Shin Tian mengepalkan rahangnya, giginya mengatup erat hingga terasa gemetar di pelipis. Amarah yang mendidih memenuhi dadanya, panas dan menusuk. Ia tahu rasa itu—rasa saat melihat ketidakadilan berdarah-darah di hadapannya.Namun, ia juga merasa ada sesuatu yang aneh. Ada sesuatu dalam cara gadis ini bicara... dalam caranya bergetar... seolah-olah semua ini adalah bagian dari permainan yang lebih besar. Tapi sekarang, yang lebih penting adalah menyelamatkannya.Ia bukan orang yang bodoh tapi ia harus berpura-pura bodoh untuk melihat rencana gadis ini seperti apa ke depannya ... atau mungkin memang gadis ini benar-benar terluka dan firasat itu hanya perasaan curiganya saja."Jangan khawatir," kata Shin Tian akhirnya, suaranya mantap bagai batu karang di tengah badai. "Aku akan membawamu ke tempat yang aman."Dengan penuh kehati-hatian, ia menyelipkan lengannya di bawah tubuh gadis itu dan membantunya berdiri. Tubuh Red Shadow terasa sangat ringan di tangannya—begitu ringan, hingga me
Kabut tipis masih menggantung di atas tanah saat matahari pagi mulai merangkak naik dari balik perbukitan yang melingkari Kota Xian Jin—sebuah kota kecil yang berdiri tenang namun tegar di bawah kekuasaan Kerajaan Song Selatan. Angin pagi berembus pelan membawa aroma tanah basah dan dedaunan pinus, menyusup ke celah-celah bangunan kayu dan batu bata yang sudah menghitam dimakan waktu.Namun, ketenangan pagi itu hanyalah fatamorgana yang menutupi kenyataan kalau kota ini hidup berdampingan dengan bayang-bayang maut yang mengintai dari arah barat. Di sana, terbentang Lembah Iblis—sebuah wilayah kelam yang menjadi sarang makhluk-makhluk buas dan iblis berkepala dua. Para penduduk kota sudah lama tidak lagi berteriak ketakutan mendengar auman dari lembah tersebut. Mereka memilih beradaptasi, karena rasa takut yang abadi hanya akan membuat mereka lemah.Lembah Iblis sudah menjadi semacam legenda yang merakyat di masyarakat, terutama penduduk Kota Xian Jin. Mereka tidak takut karena merasa
Langit pagi menyelimuti kediaman Keluarga Besar Shin dengan matahari yang perlahan muncul dari balik awan. Di balik pilar-pilar batu megah, seorang gadis berdiri, angin menggoyangkan helaian rambut hitamnya yang berkilau seperti untaian sutra. Ia adalah Shin Shiang, sosok muda dengan kecantikan yang menenangkan namun sorot matanya tajam—penuh pemikiran. Ia menatap halaman dalam dari kejauhan, menyaksikan seorang pemuda yang melesat lincah melewati koridor panjang. Terdengar riuh langkah kaki, berkejaran dengan suara napas yang terengah-engah."Shin Tian..." gumamnya lirih, hampir tak terdengar, namun dengan nada getir."Sampai kapan kau akan terus seperti ini?" batinnya, suara dalam hatinya penuh kegelisahan yang nyaris menyesakkan dada.Shin Tian, sepupunya, adalah satu-satunya pewaris sah dari Keluarga Besar Shin. Di usianya yang masih belia, dia seharusnya telah menguasai ranah kultivasi seperti para generasi unggulan lainnya. Tapi kenyataannya? Tidak satu pun jalur energi dalam tu
"Toako, kamu sudah keterlaluan!" suara Tetua Wang meledak di dalam aula utama, menggema di antara pilar-pilar batu yang menjulang seperti penjaga bisu. Matanya yang biasanya tenang kini menyala penuh amarah, urat-urat di lehernya menegang. "Bagaimana mungkin kau mengeluarkan kata-kata seperti itu?! Tian’er masih muda! Masih ada harapan untuknya! Kau tahu sendiri, jika segel-segel dalam tubuhnya berhasil terbuka, siapa tahu nasibnya bisa berubah!"Udara seketika terasa berat. Aroma dupa yang menyala di sudut ruangan mendadak menusuk hidung, seolah turut merasakan ketegangan yang menggantung di udara.Shin Long menyilangkan tangan di dadanya, sorot matanya dingin seperti es yang tak mencair meski di hadapan bara api. Ia melirik Shin Tian dengan tatapan kosong yang bahkan lebih menyakitkan daripada kata-kata yang akan meluncur dari bibirnya.Tidak ada rasa peduli dan rasa hangat dari seorang ayah yang terpancar dari dalam tubuhnya. Bahkan menganggap Shin Tian sekedar murid perguruan Kelu
Shin Tian berdiri di ambang ruangan yang remang, matanya menyala seperti bara yang siap meledak. Suara seraknya mengiris keheningan malam, “Paman, mengapa aku tak bisa berkultivasi? Mengapa ada segel menyiksa di tubuhku?” Teriakannya menggema, seakan setiap kata adalah seruan frustasi yang telah lama terkunci dalam relung jiwanya.Di ruang itu, bayangan kecewa menari bersama kenangan masa lalu yang penuh harapan. Ia teringat betapa ia mengabdikan seluruh hari untuk menciptakan teknologi demi kejayaan Keluarga Shin—sebuah karya-karya yang pernah ia kira akan membuat ayahnya bangga. Namun, kini di mata sang ayah, pencapaian itu hanya debu yang tercecer di jalan panjang penghinaan. Perasaan terpinggirkan melanda, bagai beban berat yang menekan setiap tarikan napasnya.Suasana semakin meresap saat pamannya mendekat dengan langkah penuh simpati. Dengan lembut, ia berbisik, “Jangan pedulikan kata-kata ayahmu, Tian’er. Hanya amarah sesaat yang membuatnya bicara kasar.” Suaranya lembut sepert
Ruang laboratoriumnya tak luas, tapi terasa seperti dunia lain. Lampu-lampu panel menyala lembut, memantulkan sinar ke meja kerja yang penuh dengan serpihan logam, kabel, dan skema digital yang melayang di udara. Suara mesin-mesin kecil mulai berdengung perlahan, menyatu menjadi simfoni pagi yang hanya bisa dinikmati oleh para pencipta.Ia mengenakan sarung tangan tipis, lalu menyentuh layar digital di depannya. Jari-jarinya mulai menari, menggambar sketsa-sketsa rumit yang muncul seolah mengalir dari pikirannya langsung ke layar. Pagi masih muda, dan dunia di luar masih setengah tertidur, tapi dalam dirinya, badai ide telah menggulung sejak semalam.“Kalau waktu menyimpan jawabannya, maka aku akan mencurinya dari masa lalu…”Ia mendesah pelan. Udara di ruang itu terasa lebih hangat dibanding luar, tapi juga lebih tegang. Bau logam berpadu dengan aroma kopi yang dingin di sudut meja—sisa malam yang ia lewati tanpa tidur. Keringat mulai membasahi pelipis, meski matahari belum tinggi.M
Udara malam terasa berat, lembap, dan penuh listrik. Di tengah bengkel tersembunyi yang penuh roda-roda gigi, kabel-kabel berserakan, dan bau logam yang tajam, berdiri Shin Tian. Ia berdiri terpaku, matanya menyapu siluet mesin waktu yang menjulang seperti raksasa logam dalam kabut tipis uap panas. Mesin itu tak hanya sekadar alat ciptaannya—itu adalah puncak dari semua malam tanpa tidur, goresan luka karena eksperimen gagal, dan mimpi-mimpi yang ia rawat dalam diam.Ia menarik napas dalam-dalam. Udara masuk ke paru-parunya, dingin dan penuh aroma besi.Akhirnya...Namun jauh di dalam relung hatinya yang paling dalam, kehampaan menggeliat. Bukan kehampaan karena kelelahan atau keraguan. Tapi karena sosok yang tak pernah memberinya tatapan bangga—ayahnya. Kepala Keluarga Shin. Seorang pria berwajah batu dan suara sekeras baja tempa."Jika kau tidak menjadi kultivator, kau bukan siapa-siapa di keluarga ini." Kata-kata itu masih terngiang jelas, seperti cambuk yang tak kasat mata tapi me
Langit di atas kediaman Keluarga Shin menghitam, menggantung berat seperti pertanda kutukan yang hendak turun. Awan bergulung-gulung seperti naga kelabu, dan rintik hujan mulai menari di udara, menciptakan irama lembut yang menghantam genting tua menara tua keluarga. Udara terasa lembap dan bergetar oleh energi yang belum meledak—seperti napas yang ditahan semesta.Di puncak menara itu, Shin Tian berdiri sendiri, tubuhnya kaku, jantungnya berdebar seolah ingin memberontak keluar dari dadanya. Nafasnya berat, mengembuskan uap tipis yang menyatu dengan hawa dingin. Di depannya, sebuah mesin aneh berbentuk silinder perunggu berdiri diam, kabel-kabel berserakan bagai akar tanaman yang mencari tanah. Ia mendongak, menatap langit dengan mata penuh harap."Hanya tinggal menunggu petir menyambar," gumamnya, nyaris seperti doa yang ditelan angin. Wajahnya basah—entah karena hujan atau keringat—namun matanya bersinar dengan tekad yang tak bisa dipadamkan.Jika petir itu datang, jika rencananya
Shin Tian mengepalkan rahangnya, giginya mengatup erat hingga terasa gemetar di pelipis. Amarah yang mendidih memenuhi dadanya, panas dan menusuk. Ia tahu rasa itu—rasa saat melihat ketidakadilan berdarah-darah di hadapannya.Namun, ia juga merasa ada sesuatu yang aneh. Ada sesuatu dalam cara gadis ini bicara... dalam caranya bergetar... seolah-olah semua ini adalah bagian dari permainan yang lebih besar. Tapi sekarang, yang lebih penting adalah menyelamatkannya.Ia bukan orang yang bodoh tapi ia harus berpura-pura bodoh untuk melihat rencana gadis ini seperti apa ke depannya ... atau mungkin memang gadis ini benar-benar terluka dan firasat itu hanya perasaan curiganya saja."Jangan khawatir," kata Shin Tian akhirnya, suaranya mantap bagai batu karang di tengah badai. "Aku akan membawamu ke tempat yang aman."Dengan penuh kehati-hatian, ia menyelipkan lengannya di bawah tubuh gadis itu dan membantunya berdiri. Tubuh Red Shadow terasa sangat ringan di tangannya—begitu ringan, hingga me
Malam berikutnya turun perlahan, membawa embun dingin yang menggantung berat di udara. Kabut tipis merayap dari dasar tanah, membuat dunia terlihat seolah baru terlahir dari mimpi. Di jalan setapak berbatu dekat Kuil Dewa Alkemis, suara langkah kaki terseret pelan-pelan merusak keheningan.Dari balik gelapnya rimbun pepohonan, sebuah bayangan merah terseok-seok keluar, seakan didorong oleh angin malam yang menusuk tulang. Seorang gadis—gaunnya koyak tak beraturan, seolah-olah direnggut paksa oleh tangan-tangan tak kasatmata—muncul dari kegelapan. Robekan pada kain lusuhnya memperlihatkan kulit pucat yang dipenuhi goresan dan bercak darah kering, menghitam di bawah sinar rembulan.Rambut hitam legamnya tergerai liar, kusut seperti benang kusut diterjang badai, sebagian menutupi wajahnya. Sebuah topeng merah, pecah di satu sisinya, bertengger miring, hanya menyisakan celah sempit tempat sepasang mata gelap memandang dunia dengan ketakutan yang menusuk hati siapa pun yang melihat.Langka
Kabut pekat menyelimuti hutan selatan seperti selimut diam yang menelan suara dan cahaya. Aroma tanah basah bercampur dedaunan membusuk menusuk hidung, menciptakan atmosfer yang membuat tengkuk siapa pun meremang. Pepohonan tua menjulang tinggi bak penjaga kuno yang telah lama tertidur, namun malam ini mereka tampak memperhatikan.Tak ada desir angin. Tak seekor burung pun berkicau. Bahkan jangkrik memilih bungkam. Alam seolah menahan napas ketika sosok misterius melangkah di antara bayangan—langkahnya ringan seperti desir angin, nyaris tak terdengar.Ia dikenal hanya sebagai Bayangan Ketiga dalam catatan rahasia Sekte Ular Berkepala Dua. Namun di dunia bawah, dalam bisikan penuh ketakutan dan hormat, ia dijuluki Red Shadow.Sosok ramping sempurna itu mengenakan gaun merah darah yang bergerak seperti kabut saat ia berjalan, menyatu dengan malam. Di wajahnya, sebuah topeng merah pekat menyembunyikan identitasnya—topeng yang dihiasi garis halus menyerupai tetesan darah dan retakan halus
Langkah kaki Master Wang terdengar pelan namun mantap, menggema di koridor batu yang dingin. Gaun jubah kultivasinya berkibar pelan mengikuti hembusan angin yang menyelinap masuk dari celah-celah dinding tua. Cahaya lentera yang tergantung di atas mereka melemparkan bayangan panjang di lantai, seakan menggambarkan kegelisahan yang ia simpan dalam diam.Tatapan mata tua itu, yang biasanya tenang dan penuh wibawa, kini mengandung campuran rumit antara kekaguman, kelegaan, dan kecemasan yang menjerat dada. Ia berhenti hanya beberapa langkah dari sosok muda yang berdiri membelakangi cahaya remang.“Tian…” suaranya parau, seperti tergores angin malam. “Kau... baik-baik saja?”Shin Tian menoleh perlahan, rambut hitamnya yang panjang tergerai dan sedikit menutupi wajahnya yang kini jauh lebih matang daripada terakhir kali mereka bertemu. Matanya redup, namun ada percikan cahaya di dalamnya—sebuah nyala kecil dari sesuatu yang lebih besar dan lebih dalam.“Aku tidak sendiri lagi, Master,” uca
Shin Tian takjub melihat Cakram Waktu yang teknologinya jauh lebih maju dari teknologi yang diciptakannya.Dan di dalam kedalaman kristal itu… jiwa itu mulai terbangun.Awalnya hanya seberkas cahaya samar yang berdenyut di tengah cakram, seperti napas pertama dari sesuatu yang telah lama tertidur. Lalu, perlahan, denyut itu menjadi lebih kuat, memancar ke seluruh ruangan seperti gelombang kehangatan yang tidak berasal dari dunia ini.Aura biru menyebar, menari di dinding batu seperti roh kuno yang bangkit dari kegelapan. Ada sesuatu dalam cahaya itu—sesuatu yang membuat kulit bergidik, seolah ruangan ini tak lagi menjadi milik mereka, tapi telah menjadi altar bagi kekuatan yang telah lama tersegel.Shin Tian menatap ke arah pusat cahaya itu. Pupil matanya perlahan melebar, seolah ditarik oleh kekuatan tak terlihat yang mengalir dari inti kristal. Dunia di sekelilingnya mulai kabur. Suara api, desir angin, bahkan detak jantungnya sendiri—lenyap. Hening total. Sunyi yang begitu dalam, i
Tatapan Shin Tian terkunci pada Master Wang. Matanya yang gelap tampak seperti danau dalam malam yang tenang—dalam, dalam sekali—namun di dasarnya, ada api yang menyala. Bukan kobaran liar, melainkan bara yang telah lama dipendam, menunggu saatnya untuk membakar segala ketidakpastian.Ia tidak berkedip. Tidak ada gemetar di wajahnya, tidak ada getaran di tubuhnya. Namun di balik ketenangan itu, semesta seperti bergetar dalam diam.Master Wang mengamati Shin Tian dengan tatapan penuh kehati-hatian. Suaranya keluar pelan, seperti desir angin di atas pegunungan yang sunyi.“Dunia ini akan mulai bergerak, Tian,” katanya, dengan nada yang mengandung firasat. “Musuh dari masa lalu… dan bahkan mereka yang belum dilahirkan… akan mulai mencarimu.”Kalimat itu menggantung di udara, menggema dalam kesunyian yang tiba-tiba menjadi berat. Angin malam menyusup masuk dari celah-celah jendela kayu tua. Tirai bergoyang perlahan, seolah menyambut sesuatu yang tak terlihat. Bau tanah basah, dedaunan t
Dari balik salah satu pilar batu besar yang tertelan bayangan matahari pagi, sepasang mata tajam berkilat seperti bilah pisau yang baru diasah. Udara di sekitar pilar itu terasa lebih dingin, seolah kehadiran seseorang di sana mampu menyedot cahaya dan kehangatan dari ruang di sekitarnya.Sosok berjubah biru gelap itu berdiri diam dan tak bergerak sama sekali. Hanya matanya yang tampak mencolok—penuh perhitungan, rasa iri yang mengakar, dan keserakahan yang nyaris menetes dari setiap tatapannya.Hu Lei.Murid tertua Master Wang, dan yang selama ini selalu merasa tidak diperhatikan.Di sudut bibirnya, muncul sebuah senyuman tipis. Bukan senyuman bahagia—melainkan senyuman yang menyimpan dendam dan rencana.Suara langkah Master Wang dan Shin Tian yang tenang terdengar seperti gema yang mengiris ruangan praktek alkimia. Hu Lei menyimak setiap kata, setiap nada bicara yang meluncur dari bibir guru yang dulu ia kagumi, tapi kini ia ragukan.“Alat itu... bisa menembus batas waktu?”Bisikan
Nada suara Master Wang membuat jantung Shin Ling berdebar. Ada ketegangan di sana, sesuatu yang asing dari sosok Master yang biasanya santai. Bahkan udara di sekitar mereka terasa sedikit lebih berat.Shin Ling menelan ludah. Ia menatap Shin Tian seolah bertanya tanpa suara ... apa sebenarnya yang ingin kau tanyakan tadi...?Namun Shin Tian, dengan wajah serius dan tatapan penuh keyakinan, melangkah maju. Suaranya dalam dan tegas."Maaf, Master. Tapi aku butuh alat itu. Tanpa alat itu... aku tidak bisa kembali ke tempat asalku."Keheningan menggantung. Api obor berkerlap-kerlip, seperti menari dengan resah. Suara desiran angin yang masuk dari ventilasi batu terdengar nyaring di telinga mereka yang kini dicekam oleh sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar rasa ingin tahu—sebuah rahasia yang tersembunyi di balik logam dingin dan kenangan lama yang belum terungkap.“Aku tahu.”Suara itu tenang namun dalam, seperti tetesan air yang jatuh ke dalam sumur tua—pelan, tapi menggema jauh ke
"Master Wang!"Seruan serempak itu menggema memenuhi ruang praktik alkimia seperti gemuruh petir yang mengguncang langit musim panas. Para murid berdiri tegak, sebagian masih tertutup jelaga dan asap tipis yang mengepul dari jubah mereka, aroma khas bahan alkimia yang terbakar menyengat di udara.Dari balik pintu kayu berat yang berderit pelan, muncullah seorang pria paruh baya dengan jubah coklat kemerahan yang berkibar ringan saat ia melangkah masuk. Matanya yang tajam menyapu ruangan sebelum akhirnya melengkung penuh tawa."Hahaha... apa yang sedang terjadi di sini?" tanyanya sambil menyeka sudut matanya, seolah-olah baru saja menyaksikan sandiwara lucu.Aura serius yang sempat membalut dirinya seketika mencair bersama tawa renyahnya. Murid-murid yang tadinya menahan napas, kini mulai berani menghela lega meski beberapa masih canggung berdiri di antara pecahan botol, genangan cairan hijau, dan kepulan asap dari meja yang gosong.Shin Lin, seorang gadis muda dengan mata bersinar pen