Deras hujan menari-nari di atas atap Menara Lonceng, memercik di atas bebatuan yang dingin dan licin. Udara malam yang basah dan dingin terasa menyesakkan, seperti ikut menindih dada Shin Tian yang sudah penuh luka.
Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena udara dingin yang menusuk kulit, tapi juga karena kemarahan yang membuncah dalam dadanya. Ia berdiri dengan susah payah, darah menetes dari sudut bibirnya, mencampur air hujan di pipi.
"Beraninya... kalian memukulku!" desisnya, mencoba menegakkan tubuh dan suaranya yang bergetar. Mata hitamnya menatap tajam meski mulai memerah. "Kalau Ayah tahu... ia akan menghukum kalian... dengan seberat-beratnya!"
Ia merasa terhina dengan perlakuan mereka. Ia adalah pewaris pimpinan Keluarga Shin tapi ia tidak dihargai sama sekali oleh sekelompok pemuda yang masuk kasta rendah dalam Keluarga Shin.
Suara tawa mengejek membelah udara, kasar dan penuh hinaan. Seorang pemuda berambut acak-acakan melangkah maju, sorot matanya dingin bagai binatang buas yang mencium aroma darah.
"Ayahmu?" katanya sambil menyeringai. "Hah! Masih juga kau berlindung di balik bayangannya? Kau pikir dia masih peduli? Dia bahkan tak pernah menengokmu lagi sejak kegagalanmu di ujian klan!"
Shin Tian mengepalkan tangannya, buku-bukunya memutih. Kata-kata itu menancap lebih tajam dari pedang. Tapi ia tidak akan tunduk. Tidak sekarang. Tidak di hadapan mereka.
"Kurang ajar... kalian sudah kelewat batas!" raungnya, lalu melompat dengan sisa tenaga, melayangkan tinju ke wajah pemuda yang menghina ayahnya.
Namun...
Tinju itu hanya mengenai angin dann tidak bertenaga.
Tanpa aliran Qi yang dulu mengalir deras dalam tubuhnya, serangannya tak ubahnya seperti bayangan yang lewat.
PLAAAK!
Tamparan keras meledak di wajahnya, dan dunia seolah berputar. Tubuhnya terlempar seperti boneka kain, membentur pilar batu Menara Lonceng. Rasa nyeri menjalar tajam dari pipi ke leher, dan cairan hangat mengalir dari bibir yang pecah.
"Hhh—hahh..." napasnya tersengal, dadanya turun naik.
Langkah berat mendekat, bergema di antara denting hujan dan dentuman petir di kejauhan. Sosok bertubuh kekar—pemimpin dari kelompok itu—berdiri di hadapannya, tatapannya seperti palu yang siap menghancurkan harapan.
"Aku akan menghancurkan mesin iblismu itu," ucapnya dingin. "Dan aku sendiri yang akan melaporkan semua ini ke ayahmu. Kita lihat siapa yang benar-benar akan dihukum."
Shin Tian langsung membelalak, panik merayap naik ke tenggorokannya. Ia menggeleng cepat, kakinya lemas.
"Ja-jangan!" teriaknya. "Tunggu! Jangan sentuh itu!"
Namun tangan pemuda itu sudah terjulur menuju Mesin Waktu—alat yang Shin Tian bangun dengan cucuran keringat, darah, dan tekad selama bertahun-tahun.
Lalu...
BRATAKKK!!!
Petir menyambar! Tombak logam yang tertancap di atas menara menggelepar diterjang kilat. Kilasan cahaya putih membelah langit dan menyambar ujung Mesin Waktu, menyalurkan energi gila yang langsung meledak dalam semburan cahaya.
"AAAARGHH!"
Semua orang di sekitar terhempas oleh gelombang energi yang liar dan tidak terkendali. Tanah bergetar. Udara seperti terkoyak.
Dari pusat mesin, sebuah lingkaran cahaya biru muncul—berputar pelan, lalu semakin cepat, membentuk pusaran seperti mata badai. Cahaya dari pusaran itu menyilaukan, dan udara di sekitarnya berdesing tajam.
Shin Tian menatapnya, tubuhnya gemetar, bukan oleh ketakutan, tapi oleh campuran adrenalin dan harapan yang menyala kembali.
"Akhirnya..." bisiknya. "...kesempatanku. Satu-satunya jalan keluar dari Keluarga Shin... Aku harus mencari jawaban!"
Tanpa ragu, ia berlari. Langkahnya tidak sempurna—terbata, tapi mantap. Ia lompat ke dalam pusaran energi, membiarkan tubuhnya diseret oleh kekuatan besar yang tak bisa ditahan.
Namun...
Saat cahaya mengelilingi tubuhnya, sensasi aneh menjalar ke seluruh syarafnya. Ruang seolah terbalik, waktu terasa mengalir mundur dan maju sekaligus. Detak jantungnya tak beraturan. Dunia di sekelilingnya membias dan bergetar.
Lalu, semuanya sunyi.
Ketika ia membuka mata, bukan masa depan yang ia kenali yang menyambutnya.
Tanah di bawah kakinya kasar dan berdebu, langitnya merah saga, dan udara membawa aroma asing yang tajam. Ia berdiri di tempat yang belum pernah dilihatnya.
Shin Tian terdiam, matanya membulat.
"Aku... di mana ini?"
Ia telah terbawa ke waktu yang salah.
Suara desir angin bergaung samar di telinganya. Perlahan, kesadaran Shin Tian mulai merangkak kembali dari kegelapan. Ia menggeliat pelan, tubuhnya terasa seperti dihantam batu besar—berat, nyeri, dan tak sepenuhnya berada di bawah kendalinya.“Ugh… aku… ada di mana?” gumamnya pelan. Suaranya terdengar parau, seperti bisikan dari balik kabut tebal. Ia memejamkan mata sejenak sebelum mencoba membukanya.Kelopak matanya terbuka perlahan, dan cahaya temaram yang hangat menembus pandangan yang masih buram. Pandangan itu menari-nari, bergetar, sebelum akhirnya mulai menetap. Aroma khas kayu tua, bercampur debu dan sedikit jejak dupa, langsung menyeruak masuk ke dalam hidungnya, menampar kesadarannya.Ia tersentak.Tempat ini jelas bukan halaman belakang kediaman Keluarga Shin yang ia kenal sejak kecil. Ruangan itu sempit, dikelilingi oleh dinding batu yang dihiasi relief-relief tua—ukiran yang tampak hidup dalam keremangan cahaya. Ukiran naga yang menggulung, simbol-simbol kuno yang asing
"Kuil Dewa Alkemis..." gumam Shin Tian dengan suara bergetar, nyaris seperti bisikan yang terlepas tanpa sadar dari bibirnya.Udara pagi yang dingin menusuk hingga ke tulang. Di depannya, kuil kuno berdiri kokoh di tengah kabut tipis, dikelilingi pohon-pohon tua yang daunnya berguguran pelan tertiup angin. Setiap helai daun yang jatuh seolah membawa bisikan masa lalu.Legenda tentang tempat ini telah lama menghantui kisah-kisah para kultivator—sebuah kuil yang menyimpan rahasia Kitab Dewa Alkemis. Konon, kitab itu menyimpan teknik pemurnian pil-pil langka, termasuk Pil Immortal—pil legendaris yang mampu membawa kultivator melesat langsung ke ranah Immortal, melewati semua tingkatan yang biasanya harus ditembus dengan bertahun-tahun latihan dan penderitaan.Jantung Shin Tian berdebar seperti genderang perang. Tangan kanannya mengepal erat, seolah ingin menggenggam takdir itu sendiri.“Jika ini benar-benar masa itu... berarti dia masih hidup,” bisiknya, suara tercekat antara kekaguman d
Langkah-langkah ringan Shin Ling menggema lembut di sepanjang lantai batu giok aula besar, tiap hentakannya terdengar mantap namun anggun, seperti alunan melodi yang menyatu dengan udara penuh konsentrasi. Gaun alkemisnya berkibar lembut mengikuti gerakan tubuhnya, memancarkan aura percaya diri yang tak dibuat-buat. Aroma tajam herbal yang sedang diekstrak memenuhi ruangan—paduan antara akar pahit, dedaunan hangus, dan bau manis menyengat dari bunga-bunga eksotis yang hanya tumbuh di lembah tersembunyi.Asap putih tipis merayap dari tungku-tungku perunggu yang berderet rapi di setiap sisi aula, membentuk pusaran kecil yang naik ke langit-langit tinggi. Di dalam kepulan itu, aroma minyak atsiri dan obat-obatan kuno menciptakan kabut tipis yang membuat mata sedikit perih, namun justru membuat suasana semakin sakral.Shin Tian berjalan di belakangnya, langkahnya melambat saat matanya menyapu seluruh ruangan. Aura tempat itu nyaris magis. Puluhan pria dan wanita muda, kira-kira seumuranny
Shin Tian terdiam, mata hitamnya menatap lurus ke arah gadis yang berdiri di hadapannya. Riak-riak keraguan menyelinap di benaknya. Ini—apa yang mereka pertaruhkan—terasa bodoh, sembrono. Tapi di sisi lain, ia mengenal siapa Shin Ling. Gadis itu keras kepala seperti batu karang, dan ketika ia sudah memutuskan sesuatu, bahkan badai pun takkan menggoyahkannya.Suara napasnya terdengar pelan saat ia menarik udara dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Dengan ekspresi serius, ia mengangguk.“Baiklah,” ucapnya mantap. “Tapi jangan menangis kalau kamu kalah.”Senyum di wajah Shin Ling melebar seperti bulan sabit yang nakal. Matanya menyala, penuh gairah seperti api yang baru disulut. “Kita lihat saja nanti.”Tanpa membuang waktu, ia melangkah ke tungku alkemisnya. Tangan rampingnya mulai bergerak cekatan, mengambil satu per satu bahan herbal dari kotak kayu ukir—akar ginseng yang tampak masih segar, daun ungu beraroma tajam, dan serbuk kristal putih yang bersinar redup di bawah cahaya
"Master Wang!"Seruan serempak itu menggema memenuhi ruang praktik alkimia seperti gemuruh petir yang mengguncang langit musim panas. Para murid berdiri tegak, sebagian masih tertutup jelaga dan asap tipis yang mengepul dari jubah mereka, aroma khas bahan alkimia yang terbakar menyengat di udara.Dari balik pintu kayu berat yang berderit pelan, muncullah seorang pria paruh baya dengan jubah coklat kemerahan yang berkibar ringan saat ia melangkah masuk. Matanya yang tajam menyapu ruangan sebelum akhirnya melengkung penuh tawa."Hahaha... apa yang sedang terjadi di sini?" tanyanya sambil menyeka sudut matanya, seolah-olah baru saja menyaksikan sandiwara lucu.Aura serius yang sempat membalut dirinya seketika mencair bersama tawa renyahnya. Murid-murid yang tadinya menahan napas, kini mulai berani menghela lega meski beberapa masih canggung berdiri di antara pecahan botol, genangan cairan hijau, dan kepulan asap dari meja yang gosong.Shin Lin, seorang gadis muda dengan mata bersinar pen
Nada suara Master Wang membuat jantung Shin Ling berdebar. Ada ketegangan di sana, sesuatu yang asing dari sosok Master yang biasanya santai. Bahkan udara di sekitar mereka terasa sedikit lebih berat.Shin Ling menelan ludah. Ia menatap Shin Tian seolah bertanya tanpa suara ... apa sebenarnya yang ingin kau tanyakan tadi...?Namun Shin Tian, dengan wajah serius dan tatapan penuh keyakinan, melangkah maju. Suaranya dalam dan tegas."Maaf, Master. Tapi aku butuh alat itu. Tanpa alat itu... aku tidak bisa kembali ke tempat asalku."Keheningan menggantung. Api obor berkerlap-kerlip, seperti menari dengan resah. Suara desiran angin yang masuk dari ventilasi batu terdengar nyaring di telinga mereka yang kini dicekam oleh sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar rasa ingin tahu—sebuah rahasia yang tersembunyi di balik logam dingin dan kenangan lama yang belum terungkap.“Aku tahu.”Suara itu tenang namun dalam, seperti tetesan air yang jatuh ke dalam sumur tua—pelan, tapi menggema jauh ke
Dari balik salah satu pilar batu besar yang tertelan bayangan matahari pagi, sepasang mata tajam berkilat seperti bilah pisau yang baru diasah. Udara di sekitar pilar itu terasa lebih dingin, seolah kehadiran seseorang di sana mampu menyedot cahaya dan kehangatan dari ruang di sekitarnya.Sosok berjubah biru gelap itu berdiri diam dan tak bergerak sama sekali. Hanya matanya yang tampak mencolok—penuh perhitungan, rasa iri yang mengakar, dan keserakahan yang nyaris menetes dari setiap tatapannya.Hu Lei.Murid tertua Master Wang, dan yang selama ini selalu merasa tidak diperhatikan.Di sudut bibirnya, muncul sebuah senyuman tipis. Bukan senyuman bahagia—melainkan senyuman yang menyimpan dendam dan rencana.Suara langkah Master Wang dan Shin Tian yang tenang terdengar seperti gema yang mengiris ruangan praktek alkimia. Hu Lei menyimak setiap kata, setiap nada bicara yang meluncur dari bibir guru yang dulu ia kagumi, tapi kini ia ragukan.“Alat itu... bisa menembus batas waktu?”Bisikan
Tatapan Shin Tian terkunci pada Master Wang. Matanya yang gelap tampak seperti danau dalam malam yang tenang—dalam, dalam sekali—namun di dasarnya, ada api yang menyala. Bukan kobaran liar, melainkan bara yang telah lama dipendam, menunggu saatnya untuk membakar segala ketidakpastian.Ia tidak berkedip. Tidak ada gemetar di wajahnya, tidak ada getaran di tubuhnya. Namun di balik ketenangan itu, semesta seperti bergetar dalam diam.Master Wang mengamati Shin Tian dengan tatapan penuh kehati-hatian. Suaranya keluar pelan, seperti desir angin di atas pegunungan yang sunyi.“Dunia ini akan mulai bergerak, Tian,” katanya, dengan nada yang mengandung firasat. “Musuh dari masa lalu… dan bahkan mereka yang belum dilahirkan… akan mulai mencarimu.”Kalimat itu menggantung di udara, menggema dalam kesunyian yang tiba-tiba menjadi berat. Angin malam menyusup masuk dari celah-celah jendela kayu tua. Tirai bergoyang perlahan, seolah menyambut sesuatu yang tak terlihat. Bau tanah basah, dedaunan t
Shin Tian mengepalkan rahangnya, giginya mengatup erat hingga terasa gemetar di pelipis. Amarah yang mendidih memenuhi dadanya, panas dan menusuk. Ia tahu rasa itu—rasa saat melihat ketidakadilan berdarah-darah di hadapannya.Namun, ia juga merasa ada sesuatu yang aneh. Ada sesuatu dalam cara gadis ini bicara... dalam caranya bergetar... seolah-olah semua ini adalah bagian dari permainan yang lebih besar. Tapi sekarang, yang lebih penting adalah menyelamatkannya.Ia bukan orang yang bodoh tapi ia harus berpura-pura bodoh untuk melihat rencana gadis ini seperti apa ke depannya ... atau mungkin memang gadis ini benar-benar terluka dan firasat itu hanya perasaan curiganya saja."Jangan khawatir," kata Shin Tian akhirnya, suaranya mantap bagai batu karang di tengah badai. "Aku akan membawamu ke tempat yang aman."Dengan penuh kehati-hatian, ia menyelipkan lengannya di bawah tubuh gadis itu dan membantunya berdiri. Tubuh Red Shadow terasa sangat ringan di tangannya—begitu ringan, hingga me
Malam berikutnya turun perlahan, membawa embun dingin yang menggantung berat di udara. Kabut tipis merayap dari dasar tanah, membuat dunia terlihat seolah baru terlahir dari mimpi. Di jalan setapak berbatu dekat Kuil Dewa Alkemis, suara langkah kaki terseret pelan-pelan merusak keheningan.Dari balik gelapnya rimbun pepohonan, sebuah bayangan merah terseok-seok keluar, seakan didorong oleh angin malam yang menusuk tulang. Seorang gadis—gaunnya koyak tak beraturan, seolah-olah direnggut paksa oleh tangan-tangan tak kasatmata—muncul dari kegelapan. Robekan pada kain lusuhnya memperlihatkan kulit pucat yang dipenuhi goresan dan bercak darah kering, menghitam di bawah sinar rembulan.Rambut hitam legamnya tergerai liar, kusut seperti benang kusut diterjang badai, sebagian menutupi wajahnya. Sebuah topeng merah, pecah di satu sisinya, bertengger miring, hanya menyisakan celah sempit tempat sepasang mata gelap memandang dunia dengan ketakutan yang menusuk hati siapa pun yang melihat.Langka
Kabut pekat menyelimuti hutan selatan seperti selimut diam yang menelan suara dan cahaya. Aroma tanah basah bercampur dedaunan membusuk menusuk hidung, menciptakan atmosfer yang membuat tengkuk siapa pun meremang. Pepohonan tua menjulang tinggi bak penjaga kuno yang telah lama tertidur, namun malam ini mereka tampak memperhatikan.Tak ada desir angin. Tak seekor burung pun berkicau. Bahkan jangkrik memilih bungkam. Alam seolah menahan napas ketika sosok misterius melangkah di antara bayangan—langkahnya ringan seperti desir angin, nyaris tak terdengar.Ia dikenal hanya sebagai Bayangan Ketiga dalam catatan rahasia Sekte Ular Berkepala Dua. Namun di dunia bawah, dalam bisikan penuh ketakutan dan hormat, ia dijuluki Red Shadow.Sosok ramping sempurna itu mengenakan gaun merah darah yang bergerak seperti kabut saat ia berjalan, menyatu dengan malam. Di wajahnya, sebuah topeng merah pekat menyembunyikan identitasnya—topeng yang dihiasi garis halus menyerupai tetesan darah dan retakan halus
Langkah kaki Master Wang terdengar pelan namun mantap, menggema di koridor batu yang dingin. Gaun jubah kultivasinya berkibar pelan mengikuti hembusan angin yang menyelinap masuk dari celah-celah dinding tua. Cahaya lentera yang tergantung di atas mereka melemparkan bayangan panjang di lantai, seakan menggambarkan kegelisahan yang ia simpan dalam diam.Tatapan mata tua itu, yang biasanya tenang dan penuh wibawa, kini mengandung campuran rumit antara kekaguman, kelegaan, dan kecemasan yang menjerat dada. Ia berhenti hanya beberapa langkah dari sosok muda yang berdiri membelakangi cahaya remang.“Tian…” suaranya parau, seperti tergores angin malam. “Kau... baik-baik saja?”Shin Tian menoleh perlahan, rambut hitamnya yang panjang tergerai dan sedikit menutupi wajahnya yang kini jauh lebih matang daripada terakhir kali mereka bertemu. Matanya redup, namun ada percikan cahaya di dalamnya—sebuah nyala kecil dari sesuatu yang lebih besar dan lebih dalam.“Aku tidak sendiri lagi, Master,” uca
Shin Tian takjub melihat Cakram Waktu yang teknologinya jauh lebih maju dari teknologi yang diciptakannya.Dan di dalam kedalaman kristal itu… jiwa itu mulai terbangun.Awalnya hanya seberkas cahaya samar yang berdenyut di tengah cakram, seperti napas pertama dari sesuatu yang telah lama tertidur. Lalu, perlahan, denyut itu menjadi lebih kuat, memancar ke seluruh ruangan seperti gelombang kehangatan yang tidak berasal dari dunia ini.Aura biru menyebar, menari di dinding batu seperti roh kuno yang bangkit dari kegelapan. Ada sesuatu dalam cahaya itu—sesuatu yang membuat kulit bergidik, seolah ruangan ini tak lagi menjadi milik mereka, tapi telah menjadi altar bagi kekuatan yang telah lama tersegel.Shin Tian menatap ke arah pusat cahaya itu. Pupil matanya perlahan melebar, seolah ditarik oleh kekuatan tak terlihat yang mengalir dari inti kristal. Dunia di sekelilingnya mulai kabur. Suara api, desir angin, bahkan detak jantungnya sendiri—lenyap. Hening total. Sunyi yang begitu dalam, i
Tatapan Shin Tian terkunci pada Master Wang. Matanya yang gelap tampak seperti danau dalam malam yang tenang—dalam, dalam sekali—namun di dasarnya, ada api yang menyala. Bukan kobaran liar, melainkan bara yang telah lama dipendam, menunggu saatnya untuk membakar segala ketidakpastian.Ia tidak berkedip. Tidak ada gemetar di wajahnya, tidak ada getaran di tubuhnya. Namun di balik ketenangan itu, semesta seperti bergetar dalam diam.Master Wang mengamati Shin Tian dengan tatapan penuh kehati-hatian. Suaranya keluar pelan, seperti desir angin di atas pegunungan yang sunyi.“Dunia ini akan mulai bergerak, Tian,” katanya, dengan nada yang mengandung firasat. “Musuh dari masa lalu… dan bahkan mereka yang belum dilahirkan… akan mulai mencarimu.”Kalimat itu menggantung di udara, menggema dalam kesunyian yang tiba-tiba menjadi berat. Angin malam menyusup masuk dari celah-celah jendela kayu tua. Tirai bergoyang perlahan, seolah menyambut sesuatu yang tak terlihat. Bau tanah basah, dedaunan t
Dari balik salah satu pilar batu besar yang tertelan bayangan matahari pagi, sepasang mata tajam berkilat seperti bilah pisau yang baru diasah. Udara di sekitar pilar itu terasa lebih dingin, seolah kehadiran seseorang di sana mampu menyedot cahaya dan kehangatan dari ruang di sekitarnya.Sosok berjubah biru gelap itu berdiri diam dan tak bergerak sama sekali. Hanya matanya yang tampak mencolok—penuh perhitungan, rasa iri yang mengakar, dan keserakahan yang nyaris menetes dari setiap tatapannya.Hu Lei.Murid tertua Master Wang, dan yang selama ini selalu merasa tidak diperhatikan.Di sudut bibirnya, muncul sebuah senyuman tipis. Bukan senyuman bahagia—melainkan senyuman yang menyimpan dendam dan rencana.Suara langkah Master Wang dan Shin Tian yang tenang terdengar seperti gema yang mengiris ruangan praktek alkimia. Hu Lei menyimak setiap kata, setiap nada bicara yang meluncur dari bibir guru yang dulu ia kagumi, tapi kini ia ragukan.“Alat itu... bisa menembus batas waktu?”Bisikan
Nada suara Master Wang membuat jantung Shin Ling berdebar. Ada ketegangan di sana, sesuatu yang asing dari sosok Master yang biasanya santai. Bahkan udara di sekitar mereka terasa sedikit lebih berat.Shin Ling menelan ludah. Ia menatap Shin Tian seolah bertanya tanpa suara ... apa sebenarnya yang ingin kau tanyakan tadi...?Namun Shin Tian, dengan wajah serius dan tatapan penuh keyakinan, melangkah maju. Suaranya dalam dan tegas."Maaf, Master. Tapi aku butuh alat itu. Tanpa alat itu... aku tidak bisa kembali ke tempat asalku."Keheningan menggantung. Api obor berkerlap-kerlip, seperti menari dengan resah. Suara desiran angin yang masuk dari ventilasi batu terdengar nyaring di telinga mereka yang kini dicekam oleh sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar rasa ingin tahu—sebuah rahasia yang tersembunyi di balik logam dingin dan kenangan lama yang belum terungkap.“Aku tahu.”Suara itu tenang namun dalam, seperti tetesan air yang jatuh ke dalam sumur tua—pelan, tapi menggema jauh ke
"Master Wang!"Seruan serempak itu menggema memenuhi ruang praktik alkimia seperti gemuruh petir yang mengguncang langit musim panas. Para murid berdiri tegak, sebagian masih tertutup jelaga dan asap tipis yang mengepul dari jubah mereka, aroma khas bahan alkimia yang terbakar menyengat di udara.Dari balik pintu kayu berat yang berderit pelan, muncullah seorang pria paruh baya dengan jubah coklat kemerahan yang berkibar ringan saat ia melangkah masuk. Matanya yang tajam menyapu ruangan sebelum akhirnya melengkung penuh tawa."Hahaha... apa yang sedang terjadi di sini?" tanyanya sambil menyeka sudut matanya, seolah-olah baru saja menyaksikan sandiwara lucu.Aura serius yang sempat membalut dirinya seketika mencair bersama tawa renyahnya. Murid-murid yang tadinya menahan napas, kini mulai berani menghela lega meski beberapa masih canggung berdiri di antara pecahan botol, genangan cairan hijau, dan kepulan asap dari meja yang gosong.Shin Lin, seorang gadis muda dengan mata bersinar pen