Malam bergulir dengan lambat, namun hati Ling tak kunjung tenang. Di bawah naungan bintang yang berkelap-kelip di langit malam, dia duduk diam, merenungi peristiwa yang baru saja terjadi. Pikiran-pikiran tentang Manggala, musuh-musuh aliran hitam, dan Kitab Dewa Naga berputar-putar dalam kepalanya, membuatnya tidak bisa tidur.Angin malam berembus lembut, menggerakkan dedaunan dan api unggun yang hampir padam. Di sekeliling api unggun itu, para prajurit dari Kerajaan Utara yang dipimpin Pang Zhi terlelap, beristirahat setelah perjalanan panjang melewati hutan siluman. Ailin dan Guan Ping juga tampak tertidur pulas, tubuh mereka kelelahan setelah pertempuran sebelumnya.Namun, dalam benak Ling, satu pikiran terus mengusik: kekuatan Manggala yang terus tumbuh dan berusaha mengambil alih tubuhnya."Sampai kapan aku bisa menahannya?" Ling bergumam pelan, merasakan ketegangan dalam dirinya.Tiba-tiba, sebuah suara lembut memecah keheningan malam. "Takdir kita tidak pernah mudah, Ling."Lin
Suara benturan senjata terdengar menggema di udara, menggetarkan tanah di bawah kaki Ling. Pedangnya menari cepat, mengeluarkan tujuh tebasan angin yang meluncur ke arah Tong Guan, yang dengan sigap melindungi dirinya menggunakan perisai energi hitam yang tebal. Tebasan Tujuh Bintang yang dikeluarkan Ling hanya meninggalkan goresan kecil pada perisai tersebut."Kau mulai lelah, Ling," ejek Tong Guan dengan suara serak, matanya bersinar dengan kilatan kegelapan. "Energi dari Kitab Dewa Naga mengalir dalam tubuhku. Setiap tebasanmu hanya akan memperkuatku!"Ling merasakan kelelahan mulai menyerang tubuhnya. Setiap serangan yang ia luncurkan membuat Manggala di dalam dirinya semakin aktif, berdesir dalam aliran darahnya, berusaha merobohkan pertahanannya. Ia harus segera menyelesaikan pertarungan ini sebelum Manggala sepenuhnya mengambil alih kendali."Aku harus bertahan," gumam Ling pelan, seraya menggigit bibirnya. Energi yang mengalir dari Kitab Dewa Naga semakin kuat, terasa menekan
Hembusan angin malam menerpa wajah Ling saat ia duduk di tepi sungai kecil di dekat hutan. Pertempuran dengan Tong Guan telah usai, namun efeknya masih terasa dalam setiap otot tubuhnya yang lelah. Kilatan pertempuran itu seakan masih bermain di dalam pikirannya, terutama saat dia hampir menyerah pada kekuatan Manggala.Pang Zhi berjalan mendekati Ling, wajahnya terlihat lelah namun tetap menyiratkan rasa hormat. "Kau telah melakukan hal yang luar biasa, Ling. Meski Tong Guan melarikan diri, kita telah memenangkan pertempuran ini."Ling hanya menunduk, matanya terfokus pada aliran air di bawahnya. "Aku hampir kehilangan kendali," katanya lirih. "Jika aku menyerah pada Manggala, mungkin hasilnya akan berbeda."Pang Zhi menghela napas, duduk di samping Ling. "Kekuatan seperti itu memang sulit untuk dikendalikan, tapi kau berhasil. Itu yang penting. Dan kau harus ingat, kita semua berada di sini bersamamu.""Tapi aku tak bisa terus bergantung pada kekuatan Manggala," jawab Ling tegas. "S
Matahari baru saja terbit, sinarnya memancar lembut di balik bukit-bukit jauh di cakrawala. Hutan yang tadi malam terasa penuh ketegangan kini mulai terasa lebih damai, meskipun kegelisahan masih menyelimuti hati Ling dan rombongannya.Ling berdiri di depan kelompoknya, tatapannya tegas, dan keyakinan baru tampak di matanya. "Kita akan menuju Pegunungan Timur," katanya, menatap setiap anggotanya. "Jika ada kesempatan untuk mengendalikan Manggala, aku tidak akan menyia-nyiakannya."Pang Zhi mengangguk. "Ini mungkin perjalanan yang panjang dan berbahaya, tapi kita bersamamu, Ling."Ailin, yang sejak tadi memperhatikan dalam diam, akhirnya berbicara. "Jika ini adalah cara untuk menghentikan Manggala dan menjaga kita semua tetap aman, maka kita harus melakukannya. Aku juga akan ikut.""Dan aku," tambah Guan Ping dengan nada penuh tekad. "Mungkin aku bisa membantu menemukan ahli spiritual itu lebih cepat."Setelah menyelesaikan persiapan mereka, rombongan Ling pun mulai bergerak. Jalan men
Suasana kembali tegang setelah serangan mendadak itu, meskipun lawan mereka telah terpojok, tetapi gelombang ancaman masih terasa di udara. Ling berdiri, menatap pria yang terluka di depan mereka dengan kebencian yang tersirat dalam tatapannya. Pria itu memegang bahunya yang terkena panah dari Ailin, darah menetes dari sela-sela jarinya."Kami tidak datang untuk membuat kekacauan," kata Ling tegas. "Tetapi jika kalian memaksa, aku tidak akan mundur!"Pria itu tersenyum sinis meski dalam kesakitan. "Kau mungkin kuat, bocah. Tapi kau tidak tahu siapa yang kau hadapi."Sebelum Ling sempat bereaksi, kabut tebal tiba-tiba menyelimuti sekeliling mereka. Kabut itu begitu pekat sehingga dalam sekejap, jarak pandang mereka terhalang, hanya menyisakan siluet samar di sekitar mereka.Pang Zhi mendekat ke Ling, matanya waspada. "Ini bukan kabut biasa. Mereka mencoba sesuatu."Ailin mengencangkan genggamannya pada busurnya, matanya terus mencari pergerakan dalam kabut. "Siapkan diri. Mereka bisa m
Pemandangan di depan mereka berubah drastis ketika rombongan Ling memasuki wilayah Pegunungan Timur. Kabut perlahan menghilang, digantikan oleh langit yang cerah dengan pemandangan gunung-gunung menjulang tinggi. Di kejauhan, pepohonan hijau lebat membentang hingga ke lereng-lereng bukit, sementara batu-batu karang besar menghiasi jalur yang akan mereka lalui.Namun, meskipun keindahan alam tersebut memikat, Ling dan kawan-kawannya tetap merasakan ancaman yang tersembunyi. Pegunungan ini bukanlah tempat yang biasa; mereka tahu bahwa bahaya mengintai di balik setiap sudut."Kita harus waspada di sini," ujar Pang Zhi, suaranya penuh peringatan. "Pegunungan Timur terkenal sebagai tempat persembunyian para siluman, dan juga markas bagi banyak sekte sesat."Ling mengangguk sambil terus memegang erat pedangnya. Meski telah mengalahkan dua makhluk penjaga yang menakutkan di hutan sebelumnya, dia tahu bahwa perjalanan mereka masih jauh dari kata aman. Energi di tempat ini terasa berbeda, sepe
Angin dingin berhembus lembut, menelusup masuk melalui celah-celah dinding kuil yang usang. Ling berdiri tegap, matanya tak lepas dari sosok Tong Guan yang menantang. Pedang di tangannya terasa bergetar, seakan merasakan ketegangan yang menyelimuti udara. Tong Guan, dengan senyum sinisnya, perlahan melangkah maju. Di tangannya ada pedang hitam besar yang tampak memancarkan aura gelap, senjata yang sama yang digunakan saat pertemuan mereka sebelumnya."Kau masih bocah, Ling," kata Tong Guan dingin, suaranya menggema di ruangan yang sunyi. "Kau tak tahu apa-apa tentang kekuatan sejati. Bahkan kekuatan Manggala di dalam tubuhmu bukan apa-apa di hadapan kekuatanku."Ling mengepalkan pedangnya lebih erat. "Kekuatanmu mungkin besar, Tong Guan, tapi aku tak akan pernah membiarkanmu mendapatkan Kitab Dewa Naga. Kitab ini takdirku, bukan milikmu!" suaranya penuh tekad, menggema di antara patung-patung dewa yang hancur.Tanpa peringatan lebih lanjut, Tong Guan menyerang. Gerakannya cepat, nyari
Gianjoyo dan Kirana bisa dikatakan orang yang beruntung saat mereka mendapatkan seorang anak laki-laki yang mereka namai Lengkukup. Dia memiliki bakat seorang pendekar sejak kecil, Lengkukup diberkahi kemampuan mempelajari sesuatu dengan cepat.Kemampuannya itu tentu menjadi daya tarik bagi sebagian orang, tetapi beberapa dari orang itu menaruh kebencian terhadapnya, mereka iri atas pencapaian yang dilakukan Lengkukup. Tepat ketika menginjak usia tujuh tahun, sekte Aur Duri mengadakan sayembara untuk anak muda yang berbakat. Banyak yang berpartisipasi disayembara yang diadakan itu dan Lengkukup menjadi salah satu pesertanya. Lengkukup bukannya menjadi sosok yang membanggakan, tetapi dirinya justru menjadi korban cemoohan dan dianggap curang oleh orang tua anak-anaknya karena Lengkukup dapat dengan mudah mengalahkan musuh-musuhnya. Gianjoyo dan Kirana saat itu melihat Lengkukup dihina bahkan dikucilkan tidak terima atas perlakuan mereka.