Entah bagaimana caranya untuk tetap disiplin waktu setiap berbelanja ke toko bahan kue langgananku. Mataku seperti berwisata di antara pernak-pernik dan beragam perkakas memasak yang ditawarkan sang pemilik toko. Beberapa obrolan beliau juga sangat menarik, hingga akhirnya aku lupa waktu bahwa harus menjemput Zein menjelang tengah hari.
Tinggal satu belokan lagi untuk mencapai lokasi sekolah saat aku menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan mobilku. Aku baru ingat bahwa sejak kemarin sore kondisi salah satu ban belakang memang kekurangan tekanan. Aku seharusnya tidak lupa untuk singgah ke kios pompa ban terdekat. Pasti Zein akan cemberut jika aku lagi-lagi terlambat menjemputnya. Dan, benar dugaanku. Kondisi ban sudah benar-benar kehabisan angin. Kucoba mencari lokasi bengkel di sekitar pada aplikasi penunjuk arah. Sialnya bengkel terdekat berada sejauh tiga kilometer dari posisiku saat ini, dan kondisi ban tidak memungkinkan untuk dibawa berkendara lebih jauh. Sepertinya aku memang harus mengganti ban sendiri lagi seperti biasa. Terik matahari pukul dua belas menyempurnakan segalanya. Dahiku sudah dibanjiri tetesan peluh saat membuka baut ban serep dari bawah mobil. Belum lagi melepaskan ban yang bocor dari besi velg, dilanjutkan mengunci ban yang baru dengan sekuat tenaga. Biasanya semua ini bisa kulakukan dengan baik bila tidak sedang terburu-buru seperti ini. Di tengah pikiranku yang dilanda kepanikan, telepon genggamku terdengar berdering nyaring. Aku mengabaikan sejenak, yang kuprioritaskan saat ini adalah mengganti ban dan segera menjemput Zein. Namun, kuputuskan untuk menerima panggilan itu pada dering berikutnya. Sebuah nomor tidak dikenal muncul di layar ponsel, disusul suara kecil Zein yang terdengar dari seberang. Suara kecil itu kemudian berganti dengan suara berat dengan nada sedikit cemas dari seorang lelaki dewasa. Aku terdiam sesaat. Sungguh aku tidak mengira lelaki itu masih berniat menemui Zei hari ini. Dengan sedikit putus asa, kuturuti sarannya untuk mengirim titik lokasiku ke ponselnya. Aku tidak boleh egois untuk menolak. Kasihan Zein jika harus menunggu terlalu lama. *** Aku masih berusaha membuka baut yang terkunci pada ban mobil, saat Zein dan Radit tiba beberapa saat kemudian. Aku segera berpindah posisi ketika Radit berkata akan mengambil alih pekerjaanku. Ia menggulung dengan cekatan lengan kemeja hingga ke siku, membuka arloji dan mengantunginya di saku celana. Zein turut melempar sembarangan ranselnya ke dalam mobil, lalu berjongkok di samping lelaki itu dengan sangat antusias. “Perlu kunci yang mana, Om?” tanya bocah kecil itu seolah ia siap bertugas sebagai asisten. “Yang bentuknya seperti palang.” Radit menjawab sembari ikut memeriksa beberapa kunci yang berserakan di aspal. Hanya dengan beberapa putaran kunci, ban mobil pun terlepas dengan mudah. Aku berdiri terpaku menatap dua lelaki berbeda umur itu yang terlihat sibuk. Keduanya seketika tidak memedulikanku. Radit meminta Zein memegangi ban yang bocor sebentar, sementara ia memasang ban serep agar dapat digunakan. Zein tertawa senang sekali saat Radit memperbolehkannya melompat-lompat kecil di atas kunci palang untuk memastikan semua baut sudah terkunci sempurna. Aku tak dapat menahan senyum melihat interaksi keduanya. Namun, segera kupasang raut wajah biasa saja saat pandangan Radit berantuk denganku. “Ra, boleh minta tisu?” Radit menunjukkan padaku jari tangannya yang kotor setelah ia dan Zein selesai membereskan semua peralatan. “Aku masih punya sisa air minum kalau Om mau cuci tangan.” Zein menyela sebelum aku sempat merespon. Ia langsung beranjak untuk memeriksa isi ransel dan kembali dengan sebuah tumbler berwarna biru tua di genggaman. Aku jelas salah tingkah dengan semua inisiatif Zein. Kupandangi keduanya yang tanpa canggung saling bergantian menuangkan air untuk membasuh jari masing-masing. Aku baru tersentak saat Zein meminta diambilkan tisu dari dalam mobil. “Terima kasih, ya,” ucapku pada Radit saat ia telah selesai mengeringkan tangan. “Aku dan Zein pulang dulu.” Radit mengangguk. Mulutnya terbuka sejenak seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia menutupinya dengan tersenyum. “Sama-sama, Ra. Kasih tahu aku kapan pun kamu butuh bantuan.” “Wajah Om Radit ada noda oli!” pekik Zein lucu saat aku akan mengajaknya masuk ke dalam mobil. “Sini aku bersihkan.” Bocah kecil itu meraih selembar tisu dari kotak dalam peganganku dan mendekat ke arah Radit. Ia berjinjit separuh melompat hingga Radit pun membungkuk agar Zein dapat mengusap wajahnya. Aku terpaksa membuang muka karena tak dapat menahan hatiku yang seperti teriris saat sepasang mata Radit lurus menentang tatapanku. “Aku pulang dulu, ya, Om,” pamit Zein pada Radit saat kuberi isyarat untuk bergegas. “Jangan lupa disimpan nomor telepon Om, ya. Supaya kapan-kapan kita bisa ngobrol seperti tadi.” Kulihat Radit membelai kepala Zein sebelum berpisah. “Om bisa mampir ke sekolahku, nanti kita cerita-cerita lagi sambil nunggu Bunda datang,” sahut Zein dengan lugunya. Undangan dari Zein pasti membuat Radit merasa di atas angin saat ini. Aku sengaja memasang raut wajah datar, meskipun tak kupungkiri di dalam hatiku sudah banjir air mata “Kalau begitu, besok siang boleh, ya, Om mampir lagi ke sekolah.” Radit melirikku sekilas sambil menanti persetujuan Zein. “Mulai besok aku libur satu minggu. Kan, kita besok puasa.” Zein mengingatkan Radit, juga mengingatkanku sebenarnya, karena aku belum sama sekali mempersiapkan menu sahur untuk malam nanti. “Kalau begitu, ini buat Zein.” Kulihat Radit meraih dompet dari saku celananya dan menyerahkan dua lembar pecahan seratus ribu pada Zein. “Untuk beli nugget buat sahur dan beli es buat buka puasa,” ujarnya. “Maaf, Radit. Tidak usah repot-repot,” cegahku dengan sopan. Buru-buru kuminta Zein mengembalikan uang pemberian Radit. Aku tidak ingin terlalu banyak menerima bantuan darinya jika nantinya akan membuat aku semakin luluh dengan semua perhatiannya. Selama ini aku mampu bertahan sendiri. Aku tidak ingin kedatangan Radit kembali dalam hidupku akan merusak semua ritme yang telah kuatur selama bertahun-tahun. “Boleh, ya, Bun.” Zein masih menggenggam erat dua lembar uang berwarna merah itu di tangannya. “Kemarin, kan, kita sudah beli celengan.“ Aku menggeleng cepat. “Tidak, Zein.” Kembali kularang dengan nada tegas kali ini. “Aku mau nabung yang banyak, Om.” Zein menghiraukanku dan berpaling pada Radit. “Oh, ya? Nanti tabungannya mau Zein belikan apa?” Kini Radit pun tidak mengindahkan protesku dan memilih melayani cerita Zein. “Mau dikirim untuk Ayah, supaya Ayah punya ongkos buat pulang.” Zein menjawab lugu, persis seperti isi obrolan kami kemarin dalam perjalanan menuju ke rumah. Aku yakin tak hanya air mukaku, karena raut wajah Radit pun berubah kaku saat mendengar celoteh Zein. Lelaki itu menatapku dengan sorot mata memohon. Aku merasa sedang dihujani berjuta-juta permintaan maaf darinya saat kami bertatapan. Lalu, tanpa dapat kukendalikan lagi, satu per satu cairan bening yang terasa hangat mulai lolos dari sudut mataku.Seharian ini aku bertingkah seperti orang yang sedang kasmaran. Hanya duduk diam di belakang meja, memandangi isi aplikasi percakapan sambil berharap tiba-tiba akan masuk sebuah pesan untukku dari Amara. Ah, aku memang terlalu jauh berangan-angan. Perempuan itu tidak memblokir nomor kontakku saja sudah merupakah anugerah tak terkira bagiku. Satu-satunya yang bisa kupandangi untuk melepas rindu adalah foto Amara berdua Zein yang ia pasang sebagai profil. Gambar-gambar produk makanan yang ia tayangkan di kolom status secara bergantian juga kulahap semua tanpa sisa, berharap terselip satu atau dua foto aktivitasnya dengan Zein yang bisa kuikuti.Ide untuk mengirimi Amara pesan terlebih dahulu muncul berkali-kali di kepalaku. Namun, aku tahu betul sifat Amara. Perempuan itu akan mengambil seribu langkah menjauh jika ada yang mengejarnya terang-terangan. Aku sudah merasakan itu bertahun-tahun lalu saat pertama kali berkenalan dengannya di kampus tempat kami menuntut ilmu. Butuh satu tahun
Arjuna kecilku sudah hampir menjelang tidur ketika kudengar bibirnya masih sempat berceloteh. Setelah puas menghabiskan aneka menu buka puasa di hari pertama, dan pergi tarawih dengan bersemangat bersama teman-teman sebayanya, kuharap tidak ada perbincangan rutin lagi mengenai perihal ayahnya seperti biasa. Benar, Zein tidak menanyakan hal itu kali ini. Adahal lain yang lebih menarik perhatiannya. Sepanjang ia pernah berkenalan dengan kolega atau kerabatku yang berjenis kelamin laki-laki, Zein tidak pernah seantusias ini menanyakan seluk beluknya.“Om Radit itu teman Bunda dari mana?” Zein membuka kembali matanya yang sudah memejam setelah membaca doa menjelang tidur. “Teman sekolah?”“Om Radit itu dulu teman kuliah Bunda,” jelasku dengan mata yang sudah tertutup.Beberapa pesanan makanan untuk berbuka dari pelanggan setia membuatku agak letih hari ini. Sebenarnya aku ingin menolak menerima pesanan di hari puasa pertama, tetapi aku tidak bisa memungkiri saat ini masih butuh biaya lebi
Bangun sahur di hari pertama Ramadan dilalui Zein dengan bersemangat. Bocah kecil itu ikut terjaga saat alarm yang kuatur untuk bangun memasak menu, berdering pada pukul tiga dini hari. Zein duduk di depan televisi menonton tayangan kartun kesayangannya. Baru beranjak bangkit saat kupanggil ke meja makan untuk menyantap sahur. Bude Asih tidak menginap, beliau minta izin untuk menghabiskan waktu bersama keluarga sampai menjelang syawal. Meskipun di pagi hari esoknya beliau tetap datang untuk membantuku menyiapkan pesanan penganan berbuka puasa.Entah apa yang merasuki pikiranku sampai-sampai aku bermimpi tentang Radit tadi malam. Hanya sedikit yang bisa kuingat. Yang pasti kami bertiga ada di sana. Aku, Radit, dan Zein melangkah di tengah-tengah padang ilalang. Radit dan Zein berjalan beberapa langkah lebih dulu di depanku. Zein melompat-lompat dengan riang gembira. Radit bahkan sampai harus berlari saat Zein menarik tangannya. Lelaki itu kemudian berbalik arah mendatangiku untuk menye
Pernikahanku dan Amara dilangsungkan tiga bulan setelah peristiwa pelarian kami. Malam pada saat kubawa Amara pergi, ayahnya dengan mudah menemukan kami dengan bantuan beberapa orang yang beliau upah untuk mencari. Amara ditarik paksa untuk pulang. Aku benar-benar kehilangan kontak sampai kemudian di suatu pagi setelah hampir satu bulan tak dapat kujumpai kekasih hatiku itu, ayah Amara sendiri yang menghubungiku untuk datang ke rumah mereka.Amara sudah dalam kondisi lemah saat kami bertemu. Gadis itu menolak untuk makan apa pun sejak malam ia dijemput paksa dariku. Menurut Bude Asih, pembantu di rumah keluarga Amara, awalnya gadis itu masih bisa memberontak. Namun, saat kondisi tubuhnya semakin memburuk, ia tak lagi bisa melawan saat jarum infus ditusuk ke dalam pembuluh venanya agar bisa menjaganya dari dehidrasi. Ayah Amara yang lebih dulu melunak ketika Bude Asih menyarankan beliau untuk mencariku agar Amara bisa bertemu.Acara pernikahanku dengan Amara dilangsungkan secara sederh
Meski terlahir dari rahim yang sama, karakterku dan Alia, adik bungsuku sungguh jauh berbeda. Aku cenderung pendiam meskipun sesungguhnya tertanam jiwa pemberontak di dalam. Alia sejak kecil terkenal lebih ceria, tetapi jauh lebih penurut bila menyangkut urusan internal keluarga. Alia menurut saat Mama memilihkan fakultas kedokteran untuknya, Alia menurut saat Papa memintanya menikah setelah lulus, termasuk menuruti untuk menikah dengan lelaki pilihan keluarga yang sejatinya dulu dijodohkan denganku.Di malam Radit pergi meninggalkanku dan Zein, Mama menuangkan semua sumpah serapahnya pada lelaki itu, juga seluruh kekesalannya padaku atas sikap pembangkangku. Andai aku tidak menolak menikah dengan lelaki pilihan Mama, pasti hidupku tidak akan sengsara seperti ini menurut beliau.Aku tidak membantah karena Mama tidak sepenuhnya salah. Sikapku saat melarikan diri bersama Radit juga tidak bisa dikatakan benar. Aku bahkan sempat merasa bersalah mencebloskan Radit dalam keruwetan keluargak
Regional online meeting siang ini terasa sangat membosankan bagiku. Berkali-kali harus kupalingkan wajah dari layar laptop karena terpaksa harus menguap. Memang setelah sahur tadi aku tidak kembali tidur. Pikiranku selalu melayang pada Amara dan Zein dan apa yang sedang mereka lakukan di sana. Lokasi rumah Amara yang dengan suka rela diberikan oleh kurir semalam, seakan memanggil-manggilku untuk segera berkendara ke sana."Suntuk banget, sih, Bos." Arga, salah satu stafku memberikan lirikan ingin tahu saat aku keluar dari ruangan setelah rapat selesai. "Target lagi?""Bukan suntuk," ralatku. "Ngantuk doang saya.""Begadang kayaknya, Pak?" timpal Nalita yang duduk di samping Arga."Begadangan masak sahur, Bos?" celetuk Arga lagi dengan nada bercanda. "Makanya buruan punya istri, biar sahur dan buka ada yang masakin.""Memang sekarang saya lagi nyari istri," sahutku spontan. Bukankah benar selama ini aku setengah mati mencari keberadaan Amara. "Untunglah sekarang-- ""Nggak perlu jauh-j
Aku sedang menuang air putih hangat untuk minuman berbuka Radit, saat Zein dengan polosnya bertanya kenapa Bude Asih juga sudah mengenal pria itu padahal baru saja bertemu. Kulihat Bude Asih dan Radit terdiam sesaat. Cepat kupanggil ke dapur perempuan paruh baya itu sebelum terucap darinya fakta tentang Radit."Kenal, dong, Le. Om Radit ini-- ""Bude Asih tolong bantu siapkan es timunnya, dulu, ya. Sudah hampir azan maghrib." Sengaja kualihkan kalimat Bude Asih. "Zein, ayo ajak Om Radit duduk."Keempat buah kursi yang mengelilingi meja makan, sore ini dihuni penuh. Bude Asih yang tadinya akan berbuka puasa di rumahnya, akhirnya menurut saat kuminta menginap malam ini. Terus terang aku segan jika harus bertiga saja di rumah dengan Radit. Jika tidak melihat Zein yang begitu bersemangat tadi, lebih baik tidak kuundang Radit masuk untuk berbuka puasa bersama.Zein membaca doa dengan lantang sesaat setelah azan berkumandang. Bocah itu mencoba satu per satu makanan yang dibawakan Radit. Ber
Lokasi masjid yang akan aku tuju bersama Zein tidak terlalu jauh dari rumah Amara. Sepanjang jalan, Zein terus bercerita tentang beberapa temannya yang terlalu ingin tahu di mana keberadaan ayahnya. Malam ini Zein sengaja mengajakku menemaninya salat tarawih agar teman-temannya itu tidak lagi usil bertanya."Om pura-pura jadi ayahku, mau?" pintanya dengan wajah sungguh-sungguh.Aku tersenyum miris, lalu kurangkul pundak kecil itu merapat. Mengapa harus pura-pura jika sebenarnya kita bisa terus terang, Zein? Ayahmu ini tinggal menunggu isyarat ibumu kapan saat yang tepat untuk mengaku. Tak mengapa meskipun setelah itu aku bakal kau hujani ribuan pertanyaan mengapa aku meninggalkanmu dan dirinya selama bertahun-tahun."Om mau pura-pura jadi ayahnya Zein, tapi ada syaratnya." Tiba-tiba sebuah ide melintas di kepalaku. Siapa tahu cara ini bisa membuat sikap Amara sedikit melunak."Apa syaratnya?" Zein bertanya."Zein janji mau telepon Om tiap hari, ya. Kirim kabar pada Om apa saja yang Ze
Pagi ini aku terpaksa berangkat kerja lebih awal dari biasanya. Sebelum ke kantor, aku harus terlebih dahulu singgah di rumah untuk mengganti pakaian kerja. Sebelumnya, tentu saja aku harus mengantar sekolah bocah kecil yang menggemaskan ini yang sejak tadi tak berhenti bernyanyi riang sejak mobil mulai bergerak.Berselingan dengan lamunanku yang sedang mencari alasan untuk dapat menjemput Zein dari sekolahnya nanti, sebuah mobil yang terlihat familiar dari arah berlawanan memaksaku sedikit memutar kemudi ke kiri karena posisinya yang terlalu rapat. Aku tidak mungkin salah lihat. Mobil yang baru saja berpapasan di depan jalan menuju rumah Amara adalah milik Pandu. Aku kenal bagian depannya yang tertempel stiker lambang kedokteran.Mau apa laki-laki itu bertandang sepagi ini? Apa karena tidak kuizinkan menjenguk Amara tadi malam?"Om."Apakah ia berniat memeriksa kondisi Amara seperti kemarin?"Om Radit."Atau mungkin saja ia hendak mencari tahu tentang aku dari Amara?"Om!" Sebuah tan
Zein bersemangat sekali pagi ini. Hari pertama ia masuk sekolah kembali setelah satu minggu libur menyambut puasa. Zein bilang ia rindu teman-temannya. Namun, tanpa dikatakan pun aku tahu semangat Zein itu tumbuh karena Radit yang akan mengantarnya kali ini.Aku tahu Radit kecewa saat kukatakan ia tak lagi perlu menginap malam ini. Lagi pula memang aku tak pernah mengundangnya. Radit sendiri yang berinisiatif datang. Sialnya mengapa aku sampai hilang kendali dan larut dalam pelukannya saat menangis. Pasti Radit sekarang merasa di atas angin.Sejujurnya aku belum benar-benar pulih. Tulang belakangku masih nyeri dan perutku masih terasa kembung. Tak mengapa sebenarnya, hari ini ada Bude Asih yang bisa membantu. Jika sampai sore nanti tak kunjung mereda, akan kusempatkan singgah di praktek Pandu untuk memeriksakan diri.Sekilas aku teringat bahwa semalam Pandu berjanji untuk datang kembali melihat keadaanku. Mungkin pasiennya terlampau ramai dan ia harus bertugas sampai jauh malam. Pandu
Aku baru saja tersentak dari mimpi yang benar-benar buruk. Dadaku berdebar kencang. Aku seperti hampir kehabisan nafas karena berlari terlalu jauh dalam mimpiku. Lalu aku duduk dengan cepat saat menyadari bukan sedang berada di perbukitan luas yang tinggi. Aku masih berada di rumah Amara, masih berada di sofa yang sama tempat aku dan Zein jatuh tertidur."Setengah satu," jawab Amara saat kutanya jam berapa sekarang. "Zein sudah aku pindahkan ke kamar."Kemeja yang kupakai basah oleh peluh. Bagaimana tidak. Dalam mimpiku itu aku berlari mengejar Zein hingga berakhir jatuh ke dalam sebuah jurang yang dalam. Aku baru terjaga ketika tubuhku hampir menghantam batu karang di pinggir lautan luas. Entah apa maknanya. Atau mungkin sekadar ketakutanku saja akan ada pihak lain yang berniat merebut Zein dan Amara dariku. Apa karena pertemuanku dengan Pandu malam tadi terlalu merasuk ke hati?Amara berdiri di depanku memandangku heran. Kuambil barang yang ia sodorkan setelah sempat tertegun bebera
Di balik rasa gundahku yang masih menggunung, sejujurnya aku bersyukur Radit menyempatkan singgah. Benar kata Pandu, tidak mungkin aku bisa mengurus Zein dalam keadaan sakit seperti ini. Jangankan mengurus Zein, membawa diriku sendiri ke kamar mandi saja harus meminta bantuan orang lain. Radit memesankanku soto bening agar selera makanku pulih. Aku menolak saat ia menawarkan untuk menyuapi. Meskipun kepala masih terasa berat, kupaksakan untuk duduk dan menghabiskan makanan itu perlahan. Aku harus bisa menunjukkan pada Radit bahwa Amara adalah seorang perempuan yang kuat. Kembalinya seorang Radit tidak serta merta membuatnya manja.Aku kembali tertidur setelah menghabiskan makan malam. Hanya terjaga sebentar saat Zein masuk untuk berpamitan berangkat tarawih. Bocah itu mencium keningku lama, meraba leherku seperti yang sering kulakukan padanya saat ia demam. "Bunda tidur, badannya sudah tidak panas." Kira-kira begitu laporan Zein pada Radit yang sepertinya hanya menunggu di luar kama
Tak bisa kupungkiri bahwa Radit menguasai pikiranku belakangan ini. Malam-malam yang kulalui setelah ia muncul kembali, pasti terselip sosoknya dalam potongan mimpiku. Radit mengacaukan ritme hidupku. Aku menyukai dan membenci itu secara bersamaan.Hari ini entah mengapa lambungku terasa sedikit perih, pelipisku berdenyut, dan tulang belakangku agak nyeri saat digerakkan. Bude Asih meminta izin libur, jadi semua pesanan kukerjakan sendiri. Untung ada Zein yang ikut membantu menempel stiker dan menyusun air mineral ke dalam kotak.Tadinya aku berniat menuntaskan puasa hari ini dan pergi ke dokter setelah maghrib. Namun, perih di lambungku semakin parah. Kuminta Zein mengambil segelas air hangat untuk meredakan nyerinya. Setengah jam tak juga mereda, kuputuskan untuk menelepon Pandu agar datang."Maaf, Ndu. Aku nggak sanggup harus nyetir ke praktek kamu," sesalku saat Pandu selesai memeriksa. Lelaki itu hanya tersenyum tipis sambil menyiapkan jarum untuk injeksi."Disuntik, ya?" tanyaku
Lokasi masjid yang akan aku tuju bersama Zein tidak terlalu jauh dari rumah Amara. Sepanjang jalan, Zein terus bercerita tentang beberapa temannya yang terlalu ingin tahu di mana keberadaan ayahnya. Malam ini Zein sengaja mengajakku menemaninya salat tarawih agar teman-temannya itu tidak lagi usil bertanya."Om pura-pura jadi ayahku, mau?" pintanya dengan wajah sungguh-sungguh.Aku tersenyum miris, lalu kurangkul pundak kecil itu merapat. Mengapa harus pura-pura jika sebenarnya kita bisa terus terang, Zein? Ayahmu ini tinggal menunggu isyarat ibumu kapan saat yang tepat untuk mengaku. Tak mengapa meskipun setelah itu aku bakal kau hujani ribuan pertanyaan mengapa aku meninggalkanmu dan dirinya selama bertahun-tahun."Om mau pura-pura jadi ayahnya Zein, tapi ada syaratnya." Tiba-tiba sebuah ide melintas di kepalaku. Siapa tahu cara ini bisa membuat sikap Amara sedikit melunak."Apa syaratnya?" Zein bertanya."Zein janji mau telepon Om tiap hari, ya. Kirim kabar pada Om apa saja yang Ze
Aku sedang menuang air putih hangat untuk minuman berbuka Radit, saat Zein dengan polosnya bertanya kenapa Bude Asih juga sudah mengenal pria itu padahal baru saja bertemu. Kulihat Bude Asih dan Radit terdiam sesaat. Cepat kupanggil ke dapur perempuan paruh baya itu sebelum terucap darinya fakta tentang Radit."Kenal, dong, Le. Om Radit ini-- ""Bude Asih tolong bantu siapkan es timunnya, dulu, ya. Sudah hampir azan maghrib." Sengaja kualihkan kalimat Bude Asih. "Zein, ayo ajak Om Radit duduk."Keempat buah kursi yang mengelilingi meja makan, sore ini dihuni penuh. Bude Asih yang tadinya akan berbuka puasa di rumahnya, akhirnya menurut saat kuminta menginap malam ini. Terus terang aku segan jika harus bertiga saja di rumah dengan Radit. Jika tidak melihat Zein yang begitu bersemangat tadi, lebih baik tidak kuundang Radit masuk untuk berbuka puasa bersama.Zein membaca doa dengan lantang sesaat setelah azan berkumandang. Bocah itu mencoba satu per satu makanan yang dibawakan Radit. Ber
Regional online meeting siang ini terasa sangat membosankan bagiku. Berkali-kali harus kupalingkan wajah dari layar laptop karena terpaksa harus menguap. Memang setelah sahur tadi aku tidak kembali tidur. Pikiranku selalu melayang pada Amara dan Zein dan apa yang sedang mereka lakukan di sana. Lokasi rumah Amara yang dengan suka rela diberikan oleh kurir semalam, seakan memanggil-manggilku untuk segera berkendara ke sana."Suntuk banget, sih, Bos." Arga, salah satu stafku memberikan lirikan ingin tahu saat aku keluar dari ruangan setelah rapat selesai. "Target lagi?""Bukan suntuk," ralatku. "Ngantuk doang saya.""Begadang kayaknya, Pak?" timpal Nalita yang duduk di samping Arga."Begadangan masak sahur, Bos?" celetuk Arga lagi dengan nada bercanda. "Makanya buruan punya istri, biar sahur dan buka ada yang masakin.""Memang sekarang saya lagi nyari istri," sahutku spontan. Bukankah benar selama ini aku setengah mati mencari keberadaan Amara. "Untunglah sekarang-- ""Nggak perlu jauh-j
Meski terlahir dari rahim yang sama, karakterku dan Alia, adik bungsuku sungguh jauh berbeda. Aku cenderung pendiam meskipun sesungguhnya tertanam jiwa pemberontak di dalam. Alia sejak kecil terkenal lebih ceria, tetapi jauh lebih penurut bila menyangkut urusan internal keluarga. Alia menurut saat Mama memilihkan fakultas kedokteran untuknya, Alia menurut saat Papa memintanya menikah setelah lulus, termasuk menuruti untuk menikah dengan lelaki pilihan keluarga yang sejatinya dulu dijodohkan denganku.Di malam Radit pergi meninggalkanku dan Zein, Mama menuangkan semua sumpah serapahnya pada lelaki itu, juga seluruh kekesalannya padaku atas sikap pembangkangku. Andai aku tidak menolak menikah dengan lelaki pilihan Mama, pasti hidupku tidak akan sengsara seperti ini menurut beliau.Aku tidak membantah karena Mama tidak sepenuhnya salah. Sikapku saat melarikan diri bersama Radit juga tidak bisa dikatakan benar. Aku bahkan sempat merasa bersalah mencebloskan Radit dalam keruwetan keluargak