Share

Bab 15 - Rival Berlaga

Penulis: Rima Hutabarat
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-31 15:08:01

Lokasi masjid yang akan aku tuju bersama Zein tidak terlalu jauh dari rumah Amara. Sepanjang jalan, Zein terus bercerita tentang beberapa temannya yang terlalu ingin tahu di mana keberadaan ayahnya. Malam ini Zein sengaja mengajakku menemaninya salat tarawih agar teman-temannya itu tidak lagi usil bertanya.

"Om pura-pura jadi ayahku, mau?" pintanya dengan wajah sungguh-sungguh.

Aku tersenyum miris, lalu kurangkul pundak kecil itu merapat. Mengapa harus pura-pura jika sebenarnya kita bisa terus terang, Zein? Ayahmu ini tinggal menunggu isyarat ibumu kapan saat yang tepat untuk mengaku. Tak mengapa meskipun setelah itu aku bakal kau hujani ribuan pertanyaan mengapa aku meninggalkanmu dan dirinya selama bertahun-tahun.

"Om mau pura-pura jadi ayahnya Zein, tapi ada syaratnya." Tiba-tiba sebuah ide melintas di kepalaku. Siapa tahu cara ini bisa membuat sikap Amara sedikit melunak.

"Apa syaratnya?" Zein bertanya.

"Zein janji mau telepon Om tiap hari, ya. Kirim kabar pada Om apa saja yang Ze
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Hendry Hendryhen
ceritanya bagus tp updatenya lama thor
goodnovel comment avatar
Mia Sutopo
jgan lama2 dong upnya please
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 16 - Dua Lelaki

    Tak bisa kupungkiri bahwa Radit menguasai pikiranku belakangan ini. Malam-malam yang kulalui setelah ia muncul kembali, pasti terselip sosoknya dalam potongan mimpiku. Radit mengacaukan ritme hidupku. Aku menyukai dan membenci itu secara bersamaan.Hari ini entah mengapa lambungku terasa sedikit perih, pelipisku berdenyut, dan tulang belakangku agak nyeri saat digerakkan. Bude Asih meminta izin libur, jadi semua pesanan kukerjakan sendiri. Untung ada Zein yang ikut membantu menempel stiker dan menyusun air mineral ke dalam kotak.Tadinya aku berniat menuntaskan puasa hari ini dan pergi ke dokter setelah maghrib. Namun, perih di lambungku semakin parah. Kuminta Zein mengambil segelas air hangat untuk meredakan nyerinya. Setengah jam tak juga mereda, kuputuskan untuk menelepon Pandu agar datang."Maaf, Ndu. Aku nggak sanggup harus nyetir ke praktek kamu," sesalku saat Pandu selesai memeriksa. Lelaki itu hanya tersenyum tipis sambil menyiapkan jarum untuk injeksi."Disuntik, ya?" tanyaku

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-21
  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 17 - Runtuh Perlahan

    Di balik rasa gundahku yang masih menggunung, sejujurnya aku bersyukur Radit menyempatkan singgah. Benar kata Pandu, tidak mungkin aku bisa mengurus Zein dalam keadaan sakit seperti ini. Jangankan mengurus Zein, membawa diriku sendiri ke kamar mandi saja harus meminta bantuan orang lain. Radit memesankanku soto bening agar selera makanku pulih. Aku menolak saat ia menawarkan untuk menyuapi. Meskipun kepala masih terasa berat, kupaksakan untuk duduk dan menghabiskan makanan itu perlahan. Aku harus bisa menunjukkan pada Radit bahwa Amara adalah seorang perempuan yang kuat. Kembalinya seorang Radit tidak serta merta membuatnya manja.Aku kembali tertidur setelah menghabiskan makan malam. Hanya terjaga sebentar saat Zein masuk untuk berpamitan berangkat tarawih. Bocah itu mencium keningku lama, meraba leherku seperti yang sering kulakukan padanya saat ia demam. "Bunda tidur, badannya sudah tidak panas." Kira-kira begitu laporan Zein pada Radit yang sepertinya hanya menunggu di luar kama

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-07
  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 18 - Mimpi Serupa

    Aku baru saja tersentak dari mimpi yang benar-benar buruk. Dadaku berdebar kencang. Aku seperti hampir kehabisan nafas karena berlari terlalu jauh dalam mimpiku. Lalu aku duduk dengan cepat saat menyadari bukan sedang berada di perbukitan luas yang tinggi. Aku masih berada di rumah Amara, masih berada di sofa yang sama tempat aku dan Zein jatuh tertidur."Setengah satu," jawab Amara saat kutanya jam berapa sekarang. "Zein sudah aku pindahkan ke kamar."Kemeja yang kupakai basah oleh peluh. Bagaimana tidak. Dalam mimpiku itu aku berlari mengejar Zein hingga berakhir jatuh ke dalam sebuah jurang yang dalam. Aku baru terjaga ketika tubuhku hampir menghantam batu karang di pinggir lautan luas. Entah apa maknanya. Atau mungkin sekadar ketakutanku saja akan ada pihak lain yang berniat merebut Zein dan Amara dariku. Apa karena pertemuanku dengan Pandu malam tadi terlalu merasuk ke hati?Amara berdiri di depanku memandangku heran. Kuambil barang yang ia sodorkan setelah sempat tertegun bebera

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-17
  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 19 - Bimbang Meraja

    Zein bersemangat sekali pagi ini. Hari pertama ia masuk sekolah kembali setelah satu minggu libur menyambut puasa. Zein bilang ia rindu teman-temannya. Namun, tanpa dikatakan pun aku tahu semangat Zein itu tumbuh karena Radit yang akan mengantarnya kali ini.Aku tahu Radit kecewa saat kukatakan ia tak lagi perlu menginap malam ini. Lagi pula memang aku tak pernah mengundangnya. Radit sendiri yang berinisiatif datang. Sialnya mengapa aku sampai hilang kendali dan larut dalam pelukannya saat menangis. Pasti Radit sekarang merasa di atas angin.Sejujurnya aku belum benar-benar pulih. Tulang belakangku masih nyeri dan perutku masih terasa kembung. Tak mengapa sebenarnya, hari ini ada Bude Asih yang bisa membantu. Jika sampai sore nanti tak kunjung mereda, akan kusempatkan singgah di praktek Pandu untuk memeriksakan diri.Sekilas aku teringat bahwa semalam Pandu berjanji untuk datang kembali melihat keadaanku. Mungkin pasiennya terlampau ramai dan ia harus bertugas sampai jauh malam. Pandu

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-26
  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 20 - Emosi Membuncah

    Pagi ini aku terpaksa berangkat kerja lebih awal dari biasanya. Sebelum ke kantor, aku harus terlebih dahulu singgah di rumah untuk mengganti pakaian kerja. Sebelumnya, tentu saja aku harus mengantar sekolah bocah kecil yang menggemaskan ini yang sejak tadi tak berhenti bernyanyi riang sejak mobil mulai bergerak.Berselingan dengan lamunanku yang sedang mencari alasan untuk dapat menjemput Zein dari sekolahnya nanti, sebuah mobil yang terlihat familiar dari arah berlawanan memaksaku sedikit memutar kemudi ke kiri karena posisinya yang terlalu rapat. Aku tidak mungkin salah lihat. Mobil yang baru saja berpapasan di depan jalan menuju rumah Amara adalah milik Pandu. Aku kenal bagian depannya yang tertempel stiker lambang kedokteran.Mau apa laki-laki itu bertandang sepagi ini? Apa karena tidak kuizinkan menjenguk Amara tadi malam?"Om."Apakah ia berniat memeriksa kondisi Amara seperti kemarin?"Om Radit."Atau mungkin saja ia hendak mencari tahu tentang aku dari Amara?"Om!" Sebuah tan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-06
  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 1 - Dia Kembali

    Siang ini adalah yang paling terik di separuh bulan menuju akhir April. Antrian di depan gerbang sekolah terlihat mengular. Penjemput yang biasa menggunakan sepeda motor, hari ini memilih mengendarai roda empat mereka untuk menghindari intensitas sinar matahari yang terasa menggigit.Kulirik sekilas arloji di tangan kiri. Sudah terlambat tiga puluh menit dari jadwal biasa. Zein pasti sudah menunggu dengan cemberut di balik pagar. Lelaki kecilku itu memang paling tepat waktu dalam segala hal. Berbanding terbalik denganku, ibunya yang selalu tergopoh-gopoh di menit terakhir.Aku sedang memikirkan beberapa cara untuk membujuknya jika ia merajuk saat pintu mobil terdengar terbuka. Zein membalas senyumku tidak dengan bibir yang mengerucut seperti dugaanku, tetapi dengan wajah cerah dan tawa semringah yang seketika membawa kesejukan yang sejak tadi tak dapat dipenuhi oleh pendingin udara di dalam mobil.“Maaf, Zein. Bunda terlambat siang ini.” Kupindahkan persneling saat sudah berhasil kelu

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-15
  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 2 - Kutemukan Dirinya

    Jantung ini bagai tersengat ribuan volt tegangan listrik saat pandangannya beradu dengan tatapanku. Langkahku terayun setengah sadar mendekat ke arahnya. Paras yang sama, sorot mata yang sama, dengan kemasannya yang berbeda. Rambut panjangnya yang indah sekarang sudah tertutup hijab panjang. Lekuk tubuhnya yang dulu selalu kupuja, sekarang sudah terbalut gamis longgar, yang entah mengapa membuatnya terlihat semakin anggun di mataku. Aku yakin dia adalah Amaraku yang telah kucari dua tahun terakhir.“Aku hampir tidak mengenalimu,” ucapku saat hanya tersisa beberapa langkah di depannya.Dari gerak bibirnya bisa terbaca, Amara menyebut namaku walaupun terlampau pelan untuk terdengar. Terlalu banyak yang ingin kusampaikan padanya, tetapi tak satu pun yang terucap hingga Amara begitu saja berlalu dari hadapanku. Kuikuti terus langkahnya yang tergesa. Jika tidak khawatir akan terjadi keributan, ingin rasanya kutarik lengan itu untuk berhenti sebentar.Amara terlihat sangat gugup dan terburu

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-15
  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 3 - Permohonan Maaf

    Zein langsung menyelinap di kursi depan saat aku masih berdiri ragu di depan pintu mobil yang dibukakan Radit. Dengan percaya diri bocah kecil itu memasang sabuk pengaman dan segera berbincang akrab layaknya kerabat yang sudah saling mengenal. Syukurlah, paling tidak untuk kali ini Zein telah menyelamatkanku dari keharusan berbasa-basi hal yang tidak perlu dengan ayahnya.“Di mana restoran fried chicken yang paling dekat?” Radit bertanya saat mobil mulai melaju, sepertinya ditujukan padaku.“Sebelum arah ke sekolahku, Om.” Zein lebih dulu menimpali.“Jadi sekarang kita putar balik?” tanya Radit lagi.“Putar balik, ya, Bun?” Zein yang tidak terlalu hafal rutenya, ikut-ikutan bertanya padaku.Keduanya serempak menoleh ke belakang untuk meminta jawaban. Namun, saat melihat aku tidak mengatakan apa pun, Radit melekatkan ponselnya pada phone-holder dan segera membuka aplikasi penunjuk jalan.“Biar yang lebih tahu yang ngarahin,” ucapnya santai, seolah menyindir sikapku yang tetap dingin se

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-15

Bab terbaru

  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 20 - Emosi Membuncah

    Pagi ini aku terpaksa berangkat kerja lebih awal dari biasanya. Sebelum ke kantor, aku harus terlebih dahulu singgah di rumah untuk mengganti pakaian kerja. Sebelumnya, tentu saja aku harus mengantar sekolah bocah kecil yang menggemaskan ini yang sejak tadi tak berhenti bernyanyi riang sejak mobil mulai bergerak.Berselingan dengan lamunanku yang sedang mencari alasan untuk dapat menjemput Zein dari sekolahnya nanti, sebuah mobil yang terlihat familiar dari arah berlawanan memaksaku sedikit memutar kemudi ke kiri karena posisinya yang terlalu rapat. Aku tidak mungkin salah lihat. Mobil yang baru saja berpapasan di depan jalan menuju rumah Amara adalah milik Pandu. Aku kenal bagian depannya yang tertempel stiker lambang kedokteran.Mau apa laki-laki itu bertandang sepagi ini? Apa karena tidak kuizinkan menjenguk Amara tadi malam?"Om."Apakah ia berniat memeriksa kondisi Amara seperti kemarin?"Om Radit."Atau mungkin saja ia hendak mencari tahu tentang aku dari Amara?"Om!" Sebuah tan

  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 19 - Bimbang Meraja

    Zein bersemangat sekali pagi ini. Hari pertama ia masuk sekolah kembali setelah satu minggu libur menyambut puasa. Zein bilang ia rindu teman-temannya. Namun, tanpa dikatakan pun aku tahu semangat Zein itu tumbuh karena Radit yang akan mengantarnya kali ini.Aku tahu Radit kecewa saat kukatakan ia tak lagi perlu menginap malam ini. Lagi pula memang aku tak pernah mengundangnya. Radit sendiri yang berinisiatif datang. Sialnya mengapa aku sampai hilang kendali dan larut dalam pelukannya saat menangis. Pasti Radit sekarang merasa di atas angin.Sejujurnya aku belum benar-benar pulih. Tulang belakangku masih nyeri dan perutku masih terasa kembung. Tak mengapa sebenarnya, hari ini ada Bude Asih yang bisa membantu. Jika sampai sore nanti tak kunjung mereda, akan kusempatkan singgah di praktek Pandu untuk memeriksakan diri.Sekilas aku teringat bahwa semalam Pandu berjanji untuk datang kembali melihat keadaanku. Mungkin pasiennya terlampau ramai dan ia harus bertugas sampai jauh malam. Pandu

  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 18 - Mimpi Serupa

    Aku baru saja tersentak dari mimpi yang benar-benar buruk. Dadaku berdebar kencang. Aku seperti hampir kehabisan nafas karena berlari terlalu jauh dalam mimpiku. Lalu aku duduk dengan cepat saat menyadari bukan sedang berada di perbukitan luas yang tinggi. Aku masih berada di rumah Amara, masih berada di sofa yang sama tempat aku dan Zein jatuh tertidur."Setengah satu," jawab Amara saat kutanya jam berapa sekarang. "Zein sudah aku pindahkan ke kamar."Kemeja yang kupakai basah oleh peluh. Bagaimana tidak. Dalam mimpiku itu aku berlari mengejar Zein hingga berakhir jatuh ke dalam sebuah jurang yang dalam. Aku baru terjaga ketika tubuhku hampir menghantam batu karang di pinggir lautan luas. Entah apa maknanya. Atau mungkin sekadar ketakutanku saja akan ada pihak lain yang berniat merebut Zein dan Amara dariku. Apa karena pertemuanku dengan Pandu malam tadi terlalu merasuk ke hati?Amara berdiri di depanku memandangku heran. Kuambil barang yang ia sodorkan setelah sempat tertegun bebera

  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 17 - Runtuh Perlahan

    Di balik rasa gundahku yang masih menggunung, sejujurnya aku bersyukur Radit menyempatkan singgah. Benar kata Pandu, tidak mungkin aku bisa mengurus Zein dalam keadaan sakit seperti ini. Jangankan mengurus Zein, membawa diriku sendiri ke kamar mandi saja harus meminta bantuan orang lain. Radit memesankanku soto bening agar selera makanku pulih. Aku menolak saat ia menawarkan untuk menyuapi. Meskipun kepala masih terasa berat, kupaksakan untuk duduk dan menghabiskan makanan itu perlahan. Aku harus bisa menunjukkan pada Radit bahwa Amara adalah seorang perempuan yang kuat. Kembalinya seorang Radit tidak serta merta membuatnya manja.Aku kembali tertidur setelah menghabiskan makan malam. Hanya terjaga sebentar saat Zein masuk untuk berpamitan berangkat tarawih. Bocah itu mencium keningku lama, meraba leherku seperti yang sering kulakukan padanya saat ia demam. "Bunda tidur, badannya sudah tidak panas." Kira-kira begitu laporan Zein pada Radit yang sepertinya hanya menunggu di luar kama

  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 16 - Dua Lelaki

    Tak bisa kupungkiri bahwa Radit menguasai pikiranku belakangan ini. Malam-malam yang kulalui setelah ia muncul kembali, pasti terselip sosoknya dalam potongan mimpiku. Radit mengacaukan ritme hidupku. Aku menyukai dan membenci itu secara bersamaan.Hari ini entah mengapa lambungku terasa sedikit perih, pelipisku berdenyut, dan tulang belakangku agak nyeri saat digerakkan. Bude Asih meminta izin libur, jadi semua pesanan kukerjakan sendiri. Untung ada Zein yang ikut membantu menempel stiker dan menyusun air mineral ke dalam kotak.Tadinya aku berniat menuntaskan puasa hari ini dan pergi ke dokter setelah maghrib. Namun, perih di lambungku semakin parah. Kuminta Zein mengambil segelas air hangat untuk meredakan nyerinya. Setengah jam tak juga mereda, kuputuskan untuk menelepon Pandu agar datang."Maaf, Ndu. Aku nggak sanggup harus nyetir ke praktek kamu," sesalku saat Pandu selesai memeriksa. Lelaki itu hanya tersenyum tipis sambil menyiapkan jarum untuk injeksi."Disuntik, ya?" tanyaku

  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 15 - Rival Berlaga

    Lokasi masjid yang akan aku tuju bersama Zein tidak terlalu jauh dari rumah Amara. Sepanjang jalan, Zein terus bercerita tentang beberapa temannya yang terlalu ingin tahu di mana keberadaan ayahnya. Malam ini Zein sengaja mengajakku menemaninya salat tarawih agar teman-temannya itu tidak lagi usil bertanya."Om pura-pura jadi ayahku, mau?" pintanya dengan wajah sungguh-sungguh.Aku tersenyum miris, lalu kurangkul pundak kecil itu merapat. Mengapa harus pura-pura jika sebenarnya kita bisa terus terang, Zein? Ayahmu ini tinggal menunggu isyarat ibumu kapan saat yang tepat untuk mengaku. Tak mengapa meskipun setelah itu aku bakal kau hujani ribuan pertanyaan mengapa aku meninggalkanmu dan dirinya selama bertahun-tahun."Om mau pura-pura jadi ayahnya Zein, tapi ada syaratnya." Tiba-tiba sebuah ide melintas di kepalaku. Siapa tahu cara ini bisa membuat sikap Amara sedikit melunak."Apa syaratnya?" Zein bertanya."Zein janji mau telepon Om tiap hari, ya. Kirim kabar pada Om apa saja yang Ze

  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 14 - Setampan Ayah

    Aku sedang menuang air putih hangat untuk minuman berbuka Radit, saat Zein dengan polosnya bertanya kenapa Bude Asih juga sudah mengenal pria itu padahal baru saja bertemu. Kulihat Bude Asih dan Radit terdiam sesaat. Cepat kupanggil ke dapur perempuan paruh baya itu sebelum terucap darinya fakta tentang Radit."Kenal, dong, Le. Om Radit ini-- ""Bude Asih tolong bantu siapkan es timunnya, dulu, ya. Sudah hampir azan maghrib." Sengaja kualihkan kalimat Bude Asih. "Zein, ayo ajak Om Radit duduk."Keempat buah kursi yang mengelilingi meja makan, sore ini dihuni penuh. Bude Asih yang tadinya akan berbuka puasa di rumahnya, akhirnya menurut saat kuminta menginap malam ini. Terus terang aku segan jika harus bertiga saja di rumah dengan Radit. Jika tidak melihat Zein yang begitu bersemangat tadi, lebih baik tidak kuundang Radit masuk untuk berbuka puasa bersama.Zein membaca doa dengan lantang sesaat setelah azan berkumandang. Bocah itu mencoba satu per satu makanan yang dibawakan Radit. Ber

  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 13 - Mencari Istri

    Regional online meeting siang ini terasa sangat membosankan bagiku. Berkali-kali harus kupalingkan wajah dari layar laptop karena terpaksa harus menguap. Memang setelah sahur tadi aku tidak kembali tidur. Pikiranku selalu melayang pada Amara dan Zein dan apa yang sedang mereka lakukan di sana. Lokasi rumah Amara yang dengan suka rela diberikan oleh kurir semalam, seakan memanggil-manggilku untuk segera berkendara ke sana."Suntuk banget, sih, Bos." Arga, salah satu stafku memberikan lirikan ingin tahu saat aku keluar dari ruangan setelah rapat selesai. "Target lagi?""Bukan suntuk," ralatku. "Ngantuk doang saya.""Begadang kayaknya, Pak?" timpal Nalita yang duduk di samping Arga."Begadangan masak sahur, Bos?" celetuk Arga lagi dengan nada bercanda. "Makanya buruan punya istri, biar sahur dan buka ada yang masakin.""Memang sekarang saya lagi nyari istri," sahutku spontan. Bukankah benar selama ini aku setengah mati mencari keberadaan Amara. "Untunglah sekarang-- ""Nggak perlu jauh-j

  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 12 - Siapa Bertandang

    Meski terlahir dari rahim yang sama, karakterku dan Alia, adik bungsuku sungguh jauh berbeda. Aku cenderung pendiam meskipun sesungguhnya tertanam jiwa pemberontak di dalam. Alia sejak kecil terkenal lebih ceria, tetapi jauh lebih penurut bila menyangkut urusan internal keluarga. Alia menurut saat Mama memilihkan fakultas kedokteran untuknya, Alia menurut saat Papa memintanya menikah setelah lulus, termasuk menuruti untuk menikah dengan lelaki pilihan keluarga yang sejatinya dulu dijodohkan denganku.Di malam Radit pergi meninggalkanku dan Zein, Mama menuangkan semua sumpah serapahnya pada lelaki itu, juga seluruh kekesalannya padaku atas sikap pembangkangku. Andai aku tidak menolak menikah dengan lelaki pilihan Mama, pasti hidupku tidak akan sengsara seperti ini menurut beliau.Aku tidak membantah karena Mama tidak sepenuhnya salah. Sikapku saat melarikan diri bersama Radit juga tidak bisa dikatakan benar. Aku bahkan sempat merasa bersalah mencebloskan Radit dalam keruwetan keluargak

DMCA.com Protection Status