Suara benturan senjata terdengar menggema di udara, menggetarkan tanah di bawah kaki Ling. Pedangnya menari cepat, mengeluarkan tujuh tebasan angin yang meluncur ke arah Tong Guan, yang dengan sigap melindungi dirinya menggunakan perisai energi hitam yang tebal. Tebasan Tujuh Bintang yang dikeluarkan Ling hanya meninggalkan goresan kecil pada perisai tersebut."Kau mulai lelah, Ling," ejek Tong Guan dengan suara serak, matanya bersinar dengan kilatan kegelapan. "Energi dari Kitab Dewa Naga mengalir dalam tubuhku. Setiap tebasanmu hanya akan memperkuatku!"Ling merasakan kelelahan mulai menyerang tubuhnya. Setiap serangan yang ia luncurkan membuat Manggala di dalam dirinya semakin aktif, berdesir dalam aliran darahnya, berusaha merobohkan pertahanannya. Ia harus segera menyelesaikan pertarungan ini sebelum Manggala sepenuhnya mengambil alih kendali."Aku harus bertahan," gumam Ling pelan, seraya menggigit bibirnya. Energi yang mengalir dari Kitab Dewa Naga semakin kuat, terasa menekan
Hembusan angin malam menerpa wajah Ling saat ia duduk di tepi sungai kecil di dekat hutan. Pertempuran dengan Tong Guan telah usai, namun efeknya masih terasa dalam setiap otot tubuhnya yang lelah. Kilatan pertempuran itu seakan masih bermain di dalam pikirannya, terutama saat dia hampir menyerah pada kekuatan Manggala.Pang Zhi berjalan mendekati Ling, wajahnya terlihat lelah namun tetap menyiratkan rasa hormat. "Kau telah melakukan hal yang luar biasa, Ling. Meski Tong Guan melarikan diri, kita telah memenangkan pertempuran ini."Ling hanya menunduk, matanya terfokus pada aliran air di bawahnya. "Aku hampir kehilangan kendali," katanya lirih. "Jika aku menyerah pada Manggala, mungkin hasilnya akan berbeda."Pang Zhi menghela napas, duduk di samping Ling. "Kekuatan seperti itu memang sulit untuk dikendalikan, tapi kau berhasil. Itu yang penting. Dan kau harus ingat, kita semua berada di sini bersamamu.""Tapi aku tak bisa terus bergantung pada kekuatan Manggala," jawab Ling tegas. "S
Matahari baru saja terbit, sinarnya memancar lembut di balik bukit-bukit jauh di cakrawala. Hutan yang tadi malam terasa penuh ketegangan kini mulai terasa lebih damai, meskipun kegelisahan masih menyelimuti hati Ling dan rombongannya.Ling berdiri di depan kelompoknya, tatapannya tegas, dan keyakinan baru tampak di matanya. "Kita akan menuju Pegunungan Timur," katanya, menatap setiap anggotanya. "Jika ada kesempatan untuk mengendalikan Manggala, aku tidak akan menyia-nyiakannya."Pang Zhi mengangguk. "Ini mungkin perjalanan yang panjang dan berbahaya, tapi kita bersamamu, Ling."Ailin, yang sejak tadi memperhatikan dalam diam, akhirnya berbicara. "Jika ini adalah cara untuk menghentikan Manggala dan menjaga kita semua tetap aman, maka kita harus melakukannya. Aku juga akan ikut.""Dan aku," tambah Guan Ping dengan nada penuh tekad. "Mungkin aku bisa membantu menemukan ahli spiritual itu lebih cepat."Setelah menyelesaikan persiapan mereka, rombongan Ling pun mulai bergerak. Jalan men
Suasana kembali tegang setelah serangan mendadak itu, meskipun lawan mereka telah terpojok, tetapi gelombang ancaman masih terasa di udara. Ling berdiri, menatap pria yang terluka di depan mereka dengan kebencian yang tersirat dalam tatapannya. Pria itu memegang bahunya yang terkena panah dari Ailin, darah menetes dari sela-sela jarinya."Kami tidak datang untuk membuat kekacauan," kata Ling tegas. "Tetapi jika kalian memaksa, aku tidak akan mundur!"Pria itu tersenyum sinis meski dalam kesakitan. "Kau mungkin kuat, bocah. Tapi kau tidak tahu siapa yang kau hadapi."Sebelum Ling sempat bereaksi, kabut tebal tiba-tiba menyelimuti sekeliling mereka. Kabut itu begitu pekat sehingga dalam sekejap, jarak pandang mereka terhalang, hanya menyisakan siluet samar di sekitar mereka.Pang Zhi mendekat ke Ling, matanya waspada. "Ini bukan kabut biasa. Mereka mencoba sesuatu."Ailin mengencangkan genggamannya pada busurnya, matanya terus mencari pergerakan dalam kabut. "Siapkan diri. Mereka bisa m
Pemandangan di depan mereka berubah drastis ketika rombongan Ling memasuki wilayah Pegunungan Timur. Kabut perlahan menghilang, digantikan oleh langit yang cerah dengan pemandangan gunung-gunung menjulang tinggi. Di kejauhan, pepohonan hijau lebat membentang hingga ke lereng-lereng bukit, sementara batu-batu karang besar menghiasi jalur yang akan mereka lalui.Namun, meskipun keindahan alam tersebut memikat, Ling dan kawan-kawannya tetap merasakan ancaman yang tersembunyi. Pegunungan ini bukanlah tempat yang biasa; mereka tahu bahwa bahaya mengintai di balik setiap sudut."Kita harus waspada di sini," ujar Pang Zhi, suaranya penuh peringatan. "Pegunungan Timur terkenal sebagai tempat persembunyian para siluman, dan juga markas bagi banyak sekte sesat."Ling mengangguk sambil terus memegang erat pedangnya. Meski telah mengalahkan dua makhluk penjaga yang menakutkan di hutan sebelumnya, dia tahu bahwa perjalanan mereka masih jauh dari kata aman. Energi di tempat ini terasa berbeda, sepe
Angin dingin berhembus lembut, menelusup masuk melalui celah-celah dinding kuil yang usang. Ling berdiri tegap, matanya tak lepas dari sosok Tong Guan yang menantang. Pedang di tangannya terasa bergetar, seakan merasakan ketegangan yang menyelimuti udara. Tong Guan, dengan senyum sinisnya, perlahan melangkah maju. Di tangannya ada pedang hitam besar yang tampak memancarkan aura gelap, senjata yang sama yang digunakan saat pertemuan mereka sebelumnya."Kau masih bocah, Ling," kata Tong Guan dingin, suaranya menggema di ruangan yang sunyi. "Kau tak tahu apa-apa tentang kekuatan sejati. Bahkan kekuatan Manggala di dalam tubuhmu bukan apa-apa di hadapan kekuatanku."Ling mengepalkan pedangnya lebih erat. "Kekuatanmu mungkin besar, Tong Guan, tapi aku tak akan pernah membiarkanmu mendapatkan Kitab Dewa Naga. Kitab ini takdirku, bukan milikmu!" suaranya penuh tekad, menggema di antara patung-patung dewa yang hancur.Tanpa peringatan lebih lanjut, Tong Guan menyerang. Gerakannya cepat, nyari
Ling berdiri terpaku di tengah kuil yang hampir hancur, napasnya berat dan pandangannya buram. Tubuhnya bergetar, dan kekuatan Manggala di dalam dirinya terus mengalir, mencoba menguasai dirinya sepenuhnya. Dia tahu dia tidak bisa bertahan lama dalam kondisi ini.Di depannya, Tong Guan masih terkapar di tanah, tubuhnya penuh luka dan napasnya tersengal-sengal. Serangan terakhir Ling telah berhasil menghentikan lawannya, tetapi rasa kemenangan tidak pernah benar-benar datang. Malah, rasa takut yang semakin besar mulai tumbuh di dalam dirinya—takut akan kekuatan yang sekarang mengancam untuk mengambil alih."Kau tidak bisa lari dariku selamanya, Ling," suara Manggala berbisik dalam pikirannya, begitu jelas dan mendalam seakan berasal dari kedalaman neraka. "Cepat atau lambat, kau akan menyerah. Kekuatan ini akan menjadi milikku sepenuhnya."Ling mengepalkan tinjunya, menahan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. "Aku tidak akan menyerah!" desisnya pelan, tetapi mantap. Dia berus
Ling dan En Jio melangkah keluar dari kuil yang hancur, menghirup udara segar hutan Siluman. Meskipun terasa menenangkan, mereka berdua tahu bahwa bahaya masih mengintai. Kekuatan Manggala terus membayangi Ling, dan semakin lama mereka tinggal, semakin besar kemungkinan mereka diserang oleh musuh-musuh yang mengincar Kitab Dewa Naga.Setelah berjalan beberapa langkah, En Jio berhenti sejenak untuk melihat ke arah Ling. "Kau baik-baik saja, Ling?" tanyanya, mencemaskan kondisi mental muridnya. Ling mengangguk, meskipun rasa lelah dan ketidakpastian masih menyelimuti pikirannya."Aku akan baik-baik saja, Guru," jawabnya, berusaha terdengar yakin. "Tetapi aku perlu mengendalikan Manggala. Jika tidak, kekuatan itu bisa menguasai diriku kapan saja."En Jio mengangguk. "Kau tidak sendirian dalam perjuangan ini. Kita akan mencari cara untuk mengalahkan Manggala dan menemukan jalan untuk mengendalikan kekuatan itu."Ling merasa sedikit lega mendengar kata-kata gurunya. Dalam perjalanan mereka
Ling terdiam dalam keheningan, tatapannya masih terpaku pada tempat di mana sosok berjubah putih itu menghilang. Lengkukup dan En Jio berdiri di sisinya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Namun, pertanyaan yang menggantung di udara tidak segera menemukan jawaban."Siapa dia?" En Jio akhirnya memecah kesunyian, suaranya bergetar lemah. "Penjaga Kuil Tianlong? Aku tidak pernah mendengar tentang sosok seperti itu..."Lengkukup, yang biasanya tenang dan penuh perhitungan, hanya menggelengkan kepala. "Dia muncul tepat saat kita membutuhkannya. Entah siapa atau apa tujuannya, kita sebaiknya bersyukur."Ling menghela napas panjang, tubuhnya masih lelah setelah serangan besar yang hampir menghabisi kekuatannya. "Kita harus segera pergi dari sini. Tempat ini penuh dengan kegelapan, dan aku merasakan sesuatu yang tidak beres."Mereka bertiga mengangkat diri, meskipun tubuh mereka masih t
Sima Yan berdiri tegak di hadapan Ling, Lengkukup, dan En Jio. Aura kegelapan yang memancar dari tubuhnya membuat udara di sekitar mereka terasa berat. Pedangnya yang besar dan hitam berkilauan dengan cahaya merah yang jahat, menandakan kekuatan yang luar biasa.Ling mengepalkan tangannya lebih kuat di sekitar gagang pedangnya. Napasnya terasa berat, dan dadanya bergemuruh dengan adrenalin. Dia tahu ini bukan hanya pertarungan melawan seorang musuh yang kuat, tapi juga perjuangan untuk tetap hidup."Kita tidak bisa membiarkan dia menang!" desis Ling dengan penuh semangat, meski dia tahu dalam hatinya bahwa mereka mungkin tidak akan bertahan dari pertarungan ini.Lengkukup berdiri di sampingnya, menatap dingin ke arah Sima Yan. "Kita bertarung sampai napas terakhir. Tidak ada pilihan lain."En Jio, yang masih terluka, mengangguk dengan susah payah. Meskipun kondisinya jauh dari ideal, dia tahu tidak ada waktu untuk mundur.
Ketika mereka keluar dari gua, lembah yang dulunya gelap sekarang diterangi cahaya redup matahari yang mulai tenggelam. Udara terasa lebih berat, seolah sesuatu yang jahat menyelimuti mereka dari kejauhan. Langit di atas Gunung Tianfeng mulai berubah menjadi merah darah, pertanda bahwa bahaya semakin dekat.
Suasana di dalam ruangan besar itu mendadak tegang. Pria berjubah hitam yang berdiri di hadapan mereka tampak mengintimidasi, dengan senyum penuh kebencian yang menyiratkan keyakinan mutlak pada kekuatannya. Cahaya dari kristal elemen hijau memantul di zirah hitamnya, mempertegas aura kegelapan yang menyelimuti tubuhnya."Aku adalah pengawal elemen ini," ucap pria itu dengan suara rendah yang bergetar. "Namaku Hei Long, dan kalian tak akan bisa melewati gerbang kehidupan ini."Ling menatap pria itu dengan tajam, mempersiapkan diri. "Kalau begitu, kita tak punya pilihan lain selain melawanmu."Lengkukup dan En Jio mengambil posisi di sebelah Ling. Meskipun mereka tahu bahwa Hei Long adalah lawan yang kuat, mereka tidak punya waktu untuk ragu. Kristal elemen hijau itu adalah kunci untuk melengkapi kekuatan Kitab Dewa Naga, dan mereka harus mendapatkannya, apa pun risikonya."Serahkan saja elemen itu
Malam mulai menyelimuti perbukitan, namun Ling, Lengkukup, dan En Jio terus melangkah. Suasana semakin mencekam saat kabut tipis mulai muncul, menyelimuti jalanan setapak yang semakin sempit. Hutan lebat di kiri dan kanan mereka seolah menjadi dinding kegelapan yang tak tertembus. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar di tengah keheningan itu."Kita semakin dekat," kata Lengkukup, matanya terus mengawasi setiap gerakan di sekitar. "Aku bisa merasakan kehadiran sesuatu yang tidak biasa di sini."Ling mengangguk setuju. Dari kitab Dewa Naga yang berada dalam genggamannya, ia bisa merasakan energi yang semakin kuat. "Lembah itu tak jauh lagi. Energi dari elemen berikutnya sangat jelas terpancar dari sana."En Jio, yang biasanya penuh semangat, kali ini tampak lebih tenang. "Apa kalian sudah siap? Kalau pasukan hitam benar-benar menunggu di sana, ini akan menjadi pertempuran yang sulit."
Setelah berhasil mengalahkan Pengawal Bayangan dan mengamankan elemen es, Ling, Lengkukup, dan En Jio melanjutkan perjalanan mereka menuju perbukitan yang lebih rendah, meninggalkan puncak es yang mencekam di belakang. Udara di sini lebih hangat, tapi suasana tegang masih melingkupi mereka. Masing-masing terdiam, merenungkan pertempuran yang baru saja mereka lalui.“Kita sekarang memiliki dua elemen,” kata Lengkukup, memecah keheningan. “Tapi musuh kita pasti semakin sadar dengan keberadaan kita.”Ling mengangguk. “Kita harus bergerak cepat. Mereka tidak akan tinggal diam dan membiarkan kita mengambil semua elemen begitu saja.”En Jio, yang biasanya ceria, kali ini terlihat lebih serius. “Kalau mereka sudah mengirim Pengawal Bayangan, berarti kekuatan besar sedang memantau kita. Kita harus siap menghadapi mereka, kapan pun mereka menyerang.”
Setelah berhasil mendapatkan elemen es dari Puncak Es, Ling, Lengkukup, dan En Jio tidak bisa beristirahat lama. Meski mereka baru saja mengalahkan serigala es yang menjaga elemen tersebut, perasaan cemas tidak pernah benar-benar pergi. Keheningan yang melingkupi pegunungan bersalju seolah menyembunyikan ancaman yang belum terungkap.“Ling,” kata Lengkukup tiba-tiba, matanya tajam menatap ke kejauhan. “Kita sedang diawasi.”Ling yang sedang mengatur napas setelah pertempuran, langsung siaga. Dia mengeluarkan pedangnya dengan gerakan cepat, memfokuskan seluruh indranya untuk mendeteksi ancaman yang disampaikan Lengkukup. Seiring angin dingin yang menusuk, bayangan mulai terlihat di balik kabut tebal.En Jio, yang sebelumnya sedang bercanda untuk menghilangkan ketegangan, kini mengalihkan pandangannya dengan wajah serius. “Sepertinya, penjaga elemen es bukan satu-satunya yang harus kita hadapi.”Dari kabut yang semakin pekat, muncul sosok-sosok berpakaian hitam. Mereka bergerak dengan k
Setelah berhasil mendapatkan elemen api dari Gunung Berapi Hitam, Ling, Lengkukup, dan En Jio tidak memiliki banyak waktu untuk merayakan keberhasilan mereka. Tantangan berikutnya, elemen es, menanti mereka di ujung dunia yang berlawanan, di Puncak Es yang dilapisi salju abadi.“Kita tidak bisa berlama-lama di sini,” ujar Ling, napasnya masih terengah-engah setelah pertarungan yang menegangkan. “Puncak Es jauh, dan kita tidak tahu apa yang menanti kita di sana.”Lengkukup menyetujui, mengangkat elemen api dengan hati-hati. Cahaya merah yang menyala dari elemen itu berdenyut lembut, memberikan rasa hangat yang kontras dengan suhu yang akan mereka hadapi di perjalanan berikutnya.“Kau benar, Ling,” katanya. “Kita harus segera bergerak. Semakin lama kita menunda, semakin besar kemungkinan musuh kita mengetahui keberadaan elemen ini.”En Jio, yang telah berhasil mengalihkan perhatian naga api, berjalan mendekat. Dia tersenyum puas, meskipun wajahnya dipenuhi keringat. “Aku tidak sabar unt
Dengan hati yang penuh semangat dan ketegangan yang meningkat, Ling, Lengkukup, dan En Jio meninggalkan pasar malam. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan menjadi salah satu yang paling menantang yang pernah mereka hadapi. Mereka harus mendapatkan dua elemen yang berlawanan, dan langkah pertama adalah menuju Gunung Berapi Hitam.Di jalan, Ling merenungkan kata-kata lelaki tua itu. Kekuatan tidak hanya datang dari kemampuan fisik, tetapi juga dari keputusan yang mereka buat. Perjalanan ini bukan hanya tentang mencari kunci, tetapi juga tentang menemukan diri mereka sendiri dan menguji batasan mereka.Sesampainya di tepi hutan, mereka berhenti sejenak. Ling bisa merasakan perubahan udara, dari segar menjadi panas dan berbau sulfur. “Kita sudah dekat dengan gunung,” ujarnya.“Kau yakin kita siap menghadapi makhluk yang menjaga elemen api?” Lengkukup bertanya, merasakan ketegangan di udara.“Kita harus percaya satu sama lain,” jawab Ling. “Kita sudah melalui banyak hal bersama. Ini hanya