bun.” Zein kembali berceloteh setelah mobil meninggalkan area parkir. “Dia temannya Bunda?”“Ya,” jawabku ragu. “Teman lama.” Akhirnya itu yang kukatakan setelah sebentar mempertimbangkan.“Tadi di sekolahku, Om itu nanyain, apa obeng yang kemarin kita beli bisa dipakai.” Zein lanjut bercerita. “Aku bilang bisa. Om itu juga bilang aku anak hebat karena bisa memperbaiki sepeda sendiri.”Ada rasa haru menyusup di hatiku saat mendengarkan Zein be
Sudah lima belas menit aku berdiri di depan pagar sekolah Zein, menanti dengan sabar hingga bel pulang berbunyi. Tak kuhiraukan terik matahari yang sedikit membasahi kerah kemeja kerjaku. Isi kepalaku telah dipenuhi dengan senyum dan tawa Zein saat ia melihat apa yang aku bawakan untuknya hari ini.Sore kemarin sepulang kerja, kusempatkan singgah ke sebuah toko buku untuk mencari krayon warna yang diinginkan Zein. Semoga saja Amara belum sempat membelikannya untuk Zein. Semoga juga Amara terlambat datang menjemput siang ini, agar aku punya banyak waktu untuk mengobrol dengan anak lelakiku itu.Jika ada satu hal yang bisa kulakukan untuk menebus kembali tahun-tahun yang terlewat, pasti akan kuusahakan mati-matian. Ayah macam apa yang meninggalkan darah dagingnya tumbuh hanya dengan asuhan seorang ibu. Aku memang pecundang kelas kakap dulu. Namun, sekarang akan kubuktikan sekuat tenaga bahwa aku juga bisa menjadi suami yang diandalkan dan tentunya ayah yang dapat dibanggakan.“Om ngapai
Entah bagaimana caranya untuk tetap disiplin waktu setiap berbelanja ke toko bahan kue langgananku. Mataku seperti berwisata di antara pernak-pernik dan beragam perkakas memasak yang ditawarkan sang pemilik toko. Beberapa obrolan beliau juga sangat menarik, hingga akhirnya aku lupa waktu bahwa harus menjemput Zein menjelang tengah hari.Tinggal satu belokan lagi untuk mencapai lokasi sekolah saat aku menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan mobilku. Aku baru ingat bahwa sejak kemarin sore kondisi salah satu ban belakang memang kekurangan tekanan. Aku seharusnya tidak lupa untuk singgah ke kios pompa ban terdekat. Pasti Zein akan cemberut jika aku lagi-lagi terlambat menjemputnya.Dan, benar dugaanku. Kondisi ban sudah benar-benar kehabisan angin. Kucoba mencari lokasi bengkel di sekitar pada aplikasi penunjuk arah. Sialnya bengkel terdekat berada sejauh tiga kilometer dari posisiku saat ini, dan kondisi ban tidak memungkinkan untuk dibawa berkendara lebih jauh. Sepertinya aku meman
Seharian ini aku bertingkah seperti orang yang sedang kasmaran. Hanya duduk diam di belakang meja, memandangi isi aplikasi percakapan sambil berharap tiba-tiba akan masuk sebuah pesan untukku dari Amara. Ah, aku memang terlalu jauh berangan-angan. Perempuan itu tidak memblokir nomor kontakku saja sudah merupakah anugerah tak terkira bagiku. Satu-satunya yang bisa kupandangi untuk melepas rindu adalah foto Amara berdua Zein yang ia pasang sebagai profil. Gambar-gambar produk makanan yang ia tayangkan di kolom status secara bergantian juga kulahap semua tanpa sisa, berharap terselip satu atau dua foto aktivitasnya dengan Zein yang bisa kuikuti.Ide untuk mengirimi Amara pesan terlebih dahulu muncul berkali-kali di kepalaku. Namun, aku tahu betul sifat Amara. Perempuan itu akan mengambil seribu langkah menjauh jika ada yang mengejarnya terang-terangan. Aku sudah merasakan itu bertahun-tahun lalu saat pertama kali berkenalan dengannya di kampus tempat kami menuntut ilmu. Butuh satu tahun
Arjuna kecilku sudah hampir menjelang tidur ketika kudengar bibirnya masih sempat berceloteh. Setelah puas menghabiskan aneka menu buka puasa di hari pertama, dan pergi tarawih dengan bersemangat bersama teman-teman sebayanya, kuharap tidak ada perbincangan rutin lagi mengenai perihal ayahnya seperti biasa. Benar, Zein tidak menanyakan hal itu kali ini. Adahal lain yang lebih menarik perhatiannya. Sepanjang ia pernah berkenalan dengan kolega atau kerabatku yang berjenis kelamin laki-laki, Zein tidak pernah seantusias ini menanyakan seluk beluknya.“Om Radit itu teman Bunda dari mana?” Zein membuka kembali matanya yang sudah memejam setelah membaca doa menjelang tidur. “Teman sekolah?”“Om Radit itu dulu teman kuliah Bunda,” jelasku dengan mata yang sudah tertutup.Beberapa pesanan makanan untuk berbuka dari pelanggan setia membuatku agak letih hari ini. Sebenarnya aku ingin menolak menerima pesanan di hari puasa pertama, tetapi aku tidak bisa memungkiri saat ini masih butuh biaya lebi
Bangun sahur di hari pertama Ramadan dilalui Zein dengan bersemangat. Bocah kecil itu ikut terjaga saat alarm yang kuatur untuk bangun memasak menu, berdering pada pukul tiga dini hari. Zein duduk di depan televisi menonton tayangan kartun kesayangannya. Baru beranjak bangkit saat kupanggil ke meja makan untuk menyantap sahur. Bude Asih tidak menginap, beliau minta izin untuk menghabiskan waktu bersama keluarga sampai menjelang syawal. Meskipun di pagi hari esoknya beliau tetap datang untuk membantuku menyiapkan pesanan penganan berbuka puasa.Entah apa yang merasuki pikiranku sampai-sampai aku bermimpi tentang Radit tadi malam. Hanya sedikit yang bisa kuingat. Yang pasti kami bertiga ada di sana. Aku, Radit, dan Zein melangkah di tengah-tengah padang ilalang. Radit dan Zein berjalan beberapa langkah lebih dulu di depanku. Zein melompat-lompat dengan riang gembira. Radit bahkan sampai harus berlari saat Zein menarik tangannya. Lelaki itu kemudian berbalik arah mendatangiku untuk menye
Pernikahanku dan Amara dilangsungkan tiga bulan setelah peristiwa pelarian kami. Malam pada saat kubawa Amara pergi, ayahnya dengan mudah menemukan kami dengan bantuan beberapa orang yang beliau upah untuk mencari. Amara ditarik paksa untuk pulang. Aku benar-benar kehilangan kontak sampai kemudian di suatu pagi setelah hampir satu bulan tak dapat kujumpai kekasih hatiku itu, ayah Amara sendiri yang menghubungiku untuk datang ke rumah mereka.Amara sudah dalam kondisi lemah saat kami bertemu. Gadis itu menolak untuk makan apa pun sejak malam ia dijemput paksa dariku. Menurut Bude Asih, pembantu di rumah keluarga Amara, awalnya gadis itu masih bisa memberontak. Namun, saat kondisi tubuhnya semakin memburuk, ia tak lagi bisa melawan saat jarum infus ditusuk ke dalam pembuluh venanya agar bisa menjaganya dari dehidrasi. Ayah Amara yang lebih dulu melunak ketika Bude Asih menyarankan beliau untuk mencariku agar Amara bisa bertemu.Acara pernikahanku dengan Amara dilangsungkan secara sederh
Pagi ini aku terpaksa berangkat kerja lebih awal dari biasanya. Sebelum ke kantor, aku harus terlebih dahulu singgah di rumah untuk mengganti pakaian kerja. Sebelumnya, tentu saja aku harus mengantar sekolah bocah kecil yang menggemaskan ini yang sejak tadi tak berhenti bernyanyi riang sejak mobil mulai bergerak.Berselingan dengan lamunanku yang sedang mencari alasan untuk dapat menjemput Zein dari sekolahnya nanti, sebuah mobil yang terlihat familiar dari arah berlawanan memaksaku sedikit memutar kemudi ke kiri karena posisinya yang terlalu rapat. Aku tidak mungkin salah lihat. Mobil yang baru saja berpapasan di depan jalan menuju rumah Amara adalah milik Pandu. Aku kenal bagian depannya yang tertempel stiker lambang kedokteran.Mau apa laki-laki itu bertandang sepagi ini? Apa karena tidak kuizinkan menjenguk Amara tadi malam?"Om."Apakah ia berniat memeriksa kondisi Amara seperti kemarin?"Om Radit."Atau mungkin saja ia hendak mencari tahu tentang aku dari Amara?"Om!" Sebuah tan
Zein bersemangat sekali pagi ini. Hari pertama ia masuk sekolah kembali setelah satu minggu libur menyambut puasa. Zein bilang ia rindu teman-temannya. Namun, tanpa dikatakan pun aku tahu semangat Zein itu tumbuh karena Radit yang akan mengantarnya kali ini.Aku tahu Radit kecewa saat kukatakan ia tak lagi perlu menginap malam ini. Lagi pula memang aku tak pernah mengundangnya. Radit sendiri yang berinisiatif datang. Sialnya mengapa aku sampai hilang kendali dan larut dalam pelukannya saat menangis. Pasti Radit sekarang merasa di atas angin.Sejujurnya aku belum benar-benar pulih. Tulang belakangku masih nyeri dan perutku masih terasa kembung. Tak mengapa sebenarnya, hari ini ada Bude Asih yang bisa membantu. Jika sampai sore nanti tak kunjung mereda, akan kusempatkan singgah di praktek Pandu untuk memeriksakan diri.Sekilas aku teringat bahwa semalam Pandu berjanji untuk datang kembali melihat keadaanku. Mungkin pasiennya terlampau ramai dan ia harus bertugas sampai jauh malam. Pandu
Aku baru saja tersentak dari mimpi yang benar-benar buruk. Dadaku berdebar kencang. Aku seperti hampir kehabisan nafas karena berlari terlalu jauh dalam mimpiku. Lalu aku duduk dengan cepat saat menyadari bukan sedang berada di perbukitan luas yang tinggi. Aku masih berada di rumah Amara, masih berada di sofa yang sama tempat aku dan Zein jatuh tertidur."Setengah satu," jawab Amara saat kutanya jam berapa sekarang. "Zein sudah aku pindahkan ke kamar."Kemeja yang kupakai basah oleh peluh. Bagaimana tidak. Dalam mimpiku itu aku berlari mengejar Zein hingga berakhir jatuh ke dalam sebuah jurang yang dalam. Aku baru terjaga ketika tubuhku hampir menghantam batu karang di pinggir lautan luas. Entah apa maknanya. Atau mungkin sekadar ketakutanku saja akan ada pihak lain yang berniat merebut Zein dan Amara dariku. Apa karena pertemuanku dengan Pandu malam tadi terlalu merasuk ke hati?Amara berdiri di depanku memandangku heran. Kuambil barang yang ia sodorkan setelah sempat tertegun bebera
Di balik rasa gundahku yang masih menggunung, sejujurnya aku bersyukur Radit menyempatkan singgah. Benar kata Pandu, tidak mungkin aku bisa mengurus Zein dalam keadaan sakit seperti ini. Jangankan mengurus Zein, membawa diriku sendiri ke kamar mandi saja harus meminta bantuan orang lain. Radit memesankanku soto bening agar selera makanku pulih. Aku menolak saat ia menawarkan untuk menyuapi. Meskipun kepala masih terasa berat, kupaksakan untuk duduk dan menghabiskan makanan itu perlahan. Aku harus bisa menunjukkan pada Radit bahwa Amara adalah seorang perempuan yang kuat. Kembalinya seorang Radit tidak serta merta membuatnya manja.Aku kembali tertidur setelah menghabiskan makan malam. Hanya terjaga sebentar saat Zein masuk untuk berpamitan berangkat tarawih. Bocah itu mencium keningku lama, meraba leherku seperti yang sering kulakukan padanya saat ia demam. "Bunda tidur, badannya sudah tidak panas." Kira-kira begitu laporan Zein pada Radit yang sepertinya hanya menunggu di luar kama
Tak bisa kupungkiri bahwa Radit menguasai pikiranku belakangan ini. Malam-malam yang kulalui setelah ia muncul kembali, pasti terselip sosoknya dalam potongan mimpiku. Radit mengacaukan ritme hidupku. Aku menyukai dan membenci itu secara bersamaan.Hari ini entah mengapa lambungku terasa sedikit perih, pelipisku berdenyut, dan tulang belakangku agak nyeri saat digerakkan. Bude Asih meminta izin libur, jadi semua pesanan kukerjakan sendiri. Untung ada Zein yang ikut membantu menempel stiker dan menyusun air mineral ke dalam kotak.Tadinya aku berniat menuntaskan puasa hari ini dan pergi ke dokter setelah maghrib. Namun, perih di lambungku semakin parah. Kuminta Zein mengambil segelas air hangat untuk meredakan nyerinya. Setengah jam tak juga mereda, kuputuskan untuk menelepon Pandu agar datang."Maaf, Ndu. Aku nggak sanggup harus nyetir ke praktek kamu," sesalku saat Pandu selesai memeriksa. Lelaki itu hanya tersenyum tipis sambil menyiapkan jarum untuk injeksi."Disuntik, ya?" tanyaku
Lokasi masjid yang akan aku tuju bersama Zein tidak terlalu jauh dari rumah Amara. Sepanjang jalan, Zein terus bercerita tentang beberapa temannya yang terlalu ingin tahu di mana keberadaan ayahnya. Malam ini Zein sengaja mengajakku menemaninya salat tarawih agar teman-temannya itu tidak lagi usil bertanya."Om pura-pura jadi ayahku, mau?" pintanya dengan wajah sungguh-sungguh.Aku tersenyum miris, lalu kurangkul pundak kecil itu merapat. Mengapa harus pura-pura jika sebenarnya kita bisa terus terang, Zein? Ayahmu ini tinggal menunggu isyarat ibumu kapan saat yang tepat untuk mengaku. Tak mengapa meskipun setelah itu aku bakal kau hujani ribuan pertanyaan mengapa aku meninggalkanmu dan dirinya selama bertahun-tahun."Om mau pura-pura jadi ayahnya Zein, tapi ada syaratnya." Tiba-tiba sebuah ide melintas di kepalaku. Siapa tahu cara ini bisa membuat sikap Amara sedikit melunak."Apa syaratnya?" Zein bertanya."Zein janji mau telepon Om tiap hari, ya. Kirim kabar pada Om apa saja yang Ze
Aku sedang menuang air putih hangat untuk minuman berbuka Radit, saat Zein dengan polosnya bertanya kenapa Bude Asih juga sudah mengenal pria itu padahal baru saja bertemu. Kulihat Bude Asih dan Radit terdiam sesaat. Cepat kupanggil ke dapur perempuan paruh baya itu sebelum terucap darinya fakta tentang Radit."Kenal, dong, Le. Om Radit ini-- ""Bude Asih tolong bantu siapkan es timunnya, dulu, ya. Sudah hampir azan maghrib." Sengaja kualihkan kalimat Bude Asih. "Zein, ayo ajak Om Radit duduk."Keempat buah kursi yang mengelilingi meja makan, sore ini dihuni penuh. Bude Asih yang tadinya akan berbuka puasa di rumahnya, akhirnya menurut saat kuminta menginap malam ini. Terus terang aku segan jika harus bertiga saja di rumah dengan Radit. Jika tidak melihat Zein yang begitu bersemangat tadi, lebih baik tidak kuundang Radit masuk untuk berbuka puasa bersama.Zein membaca doa dengan lantang sesaat setelah azan berkumandang. Bocah itu mencoba satu per satu makanan yang dibawakan Radit. Ber
Regional online meeting siang ini terasa sangat membosankan bagiku. Berkali-kali harus kupalingkan wajah dari layar laptop karena terpaksa harus menguap. Memang setelah sahur tadi aku tidak kembali tidur. Pikiranku selalu melayang pada Amara dan Zein dan apa yang sedang mereka lakukan di sana. Lokasi rumah Amara yang dengan suka rela diberikan oleh kurir semalam, seakan memanggil-manggilku untuk segera berkendara ke sana."Suntuk banget, sih, Bos." Arga, salah satu stafku memberikan lirikan ingin tahu saat aku keluar dari ruangan setelah rapat selesai. "Target lagi?""Bukan suntuk," ralatku. "Ngantuk doang saya.""Begadang kayaknya, Pak?" timpal Nalita yang duduk di samping Arga."Begadangan masak sahur, Bos?" celetuk Arga lagi dengan nada bercanda. "Makanya buruan punya istri, biar sahur dan buka ada yang masakin.""Memang sekarang saya lagi nyari istri," sahutku spontan. Bukankah benar selama ini aku setengah mati mencari keberadaan Amara. "Untunglah sekarang-- ""Nggak perlu jauh-j
Meski terlahir dari rahim yang sama, karakterku dan Alia, adik bungsuku sungguh jauh berbeda. Aku cenderung pendiam meskipun sesungguhnya tertanam jiwa pemberontak di dalam. Alia sejak kecil terkenal lebih ceria, tetapi jauh lebih penurut bila menyangkut urusan internal keluarga. Alia menurut saat Mama memilihkan fakultas kedokteran untuknya, Alia menurut saat Papa memintanya menikah setelah lulus, termasuk menuruti untuk menikah dengan lelaki pilihan keluarga yang sejatinya dulu dijodohkan denganku.Di malam Radit pergi meninggalkanku dan Zein, Mama menuangkan semua sumpah serapahnya pada lelaki itu, juga seluruh kekesalannya padaku atas sikap pembangkangku. Andai aku tidak menolak menikah dengan lelaki pilihan Mama, pasti hidupku tidak akan sengsara seperti ini menurut beliau.Aku tidak membantah karena Mama tidak sepenuhnya salah. Sikapku saat melarikan diri bersama Radit juga tidak bisa dikatakan benar. Aku bahkan sempat merasa bersalah mencebloskan Radit dalam keruwetan keluargak