Aku tidak bisa berbohong bahwa masih ada getar di hatiku yang tersisa untuk Radit. Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu, tidak dapat kupungkiri betapa rasa cinta itu bergulat dengan tumpukan benci saat aku memandangnya. Sejak kakiku melangkah keluar melewati pintu kaca restoran cepat saji itu, kuupayakan sekuat tenaga agar tidak menoleh ke belakang. Meskipun begitu, tetap harus dengan sabar kutunggu langkah kecil Zein yang masih bersemangat melambaikan tangan pada sosok lelaki yang belum ia ketahui status aslinya.
“Om yang tadi baik banget, ya, Bun.” Zein kembali berceloteh setelah mobil meninggalkan area parkir. “Dia temannya Bunda?” “Ya,” jawabku ragu. “Teman lama.” Akhirnya itu yang kukatakan setelah sebentar mempertimbangkan. “Tadi di sekolahku, Om itu nanyain, apa obeng yang kemarin kita beli bisa dipakai.” Zein lanjut bercerita. “Aku bilang bisa. Om itu juga bilang aku anak hebat karena bisa memperbaiki sepeda sendiri.” Ada rasa haru menyusup di hatiku saat mendengarkan Zein bercerita. Kuakui selama ini interaksinya dengan makhluk berjenis kelamin laki-laki hanya sebatas papaku dan mungkin satpam sekolah. Setahun terakhir setelah Papa terkena stroke ringan, Zein seperti kehilangan teman bermain dan berbagi cerita. “Oh, ya? Terus, Om-nya nanya apa lagi?” selidikku ingin tahu. “Nanyain siapa yang biasanya jemput aku di sekolah.” Zein menjawab sembari menyendokkan es krimnya yang separuh mencair ke mulutnya. “Aku bilang selalu Bunda yang jemput.” “Terus?” “Aku juga bilang, ayahku kerjanya jauh dan belum pernah pulang.” Bocah kecil itu berkata lugu sambil fokus menjilati stik es krimnya. “Memangnya kapan, sih, Ayah pulang, Bun?” Aku menghela napas. Rasanya sudah sangat bosan harus menampung beratus ribu pertanyaan yang sama dari bibir mungil itu sejak ia mulai bisa mengerti bahwa keluarga yang utuh harus terdiri dari ayah dan ibu. Seperti biasa aku juga harus pintar berkelit untuk membesarkan hatinya. “Pekerjaan Ayah belum selesai. Kalau sudah selesai pasti Ayah pulang buat ketemu kita,” hiburku dengan senyuman yang terpaksa kuhadirkan. “Kita sama-sama berdoa, ya.” “Memang pekerjaan Ayah, apa, sih?” Sepertinya Zein belum merasa puas dengan jawabanku barusan. “Apa ayahku astronot yang bekerja di stasiun luar angkasa?” Aku spontan tertawa, miris. Setelah berkali-kali Zein mencoba mencari tahu jenis pekerjaan ayahnya, baru kali ini tercetus ide tentang astronot. Semakin otaknya berkembang, aku tidak akan mungkin membohonginya dengan alasan-alasan klise atau pun analogi yang tidakmasuk akal. Zein sedikit cemberut saat aku menggeleng menandakan ia salah menebak. Ia diam sesaat, sebelum akhirnya kalimat yang terucap membuat dadaku seketika sesak. “Apa ayahku sudah meninggal seperti abinya Farid?” Kuusap lembut kepala Zein dengan tangan kiri. Sorot matanya yang tadinya bersemangat kini berubah sendu saat kami bertatapan. “Ayah Zein masih ada, lagi kerja di tempat yang jauh,” jelasku dengan kebohongan yang sama. “Untuk pulang ke rumah ongkosnya mahal, harus menabung dulu.” “Kalau uang jajanku ditabung setiap hari, apa bisa dikirim ke Ayah untuk ongkos pulang?” Polos sekali pertanyaan Zein. Terlampau polos hingga aku harus berpaling ke kanan agar ia tidak melihat manik mataku yang mulai berkaca-kaca. “Bisa, Sayang.” Bahkan suaraku pun terdengar serak. “Nanti kita beli celengan, ya. Zein suka yang bentuk apa?” Sengaja kualihkan agar Zein tidak lagi teringat membahas perihal ayahnya. Zein lalu berceloteh tentang celengan berbentuk ayam yang ia pernah lihat di warung depan komplek. Aku separuh mendengarkan, separuh berdebat dengan pikiranku sendiri. Semua permohonan maaf Radit, bujukan Radit, argumentasi Radit seolah diputar berulang-ulang di kepala. “Ra-di-tya pra-mo-no.” Semua lamunanku seketika buyar saat suara kecil yang mengeja terbata itu menerobos gendang telingaku. Aku menoleh terkejut. Bukan lagi sebuah mangkuk es krim yang sekarang berada dalam genggaman Zein. Sebuah kartu nama. Kartu nama yang Radit sengaja tinggalkan di dasbor mobil. Sengaja ia tinggalkan agar aku bisa menghubunginya, agar kami tetap bertemu. “Seperti nama ayahku,” lanjut bocah kecil yang masih tekun memandangi selembar kertas putih di tangannya. Kali ini bisa dipastikan jantungku sudah berdetak melebihi kapasitas normal. Sepanjang ingatanku, aku tidak pernah memberitahu Zein siapa nama ayahnya. Aku selalu menggantinya dengan sebutan ‘Ayah Zein’ setiap ada orang lain yang menyinggung tentang Radit. Tidak pernah sekali pun terucap nama lelaki itu di hadapan bocah tujuh tahun tersebut. “Dari mana Zein tahu siapa nama Ayah, Sayang?” tanyaku hati-hati. Aku sungguh khawatir jika ada orang-orang tertentu yang sengaja membocorkan perihal Radit. “Dari buku rapor aku,” ucap Zein lugu.“Kan, ada nama Ayah di atas nama Bunda.” Zein bukan lagi bocah kecil yang masih bisa selalu aku bohongi. Nalarnya mulai bekerja baik seiring usianya bertambah. Mungkin Radit benar. Sudah saatnya aku mengungkapkan fakta yang sebenarnya tentang Radit pada Zein. Tetap menyembunyikan semuanya akan menambah rumit keadaan. Meskipun berat, bagaimana pun juga aku harus mempertimbangkan apa yang Radit perdebatkan tentang nasib hubungan kami saat ini. *** Bohong jika aku katakan sudah membuang semua hal tentang Radit setelah kepergiannya. Rindu itu tetap bersarang selama bertahun-tahun. Berharap ia kembali, berharap ia menyesal dan meminta maaf. Rindu yang meskipun perlahan berbalut benci, tetapi tetap tidak bisa melenyapkan cinta yang selalu aku miliki untuk lelaki itu. Aku masih tetap menyimpan beberapa kenangan kami. Selembar foto pernikahan yang memuat senyumanku dan senyumnya masih menjadi penghuni setia sebuah kotak kayu yang aku letakkan jauh dari jangkauan siapa pun. Cincin pernikahan yang kulepaskan di tahun ketiga kepergian Radit, juga tersimpan di sana. Beberapa barang pemberian Radit juga kukumpulkan dengan rapi. Niatku hanya satu. Jika suatu saat Zein menanyakan ayahnya saat ia dewasa, jika memang Radit tidak pernah kembali, aku masih memiliki barang peninggalan yang bisa aku tunjukkan pada anak lelakiku itu. Sebuah gantungan kunci berwarna perak yang terbaring di dasar kotak menarik perhatianku. Radit membelikannya untukku saat bulan madu kami di Bali. Gantungan kunci berwarna perak yang berpasangan, dengan ukiran tanda hati yang akan menjadi utuh jika keduanya disatukan. Aku memakai satu buah sebagai gantungan kunci mobil. Pasti Radit juga memperhatikan itu saat ia memungut kunci mobilku yang jatuh di depan kasir di hari pertama kami bertemu kembali. Juga saat menyetiri aku dan Zein menuju rumah makan cepat saji siang tadi. Raditya Pramono. Kurasakan bibirku bergetar saat kembali mengucapkan nama itu. Begitu lihai ia menguliti isi hatiku hari ini. Semua yang kupendam bertahun, hancur luluh dalam sekejap hanya dengan menatap matanya, mendengar suaranya. Kuseka setetes air mata yang terlanjur lolos. Kuatur napas agar isakku tidak membangunkan Zein dari lelapnya. Kubiarkan sebentar hatiku berdebat, hingga akhirnya logikaku memutuskan untuk turut menyimpan kartu nama Radit beserta nomor yang tertera di atasnya dalam kotak kayu. Maaf, Radit. Aku belum siap untuk menerima kehadiranmu kembali. Biarkan aku dan Zein tetap seperti ini. Aku masih punya segudang alasan untuk tetap menyembunyikanmu dari buah hati kita.Sudah lima belas menit aku berdiri di depan pagar sekolah Zein, menanti dengan sabar hingga bel pulang berbunyi. Tak kuhiraukan terik matahari yang sedikit membasahi kerah kemeja kerjaku. Isi kepalaku telah dipenuhi dengan senyum dan tawa Zein saat ia melihat apa yang aku bawakan untuknya hari ini.Sore kemarin sepulang kerja, kusempatkan singgah ke sebuah toko buku untuk mencari krayon warna yang diinginkan Zein. Semoga saja Amara belum sempat membelikannya untuk Zein. Semoga juga Amara terlambat datang menjemput siang ini, agar aku punya banyak waktu untuk mengobrol dengan anak lelakiku itu.Jika ada satu hal yang bisa kulakukan untuk menebus kembali tahun-tahun yang terlewat, pasti akan kuusahakan mati-matian. Ayah macam apa yang meninggalkan darah dagingnya tumbuh hanya dengan asuhan seorang ibu. Aku memang pecundang kelas kakap dulu. Namun, sekarang akan kubuktikan sekuat tenaga bahwa aku juga bisa menjadi suami yang diandalkan dan tentunya ayah yang dapat dibanggakan.“Om ngapai
Entah bagaimana caranya untuk tetap disiplin waktu setiap berbelanja ke toko bahan kue langgananku. Mataku seperti berwisata di antara pernak-pernik dan beragam perkakas memasak yang ditawarkan sang pemilik toko. Beberapa obrolan beliau juga sangat menarik, hingga akhirnya aku lupa waktu bahwa harus menjemput Zein menjelang tengah hari.Tinggal satu belokan lagi untuk mencapai lokasi sekolah saat aku menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan mobilku. Aku baru ingat bahwa sejak kemarin sore kondisi salah satu ban belakang memang kekurangan tekanan. Aku seharusnya tidak lupa untuk singgah ke kios pompa ban terdekat. Pasti Zein akan cemberut jika aku lagi-lagi terlambat menjemputnya.Dan, benar dugaanku. Kondisi ban sudah benar-benar kehabisan angin. Kucoba mencari lokasi bengkel di sekitar pada aplikasi penunjuk arah. Sialnya bengkel terdekat berada sejauh tiga kilometer dari posisiku saat ini, dan kondisi ban tidak memungkinkan untuk dibawa berkendara lebih jauh. Sepertinya aku meman
Seharian ini aku bertingkah seperti orang yang sedang kasmaran. Hanya duduk diam di belakang meja, memandangi isi aplikasi percakapan sambil berharap tiba-tiba akan masuk sebuah pesan untukku dari Amara. Ah, aku memang terlalu jauh berangan-angan. Perempuan itu tidak memblokir nomor kontakku saja sudah merupakah anugerah tak terkira bagiku. Satu-satunya yang bisa kupandangi untuk melepas rindu adalah foto Amara berdua Zein yang ia pasang sebagai profil. Gambar-gambar produk makanan yang ia tayangkan di kolom status secara bergantian juga kulahap semua tanpa sisa, berharap terselip satu atau dua foto aktivitasnya dengan Zein yang bisa kuikuti.Ide untuk mengirimi Amara pesan terlebih dahulu muncul berkali-kali di kepalaku. Namun, aku tahu betul sifat Amara. Perempuan itu akan mengambil seribu langkah menjauh jika ada yang mengejarnya terang-terangan. Aku sudah merasakan itu bertahun-tahun lalu saat pertama kali berkenalan dengannya di kampus tempat kami menuntut ilmu. Butuh satu tahun
Siang ini adalah yang paling terik di separuh bulan menuju akhir April. Antrian di depan gerbang sekolah terlihat mengular. Penjemput yang biasa menggunakan sepeda motor, hari ini memilih mengendarai roda empat mereka untuk menghindari intensitas sinar matahari yang terasa menggigit.Kulirik sekilas arloji di tangan kiri. Sudah terlambat tiga puluh menit dari jadwal biasa. Zein pasti sudah menunggu dengan cemberut di balik pagar. Lelaki kecilku itu memang paling tepat waktu dalam segala hal. Berbanding terbalik denganku, ibunya yang selalu tergopoh-gopoh di menit terakhir.Aku sedang memikirkan beberapa cara untuk membujuknya jika ia merajuk saat pintu mobil terdengar terbuka. Zein membalas senyumku tidak dengan bibir yang mengerucut seperti dugaanku, tetapi dengan wajah cerah dan tawa semringah yang seketika membawa kesejukan yang sejak tadi tak dapat dipenuhi oleh pendingin udara di dalam mobil.“Maaf, Zein. Bunda terlambat siang ini.” Kupindahkan persneling saat sudah berhasil kelu
Jantung ini bagai tersengat ribuan volt tegangan listrik saat pandangannya beradu dengan tatapanku. Langkahku terayun setengah sadar mendekat ke arahnya. Paras yang sama, sorot mata yang sama, dengan kemasannya yang berbeda. Rambut panjangnya yang indah sekarang sudah tertutup hijab panjang. Lekuk tubuhnya yang dulu selalu kupuja, sekarang sudah terbalut gamis longgar, yang entah mengapa membuatnya terlihat semakin anggun di mataku. Aku yakin dia adalah Amaraku yang telah kucari dua tahun terakhir.“Aku hampir tidak mengenalimu,” ucapku saat hanya tersisa beberapa langkah di depannya.Dari gerak bibirnya bisa terbaca, Amara menyebut namaku walaupun terlampau pelan untuk terdengar. Terlalu banyak yang ingin kusampaikan padanya, tetapi tak satu pun yang terucap hingga Amara begitu saja berlalu dari hadapanku. Kuikuti terus langkahnya yang tergesa. Jika tidak khawatir akan terjadi keributan, ingin rasanya kutarik lengan itu untuk berhenti sebentar.Amara terlihat sangat gugup dan terburu
Zein langsung menyelinap di kursi depan saat aku masih berdiri ragu di depan pintu mobil yang dibukakan Radit. Dengan percaya diri bocah kecil itu memasang sabuk pengaman dan segera berbincang akrab layaknya kerabat yang sudah saling mengenal. Syukurlah, paling tidak untuk kali ini Zein telah menyelamatkanku dari keharusan berbasa-basi hal yang tidak perlu dengan ayahnya.“Di mana restoran fried chicken yang paling dekat?” Radit bertanya saat mobil mulai melaju, sepertinya ditujukan padaku.“Sebelum arah ke sekolahku, Om.” Zein lebih dulu menimpali.“Jadi sekarang kita putar balik?” tanya Radit lagi.“Putar balik, ya, Bun?” Zein yang tidak terlalu hafal rutenya, ikut-ikutan bertanya padaku.Keduanya serempak menoleh ke belakang untuk meminta jawaban. Namun, saat melihat aku tidak mengatakan apa pun, Radit melekatkan ponselnya pada phone-holder dan segera membuka aplikasi penunjuk jalan.“Biar yang lebih tahu yang ngarahin,” ucapnya santai, seolah menyindir sikapku yang tetap dingin se
Ternyata aku masih lelaki yang sama, yang tetap tertegun saat melihat tetesan air mata mengalir di pipi Amara. Ia seketika menutup wajah dengan telapak tangan, berusaha menahan agar suara isaknya tidak terdengar. Hanya bahunya yang sedikit berguncang, menandakan emosi yang mendera begitu hebat. Beberapa detik setelah terdiam, kuulurkan padanya selembar tisu di atas meja yang tidak digunakan Zein.“Ra, jangan nangis,” hiburku. “Nanti kalau Zein lihat, dia akan mengira kita bertengkar.”Amara mengusap wajahnya dan membersihkan sisa air mata dengan tisu yang kuberikan. Ia menoleh sebentar ke arah area bermain, memastikan Zein masih asik dengan aktivitasnya. Pandangannya lalu beralih padaku, untuk kemudian menunduk pada jarinya yang bertaut.“Zein sering menanyakanmu,” gumam Amara. “Aku hampir kehabisan alasan untuk terus berbohong.”Aku ikut menunduk dengan rasa malu dan perih yang bertubi. Ketangguhan Amara dalam menghadapi situasi sulit selama ini terbayang jelas. Zein anak yang cerdas