Tabib Istana yang tengah mencoba menerawang lokasi kulil yang tertinggal di Nusantara bagian timur itu tampak terkejut ketika melihat para pendekar sakti mendatangi kuil itu. Mereka menghancurkan pintu besi yang menuju ruang bawah tanah kuil itu. Tak lama kemudian kilatan cahaya membuat matanya sakit dan tidak dapat lagi menerawang kembali.Tabib Istana itu membuka mata lalu mendadak tubuhnya lemas dan disekujur tubuhnya terasa sangat sakit. Raja Nepis yang duduk menunggunya di dalam kediamannya itu tampak heran.“Apa yang terjadi?” tanya Raja Nepis heran.“Ada yang menghalangiku untuk menerawang lokasi itu, Yang Mulia,” jawab Tabib Istana itu.Raja Nepis mengernyit mendengarnya.“Seperti apa wujud yang menghalangimu itu?” tanya Raja Nepis penasaran.“Aku melihat banyak pendekar yang tak pernah kulihat sebelumnya mendatangi kuil itu lalu tiba-tiba ada kilatan cahaya yang menghalangi penerawanganku. Sepertinya para pendekar itu hendak mengambil mantra itu,” jawab Tabib Istana.Raja Nep
Sakwa dan Tasir mendekati Roh Panglima dan Jabali yang tengah tertidur pulas di negeri raksasa itu. Seketika Sakwa membangunkannya.“Roh Panglima! Roh Panglima!” panggilnya.Roh Panglima dan Jabali pun terbangun dengan heran. Mereka pun duduk menatap Sakwa dan Tasir dengan heran melihat di punggungnya tengah memikul buntalan kain seperti orang hendak melakukan pengembaraan.“Kenapa kalian menggangu istirahat kami?” tanya Roh Panglima. Meskipun hari di sana tampak tidak pernah malam, namun karena biasa hidup di alam manusia yang berganti antara siang dan malam, mereka juga merasakan kantuk di sana. Mereka tidak tahu kapan waktunya malam di bumi manusia. Jika mereka mengantuk, mereka berpikir bahwa di alam manusia pasti tengah terjadi malam.“Kami memiliki cara untuk kabur dari sini,” ucap Sakwa.“Betul! Kami membangunkan kalian untuk mengajak kalian pergi karena yang bisa mengendalikan kapal hanya kalian saja,” tambah Tasir.Roh Panglima dan Jabali mengernyit heran.“Bukan kah sudah ti
Masih di negeri raksasa. Raja Sajuna berjalan di taman istana diikuti oleh dayang-dayang dan para prajuritnya. Dia sering melakukan itu jika sedang bersantai dari aktivitas istana. Hanya sekedar berkeliling sembari menghirup udara segera di luar istana.Di hadapannya Putra Mahkota datang ke arahnya. Sang Raja berhenti melangkah saat melihat Putra Mahkota berlutut memberi hormat padanya.“Bagaimana keadaan para tawanan di kediamannya?” tanya Sang Raja penasaran.“Mereka baik-baik saja, Yang Mulia,” jawab Putra Mahkota.“Lalu soal Tanaka dan Bimala, apakah sudah ada petunjuk dari mereka?” tanya Raja Sajuna penasaran.“Hingga saat ini kita belum mendapatkan petunjuk dari mereka, Yang Mulia,” jawab Putra Mahkota.Sang Raja tampak khawatir. “Waktunya tidak lama lagi. Jika batu permata itu tidak segera didapatkan, maka batu permata itu akan meledak dan membuat seisi alam manusia akan kiamat.”Putra Mahkota kian khawatir mendengar itu.“Apakah itu akan berdampak buruk untuk alam kita, ayah?”
Tanaka dan Pendekar Dua Alam akhirnya tiba di dekat mata air Abadi itu. Tanaka terperangah melihat pemandangan indah di sana. Danau bening yang menampakkan bebatuan di dasarnya membuatnya terpukau. Pulau-pulau kecil di dalam danau yang ditumbuhi pohon-pohon besar hingga sebagian akarnya terlihat memasuki air dan menembus bebatuan di dalamnya. Di ujung sana sebuah air terjun mengalir dari atas bukit batu yang putih.“Apakah ini yang dinamakan mata air abadi itu, Guru?” tanya Tanaka terperangan tak percaya.“Iya,” jawab Pendekar Dua Alam. “Inilah mata air abadi itu.”Angin berembus sepoi-sepoi menyapu wajah Tanaka. Segar sekali rasanya diterpa angin itu. Tanaka pun memejamkan matanya lalu merasakan hembusan angin itu hingga lelahnya seketika menghilang.“Sekarang keputusan ada padamu,” ucap Pendekar Dua Alam.Tanaka membuka matanya lalu menoleh pada Pendekar Dua Alam itu.“Kau boleh berubah pikiran jika memang tidak sanggup untuk mendapatkan keabadian hidup,” lanjut Pendekar Dua Alam. “
Karena kebingungan dan karena teringat suara yang tadi terdengar di telinganya, akhirnya Tanaka mendekati ketiga pamannya itu yang tengah membakar daging rusa dan tengah membicarakannya.“Paman Su,” ucap Tanaka sambil menatap Su dengan penuh rasa bersalah.Su, Si dan Se tampak terkejut melihat kedatangan Tanaka.“Tanaka?” ucap Su terbelalak tak percaya. Seketika dia khawatir Tanaka mendengar apa yang mereka bicarakan tadi tentang kekesalannya pada anak berumur 10 tahun itu.Tiba-tiba Tanaka berlutut di hadapan Su. Sekarang dia teringat di hari itu, hari yang sama terjadi saat dia berumur 10 tahun yang lalu. Saat itu Tanaka mendengar obrolan ketiga pamannya di sana, namun saat itu Tanaka malah pergi lalu kembali mengadu kepada Sa dan Laras bahwa ketiga pamannya tengah membicarakannya. Akhirnya Su mendapatkan hukuman yang lebih berat lagi dari Sa.Tanaka berpikir mungkin karena mendapatkan hukuman yang berat itu Su menjadi dendam padanya. Dan beberapa hari setelah Su menjalankan hukuman
Bimala yang menjadi patung hidup di dalam gua bersama Raja Saka, Bari, Pendekar Penggebrak Bumi dan para pendekar lainnya tampak terkejut saat tiba-tiba terbangun dan membuka mata. Begitupun dengan Raja Saka dan yang lainnya. Mereka saling menatap dengan bingung.“Apa yang terjadi pada kita?” tanya Bimala heran pada semuanya.“Sepertinya kita baru saja bangun dari tidur, Nona,” sahut Raja Saka.“Tapi sepertinya ada yang membuat kita tertidur di sini,” ujar Bari curiga. “Aku mengingat ada yang datang saat aku duduk lalu membuatku pingsan.”Bimala dan yang lain mencoba mengingat kejadian sebelum pendekar kiriman dari Pendekar Dua Alam itu datang untuk menidurkan mereka agar selamat dari pencarian Raja Nepis itu. Namun semakin dia berusaha untuk mengingatnya, dia tidak dapat melakukannya.Bimala pun mencoba bangkit berdiri. Tiba-tiba dia merasakan sendi-sendinya tampak kaku seperti sudah lama tertidur lalu baru bangun. Semua pun merasakan hal yang sama.“Coba periksa di luar sana!” pinta
Roh Panglima, Jabali, Sakwa dan Tasir yang masih menaiki perahu itu sudah hampir tiba di batas antara negeri raksasa itu dengan alam manusia tampak terdiam saat melihat kabut tebal terhampar di hadapan mereka. Kabut tebal itu terhampar memenuhi cakrawala di hadapan mereka.“Apakah kita sudah tiba di gerbang batas?” tanya Sakwa dengan heran.“Iya,” jawab Roh Panglima. Sebentar lagi kita akan memasuki kabut itu. Di dalam kabut itulah perbatasan antara negeri raksasa ini dengan alam manusia.”Sakwa pun menoleh pada Tasir. “Kau harus bersiap dengan kerismu!”Tasir mengangguk lalu menyerahkan dayung perahu itu pada Sakwa. Sakwa mengernyit. “Kenapa kau serahkan ini padaku?”“Katanya aku harus menggunakan keris itu untuk membelah mantra dinding pelindung itu. Aku haru fokus dengan kerisku dan dayung ini dan Tuan yang harus mengggunakannya,” jawab Tasir.Sakwa menghela napas lalu terpaksa meraih dayung itu di tangan Tasir lalu menggantikannya untuk membantu Jabali yang tengah mendayung itu. T
Perahu yang berisi Roh Panglima, Jabali, Sakwa dan Tasir itu pun sudah tiba di garis batas dinding pelindung cahaya. Duyung-duyung baik itu pun berhenti mendorong mereka. Semua terperangah melihah kilau warna-warni yang terlihat di permukaan dinding pelindung itu.“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanya Tasir bingung.“Jangan dulu kau belah!” teriak Roh Panglima. “Ambil buah itu dan taruh di mulut masing-masing! Saat kita keluar dari dinding itu, baru kita kunyah lalu telan agar tubuh kita kembali mengecil!”“Baik!” jawab Tasir.Sakwa pun langsung mengeluarkan potongan buah itu pada Roh Panglima, Jabali dan Tasir. Mereka pun langsung meletakkan potongan buah itu ke mulut masing-masing. Sakwa menoleh pada para duyung yang membantunya itu.“Apakah duyung-duyung ini tidak kita beri juga?” tanya Sakwa.“Mereka tak perlu memakannya!” jawab Roh Panglima. “Mereka akan mengecil sendiri jika sudah memasuki alam manusia dan akan akan membesar sendiri jika memasuki alam negeri raksasa ini.
Bimala dan Pelayan Minun tampak gelisah menantikan Tabib Istana bersama tabib-tabib lain yang sedang membantu Sang Ratu untuk melahirkan itu. Akhirnya hari itu telah tiba. Sang Ratu pun tak bisa lagi menahannya karena waktu kelahiran anak keduanya itu telah tiba.Sementara Bimala dan Pelayan Minun belum mendapat kabar dari Tanaka. Mereka tidak tahu apakah Tanaka sudah berhasil atau belum membunuh Baluku hingga kutukan itu terlepas dan tidak akan dialami oleh bayi yang sedang berusaha dikeluarkan oleh para tabib itu.Tak lama kemudian terdengar suara tangisan bayi. Bimala dan Pelayan Minun tampak haru bercampur was-was. Mereka was-was jikalau bayi itu akan terlahir buruk rupa juga seperti Tanaka.“Oh anakku!” teriak Sang Ratu di dalam sana terlihat menangis haru.Bimala dan Pelayan Minun saling menatap dengan ragu.“Apakah bayi itu juga terlahir buruk rupa?” bisik Pelayan Minun dengan penasaran pada Bimala.“Aku tidak tahu, Bi,” jawab Bimala dengan berbisik juga.“Bimala, Pelayan Setia
Baluku terbelalak ketika pulau yang menjadi tempatnya dikurung para dewa itu sudah dikelilingi kapal-kapal yang berisi pasukan dari Tanaka. Baluku kini berdiri di atas puncak batu karang yang paling tinggi. Matanya kini tertuju pada Tanaka yang berdiri gagah di samping Roh Panglima.“Kami sudah datang, Tuan Guru!” teriak Tanaka.Baluku kian geram mendengarnya.“Panglima dan prajurit-prajurit keparat! Kenapa kalian lebih setia pada muridku dibanding denganku yang sudah membangkitkan kalian dari alam roh hingga bisa hidup seperti manusia lagi?!!! Harusnya kalian berpihak padaku, bukan pada manusia buruk rupa itu!!!” teriak Baluku dengan geramnya.“Bukan kah Yang Mulia membangkitkan kami untuk setia pada Tuan Tanaka? Bukan pada Yang Mulia?” jawab Roh Panglima.Baluku kian geram mendengarnya. Baluku pun mengangkat tangannya. Seketika batu-batu kecil di atas permukaan karang itu terangkat lalu tak lama kemudian batu-batu kecil itu menyalakan api yang tampak panas.Tanaka dan Roh Panglima p
Pelayan Minun berteriak memanggil Bimala saat melihat Sang Ratu sedang kesakitan memegangi perutnya yang besar itu. Bimala bergegas datang dengan panik.“Yang Mulia!” ucap Bimala mendekat ke kasurnya. “Yang Mulia kenapa?”“Perutku sakit sekali, Bimala. Aku sepertinya hendak melahirkan.”Bimala dan Pelayang Minun pun panik mendengarnya.“Tolong panggilkan Tabib, Bi,” pinta Bimala dengan panik pada Pelayan Minun.“Baik, Nona.”Pelayan Minun pun bergegas keluar untuk memanggil Tabib. Bimala pun memegangi tangan Sang Ratu untuk menguatkannya.“Tunggu sebentar lagi, Yang Mulia. Sebentar lagi Tabib akan segera datang.”“Tapi bagaimana jika seandainya sekarang anak ini berhasil dilahirkan sementara Tanaka belum berhasil membunuh Baluku? Apakah kutukan itu akan menghilang jika setelah anak ini lahir, Tanaka baru bisa memusnahkan Baluku?” tanya Ratu dengan bingung sambil menahan sakit di perutnya.“Apapun yang terjadi, sekarang pikirkan saja kesehatan Yang Mulia Ratu dan anaknya nanti. Meskipu
“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Jabali dengan terbelalak tak percaya melihat dirinya, Tanaka, Roh Panglima dan para awak kapal layarnya sedang dibawa terbang berputar mengelilingi tentara mereka yang tengah bertarung di atas lautan itu.“Inilah kemampuanku sekarang, Jabali,” ucap Tanaka.Tanaka pun memandangi Roh Panglima.“Kau hadapai Panglima Setan itu dan aku akan menghadapi murid baru Raja Iblis itu,” perinta Tanaka pada Roh Panglima.“Siap, Tuan Tanaka!”Roh Panglima pun langsung terbang melesat menuju Panglima Setan untuk menyerangnya. Panglima Setan pun terkejut melihat kedatangan Roh Panglima yang tengah melesat ke arahnya itu. Dia pun lansung meninggalkan Karan di atas kapal itu kemudian bertarung dengan Roh Panglima di atas lautan itu dengan jurus meringankan tubuhnya.Sementara Karan di atas kapalnya itu terbelalak ketika mendapati Tanaka kini sudah berada di hadapannya. Karan mundur ke belakang karena ketakutan melihat wajah Tanaka yang menghitam. Dia seperti baru itu
Tiba-tiba awak kapal tampak terbelalak ketika melihat kapal-kapal layar seperti menghadang di hadapan sana.“Tuan, Panglima! Tuan, Panglima!” teriak awak kapal itu.Tanaka dan Roh Panglima yang sedang berada di sisi kapal itu pun menoleh pada awak kapal itu.“Ada apa?” tanya Roh Panglima heran.“Di hadapan sana seperti ada puluhan kapal menghadang, Tuan,” jawab awak kapal itu.Roh Panglima dan Tanaka pun bergegas berjalan ke ujung kapal. Mereka berdua terbelalak melihat kapal-kapal di hadapan.“Tahan layarnya!!!!” teriak Roh Panglima saat melihat pasukan Karan tengah menghadang di hadapan sana dengan sepuluh kapal layar berkarangnya.Seluruh awak kapal Pasukan Tanaka pun mengatur layarnya agar kapal-kapal mereka berhenti berlayar. Saat kapal-kapal pasukan Tanaka berhenti, Tanaka berjalan ke ujung kapal lalu memperhatikan kapal-kapal pasukan Karan itu dengan jelas. Roh Panglima berdiri di sebelahnya.“Apakah benar yang berdiri paling depan di kapal layar terdepan itu murid baru Raja Ba
“Yang Mulia Ratu! Yang Mulia Ratu!” teriak pelayan setianya memasuki ruangan kediamannya. Dia tampak heran tidak melihat ada Ratu di sana.Sesaat kemudian Ratu tampak datang dari belakangnya.“Kau mencariku?” tanya Ratu heran.Pelayan Minun menatap Ratu dengan lega.“Bimala sudah datang, Yang Mulia!” ucap Pelayan Minun dengan lega.Ratu pun sangat senang mendengarnya.“Di mana dia sekarang?”“Dia ada depan gerbang kediamanmu ini, Yang Mulia,” jawab Pelayan Minum.“Suruh dia masuk! Tadi kenapa aku tidak melihatnya,” perintah Ratu.“Baik, Yang Mulia.”Pelayan Minun pun bergegas keluar dari ruangan itu. Ratu pun duduk di tempat duduknya dengan tidak sabar. Dia ingin tahu banyak bagaimana kabar Tanaka darinya. Tak lama kemudian Pelayan Minun datang bersama Bimala. Bimala langsung bersimpuh di hadapannya.“Maafkan aku, Yang Mulia,” ucap Bimala sembari meneteskan air mata. “Aku telah meninggalkan istanamu tidak pamit langsung di hadapanmu.”“Kau tak perlu merasa bersalah, Bimala. Sekarang c
Baluku berdiri di hadapan seorang lelaki yang sedang berlutut padanya. Lelaki yang dahulu tidak sengaja terdampar di sana karena perahu yang dia naiki terpaksa pecah tergulung ombak hingga dia terdampar dan diselamatkan Baluku di sana. Dia menatap lelaki itu dengan lekat, dengan wajah tegasnya.“Hari ini kau telah berhasil mendapatkan semua ilmu dariku!” ucap Baluku padanya. “Kau sendiri yang bersedia memilih untuk menjadi muridku daripada mati di tanganku! Aku tidak pernah memaksamu untuk datang ke pulauku ini. Perahumu lah yang karam dan membuatmu terdampar di sini!”“Baik, Guru!” ucap Pemuda yang bernama Karan.“Dan untuk bisa bebas dariku,” lanjut Baluku. “Kau harus mendapatkan Pedang Perak Cahaya Merah itu dari mantan Muridku si Buruk Rupa itu. Aku merasakan pedang itu sudah ada pada dirinya saat ini. Dia tengah berada di negeri Nusantara.”“Baik, Guru,” sahut Karan sekali lagi.Baluku pun menatap sebuah kapal setan yang di atasnya sudah berdiri seorang Panglima Setan, Nakoda dan
Kapal-kapal yang dinaiki Tanaka bersama kaum Sakwa itu pun akhirnya berlabuh di pelabuhan Nusantara. Roh panglima bersama prajuritnya langsung menyambut kedatangan mereka. Bimala sudah tidak sabar lagi untuk segera bertemu dengan Tanaka. Begitu pun Sakwa. Dia ingin meminta maaf pada kaumnya yang telah meninggalkan mereka di negeri raksasa itu.Saat Tanaka dan kaum sakwa itu turun dari kapal layar masing-masing. Bimala langsung berlari menuju Tanaka lalu memeluknya dengan erat.“Apakah kau berhasil mengembalikan batu permata itu pada Yang Mulia Raja Sujana?” tanya Bimala penasaran.“Batu permata itu ternyata untukku, Bimala,” jawab Tanaka.Bimala terkejut mendengarnya. “Untukmu?”“Iya,” jawab Tanaka. “Raja Sajuna menghadiahkannya padaku! Dia tahu aku hendak membunuh Raja Iblis itu. Katanya batu permata itu akan sepadang dengan kekuatan yang dimiliki raja Iblis itu.”Bimala senang mendengarnya. Kini dia semakin tenang karena Tanaka akan memiliki kekuatan lebih untuk melawan Baluku. Dia
“Ampun Yang Mulia! Jika kami memiliki kesalahan dan dosa hingga Yang Mulia berkunjung ke tempat sederhana kami ini, kami rela dihukum, Yang Mulia!” ucap ayah Numi yang tampak ketakutan melihat kedatangan Raja Saka yang secara mendadak itu.Begitu pun dengan Numi dan Ibunya, mereka pun memohon-mohon ampun pada Raja Saka. Raja Saka yang melihat itu tampak tidak enak hati dan merasa bersalah.“Berdirilah,” pinta Raja Saka.“Ampun, Yang Mulia. Berdiri di hadapan Raja adalah dosa besar bagi kami yang hanya sebagai rakyat jelata. Itu akan membuat leluhur mengutuk kami. Biarkan kampi bersimpuh begini Yang Mulia.”Numi dan Ibunya pun kembali memohon-mohon ampun pada Raja Saka. Sekarang Raja Saka tampak kebingungan sendiri. Dia pun menatap Panglimanya. Pendekar Penggebrak Bumi itu tampak kebingung. Dia tidak mengerti soal urusan asamara itu. Saat Raja Saja menatap Bari, Bari pun tampak mengangkat kedua bahunya. Sementara para warga di sekitar rumah Numi itu masih tampak berlutut di tempat masi