Langit pagi menyelimuti kediaman Keluarga Besar Shin dengan matahari yang perlahan muncul dari balik awan. Di balik pilar-pilar batu megah, seorang gadis berdiri, angin menggoyangkan helaian rambut hitamnya yang berkilau seperti untaian sutra. Ia adalah Shin Shiang, sosok muda dengan kecantikan yang menenangkan namun sorot matanya tajam—penuh pemikiran. Ia menatap halaman dalam dari kejauhan, menyaksikan seorang pemuda yang melesat lincah melewati koridor panjang. Terdengar riuh langkah kaki, berkejaran dengan suara napas yang terengah-engah.
"Shin Tian..." gumamnya lirih, hampir tak terdengar, namun dengan nada getir.
"Sampai kapan kau akan terus seperti ini?" batinnya, suara dalam hatinya penuh kegelisahan yang nyaris menyesakkan dada.Shin Tian, sepupunya, adalah satu-satunya pewaris sah dari Keluarga Besar Shin. Di usianya yang masih belia, dia seharusnya telah menguasai ranah kultivasi seperti para generasi unggulan lainnya. Tapi kenyataannya? Tidak satu pun jalur energi dalam tubuhnya dapat dibuka. Tubuhnya ibarat beku, tertutup dari segala bentuk aliran spiritual. Bahkan sekadar mengumpulkan tenaga dalam saja adalah kemustahilan.
Namun dunia tidak bisa menampik satu fakta—Shin Tian adalah seorang jenius. Ia bisa menyebutkan teori kultivasi dari gulungan kitab manapun, dari halaman paling dalam perpustakaan keluarga, seakan semuanya hanya catatan kecil di sudut ingatannya. Dalam bidang teknologi, dialah pelopor dari berbagai alat dan formasi modern yang digunakan para murid perguruan.
Sayangnya, kejeniusannya justru menjadi bahan cibiran. Tak sedikit murid senior yang memandangnya dengan tatapan muak. “Apa gunanya otak, jika tubuhmu lumpuh untuk berkultivasi?” begitu kata mereka.
Dan hari itu, seperti biasa, Shin Tian berlari riang di sepanjang koridor, tertawa kecil sambil memeluk semacam alat kecil berkilauan—mungkin proyek aneh yang sedang ia uji. Tetua Wang, pria tua dengan jubah kelabu dan napas yang mulai pendek, berlari mengejarnya dengan langkah berat.
“Shin Tian! Berhenti! Kau akan—”
Sebuah suara menggelegar seperti halilintar menyambar dari ujung lorong.
"BERHENTI!"
Langkah Shin Tian terhenti mendadak. Di hadapannya berdiri seorang pria gagah, tubuhnya tegap bagai gunung, sorot matanya tajam seperti elang yang baru saja disinggung sarangnya. Aura dominasi menyelimuti sekelilingnya, membuat udara seolah lebih berat.
“Ayah…” Shin Tian menunduk, berusaha menghormati sosok itu meskipun matanya tak bisa menyembunyikan sedikit getaran.
Shin Long, sang pemimpin Keluarga Besar Shin, tak menyembunyikan amarahnya. Tangan kanannya mengepal, rahangnya mengeras.
“Dasar anak tak berguna! Setiap hari hanya membuat keributan!” suaranya nyaring, menggetarkan dada siapa pun yang mendengarnya. “Kau ini memang jenius—jenius yang tidak berguna, Shin Tian!”
Nada dingin itu menusuk seperti belati. Bahkan ia tidak memanggil anaknya dengan panggilan ‘Tian’er’, sebutan penuh kasih yang biasanya digunakan oleh ayah kepada anaknya.
Tetua Wang akhirnya tiba, terhuyung namun segera berdiri tegak.
“Toako! Jaga bicaramu!” serunya dengan suara lantang, meski napasnya masih tersengal. “Tian’er tetaplah anakmu! Mungkin jalur kultivasinya belum terbuka, tapi tidak adakah sedikit harapan dalam hatimu untuknya?”
Namun Shin Long hanya mendengus, matanya menyipit penuh kekecewaan.
“Aku tidak butuh anak yang hanya bisa bicara soal teori dan alat aneh! Aku butuh penerus sejati, pemimpin yang bisa melindungi keluarga ini dengan kekuatan sejati, bukan dengan rancangan kertas!”
Shin Tian berdiri kaku, wajahnya perlahan memucat. Hatinya seperti diremas tangan tak terlihat. Kata-kata itu—kata-kata dari ayahnya sendiri—jatuh bagai palu ke dada.
"Jadi, semua usahaku... semua alat yang kudesain... semua pengetahuanku... tidak ada artinya?"
"Kalau dia terus seperti ini," lanjut Shin Long tanpa belas kasihan, "lebih baik dia pergi dari keluarga ini! Daripada jadi aib, lebih baik dia enyah dari hadapanku!"
Sunyi menggantung sesaat, sebelum deru angin sore menyapu dedaunan kering di halaman. Shin Tian tidak menjawab. Tangannya meremas alat kecil yang dibawanya tadi. Tak pecah, tapi ada getaran halus di ujung jari-jarinya. Matanya yang tadinya bersinar cemerlang kini redup. Tapi di balik kerapuhan itu, ada bara kecil yang mulai menyala—diam-diam.
Shin Shiang yang menyaksikan dari kejauhan mengepalkan tinjunya. Nafasnya tertahan, lalu perlahan dihembuskan. Ia tahu, di balik kelemahan fisik sepupunya, tersembunyi kekuatan yang belum disadari dunia.
"Shin Tian... dunia belum tahu siapa dirimu sebenarnya. Tapi aku percaya, waktumu akan datang."
"Toako, kamu sudah keterlaluan!" suara Tetua Wang meledak di dalam aula utama, menggema di antara pilar-pilar batu yang menjulang seperti penjaga bisu. Matanya yang biasanya tenang kini menyala penuh amarah, urat-urat di lehernya menegang. "Bagaimana mungkin kau mengeluarkan kata-kata seperti itu?! Tian’er masih muda! Masih ada harapan untuknya! Kau tahu sendiri, jika segel-segel dalam tubuhnya berhasil terbuka, siapa tahu nasibnya bisa berubah!"Udara seketika terasa berat. Aroma dupa yang menyala di sudut ruangan mendadak menusuk hidung, seolah turut merasakan ketegangan yang menggantung di udara.Shin Long menyilangkan tangan di dadanya, sorot matanya dingin seperti es yang tak mencair meski di hadapan bara api. Ia melirik Shin Tian dengan tatapan kosong yang bahkan lebih menyakitkan daripada kata-kata yang akan meluncur dari bibirnya.Tidak ada rasa peduli dan rasa hangat dari seorang ayah yang terpancar dari dalam tubuhnya. Bahkan menganggap Shin Tian sekedar murid perguruan Kelu
Shin Tian berdiri di ambang ruangan yang remang, matanya menyala seperti bara yang siap meledak. Suara seraknya mengiris keheningan malam, “Paman, mengapa aku tak bisa berkultivasi? Mengapa ada segel menyiksa di tubuhku?” Teriakannya menggema, seakan setiap kata adalah seruan frustasi yang telah lama terkunci dalam relung jiwanya.Di ruang itu, bayangan kecewa menari bersama kenangan masa lalu yang penuh harapan. Ia teringat betapa ia mengabdikan seluruh hari untuk menciptakan teknologi demi kejayaan Keluarga Shin—sebuah karya-karya yang pernah ia kira akan membuat ayahnya bangga. Namun, kini di mata sang ayah, pencapaian itu hanya debu yang tercecer di jalan panjang penghinaan. Perasaan terpinggirkan melanda, bagai beban berat yang menekan setiap tarikan napasnya.Suasana semakin meresap saat pamannya mendekat dengan langkah penuh simpati. Dengan lembut, ia berbisik, “Jangan pedulikan kata-kata ayahmu, Tian’er. Hanya amarah sesaat yang membuatnya bicara kasar.” Suaranya lembut sepert
Ruang laboratoriumnya tak luas, tapi terasa seperti dunia lain. Lampu-lampu panel menyala lembut, memantulkan sinar ke meja kerja yang penuh dengan serpihan logam, kabel, dan skema digital yang melayang di udara. Suara mesin-mesin kecil mulai berdengung perlahan, menyatu menjadi simfoni pagi yang hanya bisa dinikmati oleh para pencipta.Ia mengenakan sarung tangan tipis, lalu menyentuh layar digital di depannya. Jari-jarinya mulai menari, menggambar sketsa-sketsa rumit yang muncul seolah mengalir dari pikirannya langsung ke layar. Pagi masih muda, dan dunia di luar masih setengah tertidur, tapi dalam dirinya, badai ide telah menggulung sejak semalam.“Kalau waktu menyimpan jawabannya, maka aku akan mencurinya dari masa lalu…”Ia mendesah pelan. Udara di ruang itu terasa lebih hangat dibanding luar, tapi juga lebih tegang. Bau logam berpadu dengan aroma kopi yang dingin di sudut meja—sisa malam yang ia lewati tanpa tidur. Keringat mulai membasahi pelipis, meski matahari belum tinggi.M
Udara malam terasa berat, lembap, dan penuh listrik. Di tengah bengkel tersembunyi yang penuh roda-roda gigi, kabel-kabel berserakan, dan bau logam yang tajam, berdiri Shin Tian. Ia berdiri terpaku, matanya menyapu siluet mesin waktu yang menjulang seperti raksasa logam dalam kabut tipis uap panas. Mesin itu tak hanya sekadar alat ciptaannya—itu adalah puncak dari semua malam tanpa tidur, goresan luka karena eksperimen gagal, dan mimpi-mimpi yang ia rawat dalam diam.Ia menarik napas dalam-dalam. Udara masuk ke paru-parunya, dingin dan penuh aroma besi.Akhirnya...Namun jauh di dalam relung hatinya yang paling dalam, kehampaan menggeliat. Bukan kehampaan karena kelelahan atau keraguan. Tapi karena sosok yang tak pernah memberinya tatapan bangga—ayahnya. Kepala Keluarga Shin. Seorang pria berwajah batu dan suara sekeras baja tempa."Jika kau tidak menjadi kultivator, kau bukan siapa-siapa di keluarga ini." Kata-kata itu masih terngiang jelas, seperti cambuk yang tak kasat mata tapi me
Langit di atas kediaman Keluarga Shin menghitam, menggantung berat seperti pertanda kutukan yang hendak turun. Awan bergulung-gulung seperti naga kelabu, dan rintik hujan mulai menari di udara, menciptakan irama lembut yang menghantam genting tua menara tua keluarga. Udara terasa lembap dan bergetar oleh energi yang belum meledak—seperti napas yang ditahan semesta.Di puncak menara itu, Shin Tian berdiri sendiri, tubuhnya kaku, jantungnya berdebar seolah ingin memberontak keluar dari dadanya. Nafasnya berat, mengembuskan uap tipis yang menyatu dengan hawa dingin. Di depannya, sebuah mesin aneh berbentuk silinder perunggu berdiri diam, kabel-kabel berserakan bagai akar tanaman yang mencari tanah. Ia mendongak, menatap langit dengan mata penuh harap."Hanya tinggal menunggu petir menyambar," gumamnya, nyaris seperti doa yang ditelan angin. Wajahnya basah—entah karena hujan atau keringat—namun matanya bersinar dengan tekad yang tak bisa dipadamkan.Jika petir itu datang, jika rencananya
Deras hujan menari-nari di atas atap Menara Lonceng, memercik di atas bebatuan yang dingin dan licin. Udara malam yang basah dan dingin terasa menyesakkan, seperti ikut menindih dada Shin Tian yang sudah penuh luka.Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena udara dingin yang menusuk kulit, tapi juga karena kemarahan yang membuncah dalam dadanya. Ia berdiri dengan susah payah, darah menetes dari sudut bibirnya, mencampur air hujan di pipi."Beraninya... kalian memukulku!" desisnya, mencoba menegakkan tubuh dan suaranya yang bergetar. Mata hitamnya menatap tajam meski mulai memerah. "Kalau Ayah tahu... ia akan menghukum kalian... dengan seberat-beratnya!"Ia merasa terhina dengan perlakuan mereka. Ia adalah pewaris pimpinan Keluarga Shin tapi ia tidak dihargai sama sekali oleh sekelompok pemuda yang masuk kasta rendah dalam Keluarga Shin.Suara tawa mengejek membelah udara, kasar dan penuh hinaan. Seorang pemuda berambut acak-acakan melangkah maju, sorot matanya dingin bagai binatang buas ya
Suara desir angin bergaung samar di telinganya. Perlahan, kesadaran Shin Tian mulai merangkak kembali dari kegelapan. Ia menggeliat pelan, tubuhnya terasa seperti dihantam batu besar—berat, nyeri, dan tak sepenuhnya berada di bawah kendalinya.“Ugh… aku… ada di mana?” gumamnya pelan. Suaranya terdengar parau, seperti bisikan dari balik kabut tebal. Ia memejamkan mata sejenak sebelum mencoba membukanya.Kelopak matanya terbuka perlahan, dan cahaya temaram yang hangat menembus pandangan yang masih buram. Pandangan itu menari-nari, bergetar, sebelum akhirnya mulai menetap. Aroma khas kayu tua, bercampur debu dan sedikit jejak dupa, langsung menyeruak masuk ke dalam hidungnya, menampar kesadarannya.Ia tersentak.Tempat ini jelas bukan halaman belakang kediaman Keluarga Shin yang ia kenal sejak kecil. Ruangan itu sempit, dikelilingi oleh dinding batu yang dihiasi relief-relief tua—ukiran yang tampak hidup dalam keremangan cahaya. Ukiran naga yang menggulung, simbol-simbol kuno yang asing
"Kuil Dewa Alkemis..." gumam Shin Tian dengan suara bergetar, nyaris seperti bisikan yang terlepas tanpa sadar dari bibirnya.Udara pagi yang dingin menusuk hingga ke tulang. Di depannya, kuil kuno berdiri kokoh di tengah kabut tipis, dikelilingi pohon-pohon tua yang daunnya berguguran pelan tertiup angin. Setiap helai daun yang jatuh seolah membawa bisikan masa lalu.Legenda tentang tempat ini telah lama menghantui kisah-kisah para kultivator—sebuah kuil yang menyimpan rahasia Kitab Dewa Alkemis. Konon, kitab itu menyimpan teknik pemurnian pil-pil langka, termasuk Pil Immortal—pil legendaris yang mampu membawa kultivator melesat langsung ke ranah Immortal, melewati semua tingkatan yang biasanya harus ditembus dengan bertahun-tahun latihan dan penderitaan.Jantung Shin Tian berdebar seperti genderang perang. Tangan kanannya mengepal erat, seolah ingin menggenggam takdir itu sendiri.“Jika ini benar-benar masa itu... berarti dia masih hidup,” bisiknya, suara tercekat antara kekaguman d
Kabut pekat menyelimuti hutan selatan seperti selimut diam yang menelan suara dan cahaya. Aroma tanah basah bercampur dedaunan membusuk menusuk hidung, menciptakan atmosfer yang membuat tengkuk siapa pun meremang. Pepohonan tua menjulang tinggi bak penjaga kuno yang telah lama tertidur, namun malam ini mereka tampak memperhatikan.Tak ada desir angin. Tak seekor burung pun berkicau. Bahkan jangkrik memilih bungkam. Alam seolah menahan napas ketika sosok misterius melangkah di antara bayangan—langkahnya ringan seperti desir angin, nyaris tak terdengar.Ia dikenal hanya sebagai Bayangan Ketiga dalam catatan rahasia Sekte Ular Berkepala Dua. Namun di dunia bawah, dalam bisikan penuh ketakutan dan hormat, ia dijuluki Red Shadow.Sosok ramping sempurna itu mengenakan gaun merah darah yang bergerak seperti kabut saat ia berjalan, menyatu dengan malam. Di wajahnya, sebuah topeng merah pekat menyembunyikan identitasnya—topeng yang dihiasi garis halus menyerupai tetesan darah dan retakan halus
Langkah kaki Master Wang terdengar pelan namun mantap, menggema di koridor batu yang dingin. Gaun jubah kultivasinya berkibar pelan mengikuti hembusan angin yang menyelinap masuk dari celah-celah dinding tua. Cahaya lentera yang tergantung di atas mereka melemparkan bayangan panjang di lantai, seakan menggambarkan kegelisahan yang ia simpan dalam diam.Tatapan mata tua itu, yang biasanya tenang dan penuh wibawa, kini mengandung campuran rumit antara kekaguman, kelegaan, dan kecemasan yang menjerat dada. Ia berhenti hanya beberapa langkah dari sosok muda yang berdiri membelakangi cahaya remang.“Tian…” suaranya parau, seperti tergores angin malam. “Kau... baik-baik saja?”Shin Tian menoleh perlahan, rambut hitamnya yang panjang tergerai dan sedikit menutupi wajahnya yang kini jauh lebih matang daripada terakhir kali mereka bertemu. Matanya redup, namun ada percikan cahaya di dalamnya—sebuah nyala kecil dari sesuatu yang lebih besar dan lebih dalam.“Aku tidak sendiri lagi, Master,” uca
Shin Tian takjub melihat Cakram Waktu yang teknologinya jauh lebih maju dari teknologi yang diciptakannya.Dan di dalam kedalaman kristal itu… jiwa itu mulai terbangun.Awalnya hanya seberkas cahaya samar yang berdenyut di tengah cakram, seperti napas pertama dari sesuatu yang telah lama tertidur. Lalu, perlahan, denyut itu menjadi lebih kuat, memancar ke seluruh ruangan seperti gelombang kehangatan yang tidak berasal dari dunia ini.Aura biru menyebar, menari di dinding batu seperti roh kuno yang bangkit dari kegelapan. Ada sesuatu dalam cahaya itu—sesuatu yang membuat kulit bergidik, seolah ruangan ini tak lagi menjadi milik mereka, tapi telah menjadi altar bagi kekuatan yang telah lama tersegel.Shin Tian menatap ke arah pusat cahaya itu. Pupil matanya perlahan melebar, seolah ditarik oleh kekuatan tak terlihat yang mengalir dari inti kristal. Dunia di sekelilingnya mulai kabur. Suara api, desir angin, bahkan detak jantungnya sendiri—lenyap. Hening total. Sunyi yang begitu dalam, i
Tatapan Shin Tian terkunci pada Master Wang. Matanya yang gelap tampak seperti danau dalam malam yang tenang—dalam, dalam sekali—namun di dasarnya, ada api yang menyala. Bukan kobaran liar, melainkan bara yang telah lama dipendam, menunggu saatnya untuk membakar segala ketidakpastian.Ia tidak berkedip. Tidak ada gemetar di wajahnya, tidak ada getaran di tubuhnya. Namun di balik ketenangan itu, semesta seperti bergetar dalam diam.Master Wang mengamati Shin Tian dengan tatapan penuh kehati-hatian. Suaranya keluar pelan, seperti desir angin di atas pegunungan yang sunyi.“Dunia ini akan mulai bergerak, Tian,” katanya, dengan nada yang mengandung firasat. “Musuh dari masa lalu… dan bahkan mereka yang belum dilahirkan… akan mulai mencarimu.”Kalimat itu menggantung di udara, menggema dalam kesunyian yang tiba-tiba menjadi berat. Angin malam menyusup masuk dari celah-celah jendela kayu tua. Tirai bergoyang perlahan, seolah menyambut sesuatu yang tak terlihat. Bau tanah basah, dedaunan t
Dari balik salah satu pilar batu besar yang tertelan bayangan matahari pagi, sepasang mata tajam berkilat seperti bilah pisau yang baru diasah. Udara di sekitar pilar itu terasa lebih dingin, seolah kehadiran seseorang di sana mampu menyedot cahaya dan kehangatan dari ruang di sekitarnya.Sosok berjubah biru gelap itu berdiri diam dan tak bergerak sama sekali. Hanya matanya yang tampak mencolok—penuh perhitungan, rasa iri yang mengakar, dan keserakahan yang nyaris menetes dari setiap tatapannya.Hu Lei.Murid tertua Master Wang, dan yang selama ini selalu merasa tidak diperhatikan.Di sudut bibirnya, muncul sebuah senyuman tipis. Bukan senyuman bahagia—melainkan senyuman yang menyimpan dendam dan rencana.Suara langkah Master Wang dan Shin Tian yang tenang terdengar seperti gema yang mengiris ruangan praktek alkimia. Hu Lei menyimak setiap kata, setiap nada bicara yang meluncur dari bibir guru yang dulu ia kagumi, tapi kini ia ragukan.“Alat itu... bisa menembus batas waktu?”Bisikan
Nada suara Master Wang membuat jantung Shin Ling berdebar. Ada ketegangan di sana, sesuatu yang asing dari sosok Master yang biasanya santai. Bahkan udara di sekitar mereka terasa sedikit lebih berat.Shin Ling menelan ludah. Ia menatap Shin Tian seolah bertanya tanpa suara ... apa sebenarnya yang ingin kau tanyakan tadi...?Namun Shin Tian, dengan wajah serius dan tatapan penuh keyakinan, melangkah maju. Suaranya dalam dan tegas."Maaf, Master. Tapi aku butuh alat itu. Tanpa alat itu... aku tidak bisa kembali ke tempat asalku."Keheningan menggantung. Api obor berkerlap-kerlip, seperti menari dengan resah. Suara desiran angin yang masuk dari ventilasi batu terdengar nyaring di telinga mereka yang kini dicekam oleh sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar rasa ingin tahu—sebuah rahasia yang tersembunyi di balik logam dingin dan kenangan lama yang belum terungkap.“Aku tahu.”Suara itu tenang namun dalam, seperti tetesan air yang jatuh ke dalam sumur tua—pelan, tapi menggema jauh ke
"Master Wang!"Seruan serempak itu menggema memenuhi ruang praktik alkimia seperti gemuruh petir yang mengguncang langit musim panas. Para murid berdiri tegak, sebagian masih tertutup jelaga dan asap tipis yang mengepul dari jubah mereka, aroma khas bahan alkimia yang terbakar menyengat di udara.Dari balik pintu kayu berat yang berderit pelan, muncullah seorang pria paruh baya dengan jubah coklat kemerahan yang berkibar ringan saat ia melangkah masuk. Matanya yang tajam menyapu ruangan sebelum akhirnya melengkung penuh tawa."Hahaha... apa yang sedang terjadi di sini?" tanyanya sambil menyeka sudut matanya, seolah-olah baru saja menyaksikan sandiwara lucu.Aura serius yang sempat membalut dirinya seketika mencair bersama tawa renyahnya. Murid-murid yang tadinya menahan napas, kini mulai berani menghela lega meski beberapa masih canggung berdiri di antara pecahan botol, genangan cairan hijau, dan kepulan asap dari meja yang gosong.Shin Lin, seorang gadis muda dengan mata bersinar pen
Shin Tian terdiam, mata hitamnya menatap lurus ke arah gadis yang berdiri di hadapannya. Riak-riak keraguan menyelinap di benaknya. Ini—apa yang mereka pertaruhkan—terasa bodoh, sembrono. Tapi di sisi lain, ia mengenal siapa Shin Ling. Gadis itu keras kepala seperti batu karang, dan ketika ia sudah memutuskan sesuatu, bahkan badai pun takkan menggoyahkannya.Suara napasnya terdengar pelan saat ia menarik udara dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Dengan ekspresi serius, ia mengangguk.“Baiklah,” ucapnya mantap. “Tapi jangan menangis kalau kamu kalah.”Senyum di wajah Shin Ling melebar seperti bulan sabit yang nakal. Matanya menyala, penuh gairah seperti api yang baru disulut. “Kita lihat saja nanti.”Tanpa membuang waktu, ia melangkah ke tungku alkemisnya. Tangan rampingnya mulai bergerak cekatan, mengambil satu per satu bahan herbal dari kotak kayu ukir—akar ginseng yang tampak masih segar, daun ungu beraroma tajam, dan serbuk kristal putih yang bersinar redup di bawah cahaya
Langkah-langkah ringan Shin Ling menggema lembut di sepanjang lantai batu giok aula besar, tiap hentakannya terdengar mantap namun anggun, seperti alunan melodi yang menyatu dengan udara penuh konsentrasi. Gaun alkemisnya berkibar lembut mengikuti gerakan tubuhnya, memancarkan aura percaya diri yang tak dibuat-buat. Aroma tajam herbal yang sedang diekstrak memenuhi ruangan—paduan antara akar pahit, dedaunan hangus, dan bau manis menyengat dari bunga-bunga eksotis yang hanya tumbuh di lembah tersembunyi.Asap putih tipis merayap dari tungku-tungku perunggu yang berderet rapi di setiap sisi aula, membentuk pusaran kecil yang naik ke langit-langit tinggi. Di dalam kepulan itu, aroma minyak atsiri dan obat-obatan kuno menciptakan kabut tipis yang membuat mata sedikit perih, namun justru membuat suasana semakin sakral.Shin Tian berjalan di belakangnya, langkahnya melambat saat matanya menyapu seluruh ruangan. Aura tempat itu nyaris magis. Puluhan pria dan wanita muda, kira-kira seumuranny