"Lantas siapa saja yang sudah ditantang mereka, apakah termasuk Quan Bei, Jiu Long, Liang Zhipu juga Yue Jin? Apakah pendekar negeri ini mau datang mempertaruhkan nama mereka? Bagaimana jika tidak seorang pun yang hadir nanti?" Pertanyaan ini menusuk pikirannya, tanpa dia mampu menjawabnya.
Teringat kekalahannya dari Liong Kam waktu itu, Dong Zhuo mengepalkan tangannya. Kebetulan Liong Kam termasuk di antara sebelas orang itu. "Aku jadi penasaran, selama lebih dari satu tahun aku berlatih, aku ingin menjajal sampai di mana kemajuanku. Kebetulan lawan yang pernah mengalahkan aku dulu, Liong Kam akan hadir. Aku akan tantang dia," ucap Dong Zhuo dengan suara bergetar.
Ia teringat bagaimana malunya dia dikalahkan jurus pedang Liong Kam. Ia sulit melupakan kekalahan itu, karena kejadiannya disaksikan ratusan pendekar lain. "Masih ada sisa waktu duapuluh hari, aku akan melatih ilmuku lebih kuat."
Salah seorang yang hadir, Sardula, tokoh terkemuka yang lihai ilmu dan t
Perguruan Wuwei terletak di kaki gunung Wuwei. Senja itu suasana di balairung agak riuh. Sebagian besar murid berkumpul, hanya murid yang masih bertugas berjaga atau bekerja di dapur yang tidak hadir. Mereka yang hadir saling pandang penuh tanda-tanya, tidak mengerti apa yang akan diumumkan ketuanya, pendeta Quan Bei. Ketika ketua muncul seketika juga suasana hening.Pendeta Quan Bei duduk didampingi saudara perguruannya, Wong Anta, Wong Braga, Wong Rawa, Wong Mata. Lima orang ini duduk bersila, memandang puluhan murid yang duduk berkumpul.Diantara lima tokoh tua Wuwei hanya Quan Bei yang seorang pendeta. Quan Bei memecah keheningan, "Dengarkan, sepuluh hari lagi, aku akan ke desa Yinchuan menghadiri pertarungan menghadapi sebelas Pendekar Himalaya. Orang-orang seberang itu telah menantang seluruh pendekar negeri ini untuk tarung, sebelas lawan sebelas. Aku sebenarnya tak ingin tarung lagi, tetapi demi membela negeriku, tanah airku, aku harus ikut, ini merupakan darma
Hari itu upacara pengangkatan Wong Anta sebagai ketua Wuwei berlangsung tertib dan sederhana. Tak ada reaksi berlebihan di kalangan murid. Tradisi dan peraturan Wuwei menetapkan seorang guru melatih secara bergilir, sehingga tak pernah ada murid dilatih khusus seorang guru. Para ketua melatih murid lapis satu dan lapis satu melatih lapis dua dan lapis tiga.Setelah hari pengangkatan, Quan Bei menyepi berlatih silat. Adik perguruannya termasuk Wong Anta bergantian menjadi lawan tanding. Ia menekuni jurus andalan perguruannya. Jurus ini sudah didalami Quan Bei sejak kekalahan dari Sin Thong. Ia berlatih keras meningkatkan kualitas jurus hebat ini. Jurus ini mengutamakan kedalaman tenaga batin sehingga cepat menemukan kelemahan lawan untuk dijadikan sasaran serangan.Quan Bei juga mendalami jurus Kadharmesta (Kebajikan) dan Amijilakna (Hasil upaya). Dua jurus ini diambil dari sifat Gereh (Guntur) dan Sedung (Badai) saling dukung mendukung. Suatu serangan lawan yang ganas
Gunung Putuo letaknya sebelah utara gunung Tai. Hutan padat dan lebat merambah seluruh bagian lereng gunung. Hanya lereng bagian timur yang pernah dijamah manusia. Ada jalan setapak namun yang sudah nyaris hilang tertutup semak belukar. Jalan itu menuju ke hutan kecil yang pepohonannya tidak terlalu padat Setelah melewati hutan kecil itu, tampak pemandangan luas. Air terjun dari tebing yang tinggi mencurah ke danau yang cukup besar. Agak jauh dari air terjun, terdapat tebing terjal Ada sepotong bagian tebing, mencuat ke luar sehingga memayungi sebidang tanah di bawahnya. Tanah yang tidak terlalu luas itu terlindung dari curah hujan. Di tanah itu Jiu Long dan rombongan berhenti setelah menempuh dua hari perjalanan dari Partai Naga Emas.Jiu Long, Gwangsin, Mayleen dan Hwang Mi Hee akan menetap. Sedang Gan Nung dan Gan Ning yang didampingi masing-masing isterinya bersama enam murid pria dan dua murid wanita hanya membantu mendirikan rumah, setelah itu mereka akan kembali ke Par
Malam itu bulan terang, tak ada awan mendung. Jiu Long menggenggam tangan isterinya. Mereka mendaki tebing menuju barat. Tak berapa lama, mereka tiba di atas tebing yang permukaannya datar dan cukup luas untuk beberapa orang duduk.Di bawah sinar terang bulan tampak air terjun dan danau. Kemilau air terjun diterpa sinar rembulan, memantulkan kemilau warna warni, tampak indah. Gwangsin menggumam, "Oh pemandangannya sangat indah, coba lihat air terjun itu dan air di danau, indah kena pantulan sinar rembulan. Jiu Long kamu pintar mencari tempat.""Aku ingin hidup seperti ini, terpencil bersama isteriku, tak ada orang lain, tak ada lagi tarung, tak ada balas dendam. Gwangsin kekasihku, aku sudah bosan berkelana, bertarung dan membunuh orang. Dalam tarung, memang kalau tidak mau dibunuh maka kita harus membunuh. Aku sudah bosan dengan semua ini, aku ingin menyendiri, bercinta dengan kamu seperti malam ini. Sepanjang malam, bercinta sampai puas." Sambil bicara tangan Jiu Lon
Udara pagi terasa sejuk. Di dalam goa masih tetap hangat. Dua insan itu masih berpelukan. Gwangsin telungkup di atas tubuh Jiu Long. Ia berbisik, "Jiu Long, menurut rencana dua hari lagi kita berangkat ke desa Yinchuan. Menurut Kakak Gan Ning, perjalanan ke Yinchuan sekitar dua hari. Entah mengapa setiap memikirkan tarung itu, aku merasa takut.""Apa yang kau takutkan?"Gwangsin menyembunyikan wajahnya di dada suaminya. "Aku takut kehilangan kamu. Aku tak mau kehilangan kamu, Jiu Long."Mata Jiu Long menerawang. "Aku juga takut. Sudah sering aku tarung mati hidup. Di Wuwei menghadapi tokoh kelas atas, aku tidak takut. Di Pegunungan Salju Meili aku merasa takut terutama saat tarung lawan Ladalinu. Di Laojun, aku tidak takut. Belakangan aku tahu sebabnya, di Wuwei aku belum punya apa-apa, mati pun tak mengapa. Di Pegunungan Salju Meili aku sudah punya isteri yang menyinta dan kucinta, Jen Ting dan kamu. Di Laojun aku ingin membalas dendam Sekarang ini aku takut se
Gwangsin seorang perempuan yang cerdas. Ia selalu memerhatikan Jiu Long, setiap rasa dan gerak suaminya tak luput dari pengamatannya. Dalam bercinta, ia selalu mendahulukan kepuasan Jiu Long. Ia melakukan apa saja yang disukai Jiu Long.Setelah itu, baru ia mengekspresikan diri betapa ia puas dan bahagia Ia memperlihatkan dengan gerak tubuh dan gigitan, bahwa ia takluk dan bertekuk lutut di bawah pesona dan keperkasaan suaminya. Kata neneknya, "Kamu harus perlihatkan bahwa kamu bangga dengan keperkasaan suamimu. Pasti ia akan senang dan tidak akan pernah puas bercinta denganmu, dia tak akan pernah bosan. Ia membutuhkan kamu dan akan mencari kamu setiap saat."Hebatnya Gwangsin, ia tak memperlihatkan semua pesonanya jika Mayleen atau Hwang Mi Hee ikut bercinta. Ia tidak mau jurus rayuannya ditiru dua saingannya. Jiu Long merasakan hal ini, dan itu sebab dia sangat bernafsu jika bercinta dengan Gwangsin, hanya berduaan saja.Tampaknya Jiu Long makin terperangkap o
Tengah malam menjelang fajar, Mayleen terjaga Ia melihat Jiu Long tidur lelap di samping. Mayleen menatap kekasihnya "Lelaki ini telah membuat aku lupa daratan. Ia tidak begitu tampan, banyak lelaki lain lebih tampan. Tetapi ia punya daya tarik yang liar dan aneh. Hanya satu kali jumpa dengannya, aku langsung jatuh cinta. Itu juga gara-gara dia menciumku." Pikiran liar ini membuat Mayleen tersenyum sendiri.Tiba-tiba Jiu Long merangkul erat isterinya "Apa yang membuat kamu tersenyum.""Aku memikirkan lelaki yang kurangajar, yang mencium paksa seorang wanita yang sedang tidak bertenaga dan tak kuasa melawan.""Pertama-tama kamu marah, tetapi beberapa saat kemudian kamu membalas ciumanku, kita berciuman lama.""Tidak hanya itu, kamu juga memeluk erat tubuhku, buah dadaku ini kau himpit ke dadamu, aku sulit bernafas. Apakah kamu selalu berkelakuan liar seperti itu terhadap perempuan?"Jiu Long menggeleng. "Tidak pernah. Baru satu kali itu, dan entah m
Jiu Long mencium mata isterinya yang basah air mata. "Aku maafkan, tetapi kau melakukan hal yang bodoh, bertarung dengan jurus mati hidup. Hampir saja aku atau kamu menjadi korban.""Aku tak pernah tarung, tak punya pengalaman tarung. Sewaktu di Himalaya aku hanya tarung lawan perampok atau penjahat kecil untuk membela kaum tertindas, itupun ada kakak yang mengawasi, siap membantuku. Aku terpaksa harus tarung denganmu""Karena balas dendam kakekmu? Atau kesal dan benci padaku?""Dua-duanya salah! Yang benar, aku harus memenuhi sumpahku. Aku pernah bersumpah pada ayah dan ibu, bahwa laki-laki yang menjadi suamiku harus bisa silat dan lebih jago dari aku. Itu sumpahku, makanya aku senang kamu yang menang.""Mengapa demikian, aneh?!"Mayleen tertawa. Kesedihannya sudah hilang. "Jika aku menang, maka sesuai sumpahku, kamu tidak boleh menjadi suamiku, padahal setelah malam di desa Guandong itu kamu sebenarnya sudah menjadi suamiku. Untung saja kamu yang