Share

06. Menara Lonceng

Author: Bebby
last update Last Updated: 2025-04-14 04:44:50

Udara malam terasa berat, lembap, dan penuh listrik. Di tengah bengkel tersembunyi yang penuh roda-roda gigi, kabel-kabel berserakan, dan bau logam yang tajam, berdiri Shin Tian. Ia berdiri terpaku, matanya menyapu siluet mesin waktu yang menjulang seperti raksasa logam dalam kabut tipis uap panas. Mesin itu tak hanya sekadar alat ciptaannya—itu adalah puncak dari semua malam tanpa tidur, goresan luka karena eksperimen gagal, dan mimpi-mimpi yang ia rawat dalam diam.

Ia menarik napas dalam-dalam. Udara masuk ke paru-parunya, dingin dan penuh aroma besi.

Akhirnya...

Namun jauh di dalam relung hatinya yang paling dalam, kehampaan menggeliat. Bukan kehampaan karena kelelahan atau keraguan. Tapi karena sosok yang tak pernah memberinya tatapan bangga—ayahnya. Kepala Keluarga Shin. Seorang pria berwajah batu dan suara sekeras baja tempa.

"Jika kau tidak menjadi kultivator, kau bukan siapa-siapa di keluarga ini." Kata-kata itu masih terngiang jelas, seperti cambuk yang tak kasat mata tapi meninggalkan bekas.

Shin Tian mengepalkan tangan. Ujung kukunya menusuk telapak.

"Bukan saatnya untuk tenggelam dalam perasaan," gumamnya, memaksa dirinya kembali fokus. Ia menatap ke arah aliran sungai yang deras mengalir tak jauh dari jendela bengkel. Gemuruh air mengisi telinganya, seolah dunia tengah bernapas bersamanya.

"Tenaga dari turbin air masih belum cukup... aku butuh lebih," katanya lirih.

Tiba-tiba—

DUUUAAAARRRR!

Langit mengerang. Cahaya putih menyilaukan membelah langit dan menerangi seluruh bengkel sejenak, memperlihatkan bayangan mesin waktu yang bergetar oleh dentuman petir yang baru saja menyambar jauh di kejauhan. Getarannya merambat hingga ke kaki Shin Tian.

Matanya membelalak. Bibirnya ternganga, lalu perlahan tertarik membentuk senyum kecil—penuh antusiasme, bahkan sedikit kegilaan.

"Petir," bisiknya, hampir tak percaya. "Kenapa aku tidak memikirkannya sejak awal?! Energi petir... itu jawabannya!"

Tangannya langsung meraih buku catatannya, mencoret-coret ide dengan pensil yang gemetar karena adrenalin.

"Aku hanya butuh penangkap... sesuatu yang bisa mengubah petir jadi energi listrik." Ia berbicara seolah pada dirinya sendiri, pikirannya berpacu lebih cepat dari kata-katanya. Tapi satu bayangan menghalangi—tempat yang cukup tinggi untuk memancing sambaran petir.

Dan saat itu, satu nama muncul di benaknya seperti kilat menyambar langit.

"Menara Lonceng."

Ia menelan ludah. Menara itu menjulang di ujung pemukiman Keluarga Shin, bangunan keramat yang dijaga ketat. Larangan memasuki tanpa izin adalah hukum yang tidak tertulis, tapi mutlak. Ayahnya menyebut menara itu sebagai “tulang punggung kehormatan keluarga.” Melanggar berarti mengkhianati garis darah.

Tapi Shin Tian hanya berdiri lebih tegak.

“Kalau aku harus melanggarnya demi membuktikan diri… maka biarlah begitu.”

Langkahnya menyusuri lorong-lorong belakang pemukiman seperti bayangan. Sepatu botnya nyaris tak bersuara di atas tanah becek. Cahaya obor yang berjaga-jaga di kejauhan memantul di dinding batu, sesekali menampilkan siluetnya yang ramping tapi teguh.

Ia tahu para penjaga muda sering terlena di malam hujan begini. Dengan mengandalkan celah waktu itu, ia menyelinap ke dalam gudang senjata. Udara di dalamnya lembap dan sarat debu tua yang mengendap di setiap sudut. Bau logam karatan bercampur bau kayu lapuk menusuk hidungnya.

Matanya mencari cepat di antara rak-rak yang berderit. Dan di sudut ruangan, matanya menangkap kilatan logam. Sebuah tombak besi—panjang, kokoh, dengan ujung yang masih tajam meski usianya tua.

“Ini dia,” desisnya sambil meraih tombak itu. Logam dingin menyentuh telapak tangannya, membuat jari-jarinya sedikit kaku.

Di samping tombak itu, ia mengambil gulungan kawat tembaga hasil eksperimen lamanya. Ia mengangguk kecil. Semuanya siap.

Langit sudah kelam saat ia tiba di kaki Menara Lonceng. Angin menderu seperti lolongan serigala, menusuk pori-pori lewat jubahnya yang basah diterpa rintik hujan.

Ia menengadah.

Menara menjulang seperti raksasa batu, tak bergerak namun menyimpan ancaman.

“Ayo, Tian,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Jangan ragu sekarang.”

Tangan dan kakinya mulai memanjat, mencengkeram celah kayu dan batu yang dingin dan licin. Hujan mengguyur wajahnya, menciptakan garis-garis dingin di kulitnya. Napasnya memburu, dada sesak karena ketinggian dan rasa takut yang coba ditepis. Tapi ia tak berhenti.

Setelah perjuangan panjang yang membuat tubuhnya nyaris mati rasa, ia tiba di puncak. Angin di sini lebih buas, mencambuk wajah dan telinganya tanpa ampun. Tapi pandangannya tetap terarah—ke langit.

Ia mengikat tombak besi di ujung menara, tangannya gemetar tapi mantap. Jemarinya membungkus kawat tembaga di sekeliling tombak, satu lilitan demi satu lilitan, seperti menyulam benang harapan.

Setelah semuanya selesai, ia berdiri tegak. Jubahnya berkibar liar. Petir kembali menyambar kejauhan, menyinari wajahnya yang basah dan bersinar oleh semangat membara.

“Aku akan tunjukkan padamu, Ayah... bahwa aku bisa mengukir takdirku sendiri.”

Ia menatap langit dengan mata penuh tekad. Kini, bukan hanya kilat yang menunggu waktu untuk menyambar—Shin Tian pun demikian.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Legenda Sang Genius Immortal   07. Menunggu Sambaran Petir

    Langit di atas kediaman Keluarga Shin menghitam, menggantung berat seperti pertanda kutukan yang hendak turun. Awan bergulung-gulung seperti naga kelabu, dan rintik hujan mulai menari di udara, menciptakan irama lembut yang menghantam genting tua menara tua keluarga. Udara terasa lembap dan bergetar oleh energi yang belum meledak—seperti napas yang ditahan semesta.Di puncak menara itu, Shin Tian berdiri sendiri, tubuhnya kaku, jantungnya berdebar seolah ingin memberontak keluar dari dadanya. Nafasnya berat, mengembuskan uap tipis yang menyatu dengan hawa dingin. Di depannya, sebuah mesin aneh berbentuk silinder perunggu berdiri diam, kabel-kabel berserakan bagai akar tanaman yang mencari tanah. Ia mendongak, menatap langit dengan mata penuh harap."Hanya tinggal menunggu petir menyambar," gumamnya, nyaris seperti doa yang ditelan angin. Wajahnya basah—entah karena hujan atau keringat—namun matanya bersinar dengan tekad yang tak bisa dipadamkan.Jika petir itu datang, jika rencananya

    Last Updated : 2025-04-14
  • Legenda Sang Genius Immortal   08. Waktu Yang Salah

    Deras hujan menari-nari di atas atap Menara Lonceng, memercik di atas bebatuan yang dingin dan licin. Udara malam yang basah dan dingin terasa menyesakkan, seperti ikut menindih dada Shin Tian yang sudah penuh luka.Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena udara dingin yang menusuk kulit, tapi juga karena kemarahan yang membuncah dalam dadanya. Ia berdiri dengan susah payah, darah menetes dari sudut bibirnya, mencampur air hujan di pipi."Beraninya... kalian memukulku!" desisnya, mencoba menegakkan tubuh dan suaranya yang bergetar. Mata hitamnya menatap tajam meski mulai memerah. "Kalau Ayah tahu... ia akan menghukum kalian... dengan seberat-beratnya!"Ia merasa terhina dengan perlakuan mereka. Ia adalah pewaris pimpinan Keluarga Shin tapi ia tidak dihargai sama sekali oleh sekelompok pemuda yang masuk kasta rendah dalam Keluarga Shin.Suara tawa mengejek membelah udara, kasar dan penuh hinaan. Seorang pemuda berambut acak-acakan melangkah maju, sorot matanya dingin bagai binatang buas ya

    Last Updated : 2025-04-14
  • Legenda Sang Genius Immortal   09. Zaman Kultivasi Kuno

    Suara desir angin bergaung samar di telinganya. Perlahan, kesadaran Shin Tian mulai merangkak kembali dari kegelapan. Ia menggeliat pelan, tubuhnya terasa seperti dihantam batu besar—berat, nyeri, dan tak sepenuhnya berada di bawah kendalinya.“Ugh… aku… ada di mana?” gumamnya pelan. Suaranya terdengar parau, seperti bisikan dari balik kabut tebal. Ia memejamkan mata sejenak sebelum mencoba membukanya.Kelopak matanya terbuka perlahan, dan cahaya temaram yang hangat menembus pandangan yang masih buram. Pandangan itu menari-nari, bergetar, sebelum akhirnya mulai menetap. Aroma khas kayu tua, bercampur debu dan sedikit jejak dupa, langsung menyeruak masuk ke dalam hidungnya, menampar kesadarannya.Ia tersentak.Tempat ini jelas bukan halaman belakang kediaman Keluarga Shin yang ia kenal sejak kecil. Ruangan itu sempit, dikelilingi oleh dinding batu yang dihiasi relief-relief tua—ukiran yang tampak hidup dalam keremangan cahaya. Ukiran naga yang menggulung, simbol-simbol kuno yang asing

    Last Updated : 2025-04-14
  • Legenda Sang Genius Immortal   10. Kuil Dewa Alkemis

    "Kuil Dewa Alkemis..." gumam Shin Tian dengan suara bergetar, nyaris seperti bisikan yang terlepas tanpa sadar dari bibirnya.Udara pagi yang dingin menusuk hingga ke tulang. Di depannya, kuil kuno berdiri kokoh di tengah kabut tipis, dikelilingi pohon-pohon tua yang daunnya berguguran pelan tertiup angin. Setiap helai daun yang jatuh seolah membawa bisikan masa lalu.Legenda tentang tempat ini telah lama menghantui kisah-kisah para kultivator—sebuah kuil yang menyimpan rahasia Kitab Dewa Alkemis. Konon, kitab itu menyimpan teknik pemurnian pil-pil langka, termasuk Pil Immortal—pil legendaris yang mampu membawa kultivator melesat langsung ke ranah Immortal, melewati semua tingkatan yang biasanya harus ditembus dengan bertahun-tahun latihan dan penderitaan.Jantung Shin Tian berdebar seperti genderang perang. Tangan kanannya mengepal erat, seolah ingin menggenggam takdir itu sendiri.“Jika ini benar-benar masa itu... berarti dia masih hidup,” bisiknya, suara tercekat antara kekaguman d

    Last Updated : 2025-04-14
  • Legenda Sang Genius Immortal   11. Akademi Alkemis

    Langkah-langkah ringan Shin Ling menggema lembut di sepanjang lantai batu giok aula besar, tiap hentakannya terdengar mantap namun anggun, seperti alunan melodi yang menyatu dengan udara penuh konsentrasi. Gaun alkemisnya berkibar lembut mengikuti gerakan tubuhnya, memancarkan aura percaya diri yang tak dibuat-buat. Aroma tajam herbal yang sedang diekstrak memenuhi ruangan—paduan antara akar pahit, dedaunan hangus, dan bau manis menyengat dari bunga-bunga eksotis yang hanya tumbuh di lembah tersembunyi.Asap putih tipis merayap dari tungku-tungku perunggu yang berderet rapi di setiap sisi aula, membentuk pusaran kecil yang naik ke langit-langit tinggi. Di dalam kepulan itu, aroma minyak atsiri dan obat-obatan kuno menciptakan kabut tipis yang membuat mata sedikit perih, namun justru membuat suasana semakin sakral.Shin Tian berjalan di belakangnya, langkahnya melambat saat matanya menyapu seluruh ruangan. Aura tempat itu nyaris magis. Puluhan pria dan wanita muda, kira-kira seumuranny

    Last Updated : 2025-04-14
  • Legenda Sang Genius Immortal   12. Kalah Taruhan

    Shin Tian terdiam, mata hitamnya menatap lurus ke arah gadis yang berdiri di hadapannya. Riak-riak keraguan menyelinap di benaknya. Ini—apa yang mereka pertaruhkan—terasa bodoh, sembrono. Tapi di sisi lain, ia mengenal siapa Shin Ling. Gadis itu keras kepala seperti batu karang, dan ketika ia sudah memutuskan sesuatu, bahkan badai pun takkan menggoyahkannya.Suara napasnya terdengar pelan saat ia menarik udara dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Dengan ekspresi serius, ia mengangguk.“Baiklah,” ucapnya mantap. “Tapi jangan menangis kalau kamu kalah.”Senyum di wajah Shin Ling melebar seperti bulan sabit yang nakal. Matanya menyala, penuh gairah seperti api yang baru disulut. “Kita lihat saja nanti.”Tanpa membuang waktu, ia melangkah ke tungku alkemisnya. Tangan rampingnya mulai bergerak cekatan, mengambil satu per satu bahan herbal dari kotak kayu ukir—akar ginseng yang tampak masih segar, daun ungu beraroma tajam, dan serbuk kristal putih yang bersinar redup di bawah cahaya

    Last Updated : 2025-04-14
  • Legenda Sang Genius Immortal   13. Master Wang

    "Master Wang!"Seruan serempak itu menggema memenuhi ruang praktik alkimia seperti gemuruh petir yang mengguncang langit musim panas. Para murid berdiri tegak, sebagian masih tertutup jelaga dan asap tipis yang mengepul dari jubah mereka, aroma khas bahan alkimia yang terbakar menyengat di udara.Dari balik pintu kayu berat yang berderit pelan, muncullah seorang pria paruh baya dengan jubah coklat kemerahan yang berkibar ringan saat ia melangkah masuk. Matanya yang tajam menyapu ruangan sebelum akhirnya melengkung penuh tawa."Hahaha... apa yang sedang terjadi di sini?" tanyanya sambil menyeka sudut matanya, seolah-olah baru saja menyaksikan sandiwara lucu.Aura serius yang sempat membalut dirinya seketika mencair bersama tawa renyahnya. Murid-murid yang tadinya menahan napas, kini mulai berani menghela lega meski beberapa masih canggung berdiri di antara pecahan botol, genangan cairan hijau, dan kepulan asap dari meja yang gosong.Shin Lin, seorang gadis muda dengan mata bersinar pen

    Last Updated : 2025-04-21
  • Legenda Sang Genius Immortal   14. Pemuda Dari Masa Depan

    Nada suara Master Wang membuat jantung Shin Ling berdebar. Ada ketegangan di sana, sesuatu yang asing dari sosok Master yang biasanya santai. Bahkan udara di sekitar mereka terasa sedikit lebih berat.Shin Ling menelan ludah. Ia menatap Shin Tian seolah bertanya tanpa suara ... apa sebenarnya yang ingin kau tanyakan tadi...?Namun Shin Tian, dengan wajah serius dan tatapan penuh keyakinan, melangkah maju. Suaranya dalam dan tegas."Maaf, Master. Tapi aku butuh alat itu. Tanpa alat itu... aku tidak bisa kembali ke tempat asalku."Keheningan menggantung. Api obor berkerlap-kerlip, seperti menari dengan resah. Suara desiran angin yang masuk dari ventilasi batu terdengar nyaring di telinga mereka yang kini dicekam oleh sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar rasa ingin tahu—sebuah rahasia yang tersembunyi di balik logam dingin dan kenangan lama yang belum terungkap.“Aku tahu.”Suara itu tenang namun dalam, seperti tetesan air yang jatuh ke dalam sumur tua—pelan, tapi menggema jauh ke

    Last Updated : 2025-04-22

Latest chapter

  • Legenda Sang Genius Immortal   18. Siasat Hu Lei

    Langkah kaki Master Wang terdengar pelan namun mantap, menggema di koridor batu yang dingin. Gaun jubah kultivasinya berkibar pelan mengikuti hembusan angin yang menyelinap masuk dari celah-celah dinding tua. Cahaya lentera yang tergantung di atas mereka melemparkan bayangan panjang di lantai, seakan menggambarkan kegelisahan yang ia simpan dalam diam.Tatapan mata tua itu, yang biasanya tenang dan penuh wibawa, kini mengandung campuran rumit antara kekaguman, kelegaan, dan kecemasan yang menjerat dada. Ia berhenti hanya beberapa langkah dari sosok muda yang berdiri membelakangi cahaya remang.“Tian…” suaranya parau, seperti tergores angin malam. “Kau... baik-baik saja?”Shin Tian menoleh perlahan, rambut hitamnya yang panjang tergerai dan sedikit menutupi wajahnya yang kini jauh lebih matang daripada terakhir kali mereka bertemu. Matanya redup, namun ada percikan cahaya di dalamnya—sebuah nyala kecil dari sesuatu yang lebih besar dan lebih dalam.“Aku tidak sendiri lagi, Master,” uca

  • Legenda Sang Genius Immortal   17. Warisan Luo Jin

    Shin Tian takjub melihat Cakram Waktu yang teknologinya jauh lebih maju dari teknologi yang diciptakannya.Dan di dalam kedalaman kristal itu… jiwa itu mulai terbangun.Awalnya hanya seberkas cahaya samar yang berdenyut di tengah cakram, seperti napas pertama dari sesuatu yang telah lama tertidur. Lalu, perlahan, denyut itu menjadi lebih kuat, memancar ke seluruh ruangan seperti gelombang kehangatan yang tidak berasal dari dunia ini.Aura biru menyebar, menari di dinding batu seperti roh kuno yang bangkit dari kegelapan. Ada sesuatu dalam cahaya itu—sesuatu yang membuat kulit bergidik, seolah ruangan ini tak lagi menjadi milik mereka, tapi telah menjadi altar bagi kekuatan yang telah lama tersegel.Shin Tian menatap ke arah pusat cahaya itu. Pupil matanya perlahan melebar, seolah ditarik oleh kekuatan tak terlihat yang mengalir dari inti kristal. Dunia di sekelilingnya mulai kabur. Suara api, desir angin, bahkan detak jantungnya sendiri—lenyap. Hening total. Sunyi yang begitu dalam, i

  • Legenda Sang Genius Immortal   16. Cakram Waktu

    Tatapan Shin Tian terkunci pada Master Wang. Matanya yang gelap tampak seperti danau dalam malam yang tenang—dalam, dalam sekali—namun di dasarnya, ada api yang menyala. Bukan kobaran liar, melainkan bara yang telah lama dipendam, menunggu saatnya untuk membakar segala ketidakpastian.Ia tidak berkedip. Tidak ada gemetar di wajahnya, tidak ada getaran di tubuhnya. Namun di balik ketenangan itu, semesta seperti bergetar dalam diam.Master Wang mengamati Shin Tian dengan tatapan penuh kehati-hatian. Suaranya keluar pelan, seperti desir angin di atas pegunungan yang sunyi.“Dunia ini akan mulai bergerak, Tian,” katanya, dengan nada yang mengandung firasat. “Musuh dari masa lalu… dan bahkan mereka yang belum dilahirkan… akan mulai mencarimu.”Kalimat itu menggantung di udara, menggema dalam kesunyian yang tiba-tiba menjadi berat. Angin malam menyusup masuk dari celah-celah jendela kayu tua. Tirai bergoyang perlahan, seolah menyambut sesuatu yang tak terlihat. Bau tanah basah, dedaunan t

  • Legenda Sang Genius Immortal   15. Kotak Kayu Misterius

    Dari balik salah satu pilar batu besar yang tertelan bayangan matahari pagi, sepasang mata tajam berkilat seperti bilah pisau yang baru diasah. Udara di sekitar pilar itu terasa lebih dingin, seolah kehadiran seseorang di sana mampu menyedot cahaya dan kehangatan dari ruang di sekitarnya.Sosok berjubah biru gelap itu berdiri diam dan tak bergerak sama sekali. Hanya matanya yang tampak mencolok—penuh perhitungan, rasa iri yang mengakar, dan keserakahan yang nyaris menetes dari setiap tatapannya.Hu Lei.Murid tertua Master Wang, dan yang selama ini selalu merasa tidak diperhatikan.Di sudut bibirnya, muncul sebuah senyuman tipis. Bukan senyuman bahagia—melainkan senyuman yang menyimpan dendam dan rencana.Suara langkah Master Wang dan Shin Tian yang tenang terdengar seperti gema yang mengiris ruangan praktek alkimia. Hu Lei menyimak setiap kata, setiap nada bicara yang meluncur dari bibir guru yang dulu ia kagumi, tapi kini ia ragukan.“Alat itu... bisa menembus batas waktu?”Bisikan

  • Legenda Sang Genius Immortal   14. Pemuda Dari Masa Depan

    Nada suara Master Wang membuat jantung Shin Ling berdebar. Ada ketegangan di sana, sesuatu yang asing dari sosok Master yang biasanya santai. Bahkan udara di sekitar mereka terasa sedikit lebih berat.Shin Ling menelan ludah. Ia menatap Shin Tian seolah bertanya tanpa suara ... apa sebenarnya yang ingin kau tanyakan tadi...?Namun Shin Tian, dengan wajah serius dan tatapan penuh keyakinan, melangkah maju. Suaranya dalam dan tegas."Maaf, Master. Tapi aku butuh alat itu. Tanpa alat itu... aku tidak bisa kembali ke tempat asalku."Keheningan menggantung. Api obor berkerlap-kerlip, seperti menari dengan resah. Suara desiran angin yang masuk dari ventilasi batu terdengar nyaring di telinga mereka yang kini dicekam oleh sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar rasa ingin tahu—sebuah rahasia yang tersembunyi di balik logam dingin dan kenangan lama yang belum terungkap.“Aku tahu.”Suara itu tenang namun dalam, seperti tetesan air yang jatuh ke dalam sumur tua—pelan, tapi menggema jauh ke

  • Legenda Sang Genius Immortal   13. Master Wang

    "Master Wang!"Seruan serempak itu menggema memenuhi ruang praktik alkimia seperti gemuruh petir yang mengguncang langit musim panas. Para murid berdiri tegak, sebagian masih tertutup jelaga dan asap tipis yang mengepul dari jubah mereka, aroma khas bahan alkimia yang terbakar menyengat di udara.Dari balik pintu kayu berat yang berderit pelan, muncullah seorang pria paruh baya dengan jubah coklat kemerahan yang berkibar ringan saat ia melangkah masuk. Matanya yang tajam menyapu ruangan sebelum akhirnya melengkung penuh tawa."Hahaha... apa yang sedang terjadi di sini?" tanyanya sambil menyeka sudut matanya, seolah-olah baru saja menyaksikan sandiwara lucu.Aura serius yang sempat membalut dirinya seketika mencair bersama tawa renyahnya. Murid-murid yang tadinya menahan napas, kini mulai berani menghela lega meski beberapa masih canggung berdiri di antara pecahan botol, genangan cairan hijau, dan kepulan asap dari meja yang gosong.Shin Lin, seorang gadis muda dengan mata bersinar pen

  • Legenda Sang Genius Immortal   12. Kalah Taruhan

    Shin Tian terdiam, mata hitamnya menatap lurus ke arah gadis yang berdiri di hadapannya. Riak-riak keraguan menyelinap di benaknya. Ini—apa yang mereka pertaruhkan—terasa bodoh, sembrono. Tapi di sisi lain, ia mengenal siapa Shin Ling. Gadis itu keras kepala seperti batu karang, dan ketika ia sudah memutuskan sesuatu, bahkan badai pun takkan menggoyahkannya.Suara napasnya terdengar pelan saat ia menarik udara dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Dengan ekspresi serius, ia mengangguk.“Baiklah,” ucapnya mantap. “Tapi jangan menangis kalau kamu kalah.”Senyum di wajah Shin Ling melebar seperti bulan sabit yang nakal. Matanya menyala, penuh gairah seperti api yang baru disulut. “Kita lihat saja nanti.”Tanpa membuang waktu, ia melangkah ke tungku alkemisnya. Tangan rampingnya mulai bergerak cekatan, mengambil satu per satu bahan herbal dari kotak kayu ukir—akar ginseng yang tampak masih segar, daun ungu beraroma tajam, dan serbuk kristal putih yang bersinar redup di bawah cahaya

  • Legenda Sang Genius Immortal   11. Akademi Alkemis

    Langkah-langkah ringan Shin Ling menggema lembut di sepanjang lantai batu giok aula besar, tiap hentakannya terdengar mantap namun anggun, seperti alunan melodi yang menyatu dengan udara penuh konsentrasi. Gaun alkemisnya berkibar lembut mengikuti gerakan tubuhnya, memancarkan aura percaya diri yang tak dibuat-buat. Aroma tajam herbal yang sedang diekstrak memenuhi ruangan—paduan antara akar pahit, dedaunan hangus, dan bau manis menyengat dari bunga-bunga eksotis yang hanya tumbuh di lembah tersembunyi.Asap putih tipis merayap dari tungku-tungku perunggu yang berderet rapi di setiap sisi aula, membentuk pusaran kecil yang naik ke langit-langit tinggi. Di dalam kepulan itu, aroma minyak atsiri dan obat-obatan kuno menciptakan kabut tipis yang membuat mata sedikit perih, namun justru membuat suasana semakin sakral.Shin Tian berjalan di belakangnya, langkahnya melambat saat matanya menyapu seluruh ruangan. Aura tempat itu nyaris magis. Puluhan pria dan wanita muda, kira-kira seumuranny

  • Legenda Sang Genius Immortal   10. Kuil Dewa Alkemis

    "Kuil Dewa Alkemis..." gumam Shin Tian dengan suara bergetar, nyaris seperti bisikan yang terlepas tanpa sadar dari bibirnya.Udara pagi yang dingin menusuk hingga ke tulang. Di depannya, kuil kuno berdiri kokoh di tengah kabut tipis, dikelilingi pohon-pohon tua yang daunnya berguguran pelan tertiup angin. Setiap helai daun yang jatuh seolah membawa bisikan masa lalu.Legenda tentang tempat ini telah lama menghantui kisah-kisah para kultivator—sebuah kuil yang menyimpan rahasia Kitab Dewa Alkemis. Konon, kitab itu menyimpan teknik pemurnian pil-pil langka, termasuk Pil Immortal—pil legendaris yang mampu membawa kultivator melesat langsung ke ranah Immortal, melewati semua tingkatan yang biasanya harus ditembus dengan bertahun-tahun latihan dan penderitaan.Jantung Shin Tian berdebar seperti genderang perang. Tangan kanannya mengepal erat, seolah ingin menggenggam takdir itu sendiri.“Jika ini benar-benar masa itu... berarti dia masih hidup,” bisiknya, suara tercekat antara kekaguman d

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status