Di dalam ruang rapat Emilio tampak serius melihat dokumen yang dipegang olehnya, satu demi satu dilihatnya, seperti ada yang tidak sesuai dengan kesepakatannya. Emilio menghela napasnya, ia memijat dahinya berharap rasa sakitnya dapat berkurang. Sebastian yang menyadarinya pun, menghentikan jalannya rapat. Ia berbalik ke arah Emilio. ia setengah berbisik padanya. Mendapat penolakan darinya Sebastian kembali melanjutkan rapatnya hingga selesai. Rapat telah usai, Emilio dan juga Sebastian keluar lebih dulu dari pada yang lain. Emilio langsung menuju ruangannya. Di tengah perjalanannya tiba-tiba saja Emilio kehilangan keseimbangannya. Matanya tiba-tiba saja berkunang. “Presdir,” Sebastian segera menangkap tubuh Emilio, dan membawanya masuk ke ruangannya. Sebastian membaringkannya di sofa. “Apa kau merasa pusing, apa aku perlu membawamu ke rumah sakit?” Sebastian bertanya dengan cemas. “Tidak perlu, ini hanya sakit sed
Setelah mendapat Elijah masuk rumah sakit Emilio datang ke rumah sakit dengan tergesa-gesa. Sejak berada di dalam mobil Emilio sudah sangat gelisah bagaimana tidak, istri kecilnya tiba-tiba saja masuk ke rumah sakit. Turun dari mobil Emilio segera berlari, walau kepalanya pening, tapi dia tetap berlari mencari keberadaan istrinya. Saat memasuki lobi, dia bertemu dengan Jose yang sedang menunggu. Jose segera menghampiri Emilio. “Tuan muda,” panggilnya. “Di mana?” tanyanya cemas. “Nyonya sedang ada di dalam Tuan, lukanya sedang bersihkan dan diobati.” “Apa yang terjadi sebenarnya?” “Saya kurang tahu, hanya saja saya melihat Nyonya tengah berselisih dengan seorang pria, mungkin sebaya dengan Nyonya.” “Seorang pria?” “Ya, Tuan. Mereka berseteru, pria itu bahkan menyeret Nyonya hingga terluka seperti ini. maafkan saya Tuan. Saya tidak menjaga Nyonya dengan baik.” Emilio menghela napas lega,
Drama kejar-kejaran pun terjadi, Emilio tanpa menyerah terus mengejar Dias di antara rumput yang tinggi. Dias yang merasa tertekan dan ketakutan pun dengan tunggang langgang berlari mencoba melepaskan diri dari pandangan Emilio. Napasnya terengah, Emilio berhenti di tengah padang rumput. Ia melihat sekelilingnya. Rumput yang setinggi dada orang dewasa itu membuatnya kesulitan untuk melihat keberadaan Dias. “Sial, di mana dia?” dengusnya. Emilio kembali menyusuri padang rumput, menyibakkannya mencoba melihat apakah ada penampakan dari Dias. Dirasa usahanya tidak berhasil Emilio meraih ponselnya, menekan beberapa digit nomor di ponselnya. “Ini aku, bantu aku mencarinya... sekarang aku berada di padang rumput tadi...” Di saat Emilio tengah lengah karena sedang bicara di telepon. Tiba-tiba saja Dias datang menyerbu ke arah Emilio. Ponsel yang dipegang oleh Emilio terlempar entah ke mana, hanya terdengar suara-suara yang tidak jel
Di tengah cahaya penerangan yang temaram, Dias terkapar dalam dinginnya tanah, wajahnya hancur bahkan sudah tidak bisa dikenali lagi. tiba-tiba saja dia kembali teringat akan masa kecil saat dirinya sering dipukuli olehnya, dia berlari ke arah pemukiman di mana Elijah tinggal. Elijah kecil melihatnya yang berantakan pun membawanya masuk ke dalam rumah, dia bahkan mengobati lukanya dengan penuh kasih sayang. Dulu Elijah anak yang ceria, dia selalu mengajak bermain dirinya yang selalu saja sendirian. “Dias, jika kau besar nanti kau ingin jadi apa?” “Aku?” “Ya, kau ingin jadi apa?” “Entahlah, aku tidak bisa memikirkan hal itu.” “Kenapa?” “Hanya saja aku tidak tahu, aku bisa hidup sampai kapan? Kau tahu betul bagaimana ayahku.” Dias tersenyum seraya berbalik menatap Elijah. Elijah memiringkan kepalanya, ia menatap ke arah dimana Dias berada. Tatapannya sangat heran. Mata coklatnya tampak redup
Sebastian duduk di samping ranjang Emilio, dia mengupas apel dengan sangat terampil dan cepat. Dia melirik ke arah Emilio yang sedari tadi hanya melihat ke arah luar, membuatnya sedikit tidak nyaman karena tidak ada pembicaraan di sana. “Kau sedang melihat apa, kenapa terus menatap ke arah luar?” Sebastian bertanya dengan nada yang sedikit kesal karena kehadirannya seakan tidak ada di mata Emilio. “Aku hanya melihat burung-burung di luaran sana, mereka begitu beruntung karena bisa terbang bebas sesuka hati mereka.” Mendengar hal itu Sebastian berdiri, ia melangkahkan kakinya ke arah jendela kaca yang besar di bangsal VVIP. Ia memandang ke arah Emilio lihat, di sana tampak seorang burung berwarna biru serta hitam singgah di sebuah kabel listrik yang menggantung. “Apa kau melihatnya, tampak indah dan menawan bukan?” Emilio bertanya setelah kepalanya hampir pecah oleh segala tipu muslihatnya. “Uhm, aku melihatnya sedikit.
Setelah berhari-hari tinggal di rumah sakit akhirnya memar di wajah Emilio sudah pulih, bahkan tidak meninggalkan bekas sedikit pun. Obat yang diberikan oleh Rayn sangat manjur. Walau baru beberapa hari Emilio sudah sangat merindukan Elijah dan juga Stela, rasanya dia ingin segera pulang untuk menemui mereka. Saat Emilio tengah berganti pakaian, pintu terbuka, dia berbalik dan mendapati Earnest telah berada di belakanganya. Dia menatap tajam ke arah Emilio. dia juga tidak memberikan celah sedikit pun. “Anda datang. Kukira Anda sudah lupa jika memiliki putra seperti aku ini.” “Bagaimana aku bisa tidak datang menjenguk putraku sendiri?” Emilio menyeringai, dia bahkan tidak menganggap perkataan Earnest. Dia meliriknya sekilas lalu berkata. “Tentu saja kau bisa melewatkannya, lagi pula kemarin pun Anda tidak berpihak padaku.” Emilio berbalik menatapnya yang terkesan mengejek itu. “Emilio! kamu tidak sepantasnya b
Saat bersantai di ruang tamu, Emilio kembali mendapat panggilan telepon dari Sebastian. Dengan enggan Emilio pergi ke perusahaan. Waktu berlalu begitu cepat tak terasa langit yang awalnya masih terang kini sudah gelap. Jam menunjukkan sudah tengah malam. Emilio bergegas pulang ke mansion. Saat memasuki rumah suasana di sana begitu sepi. Semua orang telah tidur kecuali Joseph yang senantiasa menunggunya pulang. Emilio kembali ke rumah dengan sedikit lelah, pelan-pelan dia berjalan menaiki anak tangga yang memutar ke lantai atas dan kembali ke kamar. Lampu dinding kamar tidur masih menyala, cahayanya redup dan hangat. Elijah tengah bersandar duduk di tepi ranjang, matanya terpejam, tertidur nyenyak dan manis, tubuhnya ditutupi dengan selimut yang berwarna biru pastel, kedua tangannya tengah tengah memegang sebuah buku. Emilio melepaskan mantel, dan menggantungnya di gantungan pakaian yang ada di sebelah samping lemari. Dia berjalan perlahan-lahan ke tepi
Setelah mereka pergi, Areum selalu membungkuk dan menangis di atas meja. Di saat menangis tiba-tiba saja mendengar lonceng angin pintu berbunyi. Dia mengangkat wajahnya, dan sembarang menyeka air mata di wajahnya, tetapi sepasang matanya sangat merah seperti mata kelinci. Dia melihat ke arah pintu, hanya melihat seorang pria muda berdiri, dengan kedua tangan yang disematkan ke dalam saku celananya. Postur tubuhnya agak malas, alis dan matanya mirip dengan Areum, penampilannya sangat lembut dan anggun. “Untuk apa kamu datang ke sini?” Areum mengalihkan pandangannya suaranya terkesan acuh dan dingin. Aaron mengayunkan kakinya, berjalan ke dalam dengan santai, dia melambaikan tangan pada Reina. “Kamu, hari ini pulang lebih awal. Pergilah.” Mendengar hal itu Reina merasa senang, dia segera mengambil tasnya dan melarikan diri dari pandangan Areum. Melihat hal itu Areum mengerutkan keningnya, dia tidak habis pikir palayan tokonya kabu