Suasana kembali tegang setelah serangan mendadak itu, meskipun lawan mereka telah terpojok, tetapi gelombang ancaman masih terasa di udara. Ling berdiri, menatap pria yang terluka di depan mereka dengan kebencian yang tersirat dalam tatapannya. Pria itu memegang bahunya yang terkena panah dari Ailin, darah menetes dari sela-sela jarinya."Kami tidak datang untuk membuat kekacauan," kata Ling tegas. "Tetapi jika kalian memaksa, aku tidak akan mundur!"Pria itu tersenyum sinis meski dalam kesakitan. "Kau mungkin kuat, bocah. Tapi kau tidak tahu siapa yang kau hadapi."Sebelum Ling sempat bereaksi, kabut tebal tiba-tiba menyelimuti sekeliling mereka. Kabut itu begitu pekat sehingga dalam sekejap, jarak pandang mereka terhalang, hanya menyisakan siluet samar di sekitar mereka.Pang Zhi mendekat ke Ling, matanya waspada. "Ini bukan kabut biasa. Mereka mencoba sesuatu."Ailin mengencangkan genggamannya pada busurnya, matanya terus mencari pergerakan dalam kabut. "Siapkan diri. Mereka bisa m
Pemandangan di depan mereka berubah drastis ketika rombongan Ling memasuki wilayah Pegunungan Timur. Kabut perlahan menghilang, digantikan oleh langit yang cerah dengan pemandangan gunung-gunung menjulang tinggi. Di kejauhan, pepohonan hijau lebat membentang hingga ke lereng-lereng bukit, sementara batu-batu karang besar menghiasi jalur yang akan mereka lalui.Namun, meskipun keindahan alam tersebut memikat, Ling dan kawan-kawannya tetap merasakan ancaman yang tersembunyi. Pegunungan ini bukanlah tempat yang biasa; mereka tahu bahwa bahaya mengintai di balik setiap sudut."Kita harus waspada di sini," ujar Pang Zhi, suaranya penuh peringatan. "Pegunungan Timur terkenal sebagai tempat persembunyian para siluman, dan juga markas bagi banyak sekte sesat."Ling mengangguk sambil terus memegang erat pedangnya. Meski telah mengalahkan dua makhluk penjaga yang menakutkan di hutan sebelumnya, dia tahu bahwa perjalanan mereka masih jauh dari kata aman. Energi di tempat ini terasa berbeda, sepe
Angin dingin berhembus lembut, menelusup masuk melalui celah-celah dinding kuil yang usang. Ling berdiri tegap, matanya tak lepas dari sosok Tong Guan yang menantang. Pedang di tangannya terasa bergetar, seakan merasakan ketegangan yang menyelimuti udara. Tong Guan, dengan senyum sinisnya, perlahan melangkah maju. Di tangannya ada pedang hitam besar yang tampak memancarkan aura gelap, senjata yang sama yang digunakan saat pertemuan mereka sebelumnya."Kau masih bocah, Ling," kata Tong Guan dingin, suaranya menggema di ruangan yang sunyi. "Kau tak tahu apa-apa tentang kekuatan sejati. Bahkan kekuatan Manggala di dalam tubuhmu bukan apa-apa di hadapan kekuatanku."Ling mengepalkan pedangnya lebih erat. "Kekuatanmu mungkin besar, Tong Guan, tapi aku tak akan pernah membiarkanmu mendapatkan Kitab Dewa Naga. Kitab ini takdirku, bukan milikmu!" suaranya penuh tekad, menggema di antara patung-patung dewa yang hancur.Tanpa peringatan lebih lanjut, Tong Guan menyerang. Gerakannya cepat, nyari
Gianjoyo dan Kirana bisa dikatakan orang yang beruntung saat mereka mendapatkan seorang anak laki-laki yang mereka namai Lengkukup. Dia memiliki bakat seorang pendekar sejak kecil, Lengkukup diberkahi kemampuan mempelajari sesuatu dengan cepat.Kemampuannya itu tentu menjadi daya tarik bagi sebagian orang, tetapi beberapa dari orang itu menaruh kebencian terhadapnya, mereka iri atas pencapaian yang dilakukan Lengkukup. Tepat ketika menginjak usia tujuh tahun, sekte Aur Duri mengadakan sayembara untuk anak muda yang berbakat. Banyak yang berpartisipasi disayembara yang diadakan itu dan Lengkukup menjadi salah satu pesertanya. Lengkukup bukannya menjadi sosok yang membanggakan, tetapi dirinya justru menjadi korban cemoohan dan dianggap curang oleh orang tua anak-anaknya karena Lengkukup dapat dengan mudah mengalahkan musuh-musuhnya. Gianjoyo dan Kirana saat itu melihat Lengkukup dihina bahkan dikucilkan tidak terima atas perlakuan mereka.
“Maafkan atas ketidaksopan kami karena tidak memberi tau tuan terlebih dahulu” sepuh tua berkata dengan kaki sedikit gemetar, dirinya berusaha mencairkan keadaan yang sedikit memanas. “Kami hanya pendatang baru ditempat ini, tolong lepaskan anakku!” Gianjoyo sedikit memelas supaya tidak terjadi keributan yang tidak diinginkan. Sebelumnya sepuh tua juga sudah berpesan supaya hati-hati berbicara dengan Kencana Emas karena karekternya yang mudah tersinggung. “Tidak. Dia sudah memata mataiku sejak tadi.” “Maafkan sekali lagi atas kecerobohan anakku, dia memang sering melihat orang berlatih beladiri, dan tertarik dengan hal baru yang baru dilihatnya” Gianjoyo berusaha meyakinkan Kencana Emas, tetapi tampaknya Kencana Emas masih tidak percaya. “Berbaik hatilah Tuan Kencana Emas, kau hanya perlu melepaskannya dan biarkan situa bangka ini yang mengurusnya.” Sepuh itu sedikit menepuk pundak Kencana Emas berusaha meyakinkanny
Sudah beberapa waktu mereka bertarung, Gamya dan adik seperguruan Jiang sedang melihat pertarugan Kencana Emas. Tampak mereka seperti setara dalam pertarungan, tetapi sebenarnya Kencana bisa dengan mudah mengalahkan Jiang hanya dengan beberapa kali tarikan nafas saja. Kencana sedikit terganggu dengan Gamya yang mampu membuatnya jatuh keposisi berlutut kapan saja. Namun saat ini Gamya hanya melihat dan tidak menunjukkan dirinya ingin ikut campur pertarungan muridnya. Melihat posisi yang menguntungkan itu Jiang berusaha semakin memojokkan Kencana sambil tertawa lantang. Namun Kencana Emas bahkan belum berpindah dari tempat dia berdiri Kencana sedikit berkelit ketika golok Jiang hampir mengenai wajahnya dan secara bersamaan Kencana melancarkan serangan tapak kearah dada Jiang yang menyebabkan benturan yang cukup kuat, serangan itu membuat Jiang mundur beberapa langkah lalu memuntahkan dara segar. “Kuaku
Pada akhirnya Gianjoyo harus mati dengan penuh penyesalan karena tidak bisa melindungi keluarganya. Rasa penyesalan itu terlihat dari air mata Gianjoyo yang keluar tanpa bisa dikendalikan, pemandangan terakhir Gianjoyo adalah Kirana yang ditarik rambutnya oleh Xue. Melihat Gianjoyo sudah tidak berdaya Kirana ingin menangis tetapi tidak bisa karena rambutnya sedang ditarik oleh Xue. Kirana menyesal karena selama ini tidak pernah belajar beladiri, kini dia mendapatkan bukti jika dunia persilatan itu sangat kejam. Kirana tidak bisa menahan air mata yang sejak tadi terbendung dikelopak matanya. Butiran air mata membasahi wajah Kirana mengharap belas kasih Xue yang saat ini menjilati bibirnya.“Ampuni kami tuan, setidaknya biarkan anakku pergi dari sini” Ucap Kirana sambil menangis tidak dapat berbuat apa-apa. Genggaman rambut Kirana tiba-tiba dilepaskan, harapannya seolah menjadi kenyataan Kirana lantas berlari me
Beberapa waktu lalu Kencana Emas yang melesat kedalam hutan, rupanya berusaha menyelinap kembali kedesa untuk mengambil Pedang Pusaka yang tertinggal dirumahnya. Tidak butuh waktu lama Kencana Emas sudah berada tepat didepan pintu rumahnya tetapi belum sempat hendak melangkah, Kencana Emas dikejutkan oleh seseorang yang datang. Kencana Emas bertanya-tanya ada perlu apa sepuh tua ini datang kepadanya malam-malam begini, Kencana hanya menduga-duga sebelum sepuh itu mulai berbicara.” Maaf menggangumu, tetapi ada sesuatu yang harus aku sampaikan mengenai Gianjoyo kau tau kan?” Kencana Emas tidak langsung menjawab tetapi membiarkan sepuh itu menyelesaikan kata-katanya, Kencana juga bingung dirinya tidak punya urusan dengan keluarga Gianjoyo tetapi Kencana menduga jika kedatangan sepuh tua adalah untuk meminta tolong. “Ah sudahlah, mereka sedang dalam masalah, kau harus membantunya…” Sepuh itu kembali melanjutkan kalimat