Langit di atas mereka berubah kelabu, seolah mencerminkan ketegangan yang kini dirasakan oleh Ling dan rombongannya. Setelah pertarungan sengit, mereka bergerak cepat meninggalkan area hutan tempat mereka diserang. Suara langkah kaki yang teredam oleh tanah lembab menjadi satu-satunya suara yang terdengar selain desahan napas mereka yang masih berat setelah pertempuran.Ling berjalan paling depan, pandangannya terus menelusuri pepohonan di sekeliling mereka. Meski musuh telah mundur, kewaspadaannya tidak berkurang. Serangan mendadak yang terjadi barusan hanya mempertegas bahwa musuh-musuh mereka semakin dekat. Ailin, Guan Ping, dan En Jio mengikuti di belakang, masing-masing terdiam memikirkan langkah selanjutnya.“Apakah kita menuju desa yang aman?” tanya En Jio dengan suara rendah, menghancurkan kesunyian yang menekan.“Itu rencana awalnya,” jawab Ling tanpa menoleh. “Tapi setelah kejadian tadi, aku tidak yakin desa itu aman. Kita harus membuat keputusan cepat sebelum mereka bisa me
Rumah besar di tengah desa itu tampak semakin menegangkan saat Ling dan rombongannya mendekatinya. Matahari sudah benar-benar tenggelam, meninggalkan desa dalam gelap yang hanya diterangi cahaya lentera dari rumah-rumah penduduk. Namun, rumah besar itu tampak lebih misterius dengan cahaya redup yang menyelinap dari jendela-jendelanya.“Apa kalian merasa tempat ini terlalu sunyi?” bisik Ailin, suaranya nyaris tidak terdengar.“Ya,” jawab Guan Ping tanpa ragu. “Seolah mereka tahu sesuatu yang kita tidak tahu.”Ling mengangguk pelan. “Tetap tenang dan waspada. Kita akan tahu lebih banyak begitu kita masuk ke dalam.”Mereka berdiri di depan pintu gerbang besar itu, dibuat dari kayu tebal yang tampak tua namun kokoh. Ling mendekat dan mengetuk pintu dengan tenang. Suara ketukan terdengar nyaring di dalam, bergema melalui rumah besar itu. Setelah beberapa saat, pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang pria paruh baya dengan wajah yang dingin.“Apa yang kalian inginkan?” suaranya datar
Pagi datang dengan udara yang dingin dan lembap, mengisi desa dengan ketenangan yang aneh. Matahari baru saja mulai terbit, namun suasana tetap terasa suram. Ling, Ailin, Guan Ping, dan En Jio berkumpul di halaman rumah kecil tempat mereka menginap, bersiap menghadapi malam yang akan datang.“Aku tidak suka ini,” kata En Jio sambil mengikat tali sepatunya. “Makhluk di pegunungan? Ini bisa jadi jebakan. Atau mungkin ada lebih dari satu.”“Kita tidak punya pilihan,” jawab Ling dengan tenang, meski hatinya penuh keraguan. “Informasi tentang aliran hitam sangat penting. Kita harus siap menghadapi apa pun yang muncul.”Ailin, yang berdiri sambil menajamkan pedangnya, memandang Ling dengan serius. “Kita harus berhati-hati. Makhluk itu bisa jadi lebih kuat dari yang kita duga, terutama jika berkaitan dengan ilmu hitam.”Ling mengangguk, lalu mengalihkan pandangannya ke puncak pegunungan yang menjulang di kejauhan. “Kita akan mencari tempat persembunyian makhluk itu saat malam tiba. Sebelum i
Suasana setelah pertempuran masih dipenuhi ketegangan. Tubuh makhluk besar yang mereka kalahkan tergeletak di tanah, namun udara di sekitar mereka tetap terasa berat. Meskipun kemenangan telah mereka raih, Ling tidak merasa lega. Dia tahu sesuatu yang lebih gelap menanti mereka.“Itu terlalu mudah,” gumam Guan Ping sambil menatap mayat makhluk raksasa itu. “Makhluk seperti ini tidak mungkin berdiri sendiri. Pasti ada sesuatu yang lebih besar mengendalikan mereka.”Ailin membersihkan darah dari pedangnya, ekspresi wajahnya serius. “Kita mungkin baru menyentuh permukaan masalah ini. Makhluk ini hanyalah kaki tangan.”Ling berdiri dengan tenang, matanya tetap mengawasi medan di sekitarnya. Dalam dirinya, bisikan Manggala telah menghilang, namun jejak kekuatan iblis itu masih terasa di tubuhnya, menggema di pikirannya. Kekuatan itu memberinya kemenangan, tetapi dengan harga yang tidak bisa ia abaikan.“Kita harus terus bergerak,” kata Ling akhirnya. “Tempat ini tidak aman.”Mereka mulai b
Mereka terus bergerak maju, menembus kabut yang semakin pekat. Langkah kaki mereka menyisakan jejak samar di tanah lembab, tetapi kabut tebal yang menyelimuti hutan menghapus jejak itu dalam sekejap. Di tengah suasana mencekam ini, setiap suara menjadi lebih tajam, setiap bayangan terasa lebih gelap. Ling berjalan paling depan, tatapannya fokus ke arah yang belum jelas tujuannya.Guan Ping melirik ke arah Ling, sedikit cemas. "Kau yakin tidak ada jalan lain?" tanyanya, suaranya pelan tapi cukup terdengar oleh Ling.Ling menggeleng pelan. "Tidak ada pilihan. Kita harus mencari tempat yang aman sebelum malam datang."Ailin, yang berjalan di samping Ling, menatap hutan yang kelam dengan mata waspada. "Aku tidak suka perasaan ini," gumamnya. "Seperti ada sesuatu yang mengintai dari jauh. Sesuatu yang tidak kita lihat, tapi terus mengawasi kita."Guan Ping mengangguk setuju. "Mungkin pria berpakaian hitam itu belum benar-benar meninggalkan kita. Dia bisa saja masih mengintai di sekitar sin
Suara gesekan pedang dan senjata lainnya mulai terdengar, menciptakan ketegangan yang merambat cepat di udara. Kabut yang semakin pekat seolah menjadi saksi diam dari pertempuran yang tak terelakkan. Ling menggenggam pedangnya erat, napasnya tenang namun dadanya terasa bergemuruh. Di sekelilingnya, para anggota aliran hitam semakin merapat, formasi mereka rapat, dan pergerakan mereka penuh kehati-hatian."Kita harus memecah formasi mereka," gumam Ling kepada Guan Ping dan Ailin yang sudah siap di sisinya. "Jangan biarkan mereka mengelilingi kita sepenuhnya."Guan Ping menanggapi dengan anggukan cepat, lalu tanpa ragu-ragu melompat maju dengan pedangnya terhunus. "Biar aku yang membuka jalan!" teriaknya sebelum tebasannya menghantam salah satu anggota aliran hitam. Tebasan itu berhasil menebas pelindung lawan, tetapi musuh tampak terlatih. Dengan gesit, mereka langsung membalas serangan.Ling bergerak cepat, tubuhnya meluncur seperti bayangan di antara kabut. Tebasannya meluncur ke ara
Pertarungan itu berakhir dengan ketegangan yang menyelimuti udara. Kabut mulai perlahan memudar, seiring sosok bertopeng yang menyelinap ke dalam bayangan, menarik diri dari pertempuran. Guan Ping dan Ailin bergegas mendekati Ling yang berdiri dengan napas berat, tubuhnya masih dilingkupi sisa-sisa aura gelap Manggala. Tapi kini, mata Ling kembali tenang, meskipun ketegangan dari dalam hatinya tak bisa disembunyikan."Kau baik-baik saja, Ling?" tanya Ailin dengan nada cemas, melihat lingkaran hitam di sekitar mata Ling."Aku baik-baik saja," jawab Ling pelan, mencoba menenangkan tubuhnya yang sedikit gemetar. "Mereka tidak akan mundur lama, kita harus cepat bergegas sebelum mereka kembali dengan bala bantuan."Guan Ping mengangguk setuju. "Aku setuju. Mereka seperti serigala yang siap menyerang kapan saja. Kita tidak bisa bertahan di sini lebih lama."Ketiganya segera bersiap meninggalkan lokasi, namun sebelum mereka melangkah lebih jauh, suara dari kejauhan terdengar. Samar, tetapi j
Malam bergulir dengan lambat, namun hati Ling tak kunjung tenang. Di bawah naungan bintang yang berkelap-kelip di langit malam, dia duduk diam, merenungi peristiwa yang baru saja terjadi. Pikiran-pikiran tentang Manggala, musuh-musuh aliran hitam, dan Kitab Dewa Naga berputar-putar dalam kepalanya, membuatnya tidak bisa tidur.Angin malam berembus lembut, menggerakkan dedaunan dan api unggun yang hampir padam. Di sekeliling api unggun itu, para prajurit dari Kerajaan Utara yang dipimpin Pang Zhi terlelap, beristirahat setelah perjalanan panjang melewati hutan siluman. Ailin dan Guan Ping juga tampak tertidur pulas, tubuh mereka kelelahan setelah pertempuran sebelumnya.Namun, dalam benak Ling, satu pikiran terus mengusik: kekuatan Manggala yang terus tumbuh dan berusaha mengambil alih tubuhnya."Sampai kapan aku bisa menahannya?" Ling bergumam pelan, merasakan ketegangan dalam dirinya.Tiba-tiba, sebuah suara lembut memecah keheningan malam. "Takdir kita tidak pernah mudah, Ling."Lin