Sudah lima belas menit aku berdiri di depan pagar sekolah Zein, menanti dengan sabar hingga bel pulang berbunyi. Tak kuhiraukan terik matahari yang sedikit membasahi kerah kemeja kerjaku. Isi kepalaku telah dipenuhi dengan senyum dan tawa Zein saat ia melihat apa yang aku bawakan untuknya hari ini.
Sore kemarin sepulang kerja, kusempatkan singgah ke sebuah toko buku untuk mencari krayon warna yang diinginkan Zein. Semoga saja Amara belum sempat membelikannya untuk Zein. Semoga juga Amara terlambat datang menjemput siang ini, agar aku punya banyak waktu untuk mengobrol dengan anak lelakiku itu. Jika ada satu hal yang bisa kulakukan untuk menebus kembali tahun-tahun yang terlewat, pasti akan kuusahakan mati-matian. Ayah macam apa yang meninggalkan darah dagingnya tumbuh hanya dengan asuhan seorang ibu. Aku memang pecundang kelas kakap dulu. Namun, sekarang akan kubuktikan sekuat tenaga bahwa aku juga bisa menjadi suami yang diandalkan dan tentunya ayah yang dapat dibanggakan. “Om ngapain ke sini lagi? Mau jumpa aku lagi?” Aku menoleh pada sapaan khas bernada kritis yang beberapa hari ini mulai terasa akrab di telinga. Zein telah berdiri di sisiku dengan kedua tangan terlipat di dada. “Om mau nganterin krayon warna buat Zein.” Kusodorkan kantung plastik yang kupegang ke arahnya. “Sekalian belikan buku cerita juga. Semoga kamu suka.” Bocah kecil itu langsung mengucapkan terima kasih sambil memeriksa satu per satu isi kantung plastik yang kuberikan. Senyumnya mulai mengembang saat menemukan benda yang ia inginkan. Syukurlah, artinya Amara belum sempat membelikan krayon itu untuknya. Kuperhatikan terus menerus satu per satu ekspresi yang muncul di wajah Zein. Aku bahkan hampir ikut bersorak saat ia berteriak senang melihat sampul buku yang kubelikan. “Buku astronot ini buku kesukaanku, Om,” pekiknya riang. “Bunda sudah belikan dua, tapi aku belum punya yang ini.” Zein dengan bersemangat merobek plastik tipis yang menyarungi buku tersebut. Tangan-tangan mungil itu mulai membolak-balik halamannya tanpa memedulikanku yang tersenyum memandangi. Sepertinya keberuntungan sedang menghampiriku. Semoga jalanku mulus untuk mencuri hati Zein. Baru setelah ini kupikirkan lagi bagaimana caranya merebut kembali cinta Amara. “Kita beli minum, yuk!” ajakku saat menyadari tenggorokanku terasa kering. “Om tiba-tiba haus.” Wajah kecil yang sedang asyik membaca itu menengadah memandangku sejenak. Aku sedikit kecewa saat melihat Zein mengeleng cepat. “Uang jajanku sudah habis,” ucapnya. “Kata Bunda aku nggak boleh minta dijajanin sama teman.” Tak dapat kutahan tawa saat mendengar celotehnya. Sifat disiplin Amara benar-benar ia tularkan pada buah hati kami. Aku jadi teringat dulu sering sekali berdebat dengan Amara, hanya karena hal-hal kecil dariku yang tidak sesuai prinsipnya. “Om yang traktir Zein,” bujukku saat ia masih menolak. “Besok, kan, sudah mulai puasa. Nggak bisa lagi, dong, minum es siang-siang seperti ini.” Beruntung argumen yang kuajukan diterima baik oleh Zein. Ia mengangguk setuju. Kupilih menghampiri penjual aneka es di depan sekolah. Lalu, kami duduk berdua di bangku kayu sambil menunggu Amara datang menjemput. “Om namanya siapa, sih?” celetuk Zein saat pikiranku masih mencari-cari apa yang kira-kira harus kuobrolkan dengannya. “Kita, kan, belum kenalan sejak kemarin?” Kupindahkan gelas es ke tangan kiri, lalu mengulurkan tangan kanan ke arah Zein. “Nama Om, Raditya Pramono.” Bocah kecil itu dengan percaya diri menyambut jabatan tanganku. “Muhammad Zein Al-Fatih.” Lama baru kulepaskan genggaman tangan Zein. Sejak kemarin, jika tidak susah payah kutahan desakan di dada, ingin rasanya kupeluk erat darah dagingku ini. Baru kali ini kurasakan rindu yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Rindu yang tadi malam membuat air mata lelakiku menetes hanya karena teringat kesalahan-kesalahanku terdahulu. “Jadi itu nama Om yang aku baca di kertas di mobil Bunda?” tebak Zein antusias. Jelas keberuntungan lain juga sedang berpihak padaku. Dugaanku bahwa Amara akan membuang kartu nama itu, terpatahkan begitu saja dengan pernyataan Zein barusan. Semoga Amara menyimpan nomor kontakku dan kami bisa berkomunikasi dengan baik ke depannya. Tak mungkin juga selamanya aku harus menemui Zein di sekolah seperti ini. Banyak cerita yang Zein bagi denganku selama kami duduk di bangku kayu itu. Mulai dari teman sebangkunya yang menurut Zein terlalu pendiam, sampai guru wali kelasnya yang sangat baik dan jarang marah. Zein juga bercerita tentang kakeknya yang sakit dan tentu saja tentang ayahnya yang tak kunjung pulang hingga sekarang. Dia tak berhenti sampai kami sama-sama tersadar bahwa Amara tak juga tiba untuk menjemput. “Mungkin sedang ada urusan penting,” hiburku saat Zein mulai terlihat bingung. “Kan, ada Om Radit yang nemenin Zein di sini. Om nggak akan pulang sebelum Bunda datang.” “Tapi biasanya nggak lama kayak gini, Om,” timpalnya dengan nada gusar. “Om bawa hape?” “Bawa.” “Aku boleh pinjam?” pintanya. “Aku mau telepon Bunda.” “Boleh, dong.” jawabku seraya mengeluarkan ponsel dari saku kemeja. “Zein tahu nomornya?” Bocah kecil itu mengangguk yakin seraya membuka ritsleting ransel dan mulai mencari sesuatu dari dalam. Setelah membuka beberapa retsleting lain, Zein tersenyum sambil menunjukkan sebuah kartu nama yang hampir lusuh di tangannya. Kartu nama Amara yang sekaligus digunakan sebagai merek usaha kulinernya. “Bunda yang suruh aku simpan ini, soalnya aku nggak hapal nomornya.” Aku seketika merasa menjadi lelaki paling beruntung sedunia. Doa-doaku dua tahun terakhir seolah terjawab dalam dua hari ini. Kutekan nomor kontak yang tertera dalam kartu nama Amara dengan jari sedikit bergetar. Sengaja kunyalakan pengeras suara agar nantinya aku berkesempatan mendengarkan isi percakapan mereka. Panggilan pertama tidak terjawab. Panggilan kedua baru diterima pada dering ketiga. “Bunda di mana?” tanya Zein saat suara Amara mulai terdengar. “Ban mobil Bunda bocor, Zein. Sabar, ya, Sayang. Bunda lagi ganti ban.” “Di bengkel?” tanya Zein lagi. “Bukan, udah dekat, kok, dari sekolah. Udah sepi, ya, Sayang?” “Udah,” jawab Zein. “Tapi aku ditemani Om Radit.” Suara Amara hilang beberapa saat hingga Zein harus memanggilnya dua kali baru kembali terdengar jawaban. Kuputuskan untuk mengambil alih percakapan. Amara pasti sangat butuh bantuanku saat ini. “Kamu di mana, Ra?” tanyaku hati-hati. Lagi-lagi tak terdengar jawaban dari perempuan yang sangat kucintai itu. Gemas rasanya melihat sikapnya yang jinak-jinak merpati. Persis seperti dulu, seperti saat aku mati-matian mengejar cintanya. “Aku di dekat perempatan menuju sekolah Zein.” Akhirnya suara itu menjawab dengan nada pasrah. “Shareloc lokasi kamu sekarang. Biar aku dan Zein ke sana,” tegasku padanya sebelum memutuskan sambungan. Jika ia masih Amaraku, ia akan patuh dan menurut. Aku masih hapal celahnya. Amara memang keras kepala. Namun, jika berhadapan denganku, perempuan itu seperti biasanya akan takluk. Dugaanku benar. Hanya butuh beberapa detik, sampai akhirnya terdengar bunyi pesan masuk di ponselku yang menunjukkan lokasi di mana Amara berada. Aku mengajak Zein bergegas menuju mobil dan mulai berkendara. Aku tahu ia masih Amaraku. Kali ini tak akan kusia-siakan lagi kesempatan untuk memilikinya kembali.Entah bagaimana caranya untuk tetap disiplin waktu setiap berbelanja ke toko bahan kue langgananku. Mataku seperti berwisata di antara pernak-pernik dan beragam perkakas memasak yang ditawarkan sang pemilik toko. Beberapa obrolan beliau juga sangat menarik, hingga akhirnya aku lupa waktu bahwa harus menjemput Zein menjelang tengah hari.Tinggal satu belokan lagi untuk mencapai lokasi sekolah saat aku menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan mobilku. Aku baru ingat bahwa sejak kemarin sore kondisi salah satu ban belakang memang kekurangan tekanan. Aku seharusnya tidak lupa untuk singgah ke kios pompa ban terdekat. Pasti Zein akan cemberut jika aku lagi-lagi terlambat menjemputnya.Dan, benar dugaanku. Kondisi ban sudah benar-benar kehabisan angin. Kucoba mencari lokasi bengkel di sekitar pada aplikasi penunjuk arah. Sialnya bengkel terdekat berada sejauh tiga kilometer dari posisiku saat ini, dan kondisi ban tidak memungkinkan untuk dibawa berkendara lebih jauh. Sepertinya aku meman
Seharian ini aku bertingkah seperti orang yang sedang kasmaran. Hanya duduk diam di belakang meja, memandangi isi aplikasi percakapan sambil berharap tiba-tiba akan masuk sebuah pesan untukku dari Amara. Ah, aku memang terlalu jauh berangan-angan. Perempuan itu tidak memblokir nomor kontakku saja sudah merupakah anugerah tak terkira bagiku. Satu-satunya yang bisa kupandangi untuk melepas rindu adalah foto Amara berdua Zein yang ia pasang sebagai profil. Gambar-gambar produk makanan yang ia tayangkan di kolom status secara bergantian juga kulahap semua tanpa sisa, berharap terselip satu atau dua foto aktivitasnya dengan Zein yang bisa kuikuti.Ide untuk mengirimi Amara pesan terlebih dahulu muncul berkali-kali di kepalaku. Namun, aku tahu betul sifat Amara. Perempuan itu akan mengambil seribu langkah menjauh jika ada yang mengejarnya terang-terangan. Aku sudah merasakan itu bertahun-tahun lalu saat pertama kali berkenalan dengannya di kampus tempat kami menuntut ilmu. Butuh satu tahun
Arjuna kecilku sudah hampir menjelang tidur ketika kudengar bibirnya masih sempat berceloteh. Setelah puas menghabiskan aneka menu buka puasa di hari pertama, dan pergi tarawih dengan bersemangat bersama teman-teman sebayanya, kuharap tidak ada perbincangan rutin lagi mengenai perihal ayahnya seperti biasa. Benar, Zein tidak menanyakan hal itu kali ini. Adahal lain yang lebih menarik perhatiannya. Sepanjang ia pernah berkenalan dengan kolega atau kerabatku yang berjenis kelamin laki-laki, Zein tidak pernah seantusias ini menanyakan seluk beluknya.“Om Radit itu teman Bunda dari mana?” Zein membuka kembali matanya yang sudah memejam setelah membaca doa menjelang tidur. “Teman sekolah?”“Om Radit itu dulu teman kuliah Bunda,” jelasku dengan mata yang sudah tertutup.Beberapa pesanan makanan untuk berbuka dari pelanggan setia membuatku agak letih hari ini. Sebenarnya aku ingin menolak menerima pesanan di hari puasa pertama, tetapi aku tidak bisa memungkiri saat ini masih butuh biaya lebi
Bangun sahur di hari pertama Ramadan dilalui Zein dengan bersemangat. Bocah kecil itu ikut terjaga saat alarm yang kuatur untuk bangun memasak menu, berdering pada pukul tiga dini hari. Zein duduk di depan televisi menonton tayangan kartun kesayangannya. Baru beranjak bangkit saat kupanggil ke meja makan untuk menyantap sahur. Bude Asih tidak menginap, beliau minta izin untuk menghabiskan waktu bersama keluarga sampai menjelang syawal. Meskipun di pagi hari esoknya beliau tetap datang untuk membantuku menyiapkan pesanan penganan berbuka puasa.Entah apa yang merasuki pikiranku sampai-sampai aku bermimpi tentang Radit tadi malam. Hanya sedikit yang bisa kuingat. Yang pasti kami bertiga ada di sana. Aku, Radit, dan Zein melangkah di tengah-tengah padang ilalang. Radit dan Zein berjalan beberapa langkah lebih dulu di depanku. Zein melompat-lompat dengan riang gembira. Radit bahkan sampai harus berlari saat Zein menarik tangannya. Lelaki itu kemudian berbalik arah mendatangiku untuk menye
Pernikahanku dan Amara dilangsungkan tiga bulan setelah peristiwa pelarian kami. Malam pada saat kubawa Amara pergi, ayahnya dengan mudah menemukan kami dengan bantuan beberapa orang yang beliau upah untuk mencari. Amara ditarik paksa untuk pulang. Aku benar-benar kehilangan kontak sampai kemudian di suatu pagi setelah hampir satu bulan tak dapat kujumpai kekasih hatiku itu, ayah Amara sendiri yang menghubungiku untuk datang ke rumah mereka.Amara sudah dalam kondisi lemah saat kami bertemu. Gadis itu menolak untuk makan apa pun sejak malam ia dijemput paksa dariku. Menurut Bude Asih, pembantu di rumah keluarga Amara, awalnya gadis itu masih bisa memberontak. Namun, saat kondisi tubuhnya semakin memburuk, ia tak lagi bisa melawan saat jarum infus ditusuk ke dalam pembuluh venanya agar bisa menjaganya dari dehidrasi. Ayah Amara yang lebih dulu melunak ketika Bude Asih menyarankan beliau untuk mencariku agar Amara bisa bertemu.Acara pernikahanku dengan Amara dilangsungkan secara sederh
Meski terlahir dari rahim yang sama, karakterku dan Alia, adik bungsuku sungguh jauh berbeda. Aku cenderung pendiam meskipun sesungguhnya tertanam jiwa pemberontak di dalam. Alia sejak kecil terkenal lebih ceria, tetapi jauh lebih penurut bila menyangkut urusan internal keluarga. Alia menurut saat Mama memilihkan fakultas kedokteran untuknya, Alia menurut saat Papa memintanya menikah setelah lulus, termasuk menuruti untuk menikah dengan lelaki pilihan keluarga yang sejatinya dulu dijodohkan denganku.Di malam Radit pergi meninggalkanku dan Zein, Mama menuangkan semua sumpah serapahnya pada lelaki itu, juga seluruh kekesalannya padaku atas sikap pembangkangku. Andai aku tidak menolak menikah dengan lelaki pilihan Mama, pasti hidupku tidak akan sengsara seperti ini menurut beliau.Aku tidak membantah karena Mama tidak sepenuhnya salah. Sikapku saat melarikan diri bersama Radit juga tidak bisa dikatakan benar. Aku bahkan sempat merasa bersalah mencebloskan Radit dalam keruwetan keluargak
Regional online meeting siang ini terasa sangat membosankan bagiku. Berkali-kali harus kupalingkan wajah dari layar laptop karena terpaksa harus menguap. Memang setelah sahur tadi aku tidak kembali tidur. Pikiranku selalu melayang pada Amara dan Zein dan apa yang sedang mereka lakukan di sana. Lokasi rumah Amara yang dengan suka rela diberikan oleh kurir semalam, seakan memanggil-manggilku untuk segera berkendara ke sana."Suntuk banget, sih, Bos." Arga, salah satu stafku memberikan lirikan ingin tahu saat aku keluar dari ruangan setelah rapat selesai. "Target lagi?""Bukan suntuk," ralatku. "Ngantuk doang saya.""Begadang kayaknya, Pak?" timpal Nalita yang duduk di samping Arga."Begadangan masak sahur, Bos?" celetuk Arga lagi dengan nada bercanda. "Makanya buruan punya istri, biar sahur dan buka ada yang masakin.""Memang sekarang saya lagi nyari istri," sahutku spontan. Bukankah benar selama ini aku setengah mati mencari keberadaan Amara. "Untunglah sekarang-- ""Nggak perlu jauh-j
Aku sedang menuang air putih hangat untuk minuman berbuka Radit, saat Zein dengan polosnya bertanya kenapa Bude Asih juga sudah mengenal pria itu padahal baru saja bertemu. Kulihat Bude Asih dan Radit terdiam sesaat. Cepat kupanggil ke dapur perempuan paruh baya itu sebelum terucap darinya fakta tentang Radit."Kenal, dong, Le. Om Radit ini-- ""Bude Asih tolong bantu siapkan es timunnya, dulu, ya. Sudah hampir azan maghrib." Sengaja kualihkan kalimat Bude Asih. "Zein, ayo ajak Om Radit duduk."Keempat buah kursi yang mengelilingi meja makan, sore ini dihuni penuh. Bude Asih yang tadinya akan berbuka puasa di rumahnya, akhirnya menurut saat kuminta menginap malam ini. Terus terang aku segan jika harus bertiga saja di rumah dengan Radit. Jika tidak melihat Zein yang begitu bersemangat tadi, lebih baik tidak kuundang Radit masuk untuk berbuka puasa bersama.Zein membaca doa dengan lantang sesaat setelah azan berkumandang. Bocah itu mencoba satu per satu makanan yang dibawakan Radit. Ber
Pagi ini aku terpaksa berangkat kerja lebih awal dari biasanya. Sebelum ke kantor, aku harus terlebih dahulu singgah di rumah untuk mengganti pakaian kerja. Sebelumnya, tentu saja aku harus mengantar sekolah bocah kecil yang menggemaskan ini yang sejak tadi tak berhenti bernyanyi riang sejak mobil mulai bergerak.Berselingan dengan lamunanku yang sedang mencari alasan untuk dapat menjemput Zein dari sekolahnya nanti, sebuah mobil yang terlihat familiar dari arah berlawanan memaksaku sedikit memutar kemudi ke kiri karena posisinya yang terlalu rapat. Aku tidak mungkin salah lihat. Mobil yang baru saja berpapasan di depan jalan menuju rumah Amara adalah milik Pandu. Aku kenal bagian depannya yang tertempel stiker lambang kedokteran.Mau apa laki-laki itu bertandang sepagi ini? Apa karena tidak kuizinkan menjenguk Amara tadi malam?"Om."Apakah ia berniat memeriksa kondisi Amara seperti kemarin?"Om Radit."Atau mungkin saja ia hendak mencari tahu tentang aku dari Amara?"Om!" Sebuah tan
Zein bersemangat sekali pagi ini. Hari pertama ia masuk sekolah kembali setelah satu minggu libur menyambut puasa. Zein bilang ia rindu teman-temannya. Namun, tanpa dikatakan pun aku tahu semangat Zein itu tumbuh karena Radit yang akan mengantarnya kali ini.Aku tahu Radit kecewa saat kukatakan ia tak lagi perlu menginap malam ini. Lagi pula memang aku tak pernah mengundangnya. Radit sendiri yang berinisiatif datang. Sialnya mengapa aku sampai hilang kendali dan larut dalam pelukannya saat menangis. Pasti Radit sekarang merasa di atas angin.Sejujurnya aku belum benar-benar pulih. Tulang belakangku masih nyeri dan perutku masih terasa kembung. Tak mengapa sebenarnya, hari ini ada Bude Asih yang bisa membantu. Jika sampai sore nanti tak kunjung mereda, akan kusempatkan singgah di praktek Pandu untuk memeriksakan diri.Sekilas aku teringat bahwa semalam Pandu berjanji untuk datang kembali melihat keadaanku. Mungkin pasiennya terlampau ramai dan ia harus bertugas sampai jauh malam. Pandu
Aku baru saja tersentak dari mimpi yang benar-benar buruk. Dadaku berdebar kencang. Aku seperti hampir kehabisan nafas karena berlari terlalu jauh dalam mimpiku. Lalu aku duduk dengan cepat saat menyadari bukan sedang berada di perbukitan luas yang tinggi. Aku masih berada di rumah Amara, masih berada di sofa yang sama tempat aku dan Zein jatuh tertidur."Setengah satu," jawab Amara saat kutanya jam berapa sekarang. "Zein sudah aku pindahkan ke kamar."Kemeja yang kupakai basah oleh peluh. Bagaimana tidak. Dalam mimpiku itu aku berlari mengejar Zein hingga berakhir jatuh ke dalam sebuah jurang yang dalam. Aku baru terjaga ketika tubuhku hampir menghantam batu karang di pinggir lautan luas. Entah apa maknanya. Atau mungkin sekadar ketakutanku saja akan ada pihak lain yang berniat merebut Zein dan Amara dariku. Apa karena pertemuanku dengan Pandu malam tadi terlalu merasuk ke hati?Amara berdiri di depanku memandangku heran. Kuambil barang yang ia sodorkan setelah sempat tertegun bebera
Di balik rasa gundahku yang masih menggunung, sejujurnya aku bersyukur Radit menyempatkan singgah. Benar kata Pandu, tidak mungkin aku bisa mengurus Zein dalam keadaan sakit seperti ini. Jangankan mengurus Zein, membawa diriku sendiri ke kamar mandi saja harus meminta bantuan orang lain. Radit memesankanku soto bening agar selera makanku pulih. Aku menolak saat ia menawarkan untuk menyuapi. Meskipun kepala masih terasa berat, kupaksakan untuk duduk dan menghabiskan makanan itu perlahan. Aku harus bisa menunjukkan pada Radit bahwa Amara adalah seorang perempuan yang kuat. Kembalinya seorang Radit tidak serta merta membuatnya manja.Aku kembali tertidur setelah menghabiskan makan malam. Hanya terjaga sebentar saat Zein masuk untuk berpamitan berangkat tarawih. Bocah itu mencium keningku lama, meraba leherku seperti yang sering kulakukan padanya saat ia demam. "Bunda tidur, badannya sudah tidak panas." Kira-kira begitu laporan Zein pada Radit yang sepertinya hanya menunggu di luar kama
Tak bisa kupungkiri bahwa Radit menguasai pikiranku belakangan ini. Malam-malam yang kulalui setelah ia muncul kembali, pasti terselip sosoknya dalam potongan mimpiku. Radit mengacaukan ritme hidupku. Aku menyukai dan membenci itu secara bersamaan.Hari ini entah mengapa lambungku terasa sedikit perih, pelipisku berdenyut, dan tulang belakangku agak nyeri saat digerakkan. Bude Asih meminta izin libur, jadi semua pesanan kukerjakan sendiri. Untung ada Zein yang ikut membantu menempel stiker dan menyusun air mineral ke dalam kotak.Tadinya aku berniat menuntaskan puasa hari ini dan pergi ke dokter setelah maghrib. Namun, perih di lambungku semakin parah. Kuminta Zein mengambil segelas air hangat untuk meredakan nyerinya. Setengah jam tak juga mereda, kuputuskan untuk menelepon Pandu agar datang."Maaf, Ndu. Aku nggak sanggup harus nyetir ke praktek kamu," sesalku saat Pandu selesai memeriksa. Lelaki itu hanya tersenyum tipis sambil menyiapkan jarum untuk injeksi."Disuntik, ya?" tanyaku
Lokasi masjid yang akan aku tuju bersama Zein tidak terlalu jauh dari rumah Amara. Sepanjang jalan, Zein terus bercerita tentang beberapa temannya yang terlalu ingin tahu di mana keberadaan ayahnya. Malam ini Zein sengaja mengajakku menemaninya salat tarawih agar teman-temannya itu tidak lagi usil bertanya."Om pura-pura jadi ayahku, mau?" pintanya dengan wajah sungguh-sungguh.Aku tersenyum miris, lalu kurangkul pundak kecil itu merapat. Mengapa harus pura-pura jika sebenarnya kita bisa terus terang, Zein? Ayahmu ini tinggal menunggu isyarat ibumu kapan saat yang tepat untuk mengaku. Tak mengapa meskipun setelah itu aku bakal kau hujani ribuan pertanyaan mengapa aku meninggalkanmu dan dirinya selama bertahun-tahun."Om mau pura-pura jadi ayahnya Zein, tapi ada syaratnya." Tiba-tiba sebuah ide melintas di kepalaku. Siapa tahu cara ini bisa membuat sikap Amara sedikit melunak."Apa syaratnya?" Zein bertanya."Zein janji mau telepon Om tiap hari, ya. Kirim kabar pada Om apa saja yang Ze
Aku sedang menuang air putih hangat untuk minuman berbuka Radit, saat Zein dengan polosnya bertanya kenapa Bude Asih juga sudah mengenal pria itu padahal baru saja bertemu. Kulihat Bude Asih dan Radit terdiam sesaat. Cepat kupanggil ke dapur perempuan paruh baya itu sebelum terucap darinya fakta tentang Radit."Kenal, dong, Le. Om Radit ini-- ""Bude Asih tolong bantu siapkan es timunnya, dulu, ya. Sudah hampir azan maghrib." Sengaja kualihkan kalimat Bude Asih. "Zein, ayo ajak Om Radit duduk."Keempat buah kursi yang mengelilingi meja makan, sore ini dihuni penuh. Bude Asih yang tadinya akan berbuka puasa di rumahnya, akhirnya menurut saat kuminta menginap malam ini. Terus terang aku segan jika harus bertiga saja di rumah dengan Radit. Jika tidak melihat Zein yang begitu bersemangat tadi, lebih baik tidak kuundang Radit masuk untuk berbuka puasa bersama.Zein membaca doa dengan lantang sesaat setelah azan berkumandang. Bocah itu mencoba satu per satu makanan yang dibawakan Radit. Ber
Regional online meeting siang ini terasa sangat membosankan bagiku. Berkali-kali harus kupalingkan wajah dari layar laptop karena terpaksa harus menguap. Memang setelah sahur tadi aku tidak kembali tidur. Pikiranku selalu melayang pada Amara dan Zein dan apa yang sedang mereka lakukan di sana. Lokasi rumah Amara yang dengan suka rela diberikan oleh kurir semalam, seakan memanggil-manggilku untuk segera berkendara ke sana."Suntuk banget, sih, Bos." Arga, salah satu stafku memberikan lirikan ingin tahu saat aku keluar dari ruangan setelah rapat selesai. "Target lagi?""Bukan suntuk," ralatku. "Ngantuk doang saya.""Begadang kayaknya, Pak?" timpal Nalita yang duduk di samping Arga."Begadangan masak sahur, Bos?" celetuk Arga lagi dengan nada bercanda. "Makanya buruan punya istri, biar sahur dan buka ada yang masakin.""Memang sekarang saya lagi nyari istri," sahutku spontan. Bukankah benar selama ini aku setengah mati mencari keberadaan Amara. "Untunglah sekarang-- ""Nggak perlu jauh-j
Meski terlahir dari rahim yang sama, karakterku dan Alia, adik bungsuku sungguh jauh berbeda. Aku cenderung pendiam meskipun sesungguhnya tertanam jiwa pemberontak di dalam. Alia sejak kecil terkenal lebih ceria, tetapi jauh lebih penurut bila menyangkut urusan internal keluarga. Alia menurut saat Mama memilihkan fakultas kedokteran untuknya, Alia menurut saat Papa memintanya menikah setelah lulus, termasuk menuruti untuk menikah dengan lelaki pilihan keluarga yang sejatinya dulu dijodohkan denganku.Di malam Radit pergi meninggalkanku dan Zein, Mama menuangkan semua sumpah serapahnya pada lelaki itu, juga seluruh kekesalannya padaku atas sikap pembangkangku. Andai aku tidak menolak menikah dengan lelaki pilihan Mama, pasti hidupku tidak akan sengsara seperti ini menurut beliau.Aku tidak membantah karena Mama tidak sepenuhnya salah. Sikapku saat melarikan diri bersama Radit juga tidak bisa dikatakan benar. Aku bahkan sempat merasa bersalah mencebloskan Radit dalam keruwetan keluargak